• Ramadan
  • Al-Qur’an
  • Iman
  • Sejarah
  • Ilmu
Tafsir Quran dan TadabburTafsir Quran dan Tadabbur
  • Ramadan
  • Al-Qur’an
  • Iman
  • Sejarah
  • Ilmu

Al-Qur'an

Memaknai Qurban dari QS. Assaffat 102

  • Posted by admin
  • Categories Al-Qur'an
  • Date July 22, 2019
  • Comments 0 comment
qurban dalam islam

Perintah qurban disampaikan Allah Swt. melalui beberapa ayat Al-Qur’an dalam beberapa surat berbeda.

Salah satu ayat tersebut adalah surat Assaffat ayat 102 tentang mimpi Nabi Ibrahim yang merupakan awal mula turunnya perintah berkurban.

Banyak pembelajaran penting yang terkandung dalam ayat tersebut. Kurban adalah bukti nyata ketakwaan dan ketaatan seorang hamba dalam menjalankan perintah-Nya, meskipun sangat berat.

Kurban juga mempererat hubungan antarmanusia dan meningkatkan kualitas pribadi seorang muslim.

Hari Raya Iduladha disebut juga Idul Kurban karena pada hari itu, umat Islam diberi kesempatan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyembelih hewan qurban.

Berkurban mengingatkan umat Islam pada sejarah Iduladha, yaitu keteladanan Nabi Ibrahim seperti tertulis dalam surat Assaffat ayat 102.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu’. Ismail menjawab, ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar’.”

Surat Assaffat Ayat 102
qurban sapi
pinterest.de/bobrienphoto

Dalam Misykatul Anwar, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang yang kaya raya.

Beliau memiliki 1.000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 unta, bahkan di dalam riwayat lain dinyatakan kekayaan beliau mencapai 12 ribu ekor ternak.

Suatu ketika, seseorang bertanya, “Milik siapa ternak-ternak ini?”. Nabi Ibrahim menjawab, “Kepunyaan Allah, tetapi saat ini masih milikku.

Sewaktu-waktu jika Allah berkehendak, aku serahkan semuanya. Jangankan hanya ternak, jika Allah meminta anak kesayanganku Ismail, pasti akan kuserahkan juga.”

Menurut tafsir Ibnu Katsir, ucapan Nabi Ibrahim itulah yang dijadikan bahan ujian oleh Allah Swt. dengan memintanya menyembelih Ismail.

Lantas, mengapa Nabi Ibrahim tak sedikit pun ragu mengurbankan anaknya, padahal itu hanya sebuah mimpi?

Perlu diketahui, mimpi seorang nabi memiliki sifat-sifat khusus yang berbeda dengan mimpi manusia biasa.

Hal ini harus diyakini pula oleh para muslim supaya bisa memahami pesan dalam surat Assaffat 102 tersebut.

Dalam teori tafsir, wahyu dari Allah Swt. kepada para nabi disampaikan dengan beberapa cara: secara langsung terpatri dalam kalbu, melalui malaikat Jibril yang menemui langsung para nabi, melalui suara tertentu, atau melalui mimpi.

Mimpi seorang nabi termasuk salah satu jenis wahyu karena apa pun yang dilihat seorang nabi, baik dalam kondisi terjaga maupun di dalam tidurnya, tidak mungkin salah.

ibadah qurban disyariatkan oleh nabi
pexels.com

Bagi seorang nabi, tidak ada hal yang samar-samar. Mimpi seorang nabi juga tidak mungkin berasal dari setan atau wahm.

Setan pun mencoba menggoyahkan iman Nabi Ibrahim, tetapi tak dihiraukan sedikit pun.

Nabi Ibrahim melempari setan-setan penggoda itu dengan batu dan peristiwa ini diabadikan menjadi salah satu rangkaian dalam ibadah haji, yakni melempar jumrah.

Seperti ayahnya, Ismail pun menunjukkan ketaatannya. Saat Nabi Ibrahim belum juga mengayunkan pedang ke lehernya, Ismail mengira ayahnya ragu.

Ismail melepas tali pengikat dan meminta ayahnya mulai menyembelih seraya berpaling agar sang ayah tidak melihat wajahnya.

Kedua ayah dan anak itu pun memasrahkan semua kepada Allah Swt. Namun, saat mata pedang nyaris menyentuh leher Ismail, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menghentikan perbuatannya.

Lalu sebagai imbalan bagi keikhlasan mereka berdua, Allah menggantinya dengan seekor domba.

Peristiwa ini digambarkan dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat 107–110.

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Qurban Merupakan Bentuk Ketakwaan dan Ketaatan Seorang Hamba

Surat Assaffat ayat 102 ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia pasti akan mendapatkan ujian dan cobaan, tak terkecuali seorang nabi.

Makin tinggi maqam (tingkatan) seorang hamba, makin berat pula ujian yang akan diterimanya, namun Allah tidak akan membebani umat-Nya melebihi kemampuan.

Perintah penyembelihan Ismail adalah ujian yang sangat nyata bagi Nabi Ibrahim.

qurban dalam islam
pexels.com

Sungguh bukan hal mudah ketika seorang ayah harus mengorbankan anaknya sendiri, terlebih lagi Ismail adalah anak yang sudah dinantikan begitu lama oleh Nabi Ibrahim dan istrinya.

“Ketika hijrah menuju tanah suci, Nabi Ibrahim a.s. merindukan kehadiran seorang anak. Ketika itu, ia berdoa, ‘Tuhanku, berikanlah aku seorang anak yang salih’.”

Surah Assaffat Ayat 100

Lantas, apa rahasia yang ingin Allah sampaikan melalui peristiwa ini?

Melalui ujian yang mahaberat tersebut, ternyata Allah ingin memperlihatkan bahwa Nabi Ibrahim adalah hamba yang tunduk secara mutlak kepada perintah-Nya. Sikap inilah yang harus diteladani oleh semua umat Islam.

Peristiwa tersebut menggambarkan dengan jelas kualitas keimanan Nabi Ibrahim dan Ismail.

Mereka terbukti menjadi hamba-hamba yang bertakwa, ikhlas, dan berserah diri sehingga Nabi Ibrahim mencapai maqam al-muhsinin dan Ismail mencapai derajat ash-shabirin.

Karena itulah, ibadah kurban merupakan bentuk ketakwaan dan ketaatan seorang hamba terhadap perintah Allah Swt.

Betapa pun beratnya sebuah perintah, seorang hamba yang bertakwa akan melaksanakannya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan.

qurban di palestina
(gervyn-louis) unsplash.com

Qurban Mempererat Hubungan Antar Manusia

Di dalam Islam, setiap ibadah memiliki dua dimensi: hubungan vertikal antara makhluk dengan Allah Swt. (hablumminallah) dan hubungan horizontal antarmanusia (hablumminannas).

Kehidupan yang baik di akhirat harus diraih sejak di dunia dengan cara memperbanyak amal salih.

Meskipun pengertian takwa terkait dengan ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt., kurban juga memiliki dimensi horizontal, yaitu dalam hubungan antarmanusia.

Tingkat ketakwaan seseorang juga bisa diukur dari kepedulian terhadap sesama manusia.

Peristiwa digantinya Ismail dengan domba melambangkan betapa berharganya nyawa dan kehidupan manusia dalam Islam.

Selain itu, perintah membagikan daging kurban, baik domba, kambing, maupun sapi kepada kaum duafa juga merupakan bentuk nyata kepedulian para muslim terhadap sesama.

Hikmah lain dari peristiwa kurban adalah bahwa setiap muslim hendaknya siap berkurban demi kebahagiaan orang lain, khususnya mereka yang kurang mampu.

Semangat kurban juga mengingatkan muslim untuk tidak terjebak gaya hidup hedonis, serakah, egois dan lalai dalam beribadah kepada-Nya. 

Qurban Meningkatkan Kualitas Diri

Dengan dua dimensi yang terdapat pada ibadah kurban, yaitu ketakwaan dan hubungan antarmanusia, maka berkurban juga merupakan sarana meningkatkan kualitas diri sehingga memiliki akhlak terpuji sebagaimana pribadi Rasulullah saw.

Di dalam surat Alqalam ayat 4, Allah Swt. berfirman:

“Dan sesungguhnya kamu  (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Surat Alqalam Ayat 4

Melalui ayat tersebut, Allah Swt. secara tegas menyatakan tingginya kualitas diri Rasulullah saw. Ketaatan pada perintah Allah, akhlak terhadap sesama manusia, baik sebagai pemimpin, suami, ayah, pedagang, tetangga, dan lainnya terkumpul dengan sempurna dalam diri pribadi beliau.

qurban atau aqiqah
(mostafa-meraji) unsplash.com

Bagi umat Islam, Rasulullah saw. adalah teladan dalam segala hal, termasuk perilaku dan akhlaknya, sebagaimana dinyatakan Allah Swt. di dalam surat Alahzab ayat 21:

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Surah Alahzab Ayat 21

Menjalankan ibadah kurban akan meningkatkan kualitas diri seorang muslim menjadi pribadi yang bertakwa, terasah empatinya, dan mampu mengendalikan diri demi meraih rida Allah Swt.

Sebagaimana difirmankan di dalam surat Alhajj ayat 37 mengenai makna qurban yang sesungguhya.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan Allah), melainkan ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu  supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”


Surah Alhajj Ayat 37

Wallahua’lam.


Usai baca artikel ini, kunjungi website dan download aplikasi Learn Quran di: www.learn-quran.co

Untuk info lebih lanjut, ikuti kami di:
Instagram: @learnquranapp
Facebook: Learn Quran

Last Updated on November 6, 2020 by admin

Tag:assaffat ayat 102, idul adha, iduladha, kurban, qurban

  • Share:
admin

Previous post

Kisah Mursi, Presiden Mesir yang Hafiz
July 22, 2019

Next post

Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik
July 23, 2019

You may also like

haji dahulu kemudian umrah disebut
Kewajiban Ibadah Haji dalam Al-Qur’an
17 July, 2019
david-monje-671441-unsplash (1)
TAFSIR IJMALI JUZ 14
20 May, 2019
allah-1835630_1920
TAFSIR IJMALI JUZ 13
20 May, 2019

Leave A Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *