Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
كُنتَ
adalah kamu
فِيهِمۡ
di dalam/di tengah mereka
فَأَقَمۡتَ
maka/lalu kamu mendirikan
لَهُمُ
bagi/bersama mereka
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
فَلۡتَقُمۡ
maka hendaklah berdiri
طَآئِفَةٞ
segolongan
مِّنۡهُم
dari mereka
مَّعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُوٓاْ
dan hendaklah mereka menyandang
أَسۡلِحَتَهُمۡۖ
senjata mereka
فَإِذَا
maka apabila
سَجَدُواْ
mereka telah sujud
فَلۡيَكُونُواْ
maka hendaklah mereka
مِن
dari/di
وَرَآئِكُمۡ
belakangmu
وَلۡتَأۡتِ
dan hendaklah datang
طَآئِفَةٌ
segolongan
أُخۡرَىٰ
yang lain
لَمۡ
tidak
يُصَلُّواْ
sholat
فَلۡيُصَلُّواْ
maka sholatlah mereka
مَعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُواْ
dan hendaklah
حِذۡرَهُمۡ
kewaspadaan mereka
وَأَسۡلِحَتَهُمۡۗ
dan senjata mereka
وَدَّ
ingin
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
لَوۡ
sekiranya
تَغۡفُلُونَ
kamu lengah
عَنۡ
dari
أَسۡلِحَتِكُمۡ
senjatamu
وَأَمۡتِعَتِكُمۡ
dan harta bendamu
فَيَمِيلُونَ
maka mereka akan menyerbu
عَلَيۡكُم
atas kalian
مَّيۡلَةٗ
serbuan
وَٰحِدَةٗۚ
satu/sekaligus
وَلَا
dan tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
إِن
jika
كَانَ
adalah
بِكُمۡ
dengan/untuk kalian
أَذٗى
kesusahan
مِّن
dari
مَّطَرٍ
hujan
أَوۡ
atau
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَن
akan
تَضَعُوٓاْ
meletakkan
أَسۡلِحَتَكُمۡۖ
senjatamu
وَخُذُواْ
dan ambillah
حِذۡرَكُمۡۗ
kewaspadaanmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
أَعَدَّ
Dia menyediakan
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
عَذَابٗا
siksa
مُّهِينٗا
menghinakan
وَإِذَا
dan apabila
كُنتَ
adalah kamu
فِيهِمۡ
di dalam/di tengah mereka
فَأَقَمۡتَ
maka/lalu kamu mendirikan
لَهُمُ
bagi/bersama mereka
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
فَلۡتَقُمۡ
maka hendaklah berdiri
طَآئِفَةٞ
segolongan
مِّنۡهُم
dari mereka
مَّعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُوٓاْ
dan hendaklah mereka menyandang
أَسۡلِحَتَهُمۡۖ
senjata mereka
فَإِذَا
maka apabila
سَجَدُواْ
mereka telah sujud
فَلۡيَكُونُواْ
maka hendaklah mereka
مِن
dari/di
وَرَآئِكُمۡ
belakangmu
وَلۡتَأۡتِ
dan hendaklah datang
طَآئِفَةٌ
segolongan
أُخۡرَىٰ
yang lain
لَمۡ
tidak
يُصَلُّواْ
sholat
فَلۡيُصَلُّواْ
maka sholatlah mereka
مَعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُواْ
dan hendaklah
حِذۡرَهُمۡ
kewaspadaan mereka
وَأَسۡلِحَتَهُمۡۗ
dan senjata mereka
وَدَّ
ingin
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
لَوۡ
sekiranya
تَغۡفُلُونَ
kamu lengah
عَنۡ
dari
أَسۡلِحَتِكُمۡ
senjatamu
وَأَمۡتِعَتِكُمۡ
dan harta bendamu
فَيَمِيلُونَ
maka mereka akan menyerbu
عَلَيۡكُم
atas kalian
مَّيۡلَةٗ
serbuan
وَٰحِدَةٗۚ
satu/sekaligus
وَلَا
dan tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
إِن
jika
كَانَ
adalah
بِكُمۡ
dengan/untuk kalian
أَذٗى
kesusahan
مِّن
dari
مَّطَرٍ
hujan
أَوۡ
atau
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَن
akan
تَضَعُوٓاْ
meletakkan
أَسۡلِحَتَكُمۡۖ
senjatamu
وَخُذُواْ
dan ambillah
حِذۡرَكُمۡۗ
kewaspadaanmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
أَعَدَّ
Dia menyediakan
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
عَذَابٗا
siksa
مُّهِينٗا
menghinakan
Terjemahan
Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat bersamamu dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya. Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun karena sakit dan bersiap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.
Tafsir
(Dan apabila kamu) hai Muhammad, hadir (di tengah-tengah mereka) sedangkan kamu khawatir terhadap musuh (lalu kamu hendak mendirikan salat bersama mereka) ini berlaku menurut kebiasaan Al-Qur'an dalam pola pembicaraan sehingga dengan demikian mafhumnya tidak berlaku (maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri, salat, bersamamu) sedangkan golongan lainnya mengundurkan diri (dan hendaklah mereka mengambil) artinya golongan yang berdiri salat bersamamu tadi (senjata-senjata mereka) bersama mereka. (Dan apabila mereka sujud) artinya telah menyelesaikan salat satu rakaat (maka hendaklah mereka) yakni rombongan yang pertama tadi (pergi ke belakangmu) untuk menjaga musuh sampai salat selesai (dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum salat lalu salat bersamamu dan hendaklah mereka bersikap waspada dan membawa senjata mereka) bersama mereka sampai mereka menyelesaikan salat itu. Dan hal ini pernah dilakukan Nabi ﷺ di lembah Nakhl, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. (Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah) di waktu kamu mengerjakan salat (terhadap senjata dan harta bendamu lalu mereka menyerbu kamu sekaligus) yakni dengan menyerang dan menawan kamu. Inilah yang menjadi sebab kenapa kamu disuruh membawa senjata. (Dan tak ada salahnya bagimu meletakkan senjata-senjatamu kalau kamu mendapat gangguan dari hujan atau kamu dalam keadaan sakit) sehingga kamu tidak membawanya. Ini menunjukkan wajibnya membawa senjata di kala tak ada halangan, dan merupakan salah satu di antara kedua pendapat Syafii. Sedangkan pendapatnya yang kedua bahwa ini hanyalah sunah dan merupakan pendapat yang lebih kuat. (Dan hendaklah kamu bersikap waspada) terhadap musuh; artinya selalulah dalam keadaan siap siaga menghadapi serangannya. (Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang kafir itu siksa yang menghinakan.).
Tafsir Surat An-Nisa': 102
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kalian lengah terhadap senjata kalian dan harta benda kalian, lalu mereka menyerbu kalian dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kalian sakit; dan bersiap siagalah kalian. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
Shalat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Shalat itu adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti shalat Magrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti shalat Subuh dan shalat Safar). Kemudian adakalanya mereka melakukan shalat dengan berjamaah, adakalanya perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak dapat berjamaah, melainkan masing-masing shalat sendirian dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan. Dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka diperbolehkan berjalan dan memukul dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam shalatnya.
Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka melakukan shalatnya satu rakaat saja, karena berdasarkan kepada hadits Ibnu Abbas yang lalu tadi. Hal ini dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Al-Munziri di dalam kitab Al-Hawasyi mengatakan bahwa pendapat ini dikatakan oleh ‘Atha’, Jabir, Al-Hasan, Mujahid, Al-Hakam, Qatadah, dan Hammad. Hal yang sama dikatakan pula oleh Tawus dan Adh-Dhahhak.
Abu Asim Al-Abbadi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi, bahwa ia berpendapat shalat Subuh dikembalikan menjadi satu rakaat dalam keadaan khauf (perang). Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Hazm. Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan, "Adapun dalam keadaan pedang beradu, maka cukup bagimu satu rakaat dengan cara memakai isyarat saja. Jika kamu tidak mampu, cukup hanya dengan sekali sujud karena shalat adalah zikrullah." Ulama lainnya mengatakan cukup hanya dengan sekali takbir saja. Barangkali dia bermaksud satu rakaat, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan murid-muridnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Jabir ibnu Abdullah, Abdullah ibnu Umar dan Ka'b serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan sahabat, juga As-Suddi, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Akan tetapi, orang-orang yang meriwayatkan pendapat ini hanya meriwayatkan berdasarkan makna lahiriahnya saja, yaitu menilai cukup shalat khauf hanya dengan sekali takbir, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ishaq ibnu Rahawaih.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Amir Abdul Wahhab ibnu Bukht Al-Makki. Bahkan ia berani mengatakan, "Jika ia tidak mampu melakukan takbir, janganlah ia meninggalkan shalat dalam hatinya, cukup hanya dengan niat." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Syu'aib ibnu Dinar. Di antara ulama ada yang membolehkan mengakhirkan shalat karena uzur peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi ﷺ; beliau mengakhirkan shalat Zuhur dan Asar dalam Perang Ahzab dan mengerjakannya sesudah Magrib. Kemudian beliau melakukan shalat Magrib dan Isya sesudahnya.
Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk menghadapi mereka. Beliau ﷺ bersabda: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian shalat Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah!” Waktu shalat datang ketika mereka berada di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ hanyalah agar kita berjalan dengan cepat, bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka golongan ini mengerjakan shalat Asar tepat pada waktunya di tengah jalan. Sedangkan golongan lain dari mereka mengakhirkan shalat Asar, lalu mereka mengerjakannya di tempat Bani Quraizah sesudah shalat Magrib. Akan tetapi, Rasulullah ﷺ tidak menegur salah satu dari kedua golongan tersebut.
Kami membahas masalah ini di dalam kitab Sirah, dan menerangkan pula bahwa orang-orang yang mengerjakan shalat Asar pada waktunya lebih dekat kepada kebenaran daripada kenyataannya, sekalipun golongan yang lain dimaafkan. Hujah mereka yang menyebabkan mereka mengakhirkan shalat Asar dari waktunya ialah uzur, karena mereka sedang dalam rangka jihad dan mengadakan serangan cepat terhadap segolongan orang-orang Yahudi yang terkutuk, disebabkan mereka melanggar perjanjian.
Menurut pendapat jumhur ulama, semuanya itu dimansukh (direvisi) oleh shalat khauf, karena sesungguhnya ayat shalat khauf masih belum diturunkan ketika terjadi peristiwa itu. Setelah ayat shalat khauf diturunkan, maka mengakhirkan shalat dimansukh olehnya. Hal ini lebih jelas dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan ahlus sunan. Akan tetapi, hal ini sulit bila diselaraskan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya, yaitu dalam Bab "Shalat di Saat Mengepung Benteng dan Bersua dengan Musuh
Disebutkan bahwa Al-Auza'i mengatakan, "Jika kemenangan berada di tangan dan mereka tidak mampu melakukan shalat, hendaklah mereka shalat dengan memakai isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-sendiri. Jika mereka tidak mampu memakai isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan shalat sampai peperangan terhenti atau situasi aman dan terkendali, baru mereka melakukan shalatnya dua rakaat. Jika dua rakaat tidak mampu mereka kerjakan, maka cukup dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika hal itu tidak mampu juga mereka kerjakan (karena keadaan masih sangat genting), maka tidak cukup bagi mereka mengerjakan shalatnya hanya dengan takbir, melainkan mereka harus mengakhirkannya hingga keadaan benar-benar aman."
Hal ini dikatakan oleh Makhul. Anas ibnu Malik mengatakan, ia ikut mengepung Benteng Tustur di saat fajar menyingsing, lalu pecahlah perang dengan serunya, hingga pasukan kaum muslim tidak dapat melakukan shalat Subuh. Maka kami tidak mengerjakannya kecuali setelah matahari tinggi, lalu baru kami berkesempatan mengerjakannya; saat itu kami berada di bawah pimpinan Abu Musa. Akhirnya kami beroleh kemenangan dan berhasil merebut Benteng Tustur. Sahabat Anas mengatakan, "Tidaklah aku gembira bila shalat tersebut ditukar dengan dunia dan semua yang ada padanya." Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Selanjutnya Imam Bukhari mengiringinya dengan hadits tentang mengakhirkan shalat di saat Perang Ahzab. Menyusul hadits perintah Nabi ﷺ kepada pasukan kaum muslim yang mengatakan bahwa mereka jangan mengerjakan shalat Asar kecuali di tempat Bani Quraizah, seakan-akan Imam Bukhari memilih pendapat ini. Bagi orang yang cenderung kepada pendapat ini boleh meniru apa yang telah dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya pada waktu penaklukan Benteng Tustur, karena sesungguhnya hal ini menurut kebanyakan ulama telah dikenal. Akan tetapi, peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab, dan tiada suatu nukilan pun yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya diprotes oleh seseorang dari kalangan sahabat.
Para ulama mengatakan bahwa shalat khauf disyariatkan pada saat Perang Khandaq, karena Perang Zatur Riqa' terjadi sebelum Perang Khandaq menurut kebanyakan ulama Sirah dan Magazi. Di antara mereka yang me-nas-kan demikian ialah Muhammad ibnu Ishaq, Musa ibnu Uqbah, Al-Waqidi, Muhammad ibnu Sa'd (juru tulisnya), dan Khalifah ibnul Khayyat serta lain-lainnya. Lain halnya dengan Imam Bukhari dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Perang Zatur Riqa' terjadi sesudah Perang Khandaq, karena berdasarkan kepada hadits Abu Musa dan hadits lainnya yang disebut di atas, kecuali Perang Khaibar.
Tetapi yang sangat mengherankan sekali ialah apa yang dikatakan oleh Al-Muzani, Abu Yusuf Al-Qadi, dan Ibrahim ibnu Ismail ibnu Ulayyah. Mereka berpendapat bahwa shalat khauf telah dimansukh oleh perintah Nabi ﷺ yang mengakhirkan shalat dalam Perang Khandaq. Pendapat ini sangat aneh, karena terbukti melalui banyak hadits bahwa shalat khauf terjadi sesudah Perang Khandaq. Sebagai jalan keluarnya menginterpretasikan pengertian mengakhirkan shalat pada hari itu menurut apa yang dikatakan oleh Makhul dan Al-Auza'i lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran.
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102)
Maksudnya, apabila kamu shalat bersama mereka sebagai imam dalam shalat khauf.
Hal ini bukan seperti keadaan yang pertama tadi, karena pada keadaan pertama shalat di-qasar-kan (dipendekkan) menjadi satu rakaat, seperti yang ditunjukkan oleh makna hadisnya, yaitu sendiri-sendiri, sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak, semuanya sama. Kemudian disebutkan keadaan berjamaah dengan bermakmum kepada seorang imam, alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mewajibkan shalat berjamaah berdasarkan ayat yang mulia ini, mengingat dimaafkan banyak pekerjaan karena jamaah. Seandainya berjamaah tidak wajib, maka hal tersebut pasti tidak diperbolehkan.
Adapun orang yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa shalat khauf dimansukh sesudah Nabi ﷺ, karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka.” (An-Nisa: 102) Dengan pengertian ini, berarti gambaran shalat tersebut terlewatkan olehnya, dan cara penyimpulan dalil seperti ini lemah. Dapat pula disanggah dengan sanggahan serupa perkataan orang-orang yang tidak mau berzakat, yaitu mereka yang beralasan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kalian membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103) Mereka mengatakan bahwa kami tidak mau membayar zakat kepada siapa pun sesudah Nabi ﷺ, melainkan kami akan mengeluarkannya dengan tangan kami sendiri untuk diberikan kepada orang-orang yang akan kami beri. Kami tidak akan memberikannya kepada siapa pun kecuali kepada orang yang doanya menjadi ketenteraman jiwa bagi kami. Sekalipun alasan mereka demikian, para sahabat menyanggah dan menyangkal alasan mereka, dan tetap memaksa untuk membayar zakatnya serta memerangi orang-orang dari kalangan mereka yang membangkang, tidak mau membayar zakat.
Dalam pembahasan berikut akan kami ketengahkan terlebih dahulu asbabun nuzul ayat ini sebelum menerangkan gambarannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Saif, dari Abu Rauq, dari Abu Ayyub, dari Ali yang menceritakan bahwa suatu kaum dari kalangan Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering bepergian di muka bumi. Bagaimanakah caranya kami menunaikan shalat?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat (kalian).” (An-Nisa: 101) Kemudian wahyu terhenti. Satu tahun kemudian Nabi ﷺ melakukan peperangan lagi dan shalat Zuhur dalam peperangan itu. Maka orang-orang musyrik berkata (dengan sesama mereka), "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya memberikan kesempatan kepada kalian punggung mereka, mengapa kalian tidak segera menyerang mereka dari belakang?" Lalu seseorang dari mereka ada yang berkata, "Sesungguhnya masih ada segolongan lagi dari mereka yang berada di belakangnya melindungi mereka." Ali melanjutkan kisahnya, bahwa Allah ﷻ menurunkan firman-Nya di antara kedua shalat (Zuhur dan Asar), yaitu: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) hingga akhir ayat berikutnya. Maka turunlah ayat mengenai shalat khauf.
Konteks hadits ini gharib (asing), tetapi sebagian darinya ada syahid (penguat)nya yang diketengahkan melalui riwayat Abu Ayyasy Az-Zuraqi, nama aslinya ialah Zaid ibnus Samit Az-Zuraqi yang ada pada Imam Ahmad dan Ahli Sunan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abu Ayyasy Az-Zuraqi yang menceritakan, "Ketika kami bersama-sama Rasulullah ﷺ di Asfan, orang-orang musyrik yang di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid (yang saat itu belum masuk Islam) datang hendak menyerang kami. Posisi mereka terletak di antara kami dan arah kiblat. Maka Rasulullah ﷺ melakukan shalat Zuhur bersama kami." Mereka (pasukan kaum musyrik) berkata, "Sesungguhnya mereka berada di dalam suatu posisi yang menguntungkan, seandainya saja kita menyerang mereka di saat mereka lengah." Kemudian mereka mengatakan pula, "Sekarang telah tiba saatnya bagi mereka suatu shalat yang lebih mereka sukai daripada anak-anak dan diri mereka sendiri." Maka turunlah Malaikat Jibril di antara shalat Zuhur dan Asar dengan membawa ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk menyandang senjata, lalu membariskan kami di belakangnya menjadi dua saf. Kemudian Nabi ﷺ rukuk, dan kami semua rukuk; lalu Nabi ﷺ mengangkat tubuhnya dari rukuk, kami pun melakukan hal yang sama semuanya. Sesudah itu Nabi ﷺ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf berikutnya dalam keadaan tetap berdiri melakukan tugas penjagaan. Setelah mereka sujud dan bangun, maka golongan yang lainnya duduk, lalu sujud menggantikan mereka yang telah sujud. Kemudian saf kedua maju menggantikan kedudukan saf pertama, dan saf pertama mundur menggantikan kedudukan saf yang kedua. Lalu Nabi ﷺ rukuk, maka mereka semuanya rukuk; dan Nabi ﷺ mengangkat kepalanya dari rukuk, maka mereka mengangkat kepalanya pula dari rukuknya. Hal ini dilakukan mereka secara bersama-sama. Kemudian Nabi ﷺ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf yang lain tetap berdiri menjaga mereka. Setelah mereka duduk, maka saf yang lainnya duduk, lalu sujud. Selanjutnya Nabi ﷺ mengucapkan salam bersama-sama mereka semua, dan selesailah shalatnya. Abu Ayyasy Az-Zuraqi mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menjalankan shalat ini dua kali; sekali di Asfan, dan yang lainnya di tanah tempat orang-orang Bani Sulaim.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Gundar, dari Syu'bah, dari Mansur dengan sanad yang sama dan dengan lafal yang serupa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Sa'id ibnu Mansur, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah dan Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, semuanya dari Mansur dengan lafal yang sama. Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai banyak syahid (penguat), antara lain ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, dari Az-Zubaidi, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Atabah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ berdiri (untuk shalat), lalu orang-orang berdiri pula bersamanya. Nabi ﷺ bertakbir, maka mereka pun bertakbir mengikutinya; Nabi ﷺ rukuk, dan sebagian dari mereka rukuk bersamanya, kemudian Nabi ﷺ sujud yang diikuti oleh sebagian dari mereka. Kemudian Nabi ﷺ berdiri untuk rakaat yang kedua, maka berdirilah orang-orang yang tadinya sujud bersamanya dan tetap berdiri menjaga saudara-saudara mereka yang belum shalat. Lalu golongan yang lainnya bergabung bersama Nabi ﷺ rukuk dan sujud bersamanya. Semua pasukan berada dalam shalat, tetapi sebagian dari mereka menjaga sebagian yang lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang mengqasar shalat, bilakah diturunkan dan pada peristiwa apa? Jabir menjawab, "Kami berangkat menghadap kafilah orang-orang Quraisy yang datang dari negeri Syam. Ketika kami berada di Nakhlah (sedang beristirahat), maka datanglah seorang lelaki dari kalangan musuh kepada Rasulullah ﷺ (secara diam-diam), lalu bertanya dengan nada mengancam, 'Wahai Muhammad, apakah kamu takut kepadaku?' Nabi ﷺ menjawab, ‘Tidak.' Lelaki itu berkata lagi, "Siapakah yang akan mencegahku darimu?' Nabi ﷺ menjawab, 'Allah yang akan melindungiku darimu.' Maka pedang lelaki itu terjatuh, kemudian Nabi ﷺ berbalik mengancam dan memperingatinya. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar semuanya berangkat dan menyandang senjatanya masing-masing. Tetapi waktu shalat tiba, maka diserukan untuk shalat. Rasulullah ﷺ shalat dengan segolongan orang dari kaum, sedangkan kaum yang lain menjaga mereka yang sedang shalat. Rasulullah ﷺ shalat bersama-sama saf yang ada di belakangnya sebanyak dua rakaat, kemudian mereka yang telah shalat bersamanya mundur ke belakang, lalu kedudukan mereka digantikan oleh orang-orang yang belum shalat, dan mereka menggantikan posisi orang-orang yang belum shalat itu untuk menjaganya. Lalu Nabi ﷺ shalat bersama mereka dua rakaat lagi, kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam. Dengan demikian, Nabi ﷺ melakukan shalatnya sebanyak empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat. Pada hari itulah Allah menurunkan wahyu yang menerangkan tentang qasar shalat dan memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar tetap membawa senjatanya."
Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berperang melawan orang-orang Hafsah. Lalu datanglah seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Gauras ibnul Haris, sehingga berdiri di hadapan Rasulullah ﷺ dengan pedang yang terhunus, (saat itu Rasulullah ﷺ sedang istirahat). Lalu ia berkata, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah." Maka saat itu juga pedang terjatuh dari tangan Gauras. Rasulullah ﷺ mengambil pedangnya, lalu berkata kepadanya, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Lelaki itu menjawab, "Semoga engkau adalah orang yang paling baik dalam membalas." Nabi ﷺ bersabda, "Maukah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Lelaki itu menjawab, "Tidak. Tetapi aku berjanji kepadamu, aku tidak akan memerangimu dan tidak akan membantu orang-orang yang memerangimu." Maka Rasulullah ﷺ melepaskannya. Gauras kembali kepada kaumnya, lalu mengatakan kepada mereka, "Aku baru saja datang dari manusia yang paling baik." Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah ﷺ melakukan shalat khauf, dan orang-orang dibagi menjadi dua golongan; segolongan berada di hadapan musuh, dan segolongan yang lain shalat bersama Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ shalat dua rakaat bersama-sama mereka, lalu mereka mengucapkan salam. Sesudah itu mereka pergi dan menggantikan posisi golongan lain yang belum shalat menghadapi musuh, sedangkan mereka yang tadinya berjaga menghadapi musuh, bergabung shalat bersama Rasulullah ﷺ sebanyak dua rakaat. Maka Rasulullah ﷺ melakukan shalat empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat.
Hadis ini bila ditinjau dari segi sanadnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (sendirian).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Qatn (yaitu Amr ibnul Haisam), telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Yazid Al-Faqir yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang dua rakaat dalam perjalanan, apakah keduanya adalah shalat qasar? Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Shalat dua rakaat dalam perjalanan adalah shalat yang sempurna. Sesungguhnya yang dimaksud dengan qasar hanyalah di saat peperangan berkecamuk, yaitu satu rakaat. Tatkala kami sedang bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan, tiba-tiba shalat didirikan. Maka Rasulullah ﷺ membuat satu saf barisan yang terdiri atas segolongan kaum, sedangkan segolongan yang lain berada di hadapan musuh. Maka Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat dan sujud sebanyak dua kali bersama mereka. Kemudian orang-orang yang tidak ikut shalat meninggalkan posisinya untuk menggantikan mereka yang telah shalat, dan yang telah shalat menggantikan posisi mereka yang belum shalat. Lalu mereka yang belum shalat itu bersaf di belakang Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat serta sujud dua kali bersama-sama mereka. Setelah itu Rasulullah ﷺ duduk (bertasyahhud) dan mengucapkan salam bersama orang-orang yang ada di belakangnya, dan mengucapkan salam pula mereka yang sedang dalam posisi berjaga. Dengan demikian, berarti Rasulullah ﷺ shalat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari kedua kaum itu satu rakaat." Kemudian Jabir ibnu Abdullah membacakan firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka (yaitu shalat khauf). Untuk itu Rasulullah ﷺ mengatur mereka menjadi dua saf, satu saf berada di hadapannya, dan saf yang lain berada di belakangnya. Kemudian Rasulullah ﷺ shalat satu rakaat bersama mereka yang ada di belakangnya dengan dua kali sujud. Selanjutnya mereka yang telah shalat maju ke depan dan menggantikan posisi teman mereka yang belum shalat. Lalu mereka yang belum shalat datang dan menggantikan kedudukan mereka yang sudah shalat; maka Nabi ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat lagi berikut dua kali sujud, setelah itu beliau mengucapkan salam. Maka Nabi ﷺ melakukan shalat dua rakaat, dan bagi mereka masing-masing satu rakaat.
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah. Hadis ini mempunyai jalur-jalur lain yang bersumber dari Jabir, dan di dalam kitab Shahih Muslim hadits ini diriwayatkan melalui sanad yang lain dan dengan lafal yang lain pula. Jamaah telah meriwayatkannya di dalam kitab-kitab sahih, musnad, dan sunan dari Jabir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) Dia mengatakan, yang dimaksud adalah shalat khauf. Rasulullah ﷺ shalat dengan salah satu golongan dari dua golongan yang ada sebanyak satu rakaat, sedangkan golongan yang lain menghadap ke arah musuh sambil berjaga-jaga. Setelah itu golongan yang tadinya menghadapi musuh datang dan shalat bersama Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ shalat satu rakaat lagi bersama mereka, kemudian mengucapkan salam. Sesudah itu masing-masing dari kedua golongan melakukan shalat sendiri-sendiri masing-masing satu rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah dalam kitab-kitab mereka melalui jalur Ma'mar dengan lafal yang sama. Hadis ini mempunyai banyak jalur periwayatan dari sejumlah sahabat. Abu Bakar ibnu Mardawaih sehubungan dengan hadits ini mengetengahkan jalur-jalur dan lafaz-lafaznya dengan cara yang baik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ibnu Jarir. Hal ini kami catat di dalam Kitabul Ahkam Al-Kabir, insya Allah.
Perintah menyandang senjata dalam shalat khauf, menurut segolongan ulama diinterpretasikan berhukum wajib karena berdasarkan kepada makna lahiriah ayat. Pendapat ini merupakan salah satu dari kedua pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafii. Sebagai dalilnya ialah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit; dan siap siagalah kalian (tetap waspadalah kalian).” (An-Nisa: 102) Dengan kata lain, tetap waspadalah kalian; karena sewaktu-waktu bila diperlukan, kalian pasti akan menyandangnya dengan mudah, tanpa susah payah lagi.
“Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.” (An-Nisa: 102)
Kalau pada ayat sebelumnya Allah memberikan kemudahan kepada kaum muslim untuk meng-qashar salat dalam perjalanan dan karena rasa takut, maka pada ayat ini Allah menjelaskan tata cara pelaksanaan salat itu. Dan apabila suatu ketika ada situasi yang membahayakan keselamatan, seperti karena adanya musuh dan ketika itu engkau, wahai Nabi Muhammad, berada di tengah-tengah mereka, para sahabatmu, lalu engkau hendak melaksanakan salat khauf bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu untuk melaksanakan salat dan segolongan yang lain menghadapi musuh yang mungkin dapat melakukan penyerangan terhadapmu dan yang bersamamu itu hendaklah menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang salat besertamu itu melakukan sujud, yakni telah menyempurnakan satu rakaat atau telah selesai melaksanakan salat, maka hendaklah mereka itu pindah dari belakangmu untuk menghadapi musuh dan berjaga-jaga seperti yang telah dilakukan oleh kelompok yang sebelumnya, dan hendaklah datang golongan yang lain, yakni golongan kedua, yang belum salat, lalu mereka melakukan salat seperti kelompok pertama melakukannya denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Hal ini dilakukan karena orang-orang kafir ingin dengan keinginan dan harapan yang besar agar kalian lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan atau kesulitan yang disebabkan karena hujan yang menyebabkan rusaknya senjata kamu atau karena kamu sakit yang menyebabkan kamu tidak dapat menyandang senjatamu, dan bersiap siagalah kamu menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi pada kalian akibat dari dua kondisi itu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu, baik di dunia maupun di akhirat Ayat yang lalu menggambarkan pelaksanaan salat khauf dengan tata cara tersendiri dalam suasana perang. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan zikir sesuai dengan kondisi mereka, berdiri, duduk, atau berbaring setelah selesai melakukan salat. Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat yang dilakukan dalam keadaan takut tersebut, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya sesuai dengan kondisi dan kemampuan kamu, ketika kamu berdiri, pada waktu duduk, dan ketika berbaring, dan semoga dengan memperbanyak zikir itu kamu mendapat pertolongan dari Allah. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman dari suasana menakutkan yang kamu alami yang menyebabkan kamu melaksanakannya dengan cara yang disebutkan di atas atau sudah kembali ke tempat asal kamu dari medan perang, maka laksanakanlah salat itu sebagaimana biasa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syariat, terpenuhi rukun dan syaratnya serta sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sungguh, salat yang kamu lakukan itu adalah kewajiban yang ditentukan batas-batas waktunya atas orang-orang yang beriman. Karena itu, setiap salat dalam kondisi normal itu harus dilakukan pada waktu yang ditentukan untuknya, tidak bisa dimajukan atau dimundurkan.
Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada. Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:
?????? ???????? ????? ?????? ???? ????????? ????????? ??????? ????????? ????????? ???????????????? ???????? ?????????????? ?????????? ??????????? ?????????? ????? ???????????? ?????????? ??? ??????? ????????????? ???????????? ????? ????????????????? ????????? ????? ?????? ?????? ?????????? ?????? ???? ????????? ????????? ???????? ????? ??????? ????? ????? ????????? ???????? ??????????? ???????? (???? ??????? ????? ?? ??? ???)
?Nabi ﷺ mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi.? (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ?Umar).
Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka. Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SHALAT Di WAKTU PERANG (SHALATUL KHAUF)
Ayat 102
“Dan jika ada engkau di antara mereka".
Artinya, jika ada engkau, wahai Rasul-Ku! Bersama-sama dengan sahabat-sahabat engkau itu di tengah-tengah mereka di medan perang karena engkaulah yang memimpin mereka melakukan peperangan itu, padahal musuh sedang mengancam kamu sekalian. “Lalu engkau mendirikan shalat mengimami mereka." Artinya engkau tampil ke muka menjadi imam. Sebab walaupun betapa hebatnya peperangan, namun shalat hendaklah kamu terus berjamaah juga dengan memakai imam, sebagaimana peperangan itu sendiri pun memakai komando. Dapat pula dipahamkan di sini, bahwa akan mulai shalat itu hendaklah dilakukan juga sebagai biasa yaitu menyerukan, “Qad Qamatish Shaiah," atau lafazh iqamah, menyatakan shalat telah berdiri. “Maka hendaklah berdiri segolongan dari mereka bersama engkau." Di sinilah mulai ditegaskan bahwasanya yang turut bershalat setelah panggilan shalat itu diperdengarkan, tidaklah boleh semuanya, melainkan segolongan. Supaya lebih jelas, bolehlah dibagi dua. Merekalah yang berdiri shalat bersama Nabi, mengikuti Nabi, menjadi makmum. “Dan hendaklah mereka pegang senjata-senjata mereka." Di sini jelas sekali ditekankan kepada yang ikut (makmum) shalat itu diperintahkan supaya tetap memegang senjata dalam melakukan shalat itu.
Misalnya, pedang masih tetap terhunus di tangan, atau bedil tak boleh diletakkan, pistol mesti terisi terus dan siap buat ditembakkan, jangan sekali-kali bercerai dari badan. “Maka apabila mereka telah sujud, maka hendaklah mereka berada di belakang kamu." Artinya, dengan selesainya yang segolongan itu dari sujud, selesai pulalah shalat mereka. Nyata bahwa shalat mereka hanya satu rakaat. Mereka yang selesai sujud itu mesti mundur ke belakang. “Dan hendaklah datang (pula) segolongan yang lain, yang belum shalat" Dengan begini teranglah bahwa sementara golongan yang pertama tadi bershalat di belakang imam dengan tidak melepaskan senjata, dan yang segolongan lagi menjaga gerak-gerik musuh. Setelah golongan pertama selesai di sujud, mereka mundur ke belakang buat menjaga pula dan golongan kedua yang belum shalat tadi, “Maka hendaklah mereka shalat bersama engkau!" Sekarang tiba pula giliran golongan kedua buat shalat mengikut Nabi, dimulai dengan berdiri pula. “Dan hendaklah mereka mengambil penjagaan mereka, dan memegang senjata-senjata mereka." Sebagaimana golongan pertama yang telah berhenti shalat tadi pula senjata golongan kedua ini tidak pula boleh dilepaskan dari tangan, meskipun yang telah menjaga sehabis shalat tadi tidak pula lepas senjata dari tangannya.
Di sini dapatlah dipahamkan, bahwa sedangkan dalam mengerjakan shalat senjata tak boleh dipisahkan dari diri, apatah lagi seketika bertugas mengawal. Dan di sini dapat dipahamkan pula bahwa shalat bagi makmum kedua golongan itu hanyalah satu rakaat saja, hanya imam yang dua rakaat Kemudian datanglah sambungan ayat menjelaskan sebab utama mengapa senjata setiap yang shalat tidak boleh lepas dari tangannya atau dari dirinya selama shalat itu.
Lanjutan ayat, “Ingin sekali orang-orang yang kafir itu kalau kamu lengah dari senjata-senjata kamu dan perlengkapan-perlengkapan kamu." Apabila lengah dari senjata dan lalai memegang peralatan dan perlengkapan. “Lalu mereka menyerang kamu dengan sekali serang." Dan kamu tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kamu binasa dan pertahanan kamu porak-poranda.
Di sini nyata bahwa perintah memegang terus senjata, walaupun dalam shalat, adalah perintah yang wajib. Buktinya ialah firman Allah selanjutnya, “Tetapi tidaklah mengapa atas kamu." Artinya tidaklah kamu berdosa melepaskan senjata dari diri kamu dalam shalat itu. “jika ada halangan bagi kamu dari sebab hujan.'“ Sebab kalau hujan senjata itu mungkin berat dipikul. “Atau kamu dalam keadaan sakit." Halangan hujan dan sakit itulah cuma yang memberi keringanan sehingga kamu boleh melepaskan senjata dari diri di waktu shalat.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari, bahwa Abdurrahman bin Auf yang pernah mendapat luka dalam suatu peperangan, diberi kelapangan menanggalkan senjata dari badannya karena tidak sanggup memakai senjata itu terus, tersebab luka-lukanya itu. “Dan perteguhlah penjagaan kamu." Diulangkan sekali lagi menyuruh perteguh penjagaan, terus siap dan waspada, sehingga tampaklah bahwa keteguhan beribadah kepada Allah dengan mengerjakan shalat sama wajibnya dengan keawasan menjaga diri daripada ancaman musuh. Karena shalat jangan lengah mengadakan penjagaan, dan karena sangat awas mengadakan penjagaan bahaya musuh jangan lalai daripada shalat, dan dijadikanlah shalat itu salah satu rangka yang tidak terpisah dari penjagaan terhadap musuh. Dan di akhir ayat Allah menegaskan,
“Sesungguhnya Allah telah menyediakan untuk orang yang kafir siksaan yang menghina."
Patutlah dipahamkan penutup ayat ini. Allah telah menyediakan siksaan yang sangat menghinakan bagi orang yang kafir. Ujung ayat ini mengandung “Seligi batik bertimbal, tidak ujung pangkal mengena." Arti yang pertama ialah bahwa jika kaum Muslimin selalu siap sedia, senjata tidak berpisah dari badan disertai shalat apabila tiba waktunya, Allah menyediakan satu pukulan yang menghancurkan terhadap orang kafir itu. Tetapi sebaliknya, kalau orang Islam sendiri tidak awas terhadap musuh dan lupa hubungannya dengan Allah, itu pun termasuk kafir. Buat mereka pun disediakan siksaan yang menghina.
Di sinilah bertemu inti ajaran Islam. Kita disuruh selalu taat kepada Allah, shalat apabila datang waktunya, di samping itu awas dan waspada terhadap musuh. Suatu ketaatan beribadah yang tidak disertai menyusun ke-kuatan menghadapi musuh, belumlah diterima Allah. Dan segala persiapan perang untuk menangkis serangan musuh, kalau melalaikan ibadah, tidak pula akan diridhai Allah. Dan kalau ibadah bersama pertahanan sudah lama teguhnya, pastilah dimenangkan Allah dan timbullah rasa cemas dan takut dalam hati pihak lawan; karena umat ini bukanlah umat lemah yang memisahkan di antara ibadahnya dengan perjuangan hidupnya.
Ayat 103
“Maka apabila telah kamu selesaikan shalat."
Telah engkau kerjakan menurut syarat-syarat yang ditentukan di dalam perang, yang dinamai shalatul khauf. “Maka ingatlah Allah di kala berdiri dan di kala duduk dan di kala (berbaring) di rusuk kamu." Artinya, meski pun shalat telah selesai, Allah hendaklah selalu diingat. Ini adalah untuk menguasai diri supaya jangan lupa bahwa perjuangan ini bukanlah karena semata-mata hendak ber-bunuh-bunuhan dan melepaskan dendam sakit hati. Yang diperjuangkan ialah Sabilillah. jalan Allah. Kalau tidaklah karena hendak mempertahankan jalan Allah, tidaklah senjata ini akan diangkat. Kalau sekiranya di lain waktu kita masih tetap disuruh ingat kepada Allah supaya hati jadi tenteram, betapa lagi di saat seperti ini. Di dalam surah ar-Ra'd (Guruh) ayat 28, dijelaskan bahwa orang yang beriman tenteram hatinya karena selalu ingat kepada Allah. Tidak bimbang menghadapi hidup dengan segala rintangan-rintangannya karena hidup adalah anugerah Allah. Dan tidak pula takut menghadapi maut, walaupun telah bersilang pedang di leher karena mati pun adalah di tangan Allah. Apabila selalu dzikir atau ingat kepada Allah, hilanglah ingatan kepada kepentingan diri atau fana' yang teringat hanya Allah, dan tersedialah diri untuk kepentingan jalan Allah. Sebab itu di sini ditekankan, ingatlah Dia di kala berdiri, ingatlah Dia di kala duduk dan ingatlah Dia di kala sedang berbaring pun.
Dalam hal ini teringatlah kita kepada kaifiyat pengalaman dzikir ahli-ahli tasawuf. Karena wirid dzikir yang tetap, bahkan setelah tertidur pun, setelah mata jadi lelap. Allah masih teringat dalam mimpi, menjadi buah mulut di luar kesadaran. “Maka apabila kamu telah tenteram." Misalnya musuh itu telah jauh atau telah dapat diatasi sehingga bahaya yang menggelisahkan tidak ada lagi; “Maka dirikanlah olehmu shalat" Menurut keadaan yang biasa. Selama dalam perjalanan musafir mengqasharkan seperti biasa. Dan sesampai kamu di tempat kediaman kamu yang asli, shalatlah menurut peraturan-peraturannya yang telah digariskan Allah, dan jangan diubah, jangan ditambah dan jangan dikurangi.
“Sesungguhnya shalat itu atas orang-cnang yang beriman adalah kewajiban yang telah diwaktukan."
Kerjakanlah shalat itu menurut rukunnya, di dalam waktunya, dan lebih utama lagi di awal waktunya.
Jelas dalam susunan ayat ini bahwa shalat perang atau shalatul khauf itu selain dari makmum dibagi dua golongan, segolongan shalat satu rakaat, dan hanya imam yang dua rakaat, adalah bahwa shalat ini tidak diulang lagi kelak. Tidak ada qadha'.
Kalau hanya dipandang apa yang tertulis saja, perintah di pangkal ayat hanyalah kepada Rasulullah saja. Sebab di sana ditulis, “Dan jika ada engkau di antara mereka." Khitab tujuan kita ialah Nabi Muhammad. Tetapi kita harus memahamkan bahwasanya di kala ayat turun, Nabi mempunyai dua tugas. Pertama menjadi Rasul menerima wahyu, kedua beliau berkedudukan sebagai kepala perang. Segala peperangan yang beliau hadiri, beliau sendirilah yang menjadi kepalanya. Maka wahyu yang beliau terima untuk dirinya memimpin shalatul khauf itu berlaku pulalah bagi setiap kepala perang mempertahankan sabilillah buat selama-lamanya. Dan berlaku buat orang yang diwakilkan oleh kepala perang menjadi imam shalat.
Dirawikan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i dan al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain bahwa Said bin ‘Ash dalam satu peperangan di Thabristan bertanya kepada segenap Mujahidin yang hadir, siapakah di antara mereka yang bershalat perang mengikuti Rasulullah ﷺ Lalu menjawab Huzaifah, “Aku!"
Kepala perang adalah Zaid bin Ash, tetapi karena dia tidak turut dalam peperangan yang Rasulullah melakukan shalatul khauf itu, dipersilakannyalah Huzaifah tampil ke muka. Huzaifah menyuruh mereka membagi shaf kepada dua golongan, dan semua disuruhnya memegang senjata masing-masing. Dan katanya, “Kalau kamu telah diancam oleh ancaman sudah boleh kamu siap berperang." Maka Huzaifah pun shaiatlah dengan satu kelompok satu rakaat, sedang kelompok yang lain berjaga-jaga musuh, dan yang shalat satu rakaat tadi terus berdiri karena telah selesai. Setelah yang pertama itu selesai, yang berjaga tadi pula tampil ke tempat golongan yang telah selesai itu dan shalat pula satu rakaat lagi. Kemudian Huzaifah mengucapkan salam penutup."
Kejadian ini di Thabristan. Berkata setengah ahli riwayat, “Semuanya terjadi di hadapan beberapa sahabat Rasulullah, dan tidak ada di antara mereka yang membantah cara Huzaifah itu."
Menurut satu riwayat dan Abu Dawud dari Abdurrahman bin Samurah, bahwa Abdurrahman bin Samurah ini mengimami shalatul khauf di Kabul (Afghanistan sekarang)
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa shalat begini diwahyukan kepada Rasulullah, untuk jadi pegangan umat dan beliau sendiri yang memulainya. Apatah lagi sudah ada hadits yang jelas dari Rasulullah ﷺ Beliau bersabda.
“Shaiatlah sebagaimana kamu lihat shalatku. Dan apabila telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang di antara kamu melakukan adzan dan hendaklah menjadi Imam seseorang yang terbesar di antara kamu." (HR Bukhari)
Yang terbesar itu tentu saja yang menjadi pimpinan perang. Atau yang tertua, disegani di antara mereka walaupun belum tua. Sedangkan dalam musafir biasa, diwajibkan seorang jadi ketua rombongan, apatah lagi dalam perang. Kepala perang sehendaknya merangkap menjadi imam shalat sebagaimana sunnah Nabi tadi. Tetapi kalau kepala perangnya hanya berkelebihan dalam pimpinan perang sebagai Said bin Ash dan ada yang lebih alim dari-padanya, seumpama Hudzaifah bin Yaman tadi, niscaya dialah yang diimamkan.
Adapun awal mulanya turunnya ayat shalatul khauf ini, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah, dan Said bin Manshur, dan Abu Dawud dan an-Nasa'i, dan lain-lain, yang diterima dari Ibnu Abbas, adalah demikian,
“Pada suatu waktu kami bersama Rasulullah ﷺ di Usfan, tiba-tiba kami berhadapan dengan kaum musyrikin. Ketika itu Khalid bin Walid masih di pihak musyrik, dia yang memimpin mereka. Tempat ialah di antara kami dan di antara kiblat. Maka Nabi ﷺ pun mulai mengimami shalat Zhuhur.
Musyrikin itu berkata, “Sekarang mereka dalam suatu keadaan yang mudah saja kita menyerang." Kemudian mereka berkata pula, “Mereka sedang shalat itu suatu perbuatan yang lebih mereka cintai daripada anak-anak mereka sendiri dan diri-diri mereka"
Setelah itu Nabi pun selesailah shalat Zhu-hur sebagai biasa. Setelah di antara Zhuhur dan Ashar, datanglah Jibril membawa wahyu ayat ini, “Dan jika ada engkau di antara mereka," sampai ke akhir ayat, lalu waktu Ashar pun datang, Rasulullah ﷺ memerintahkan segera masing-masing memakai dan memegang senjatanya. Maka bershaflah kami di belakang beliau dua shaf. Beliau pun ruku' dan kami pun ruku' semua. Beliau pun berdiri dan kami berdiri semua. Lalu Rasulullah sujud bersama shaf pertama, sedang shaf yang kedua tetap berdiri menjaga yang sedang sujud. Setelah selesai (shaf pertama) sujud dan setelah itu lalu majulah shaf pertama tadi ke tempat tegak shaf kedua tadi, dan shaf yang pertama pula yang segera tegak mengawal mereka. Setelah shaf kedua sujud, duduk pulalah yang mengawal tadi dan sujud pula. Selesai itu semuanya, Nabi pun mengucapkan salam tanda selesai."
Dijelaskan lagi oleh Abdurrazzaq dari ats-Tsauri dan Hisyam, dengan tambahan, “Shaf yang di muka mundur ke belakang setelah selesai mengangkat muka dan sujud, dan maju shaf yang kedua, lalu sujud pada tempat shaf pertama tadi."
Pada riwayat hadits ini ada perbedaan sedikit dengan yang terdapat dalam ayat. Yaitu berganti-ganti shaf yang pertama dengan shaf yang kedua tegak; sedangkan shaf pertama sujud yang kedua menjaga. Setelah selesai dia sujud, shaf yang kedua pula sujud dan shaf pertama menjaga. Tetapi keduanya dalam rangka satu shalat dan seketika menutup shalat (salam) semua bersatu kembali. Di sini jelas pula bahwa shalat Ashar yang dilakukan ini bukan satu rakaat, melainkan dua, cuma sujudnya saja berganti-ganti.
Bila ditilik dengan saksama memang ada duaatau tiga macam cara shalat khaufitu. Tetapi kita pun melihat pula bagaimana letak strategi medan perang. Shalat khaufyang dilakukan di
Usfan rupanya dibuat demikian rupa, sebab musuh berdiri di antara orang Islam dengan Kiblat yang mereka hadapi. Sebab itu shalat dengan cara satu shaf menjaga dan satu sujud tetapi salam sama. Yang tersebut dalam ayat, makmum dibagi dua shaf, masing-masing hanya shalat satu rakaat terhenti hingga sujud saja, dan hanya imam yang shalat dua rakaat.
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Shalat khauf banyak macamnya. Karena musuh kadang-kadang berdiri di jihad Kiblat, dan kadang-kadang di jihad lain, kemudian itu kadang-kadang di jihad lain, kemudian itu kadang-kadang dapat shalat berjamaah dan kadang-kadang perang telah berkecamuk sehingga tak dapat lagi melakukan cara berjamaah. Bahkan sampai suasana menyebabkan shalat terpaksa sendiri-sendiri, ada yang menghadap Kiblat dan kadang-kadang tak sempat menghadap Kiblat lagi. Kadang-kadang sambil berjalan kaki dan kadang-kadang di atas kendaraan. Dalam keadaan seperti itu shalat boleh berjalan terus, bahkan memukul musuh tengah shalat."
Tegas Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kalau sudah berlomba hantam-menghantam shalat satu rakaat pun sah juga, dengan isyarat kepala saja. Kalau tak sempat, sujud saja satu kali, karena itu sudah termasuk dzikrullah." Pendeknya kalau perang sudah demikian hebat, sudah bersosoh dengan musuh, datang waktu teruslah shalat, walaupun dengan cara apa yang dapat dikerjakan di waktu itu.
Berkata Imam Ahman bin Hambal, “Semua hadits yang dirawikan berkenaan dengan shaiatul khaufboleh diamalkan." Yaitu menurut medan dan cuaca yang ada pada masa itu.
Yang penting ialah bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan walaupun bagaimana dahsyatnya peperangan.
Dalam praktik Nabi kelihatan seketika pergi mengepung benteng Yahudi Bani Qu-raizhah. Beliau memerintahkan harus segera lekas mengepung benteng itu, jangan terlambat, dan shalat Ashar nanti saja sesampai di sana. Padahai sampai di sana sesudah waktu Maghrib masuk. Maka ada sahabat yang mengerjakan juga shalat di jalanan sebelum matahari terbenam dan ada yang menuruti instruksi Nabi karena taat kepada komando perang, shalat Ashar malamnya saja.
Al-Auzal menegaskan, “Kalau sudah mulai menaklukkan pertahanan musuh sehingga tidak ada waktu buat shalat, hendaklah shalat saja dengan angguk kepala, masing-masing orang dengan caranya sendiri-sendiri, kalau mengangguk pun tidak bisa lagi, boleh undurkan shalat itu sampai selesai penaklukan."
Anas bin Malik yang ikut berperang di Tustur (Persia) mengatakan bahwa mereka mengepung benteng musuh di waktu fajar. Perang amat hebat sehingga tak dapat melakukan shalat. Akhirnya benteng itu dapat kami rebut, dan kami pun shalatlah setelah matahari naik tinggi. Kami shalat bersama Abu Musa. Sangatlah bahagia rasa hati saya waktu shalat itu melebihi dunia dan isinya.
Supaya lebih jelas lagi, untuk menghilangkan keraguan tentang ada banyak macamnya shalatul khauf itu baik kita salinkan suatu penafsiran dari Abu Ali al-Jurjani. Kata beliau, “Di dalam ayat tadi (ayat 102) telah diulang menegaskan, ‘Perteguhlah penjagaan kamu/ Kalimat ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ dibolehkan shalat khauf itu dengan cara yang dapat beliau berjaga-jaga, dengan tidak lengah dari gerak-gerik musuh. Yang dijelaskan dalam ayat ini ialah berawas karena musuh ketika itu di Dzatir-Riqa." Mereka menghadap kiblat dan Muslimin membelakangi kiblat. Kalau mereka hadapi kiblat ketika itu, niscaya mereka membelakangi musuh. Sebab itu sudah nyata kalau Rasulullah memerintahkan Muslimin dibagi dua shaf. Satu shaf menghadapi musuh dan satu shaf lagi bersama Nabi menghadapi kiblat. Ada pun seketika Nabi di Usfan dan di Baitul Maqdis, maka beliau tidak membagi sahabat-sahabatnya dua golongan, karena musuh membelakangi kiblat, dan Muslimin menghadap kiblat. Niscaya di waktu itu mereka dapat melihat musuh, sedang kaum Muslimin melakukan shalat. Sebab itu tidak perlu berjaga-jaga, kecuali sedang sujud. Maka dapatlah dipahamkan jika sedang shaf pertama melakukan sujud, shaf kedua mengawal. Dan kalau mereka telah selesai sujud dan mereka berdiri, mereka pun mundur ke belakang dan tampil pula shaf yang kedua dan sujud pula. Dan shaf pertama sambil berdiri itu mengawal shaf kedua tadi pula. Maka dengan bunyi ayat, ‘Perteguhlah penjagaan kamu/ Menunjukkan bahwa segala macam cara itu dibolehkan. Sebab itu tidaklah berlawanan dengan bunyi ayat kalau Nabi ada melakukan cara yang lain."
Dari segala keterangan ini dapatlah kita ambil satu kesimpulan, untuk menguatkan apa yang telah kita terangkan lebih dahulu di atas tadi. Yaitu bagaimana pun berkecamuknya peperangan, namun shalat tidaklah boleh ditinggalkan. Sebab shalat adalah tiang dari kehidupan Muslim. Barulah sesuai maksud peperangan dengan apa yang dituju, kalau shalat tidak dilalaikan. Dan dikerjakan menurut ruang dan waktu, cuaca dan medan yang ada pada masa itu.
Kemudiannya apabila telah aman, suasana telah reda, baik sebelum pulang dari medan perang, ataupun sesudah perang, ingatlah kembali apa yang telah dipesankan di ujung ayat 103. Yaitu bahwa shalat itu diperintahkan oleh Allah, diwajibkan Allah menurut waktu yang telah ditentukan. Kerjakanlah dia menurut waktu sehari semalam: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.
SHALAT DENGAN WAKTUNYA YANG TERTENTU
Di waktu penulis Tafsir al-Azhar ini dalam tahanan, karena sakit lalu dirawat di rumah sakit 17 bulan lamanya. Pada masa itu adalah seorang dokter yang masih muda, beragama Kristen (Protestan) bercinta-cintaan dan sudah semufakat hendak kawin dengan seorang dokter perempuan, satu pekerjaan. Ayah dokter perempuan itu sangat beriba hati kalau anak perempuannya sampai memeluk agama Kristen. Dia mengharap supaya dokter Kristen itulah yang masuk Islam. Dengan gagah perkasanya dokter Kristen itu menyatakan bahwa dia bersedia masuk Islam asal dia dihadapkan dengan seorang ulama islam. Kalau ulama itu dapat mengalahkannya, dia akan segera masuk Islam.
Orang tua anak gadis itu menghubungi saya, kalau-kalau saya sudi meladeni kedatangan dokter Kristen itu yang akan datang bersama anak gadisnya. Permintaan itu saya terima dan pada waktu yang telah dijanjikan kedua dokter muda itu pun datang.
Apa yang telah kejadian? Apakah benar-benar kedatangannya bertukar pikiran untuk mencari kebenaran?
Lain! Mula saja dia datang, dia telah menyerang dengan celaan yang bertubi-tubi, tampaknya untuk membuktikan pada kekasihnya gadis Islam itu bahwa dia adalah seorang yang ahli, terutama tentang kelemahan Islam. Serangannya yang terutama ialah terhadap shalat orang Islam. Pertama, mengapa pakai berwudhu. Kedua mengapa ditentukan waktunya. Padahal keduanya itu tidak perlu, sebab di segala waktu kita bisa shalat memuja Allah, dalam berbagai sikap yang kita kehendaki. Oleh sebab demikian caranya shalat orang Islam, maka shalat Islam itu kaku. Padahal kalau hati telah bersih, guna apa membersihkan bagian badan, sebab walaupun anggota badan dibersihkan di luar, namun dalam diri kita sendiri masih kotor. Dan perut kita sendiri adalah kantong kotoran.
Nyatalah bahwa dokter muda itu telah berlatih jadi Zending. Caranya menyerang rupanya telah diatur. Nyaris.saja terjebak kepada pertengkaran yang tidak ada ujung. Sebab dengan cara positif dia mencela keras
shalat cara Islam yang memakai wudhu dan memakai ruku', sujud, dan bilangan rakaat itu. Dan anehnya pula, gadis Islam tadi pun selalu menyokong segala serangannya itu. Tandanya pun dia pun telah diserang cara yang demikian. Akhirnya saya hanya bersedia kalau kita bertukar pikiran secara tenang, apatah lagi saya masih dalam keadaan sakit.
Lalu saya minta agar diberinya kesempatan berbicara dengan tenang dan saya harap pula dia pun berbicara dengan tenang.
Lalu saya berkata, “Saudara dokter telah membawa urusan upacara ibadah kepada alam filsafat. Sebab dokter apriori memang tidak memeluk Islam, tentu dokter memandang shalat Islam dari segi negatifnya. Padahal orang beragama yang jujur memegang teguh shalat menurut ajaran agamanya dan menghormati pula pegangan agama orang lain. Karena kefanatikan agama, dokter lupa dasar ilmu dokter, yaitu ilmu kesehatan. Orang Islam terlebih dahulu berwudhu yaitu membersihkan anggota dengan air yang bersih sebelum shalat. Dipandang dari segi ilmu kesehatan, jantung dokter sendiri akan mengakui bahwa shalat cara Islam itu baik, Orang yang sekurangnya lima kali sehari semalam membersihkan anggota badannya yang terbuka (muka, tangan, dan kaki) dengan air ber-sih, tidak ada seorang dokter pun yang akan mengatakan bahwa perbuatan itu tidak baik!"
Lalu dia menyambut, “Kami orang Kristen yang penting adalah hati bersih terhadap Allah!"
Saya jawab, “Tetapi rasa halus dokter sebagai seorang ahli kesehatan pasti mengakui bahwasanya kebersihan besar pengaruhnya kepada kebersihan hati. Dokter sendiri akan mengakui betapa segar rasa badan setelah mencuci muka. Kalau terlepas dari suasana agama, niscaya dokter akan menasihatkan demikian, kepada pasien-pasien dokter!"
Lalu dia pindah ke soal lain. Dia berkata, “Kalau memang demikian pengaruh wudhu bagi kesehatan, mengapa orang Islam kelihatannya banyak yang kotor?"
Saya jawab, “Yang kotor ialah orang Islam yang tidak memahami hikmat wudhu. Kalau hendak membandingkan ajaran Islam kepada praktik hidup setengah orang Islam, kita nanti akan meraba-raba ke dalam lapangan lain. Kita mesti mencari statistik, manakah persentasenya yang lebih banyak orang Islam kotor dengan orang Kristen kotor di tanah air kita ini. Tetapi yang jelas di luar negeri ialah bahwa orang Kristen Eropa yang banyak yang tidak kenal mandi sampai berminggu-minggu. Bajunya yang di luar saja yangbersih, badannya kotor, sebab memang tidak ada peraturan dalam agama mereka yang memerintahkan mereka harus mencuci anggota tubuh lima kali sehari."
Apabila dia terdesak dalam hal wudhu itu, dokter itu pun pindah lagi ke jurusan lain. Dia berkata, “Guna apa ditentukan mesti shalat lima kali sehari? Setiap waktu orang boleh sembahyang. Dia duduk tafakur mengingat Tuhannya, menurut keadaannya yang ada pada waktu itu."
Saya jawab, “Duduk tafakkur mengingat Allah itu ada perintah tersendiri dalam Islam. Menurut istilah ajaran Islam, hal itu bukan bernama shalat, melainkan doa, atau munajat, atau dzikir. Islam menganjurkan penganutnya dzikir, ingat dan menyebut nama Allah, sedang berdiri, sedang duduk dan sedang berbaring pun."
Dia mendesak, “Kalau demikian guna apa shalat pakai wudhu dan pakai waktu tertentu lagi?"
Saya jawab, “Dokter seorang terpelajar, tentu berpikir yang logis! Agama dokter menganjurkan sembahyang atau ingat kepada Tuhan di mana saja dan dalam cara apa saja. Islam pun mempunyai ajaran yang demikian. Tetapi Islam mempunyai tambahan satu lagi, yaitu shalat di waktu tertentu dengan memakai wudhu. Kalau dokter berpikir secara teratur, pastilah dokter akan mengakui bahwa Islam mempunyai ajaran yang lebih lengkap daripada ajaran agama yang dokter peluk. Dan itu memang demikian. Sebab kedatangan Islam ialah melengkapkan apa yang belum cukup, diajarkanlah oleh nabi-nabi yang dahulu."
Dia menyambut, “Tetapi kami juga mempunyai sembahyang pada waktu tertentu, sebagai menyatakan syukur kepada Tuhan."
Saya jawab, “Saya mengetahui itu. Sebagai seorang dokter, artinya seorang terpelajar, dokter seharusnya mengakui bahwa shalat cara Islam lebih sempurna dan lengkap. Sebab beberapa saat sebelum kita memulai shalat, segala perhatian kita telah ditujukan kepada-Nya; sejak dari masuknya waktu sampai kepada melakukan wudhu, sampai kepada masa kita berdiri menghadapkan muka ke kiblat."
Dia bertanya lagi, “Mengapa mesti pakai waktu? Mengapa tidak diserahkan saja kepada keinsafan orang itu?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya bertanya terlebih dahulu, “Demi pengetahuan kedokteran saudara, saya bertanya, “Menurut ilmu kesehatan segala sembahyang, baik shalat cara Islam atau cara Kristen, baik atau tidak baik?"
Dengan tegas dia menjawab, “Baik! Segala sembahyang baik!"
Saya tanya lagi, “Menurut ilmu kesehatan, mana yang lebih baik berwudhu dahulu sebelum shalat atau tidak berwudhu?" Dia hanya terdiam! Saya meneruskan dengan tenang. “Kebanyakan manusia, meskipun meng-akui bahwa suatu perbuatan baik atau bermanfaat, tidaklah dia segera mengerjakan yang baik itu kalau hanya diserahkan kepada dirinya sendiri saja. Seumpama penghuni sebuah rumah, tidaklah rumah itu akan terjaga kebersihannya kalau tuan rumah tidak streng dan disiplin memerintahkan menyapu rumah itu setiap hari. Lantai mesti dipel terus sekali pagi sekali petang, walaupun debu tidak ada. Barang-barang alat rumah tangga mesti dibersihkan dengan bulu ayam, walaupun tidak ada kotoran. Rumah begitulah yang akan selalu bersih, dan dengan demikianlah baru akan tercapai kebaikan dan manfaat yang diakui sendiri faedahnya oleh yang empunya rumah itu. Dalam salah satu segi dari ilmu pendidikan, sebagai cabang dari ilmu jiwa, murid diperintahkan pada waktu-waktu yang tertentu membersihkan sesuatu, supaya bersih itu menjadi perangai dan adat kebiasaan. Barangsiapa yang selalu berlatih mencegah suatu bahaya sebelum kejadian atau sebelum membanjir, akan tidak merasa canggung bila berhadapan dengan bahaya itu bila benar datang. Bagi orang Islam shalat bila waktu panggilan telah datang, adalah guna menenteramkan jiwa sejenak setelah lelah menghadapi tugas kehidupan. Shalat bukan semata-mata pengakuan dosa kepada Allah. Tetapi lebih tinggi dari itu, yaitu meningkatkan pribadi sehingga dapat mendekati sifat Allah. Itulah sebabnya dimulai dengan wudhu. Kebersihan hati dilambangkan oleh kebersihan anggota tubuh.
Diulangnya lagi, “Bagi kami kebersihan hati yang utama!"
Saya jawab, “Bagi kami, bersih hati dan bersih badan!" Dia mulai mengejek, “Mengapa isi perut juga tidak dibersihkan lebih dahulu?"
Saya jawab dan jawaban itu membuat dia terdiam, “Sedangkan disuruh membersihkan hati dan membersihkan anggota badan, saudara sudah keberatan, bagaimana pula kalau disuruh lagi membersihkan isi perut? Dan pertanyaan demikian sudah keluar dari garis bertukar pikiran yang sehat, dari seorang ahli kesehatan."
“Mengapa mesti bahasa Arab?" tanyanya tiba-tiba. “Tidakkah Allah itu mengerti segala bahasa?"
Saya jawab, “Kesatuan bahasa yang kami pakai dalam shalat, dan kesatuan cara melakukan shalat itu sendiri, dan kesatuan kiblat tempat kami menghadap, menyebabkan kami umat Islam seluruh dunia adalah satu dalam agama. Saya sebagai seorang bangsa Indonesia, tidak akan ragu-ragu masuk ke dalam sebuah masjid di Tiongkok atau Yugoslavia atau di London. Di dalam kalangan agama kami tidak ada sekte sehingga satu sekte menuduh sekte yang lain keluar dari lingkungan agama, karena berlainan cara shalat dan bahasa shalat. Pertentangan madzhab di kalangan kami tidaklah sama dengan pertentangan Protestan dengan Katolik, atau pertentangan sekte dengan sekte yang lain yang sama-sama Protestan. Sebab shalat kami sama dan satu di seluruh dunia!"
Dia tambah terdiam.
“Sungguh pun demikian, saya tetap tidak setuju shalat cara ajaran Islam!" katanya kemudian.
Dengan senyum saja jawab, “Kalau saudara setuju, niscaya saudara sudah Islam. Dari permulaan kata bukan saya yang menyodorkan supaya dokter pindah kepada cara yang saya pakai. Melainkan dokter menyerang ibadah kami. Setelah saya jawab, bukanlah maksud saya memaksa saudara masuk agama saya, melainkan memberi pengertian duduknya soal. Hidayah dan petunjuk adalah di tangan Allah, bukan di tangan saya."
Ada beberapa soal lain lagi yang kami perkatakan. Dia meminta maaf karena saya yang dalam tahanan dan dalam kamar sakit telah diganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu hebat dan bertubi-tubi. Saya lihat wajah dokter perempuan temannya itu, dari satu keluarga Islam yang baik, jelas banyak perubahan sikapnya. Mulanya dia turut aktif agresif menyerang saya, tetapi kemudian kelihatan ragu-ragu dan mulai pula menyerang beberapa pertahanan dari dokter temannya itu.
Akhirnya dia bertanya, “Bolehkah sewaktu-waktu kami datang lagi?"
“Doakanlah saya lekas sembuh dan lekas bebas dari tahanan karena fitnahan ini.
Saya selalu menerima kedatangan dokter keduanya, dengan dada lapang dan tidak fanatik. Sebab apabila dua orang yang berbeda agama, kalau sama-sama taat dan setia dalam agamanya, tidaklah mereka akan bermusuhan. Sebab keimanan agama yang sejati bukanlah menimbulkan rasa benci, melainkan rasa cinta. Silahkan datang, bila-bila saja!"
Kira-kira satu bulan saja setelah mereka ziarah itu, saya bebaslah dari tahanan dan bebas pula dari penyakit (21 Januari 1966) Sampai sekarang mereka saya tunggu-tunggu, namun mereka tak datang lagi. Saya tidak mendengar berita lagi, apakah mereka telah langsung kawin dengan perempuan masuk Kristen atau yang laki-laki masuk Islam, atau mereka telah mengurak kembali tali yang nyaris dibuhulkan.
Memang rupanya dalam perebutan pengaruh agama di bekas tanah jajahan ini, yang dahulu dijajah oleh orang Kristen, pihak mereka mempelajari cara-cara bagaimana memperlemah benteng Islam, dengan tidak terlebih dahulu memberi kesempatan pihak Islam menggoyahkan pokok kepercayaan mereka yang prinsipil, melainkan mereka ganggu terlebih dahulu pihak Islam dengan serangan bertubi-tubi sehingga hanya sempat bertahan. Setelah itu mereka pun pergi, tidak memberikan kesempatan membuat “serangan balasan". -
Kemudian itu Allah berfirman,
Ayat 104
“Dan janganlah kamu merasa lengah di dalam mengerjai kaum itu."
Artinya janganlah kamu merasa lemah hati atau patah semangat di dalam mencari atau menghadapi musuh. Kuatkanlah semangat berperang, intip terus gerak-geriknya, serbu bila mereka terlengah dan jangan dihentikan sebelum mereka mengaku tunduk. Memang perang itu membawa kepayahan dan penderitaan. Datanglah tanjutan ayat, ‘jika adalah kamu menderita sakit; maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit pula sebagaimana yang kamu derita." Sebab itu tidak ada satu peperangan pun yang menyenangkan. Sengaja perang artinya sengaja mati. Kalau di kalangan kaum Muslimin ada yang luka, mereka pun ada yang luka. Jika ada yang gugur, di kalangan mereka pun pasti ada pula yang gugur. Rugi sama-sama rugi. Susah sama-sama susah. Tetapi kesusahan adalah dua. Ada suatu kesusahan yang mengandung harapan dan satu kesusahan yang semata-mata kesusahan. Sedang kesusahan kamu jauh berbeda dari kesusahan mereka. “Sedang kamu mengharapkan daripada Allah hal yang tidak mereka harapkan." Meskipun kamu ditimpa kesusahan, namun kamu berperang adalah karena mengandung harapan, kamu menegakkan jalan Allah, bukan jalan setan. Sedang mereka menegakkan kemegahan berhala, memuja benda kayu dan batu.
Alangkah gelapnya hidup ini kalau tidak ada pengharapan, atau raja'. Maut itu sendiri tidaklah takut untuk menempuhnya, kalau pengharapan telah mengisi jiwa. Harapanmu di dunia ialah tegaknya kebenaran agama yang kamu perjuangkan. Dan mencapai janji yang telah dijanjikan oleh Allah dengan perantaraan lidah Rasul-Nya, yaitu menangnya agama kamu di atas segala agama di dunia ini, walau betapa pun orang musyrikin menghambat menghalanginya. Harapanmu di akhirat ialah surga yang telah dijanjikan Allah. Jika kamu menang dan hidup, dapatlah kamu menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri kemenangan agamamu itu, dan jika kamu mati dalam pertempuran, di tanganmu telah ada satu “diploma" yaitu syahadah, tegasnya, mati syahid, mengorbankan diri sendiri untuk tegaknya agama Allah.
Adapun orang musyrikin itu, harapan menang tidak akan ada pada mereka. Sebab sesuatu yang batil itu, tidak ada satu berhala pun yang dapat memberikan upah apa pun untuk mereka.
Haruslah kita di zaman modern men-camkan benar-benar dalam hati kita inti sari ayat ini. Menegakkan agama yang benar. Tauhid yang khalis adalah tujuan hidup kita. Di zaman modern pun orang telah mengakui betapa pentingnya berperang menegakkan ideologi, yaitu cita-cita yang diperjuangkan, haruslah jelas. Perang-perang sebagai di zaman feodal dahulu, yaitu memusnahkan harta benda dan jiwa raga untuk kepentingan seorang raja atau pengeran tidak ada lagi. Perang sekarang ialah perang ideologi. Sepihak ideologi komunis, sepihak lagi ideologi kapitalisme. Mana ideologi menegakkan kepercayaan kepada Allah penguasa seluruh alam?
Lalu datanglah akhir ayat,
“Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Allah mempunyai ilmu yang Mahaluas dan mempunyai hikmat yang amat dalam, yang dapat kita korek dari dalam ilmu masyarakat dan sejarah, yaitu bahwa orang yang beriman kepada Allah pasti menang menghadapi orang yang tidak mau percaya kepada Allah, asai saja orang yang beriman mengamalkan petunjuk yang digariskan Allah. Di penutup ayat ini Allah menonjolkan dua sifat-Nya yang utama, yaitu ‘Alim dan Hakim yaitu ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Supaya orang beriman yang hendak menegakkan Agama Allah mengambil sempena daripada kedua nama Allah ini pula. Betapa pun tebalnya iman dan kuatnya harapan dan tingginya ideologi, kalau ilmu perang tidak ada, niscaya akan kalah oleh musuh yang berilmu pengetahuan. Bijaksana mengatur taktik, teknik, dan strategi. Baik ketika menyusun kekuatan sendiri, barisan, kelompok dan penyerbuan, ataupun di dalam menduga dan menyelidiki kekuatan musuh. Kalau semuanya ini telah diperhatikan, maka ada satu lagi hal oleh musuh tidak akan tercapai, yaitu kekuatan iman dan jelasnya apa yang diperjuangkan. Kalau iman telah teguh.
ideologi dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat, dan ilmu serta kebijaksanaan telah dipunyai pula, bertawakallah kepada Allah, Allah telah berjanji pasti.
“Dan sesungguhnya telah Kami utus Rasul-rasul sebelum engkau kepada kaum mereka. Maka rasul-rasul itu telah datang kepada mereka membawa berbagai keterangan. Maka Kami telah memberi balasan setimpal kepada orang-orang yang durhaka. Dan adalah kewajiban Kami memenangkan orang-orang yang beriman." (ar-Ruum: 47)