Mendalami Tafsir Surat Al Maidah
Nama surah Al Maidah (hidangan) diambil dari peristiwa perjamuan Nabi ‘Isa a.s. dengan pengikutnya.
Surah ini memiliki nama lain Aluqud (perjanjian) yang berasal dari salah satu kata pada ayat pertama, dan Almunqidz (penyelamat) yang diambil dari kisah penyelamatan oleh Nabi ‘Isa a.s.
Beberapa hal penting yang terdapat pada surah kelima dalam Alquran ini adalah keengganan kaum Yahudi ketika Nabi Musa membawa mereka masuk ke Palestina, larangan menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab, dan anjuran berwasiat dengan persaksian.

Keengganan Bangsa Yahudi Menaati Perintah Nabi Musa a.s. Memasuki Palestina dan Akibatnya
Bani Israil, yang artinya “pilihan”, adalah sebutan bagi anak-anak dan keturunan Nabi Ya’qub a.s., tetapi sekarang mereka lebih dikenal dengan sebutan Yahudi.
Sebagai bangsa pilihan, mereka dianugerahi banyak sekali nikmat oleh Allah Swt., seperti:
- Diselamatkan dari kejaran Fir’aun (QS 2:49). Allah membelah laut di hadapan Nabi Musa a.s. dan pengikutnya sehingga mereka bisa menyelamatkan diri, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam;
- Dimaafkan kesalahan karena menyembah anak sapi dan diturunkannya Taurat untuk Nabi Musa;
- Dibangkitkan kembali setelah mati tersambar petir akibat ragu-ragu kepada Allah Swt.;
- Dinaungi awan saat berjalan; dan
- Diturunkannya makanan surga, yaitu manna dan salwa, serta dua belas buah mata air (QS 2:57).
Akan tetapi, semua kenikmatan itu tidak membuat bangsa Yahudi senantiasa patuh pada perintah Nabi Musa a.s.
Ketika diperintahkan masuk Palestina dengan penuh keberanian, mereka justru merasa enggan karena takut, sebagaimana dikisahkan pada ayat 20 hingga 26 dari surah Al Maidah berikut ini.
Ayat 20:
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat lain.”
Ayat 21:
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu dan janganlah lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”
Ayat 22:
Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar, niscaya kami akan memasukinya.”

Ayat 23:
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah), yang telah Allah beri nikmat atas keduanya, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka jika kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
Ayat 24:
Mereka berkata, ”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya, kami hanya duduk menanti di sini saja.”
Ayat 25:
Berkata Musa, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Oleh sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”
Ayat 26:
Allah berfirman, “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu), mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (Padang Tiih) itu. Maka, janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang fasik itu.”
Dari kisah tersebut, nyatalah bahwa bangsa Yahudi memiliki karakter tidak tahu membalas budi, kufur (ingkar) terhadap nikmat yang diterimanya, dan selalu ingkar janji.
“Oleh sebab itu, Kami timpakan atas orang-orang zalim itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik.” (QS 2:59)
Lihatlah apa yang terjadi saat ini. Sejak tahun 1948, atas bantuan Inggris dan para sekutunya, bangsa Yahudi (Israel) menjajah Palestina dan mengusir penduduknya dari tanah kelahirannya.
Semua upaya untuk mengusir kaum Zionis dari tanah Palestina yang suci tidak pernah berhasil.
Sifat bangsa Yahudi yang kufur nikmat, suka melanggar perjanjian, dan tidak tahu balas budi membuat semua usaha tersebut gagal.
Berbagai macam perjanjian, rekomendasi dari pertemuan tingkat dunia, serta resolusi PBB belum juga mampu mengusir penjajah Israel dari bumi Palestina.
Larangan Berteman Akrab dengan Orang-Orang Yahudi dan Nasrani
Hal penting lain yang Allah sampaikan dalam surat Al Maidah adalah larangan berteman akrab dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Berikut adalah penjelasan berdasarkan terjemahan Tafsir Ibnu Katsir: The Prohibition of Taking The Jews, Christians, and Enemies of Islam as Friends.
Orang-orang beriman dilarang untuk berteman akrab dengan kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka adalah musuh-musuh Islam.
Allah pun menyatakan bahwa mereka adalah teman satu sama lain. Larangan ini dinyatakan dengan tegas di dalam surah al maidah ayat 51:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman-temanmu (di dalam Alquran terjemahan Indonesia diganti menjadi pemimpin-pemimpinmu).”
Berdasarkan catatan Ibn Abi Halim, ‘Umar pernah meminta Abu Musa al-Ash’ari untuk mengiriminya selembar catatan berisi jumlah barang yang ia ambil dan yang dihabiskannya.
Abu Musa menyuruh seorang juru tulis beragama Kristen.
Karena sang juru tulis melakukan tugas dengan baik, ‘Umar pun memintanya membacakan sebuah surat dari Ash-Sham di sebuah masjid.
Namun, Abu Musa mencegahnya karena ia seorang Nasrani. ‘Umar kemudian memerintahkan untuk mengeluarkan sang juru tulis dari Madinah.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, Alquran melarang umat muslim berteman dengan orang kafir, terutama orang Yahudi dan Nasrani.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kebencian Allah Swt. terhadap orang-orang kafir.
Anjuran Berwasiat dengan Persaksian dalam Surah Al Maidah
Anjuran berwasiat dengan persaksian tercantum dalam Surah Almaidah ayat 106–108:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi, lalu kamu ditimpa bahaya kematian, kamu tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk bersumpah), lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah – jika kamu ragu-ragu: ‘(Demi Allah), kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami, jika demikian, tentulah termasuk orang-orang yang berdosa’.” (106)
“Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) berbuat dosa, maka dua orang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (mengajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: ‘Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu dan kami tidak melanggar batas. Sesungguhnya kami, jika demikian, tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri.” (107)
“Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik’.” (108)
Latar belakang turunnya ketiga ayat tersebut adalah sebuah riwayat tentang dua orang Nasrani bernama Tamim ad-Dari dan ‘Adi bin Bada yang sering pulang pergi ke Syam untuk berdagang sebelum mereka masuk Islam.
Bersama mereka, terdapat seorang maula dari Bani Salim bernama Badil bin Abi Maryam yang juga membawa barang dagangan dan bejana perak. Di perjalanan, Badil bin Abi Maryam jatuh sakit dan memberikan wasiat kepada kedua orang itu agar pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya.
Setelah Badil meninggal, Tamim dan ‘Adi bin Bada menjual bejana perak Badil seharga 1.000 dirham dan uangnya dibagi dua.
Usai menyampaikan warisan, ahli waris Badil bertanya tentang bejana perak. Tamim mengatakan, Badil tidak meninggalkan selain yang telah mereka serahkan.

Setelah masuk Islam, Tamim merasa berdosa sehingga ia mendatangi ahli waris Badil untuk mengakui perbuatannya serta menyerahkan uang 500 dirham. Sisa uang sebesar 500 dirham ada pada temannya, ‘Adi bin Bada.
Berangkatlah ahli waris Badil bersama ‘Adi menghadap Rasulullah saw. Beliau meminta bukti tuduhan terhadap ‘Adi, tetapi mereka tidak bisa memberikannya.
Rasulullah saw. menyuruh mereka menyumpah ‘Adi dan ia pun bersumpah.
Kemudian, Allah menurunkan ketiga ayat di atas sampai kepada kalimat “an turadda aimanun ba’da aimanihim”.
Maka, berdirilah ‘Amr bin Ash dan seorang lainnya, bersumpah untuk menjadi saksi sehingga diputuskan agar diambil uang yang 500 dirham lagi dari ‘Adi.
Peristiwa tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya dari Ibnu Abbas yang bersumber dari Tamim ad-Dari. Hadis ini menurut at-Tirmidzi tergolong dhaif.
Ad-Dzhahabi menetapkan bahwa Tamim di sini bukan Tamim ad-Dari yang didasarkan pada ucapan Muqatil bin Hibban.