Ayat
Terjemahan Per Kata
قَدۡ
sesungguhnya
أَفۡلَحَ
beruntung
مَن
siapa/orang
زَكَّىٰهَا
mensucikannya
قَدۡ
sesungguhnya
أَفۡلَحَ
beruntung
مَن
siapa/orang
زَكَّىٰهَا
mensucikannya
Terjemahan
sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)
Tafsir
(Sesungguhnya beruntunglah) pada lafal Qad Aflaha ini sengaja tidak disebutkan huruf Lam Taukidnya karena mengingat panjangnya pembicaraan (orang yang menyucikannya) yakni menyucikan jiwanya dari dosa-dosa.
Tafsir Surat Asy-Syams: 1-10
Demi matahari dan cahayanya dipagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. (Asy-Syams: 1) Yakni sinarnya di waktu pagi.
Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Waduhaha," artinya seluruh siang hari, bukan hanya pagi hari saja. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar ialah bila dikatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut matahari dan siang hari, karena sinar matahari yang terang terdapat di siang hari. dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Mujahid mengatakan mengiringinya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Maksudnya, mengiringi siang hari.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Yaitu malam hilal; bila mentari terbenam, hilal baru kelihatan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa bulan mengiringi matahari pada pertengahan bulan pertama, kemudian sebaliknya matahari mengiringi bulan dan bulan mendahuluinya pada pertengahan bulan yang terakhir. Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah apabila bulan mengiringi matahari di malam Lailatul Qadar.
Firman Allah Swt: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila cuacanya cerah. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Yakni apabila siang hari menerangi semuanya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ahli bahasa Arab menakwilkan hal ini dengan pengertian siang hari apabila mengusir gelapnya malam hari. Dikatakan demikian karena konteks kalimat menunjukkan kepada pengertian ini.
Menurut hemat kami, seandainya orang yang berpendapat demikian menakwilkan dengan pengertian tersebut sebagaimana takwilnya terhadap firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) tentulah hal ini lebih utama dan lebih shahih bila diterapkan kepada firman-Nya: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4) Maka takwilnya akan kelihatan lebih baik dan lebih kuat; hanya Allah-lah Yang Mengetahui. Karena itulah maka Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 2) Adapun Ibnu Jarir, dia memilih pendapat yang merujukkan semua damir kepada matahari dalam semua kalimat itu, mengingat mataharilah yang menjadi subjek pembicaraan.
Para ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4) Yaitu apabila malam menutupi matahari saat matahari tenggelam, maka seluruh cakrawala menjadi gelap. Baqiyyah ibnul Walid telah meriwayatkan dari Safwan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Zi Hamamah yang mengatakan bahwa apabila malam hari tiba, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Hamba-hamba-Ku telah ditutupi oleh makhluk-Ku yang besar," malam hari takut kepada Allah, dan memang Allah yang telah menciptakannya lebih berhak untuk dia takuti.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan langit serta pembinaannya. (Asy-Syams: 5) Ma di sini dapat diartikan sebagai ma masdariyah, sehingga artinya menjadi 'dan langit serta bangunannya'. Ini menurut pendapat Qatadah. Dapat pula ia dianggap sebagai huruf yang bermakna man, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Dan langit serta Tuhan yang membangunnya. Ini menurut pendapat Mujahid; kedua pendapat tersebut saling berkaitan.
Dan yang dimaksud dengan bina-iha ialah bangunannya yang tinggi. sebagaimanayang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). Adz-Dzariyat: 47-48) Demikian pula firman Allah Swt: dan bumi serta penghamparannya. (Asy-Syams: 6) Mujahid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan penghamparannya. (Asy-Syams: 6) Yakni segala makhluk yang terdapat di dalamnya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah bagian-bagiannya. Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Ats-Tsauri, Abu Saleh, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya, dan inilah pendapat yang terkenal dan dianut oleh kebanyakan ulama tafsir, juga yang terkenal dikalangan ahli bahasa. Al-Jauhari mengatakan bahwa tahautuhu sama dengan dahawtuhu, artinya aku telah menghamparkannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. (Asy-Syams: 7) Yaitu penciptaannya yang sempurna dengan dibekali fitrah yang lurus lagi tegak, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Rasulullah ﷺ telah bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi. Sebagaimana hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan utuh, maka apakah kamu pernah melihatnya ada yang cacat? Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui riwayat Abu Hurairah, sedangkan di dalam Sahih Muslim disebutkan melalui riwayat Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i, dari Rasulullah ﷺ Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (menyimpang dari kebatilan dan cenderung kepada perkara hak).
Kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agamanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Yakni Allah menerangkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan, kemudian memberinya petunjuk kepadanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Allah telah menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ats-Tsauri.
SaMd ibnu Jubair mengatakan bahwa Allah mengilhamkan (menginspirasikan) kepadanya jalan kebaikan dan keburukan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dalam jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa dan Abu ‘Ashim An-Nabil, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Azrah ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Aqil, dari Yahya ibnu Ya'mur, dari Abul Aswad Ad-Daili yang mengatakan bahwa Imran ibnu Husain mengatakan kepadanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia sehingga mereka bersusah payah melakukannya? Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dan telah digariskan oleh takdir yang terdahulu atas mereka.
Ataukah merupakan sesuatu yang bergantung kepada penerimaan mereka terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ kepada mereka dan yang telah diperkuat oleh hujjah sebagai alasan terhadap mereka?" Maka Abul Aswad Ad-Daili menjawab, "Tidak demikian, sebenarnya hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka oleh takdir Allah.'" Imran ibnu Husain bertanya, "Maka apakah hal itu bukan termasuk perbuatan aniaya?" Abul Aswad Ad-Daili mengatakan bahwa ia merasa sangat terkejut terhadap pertanyaan itu.
Maka ia menjawab, "Tiada sesuatu pun melainkan dia adalah makhluk-Nya dan menjadi milik-Nya, tiada seorang pun yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka kerjakan." Imran ibnu Husain berkata, "Semoga Allah meluruskanmu, sesungguhnya aku bertanya kepadamu tiada lain untuk memberitahukan kepadamu bahwa pernah ada seorang lelaki dari Bani Muzayyanah atau Bani Juhainah datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia yang mereka bersusah payah menanggulanginya.
Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dalam takdir yang terdahulu, ataukah hal itu merupakan sesuatu yang mereka terima dari apa yang disampaikan oleh Nabi mereka kepada mereka, lalu diperkuat dengan hujah atas diri mereka?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak demikian, sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka. Lelaki itu bertanya lagi, "Lalu apakah gunanya kita beramal?" Rasulullah ﷺ menjawab, bahwa barang siapa yang diciptakan oleh Allah untuk mengerjakan salah satu di antara keduanya, maka Allah menyiapkannya untuk itu, dan hal yang membenarkan ini dalam Kitabullah adalah firman-Nya yang mengatakan: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Azrah ibnu Sabit dengan sanad yang sama.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10) Takwil makna ayat dapat dikatakan bahwa sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan dirinya dengan taat kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang hina. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id ibnu Jubair. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. (Al-Ala: 14-15) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 10) Yakni membenamkannya, menguburnya, dan menghinakannya dengan tidak mengikuti jalan petunjuk, hingga terjerumuslah dia ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala Dapat juga makna ayat ditakwilkan dengan pengertian berikut, bahwa beruntunglah orang yang jiwanya dibersihkan oleh Allah, dan merugilah orang yang jiwanya ditakdirkan kotor oleh Allah subhanahu wa ta’ala Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Abu Zur'ah, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abu Malik alias Amr ibnul Haris, dari Amr ibnu Hisyam, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (Asy-Syams: 9) Maka beliau ﷺ bersabda: Beruntunglah jiwa orang yang di sucikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadits Abu Malik dengan sanad yang sama. Juwaibir yang disebutkan dalam perawi hadits ini adalah Ibnu Sa'id, orangnya berpredikat matruk, dan lagi Adh-Dhahhak belum pernah bersua dengan Ibnu Abbas.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bila bacaannya sampai pada ayat ini, yaitu firman-Nya: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Maka beliau ﷺ menghentikan bacaannya, lalu berdoa: Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya, dan (Engkau) adalah sebaik-baik yang menyucikannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Humaid Al-Madani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdullah Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Muhammad Al-Gifari, dari Hanzalah ibnu Ali Al-Aslami, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Lalu beliau ﷺ berdoa: Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya; dan sucikanlah jiwaku, Engkau sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau Pemiliknya dan Yang Menguasainya.
Mereka tidak ada yang mengetengahkannya dari jalur ini. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Saleh ibnu Sa'id, dari Aisyah , bahwa ia merasa kehilangan Nabi ﷺ di tempat peraduannya, lalu ia mencarinya dengan meraba-rabakan tangannya (dalam kegelapan malam), dan tangannya memegang diri Nabi ﷺ yang saat itu sedang melakukan sujud seraya berdoa: Ya Tuhanku, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya dan Engkan adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya. Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini secara munfarid. Hadits lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS, dari Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan. Ibnu Zaid mengatakan, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kami doa-doa tersebut, dan sekarang kami mengajarkannya kepada kalian. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Abu Mu'awiyah, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS dan Abu Usman An-Nahdi, dari Zaid ibnu Arqam dengan lafal yang sama."
Sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwa itu dan menyucikannya dari segala keko'toran seperti syirik, kufur, takabur, iri, dengki, kikir, tamak, dan sebagainya, lalu menghiasinya dengan sifat-sifat baik seperti iman, ikhlas, sabar, syukur, dan sebagainya. 10. Dan sungguh rugi orang yang menutupi kemuliaan jiwa itu, mengotorinya dengan sifat-sifat buruk, dan mematikan potensinya untuk berbuat baik. Dengan melakukan hal itu, manusia tidak malu lagi berperilaku buruk, berbuat dosa, dan merugikan orang lain.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menegaskan pesan yang begitu pentingnya sehingga untuk itu Ia perlu bersumpah. Pesan itu adalah bahwa orang yang membersihkan dirinya, yaitu mengendalikan dirinya sehingga hanya mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, akan beruntung, yaitu bahagia di dunia dan terutama di akhirat. Sedangkan orang yang mengotori dirinya, yaitu mengikuti hawa nafsunya sehingga melakukan perbuatan-perbuatan dosa, akan celaka, yaitu tidak bahagia di dunia dan di akhirat masuk neraka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 9
“Maka berbahagialah siapa yang membersihkannya." (ayat 9)
Setelah Allah memberikan ilham dan petunjuk, mana jalan yang salah dan mana jalan kepada takwa, terserahlah kepada manusia itu sendiri, mana yang akan ditempuhnya, sebab dia diberi Allah akal budi. Maka berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau dirinya, gabungan di antara jasmani dan ruhaninya. Jasmani dibersihkan dari hadas dan najis, hadas besar atau kecil, baik najis ringan atau berat. Dan jiwanya dibersihkannya pula dari penyakit-penyakit yang mengancam kemurniaannya.
Ayat 10
“Dan celakalah siapa yang mengotorinya." (ayat 10)
Ayat 11
“Telah mendustakan Tsamud, tersebab kesombongannya." (ayat 11)
Kesombongan adalah salah satu akibat daripada kekotoran jiwa. Kaum Tsamud sombong, angkuh dan lantaran itu mereka tidak memedulikan peraturan dan tidak menghargai janji yang telah diikat dengan Allah.
Ayat 12
“Seketika telah bangkit orang yang paling celaka di antaranya." (ayat 12)
Ayat 13
“Lalu berkata rasul Allah kepada mereka."
Yaitu rasul Allah dan Nabi-Nya, Shalih, yang telah diutus Allah kepada kaum itu. Mulanya mereka tidak mau percaya kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Shalih, lalu akhirnya mereka meminta ayat, tanda, atau mukjizat sebagai bukti bahwa dia memang utusan Allah, Lalu Allah ciptakan seekor unta besar. Maka dibuatlah janji bersama, bahwa jika unta itu tercipta, maka minuman akan dibagi; sehari minuman untuk unta dan sehari untuk penduduk negeri itu. Air itu timbul dari satu mata air yang jernih. Di hari minuman unta mereka tidak boleh mengambil air, walaupun seteguk. Di hari minum mereka, unta tidak akan minum, walaupun seteguk. Itulah yang dikatakan oleh Nabi Shalih.
“(Jagalah) unta Allah dan minumannya." (ujung ayat 13)
Artinya janganlah perjanjian dan pembagian itu dilanggar, turutilah baik-baik dan jangan unta Allah itu diganggu supaya kalian selamat.
Ayat 14
“Tetapi mereka dustakan dia."
Mulanya mereka langgar peraturan yang telah diperbuat itu. Karena si celaka itu, dua orang kepalanya, yaitu Qadar dan Mashda' ingin minuman tuak di rumah kekasih mereka seorang perempuan jahat. Setelah tuak dihidangkan ternyata sangat tebal alkoholnya. Mereka ingin ditambah sedikit dengan air. Tetapi pada malam itu air tidak ada dalam kendi si perempuan, dan malam itu air tidak boleh diambil ke telaga, sebab sedang hari minuman unta. Maka dengan sombongnya kedua penjahat atau orang celaka itu menyuruh anak buah mereka menyatik air dan minum sepuas-puasnya dan jangan dipedulikan peraturan yang dibuat Nabi Shalih itu, karena membuat-buat peraturan yang mengikat kemerdekaan mereka, kalau perlu Shalih itu sendiri dibunuh. “Lalu mereka bunuh unta itu." Yang dinamai NaqatuIIah, unta Allah. Unta itu mereka bunuh beramai-ramai pada malam itu juga, mereka bagi-bagi dagingnya dan mereka makan bersama.
“Maka Tuhan mereka pun mencurahkan adzab kepada mereka lantaran dosa mereka itu. Hingga Dia ratakan kebinasaan itu." (ujung ayat 14)
Tidak ada yang terlepas, semua yang bersalah, laki-laki dan perempuan, bahkan siapa saja pun rata disapu oleh adzab, kecuali orang-orang yang beriman yang telah dapat memelihara diri di bawah pimpinan Nabi Shalih sebelum adzab turun.
Ayat 15
“Maka tidaklah Dia menghiraukan akibat dari kesalahan mereka." (ayat 15)
Maka tidaklah Allah menghiraukan mereka, sedikit pun Allah tidak merasa kasihan, meskipun sifat Allah itu adalah Rahman dan Rahim. Terhadap orang ini Allah menunjukkan Sifat-Nya, ‘Azizun Dzuntiqam. Artinya Gagah Perkasa dan membalas kesalahan dengan setimpal.