TAFSIR IJMALI JUZ 13
Pada pembahasan kali ini akan memuat materi dari Juz tiga belas yakni dari Q.S. Yusuf ayat 53 sampai Q.S. Ibrahim ayat 52 yang diawali dengan sambutan Raja Mesir sembari menawarkan jabatan tinggi di kerajaan bagi Nabi Yusuf ‘alaihissalam. “Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami lagi dipercaya.” Nabi Yusuf menjawab, “Jadikanlah aku bendaharawan Mesir karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” Demikianlah Allah beri kedudukan kepada Yusuf di Mesir dengan gelar Al-‘Aziz. Beliau kini bebas berkelana ke mana pun setelah sebelumnya terkungkung jeruji penjara. Nama beliau mulia harum setelah sebelumnya dicemari skandal. Semua tunduk pada perintahnya setelah sebelumnya beliau ditindas dan diusir. Mustahil Allah siakan pahala orang yang bertakwa. Tetapi setinggi-tingginya kesuksesan Nabi Yusuf di dunia, pahala dan balasan ketakwaan beliau di akhirat itu jauh lebih baik.
Nabi Yusuf berhasil mengatur perekonomian Mesir selama 7 tahun kemakmuran dengan digdaya. Sesuai takwil beliau terhadap mimpi Raja, kini masuk 7 tahun paceklik. Kekeringan melanda juga wilayah sekitar Mesir seperti Syam, tempat tinggal keluarga Nabi Yusuf. Tetapi pemerintah Mesir mengumumkan surplus bahan makanan karena manajemen pangan yang jitu, maka silakan datang menukar perabot dan harta dengan gandum. Datanglah kesepuluh kakak Nabi Yusuf ke Mesir. Mereka tidak mengenali Nabi Yusuf yang telah mereka enyahkan sekitar dua dasawarsa silam, tetapi Nabi Yusuf ingat jelas wajah mereka. Nabi Yusuf perintahkan pada para pegawai agar perabot yang mereka gunakan untuk membarter gandum dimasukkan saja kembali bersama karung gandum. Nabi Yusuf ancam takkan memberi gandum lagi jika tidak kembali membawa adik mereka (Bunyamin). Berhasillah Nabi Ya’qub dibujuk untuk mengizinkan Bunyamin dibawa ke Mesir. Setelah sumpah dan janji yang lebih ketat tentunya.
Tiba di Mesir, tanpa disadari kakak-kakaknya karena semua masuk berpencar sesuai amanat sang ayah, Bunyamin ditarik ke ruangan khusus untuk bertemu dengan Nabi Yusuf. “Aku saudaramu,” bisik Nabi Yusuf memulai reuni hangat itu, “Jangan sedih atas sikap para kakak kita itu.” Nabi Yusuf pun mengatur siasat agar Bunyamin tetap tinggal di Mesir dengan menyelipkan gelas emas di dalam pundi gandumnya Bunyamin. Diperintahkanlah staf keamanan untuk menangkap mereka yang sudah mulai beranjak pergi. “Demi Allah, kalian tahu kami tak berbuat onar dan kami bukanlah pencuri,” sanggah saudara-saudara Nabi Yusuf membela diri. “Lantas apa hukumannya menurut agama kalian kalau ternyata terbukti ada yang mencuri di antara kalian bersebelas?” tanya Nabi Yusuf dengan cerdik. “Hukumannya si pencuri dijadikan budak milik orang yang dicuri,” jawab mereka yang sebenarnya telah diketahui Nabi Yusuf. Diperiksalah karung-karung mereka, ternyata didapatilah barang bukti di karungnya Bunyamin, lantas ia dijadikan budak Nabi Yusuf -yang tentu diam-diam nanti dibebaskan-. Berusaha para kakak menawar hukuman ini tetapi tak Nabi Yusuf gubris. Rubail (Ruben), kakak tertua mereka, merasa bersalah hingga memutuskan tak ikut pulang ke Syam.
“Fashabrun jamiil (maka sabarku adalah kesabaran yang elok),” respon Nabi Ya’qub dengan ungkapan yang sama seperti apa yang beliau sabdakan dua dekade silam kala kehilangan Yusuf. Semakin pekat malam berarti semakin dekat cercahan fajar, begitulah barangkali yang dipikirkan Nabi Ya’qub hingga setelah kehilangan Yusuf, Bunyamin, dan Ruben, beliau yang telah kehilangan indra penglihatan tersebab duka mendalam justru melirihkan doa penuh optimisme: “Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Nabi Ya’qub suruh mereka ke Mesir lagi. Tiba di sana Nabi Yusuf singkap identitas asli beliau. Malulah kesembilan saudaranya yang baru saja memelas kemurahan hati beliau selaku Al-‘Aziz. Nabi Yusuf memaafkan mereka seraya menitipkan baju beliau demi kesembuhan mata sang ayah. “Bawalah ke Mesir seluruh keluarga kalian,” undang beliau.
Maka dalam rombongan beranggotakan puluhan jiwa, bermigrasilah Nabi Ya’qub, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad dan Asyer, membawa istri dan anak masing-masing, menyusul Ruben, Bunyamin, dan Nabi Yusuf yang sudah di Mesir. “Silakan masuk ke Mesir dalam keadaan aman sentosa…,” sambut Nabi Yusuf. Beliau lantas mempersilakan ayahanda dan ibunda beliau duduk di singgasana seraya membuka pembicaraan di momen haru bercampur bahagia itu, “Wahai ayahandaku, sungguh inilah wujud nyata mimpiku dahulu. Rabbku telah membuatnya nyata.” Berkumpullah bahagia seluruh generasi pertama Bani Israil di Mesir. Nabi Yusuf beri mereka pemukiman istimewa di tepian sungai Nil. Demikian mereka berkembang biak selama empat generasi, melewati beberapa dinasti Hyksos dan Koptik, sebelum akhirnya mereka mulai tidak menaati aturan agama hingga Allah hukum mereka dengan perbudakan oleh Firaun Ramesses II. Nabi Musa pun bawa mereka membelah Laut Merah untuk kembali ke Syam sembari membacakan firman-Nya, “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan tambahkan untuk kalian. Namun jika kalian kufur, sungguh azabku amatlah pedih.”
Di Syam ini pulalah dahulu tinggal Nabi Ibrahim, leluhur mereka. Tetapi Nabi Ibrahim pun memiliki keluarga yang beliau sediakan tempat tinggal Mekkah, kota yang tandus tanpa tetumbuhan, kering tanpa sumur dan mata air. Istri sekaligus mantan budak beliau, Hajar, dan putra pertama beliau, Ismail dibawa ke lembah kering berpasir yang sepi tak berpenghuni itu atas perintah Allah. Di sanalah beliau melangitkan doa-doa nan melegenda, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri Mekkah ini negeri yang aman. Jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.” Doa yang menjadi pesan kuat kepada musyrikin Quraisy bahwa paganisme yang mereka lestarikan pasti akan segera sirna. Selain itu, iringan kisah Bani Israil di awal juz 13 dan kisah Bani Ismail di akhir juz 13 menegaskan bahwa kenabian yang akhirnya hanya ada pada keturunan Nabi Ibrahim tidaklah terbatas pada keturunan beliau di Syam. Di semenanjung Arab pun keturunan beliau ada yang menjadi nabi, bahkan nabi akhir zaman, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka hendaklah kaum musyrikin mengimani dan menaati nabi mulia tersebut dalam menauhidkan Allah semata dalam peribadatan. Tuhan yang hanya dengan mengingat-Nya hati menjadi tenteram. Tuhan yang guruh pun bertasbih memuji-Nya beserta para malaikat karena takut kepada-Nya. Tuhan yang semua makhluk sujud kepada-Nya, baik yang di langit maupun yang di bumi. Mereka sujud dengan kemauan sendiri maupun terpaksa. Bahkan sujud pula bayang-bayang mereka, pada waktu pagi dan petang hari. Hanya kepada-Nya-lah doa yang benar. Sementara berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tentulah tidak dapat mengabulkan apa pun bagi mereka. Orang yang berdoa kepada berhala tidak ubahnya seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air agar air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak akan sampai ke mulutnya. Sia-sia belakalah doa mereka. Tetapi Allah menunda azab-Nya atas musyrikin. Dia bukannya ingkari janji. Jangan sekali-kali ada yang mengira bahwa Allah mengingkari janji-Nya. Sungguh, Allah Mahaperkasa dan mempunyai pembalasan.
Sayangnya mereka selalu mengingkari. “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami akan dikembalikan menjadi makhluk yang baru?” tanya mereka penuh olokan. Mereka meminta agar dipercepat datangnya siksaan. Mereka terus mempertanyakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?” Sebenarnya sudah terlalu banyak mukjizat yabg diperlihatkan Nabi Muhammad, tetapi selalu mereka tuduh sebagai sihir. Bahkan mukjizat teragungnya, Al-Qur’an pun, mereka ingkari. Padahal sungguh Al-Qur’an ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia. Sekiranya ada suatu bacaan yang dengan itu gunung-gunung dapat digoncangkan, atau bumi jadi terbelah, atau orang yang sudah mati dapat berbicara, itu hanyalah Al-Qur’an. Ia diturunkan agar mereka diberi peringatan dengannya. Agar mereka mengetahui bahwa Allah sajalah Tuhan Yang Maha Esa. Agar orang yang berakal mengambil pelajaran. Wallahu A’lam.
Penulis: Nur Fajri Romadhon