TAFSIR IJMALI JUZ I
Juz pertama Al-Qur’an dibuka dengan Al-Fatihah sebagai suatu rangkaian pujian dan doa terbaik yang tentu kewajiban mengulanginya belasan kali sepanjang 24 jam hari setiap muslim berbanding lurus dengan kedalaman maknanya dalam rangkaian kata-katanya yang padat mewakili seluruh kandungan Al-Qur’an. Al-Qur’an memang terdiri dari tiga pembahasan besar:
- Akidah (rukun Iman serta penjelasan mengenai teologi selain Islam)
- Syariah (ibadah, muamalah, dan adab)
- Kisah (yang telah lampau, yang sedang terjadi, dan masa depan)
Di dalam Al-Fatihah, ayat pertama (Basmalah) hingga ayat keempat menguatkan konsep akidah. Ayat kelima, itulah ayat yang mewakili Syariah. Konsep ibadah dan doa mewakili semua hukum syariah. Itu karena di dalam Islam makna ibadah teramat luas. Perintah ibadah ini pulalah yang menjadi titah pertama dengan seruan kepada sekalian manusia dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah: 21). Dua ayat terakhir Al-Fatihah merupakan representasi dari kisah, baik mengenai orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka yang mencakup kisah para Nabi, kisah sejumlah Shahabat, serta kisah orang-orang shalih sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun mengenai orang-orang yang dimurkai dan tersesat yang mencakup kisah Iblis, para setan, Fir’aun, Ya’juj & Ma’juj, para penentang rasul, kaum Yahudi, Nasrani, serta pemeluk agama lainnya.
Aamiin yang bermakna “Istajib (kabulkanlah) dibaca saat salat seusai Al-Fatihah. Mengaminkan apakah gerangan? Mengaminkan “Ihdinash shirathal mustaqim” rupanya. Doa yang kita baru sadari urgensinya setelah seharian menghitung berapa kali kita sudah aminkan dan berapa banyak yang telah mengaminkan. Doa yang langsung Allah kabulkan berupa turunnya Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi orang bertakwa lagi tidak mengandung sedikit pun keraguan serta siap menghadapi tantangan untuk pembuktian keotentikannya dari Allah. Doa agar kita menjadi muttaqin, bukan kafir (non-muslim) bukan pula munafik.
Tetapi mula-mula Allah mengajak kita melakukan kilas balik melihat ayah kita, Nabi Adam ‘alaihissalam, sebagai sebuah kisah pertama dalam Al-Qur’an, kisah pertama yang mengawali sejarah panjang penuh warna umat manusia juga. Pada akhirnya semua berjalan sesuai takdir Allah, Nabi Adam yang telah dimuliakan dengan sujudnya para malaikat dan tinggal di surga pun khilaf, menerjang larangan Allah. Kalimat pertaubatan beliau dan istri pun melegenda. Semakin mulia justru Nabi Adam selepas rendah hati bertaubat, daripada hidup bak malaikat tanpa dosa.
Kemudian Bani Israil menjadi fokus utama juz ini. Allah ungkap bahwa perilaku buruk Yahudi Madinah sebenarnya tidak ubahnya seperti perilaku leluhur mereka. Dengan menyingkap sejarah kelam sebagian leluhur mereka dari Bani Israil, Allah ingin menunjukkan bahwa mereka tidak boleh berlaku rasis hanya karena banyak nabi berasal dari mereka. Toh, meskipun banyak nabi dari mereka, tetapi kelakuan mereka sangatlah buruk. Dengan ini Allah juga hendak mengingatkan Yahudi Madinah agar jangan mengikuti leluhur mereka dalam kedurhakaan kepada nabi-nabi. Ini juga sekaligus ancaman kepada kaum muslimin andai mereka meniru keburukan Bani Israil.
Allah kuak pembunuhan di tengah mereka, sikap mereka yang terlalu banyak bertanya, melanggar sumpah perjanjian dengan Allah, menuduh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai penyihir dan penyembah berhala, serta kemusyrikan sebagian Bani Israil yang menyembah patung sapi betina yang terbuat dari emas. Atas kemusyrikan, Allah bahkan jadikan pertaubatan mereka hanyalah dengan hukuman mati. Sebagian Bani Israil bahkan lancang meminta melihat Allah. Allah lantaskan matikan mereka sesaat sebelum menghidupkan mereka. Sebagian mereka juga tidak mensyukuri nikmat makanan Salwa dan minuman Manna. Setelah Al-Quds Allah taklukkan untuk mereka pun mereka malah mengubah-ubah dan melecehkan perintah Allah.
Sayangnya perilaku buruk itu diikuti oleh Yahudi Madinah. Mereka mengingkari nasakh, memelesetkan perkataan para Shahabat menjadi doa keburukan, mengklaim tidak akan disentuh api neraka melainkan beberapa hari saja, serta memusuhi Jibril ‘alaihissalam. Kesemuanya tidak lain karena mendengki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin. Karena kedengkian itulah mereka, yang kali ini diikuti Nasrani, tidak akan ridha hingga berhasil memurtadkan kalian atau minimal membuat kalian mengikuti cara mereka beragama. Uniknya Yahudi dan Nasrani saling bahu membahu untuk misi ini meski sebenarnya mereka saling mengklaim kawannya tidak akan masuk surga serta surga hanya milik Yahudi atau Nasrani saja.
Juz ini yang tersusun sebagian besarnya dari permulaan surat Al-Baqarah juga mencerminkan spirit di masa-masa turunnya ayat ini, di awal periode Madinah pasca hijrah. Ia menghadirkan sindiran keras bagi Quraisy yang menghalang-halangi kaum muslimin dari keimanan dan ibadah, bahkan mengusir mereka dari Mekkah. Di saat yang sama juz ini mengajak kita membangun dan memakmurkan tempat ibadah, seperti halnya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terhadap Ka’bah (ayat 125–129). Bukan seperti Nebukanedzar II yang justru memporak-porandakan Baitul Maqdis (Sinagog Nabi Sulaiman) dan menghalangi orang beribadah di sana (ayat 114).
Juz ini ditutup dengan penegasan kewajiban Bani Israil dan seluruh manusia untuk beriman sebagaimana kaum muslimin Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beriman. Itulah “shibghah” (warna celupan) Allah yang mewarnai fitrah manusia yang ikhlash mentauhidkan-Nya dalam ibadah. Nabi Ibrahim dan keturunan beliau, termasuk kedua belas leluhur Bani Israil semuanya bukanlah Yahudi bukan pula Nasrani. Mereka muslim yang bertauhid kepada Allah. Janganlah sampai kemuliaan nasab sebagai keturunan para Nabi menipu. Pada akhirnya semua akan dimintai pertanggungjawaban amalnya masing-masing. Wallahu A’lam.
Untuk mendapatkan file dalam bentuk PDF silakan download di:
Penulis: Nur Fajri Romadhon
Tag:Akidah, Al-Fatihah, Bani Israil, doa, Ibadah, Musyrik, Syariah, Yahudi Madinah