Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوۡ
atau
كَصَيِّبٖ
seperti hujan lebat
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
فِيهِ
didalamnya
ظُلُمَٰتٞ
gelap gulita
وَرَعۡدٞ
dan guruh
وَبَرۡقٞ
dan kilat
يَجۡعَلُونَ
mereka menyumbat
أَصَٰبِعَهُمۡ
jari-jari mereka
فِيٓ
dalam
ءَاذَانِهِم
telinga mereka
مِّنَ
dari
ٱلصَّوَٰعِقِ
petir
حَذَرَ
takut
ٱلۡمَوۡتِۚ
mati
وَٱللَّهُ
dan Allah
مُحِيطُۢ
meliputi
بِٱلۡكَٰفِرِينَ
terhadap orang-orang kafir
أَوۡ
atau
كَصَيِّبٖ
seperti hujan lebat
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
فِيهِ
didalamnya
ظُلُمَٰتٞ
gelap gulita
وَرَعۡدٞ
dan guruh
وَبَرۡقٞ
dan kilat
يَجۡعَلُونَ
mereka menyumbat
أَصَٰبِعَهُمۡ
jari-jari mereka
فِيٓ
dalam
ءَاذَانِهِم
telinga mereka
مِّنَ
dari
ٱلصَّوَٰعِقِ
petir
حَذَرَ
takut
ٱلۡمَوۡتِۚ
mati
وَٱللَّهُ
dan Allah
مُحِيطُۢ
meliputi
بِٱلۡكَٰفِرِينَ
terhadap orang-orang kafir
Terjemahan
Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Tafsir
(Atau) perumpamaan mereka itu, (seperti hujan lebat) maksudnya seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat; asal kata shayyibin dari shaaba-yashuubu, artinya turun (dari langit) maksudnya dari awan (padanya) yakni pada awan itu (kegelapan) yang tebal, (dan guruh) maksudnya malaikat yang mengurusnya. Ada pula yang mengatakan suara dari malaikat itu, (dan kilat) yakni kilatan suara yang dikeluarkannya untuk menghardik, (mereka menaruh) maksudnya orang-orang yang ditimpa hujan lebat tadi (jari-jemari mereka) maksudnya dengan ujung jari, (pada telinga mereka, dari) maksudnya disebabkan (bunyi petir) yang amat keras itu supaya tidak kedengaran karena (takut mati) bila mendengarnya. Demikianlah orang-orang tadi, jika diturunkan kepada mereka Al-Qur'an disebutkan kekafiran yang diserupakan dengan gelap gulita, ancaman yang dibandingkan dengan guruh serta keterangan-keterangan nyata yang disamakan dengan kilat, mereka menyumbat anak-anak telinga mereka agar tidak mendengarnya, karena takut akan terpengaruh lalu cenderung kepada keimanan yang akan menyebabkan mereka meninggalkan agama mereka, yang bagi mereka sama artinya dengan kematian. (Dan Allah meliputi orang-orang kafir) baik dengan ilmu maupun dengan kekuasaan-Nya hingga tidak sesuatu pun yang luput dari-Nya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 19-20
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinarnya; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti berjalan. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.
Ayat 19
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ayat ini merupakan perumpamaan lain yang dibuat oleh Allah ﷻ yang menggambarkan keadaan orang-orang munafik. Mereka adalah kaum yang lahiriahnya kadangkala menampakkan Islam, dan kadangkala di lain waktu mereka ragu terhadapnya. Hati mereka yang berada dalam keraguan, kekufuran, dan kebimbangan itu diserupakan dengan shayyib; makna shayyib adalah hujan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan sejumlah sahabat; juga menurut Abu Aliyah, Mu-jahid, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Atiyyah, Al-Aufi, ‘Atha’ Al-Khurrasani, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut Adh-Dhahhak, makna shayyibun adalah awan. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, artinya hujan yang turun dari langit. Dalam keadaan gelap gulita maksudnya keraguan, kekufuran, dan kemunafikan; sedangkan maksud dari suara guruh ialah rasa takut yang mencekam hati, mengingat orang munafik itu selalu berada dalam ketakutan yang mencekam dan rasa ngeri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman lainnya, yaitu: “Mereka mengira bahwa tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka” (Al-Munafiqun: 4). “Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian; padahal mereka bukan dari golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepada kalian). Kalaulah mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka akan pergi ke sana dengan secepat-cepatnya” (At-Taubah: 56-57).
Al-barqu artinya kilat, sedangkan yang dimaksud adalah suatu hal yang berkilat di dalam hati golongan orang-orang munafik sebagai pertanda cahaya iman, hanya dalam waktu sebentar dan sekali-kali. Karena itu, Allah ﷻ berfirman dalam ayat selanjutnya: “Mereka menyumbat telinganya dengan jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir” (Al-Baqarah: 19). Dengan kata lain, tiada gunanya sama sekali sikap waspada mereka, karena Allah Maha Meliputi dengan kekuasaan-Nya; mereka berada di bawah kehendak dan kekuasaan-Nya, sebagaimana dikatakan di dalam firman-Nya: “Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yakni (kaum) Fir'aun dan (kaum) Tsamud ? Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.” (Al-Buruj: 17-20)
Ayat 20
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan, "Hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena sifat cahaya kilat tersebut kuat dan keras, sedangkan pandangan mata mereka (orang-orang munafik) lemah, dan hati mereka tidak mantap keimanannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Yakadul barqu yakhthafu absharahum" artinya "hampir ayat-ayat muhkam Al-Qur'an membuka kedok orang-orang munafik. Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena kuatnya cahaya kebenaran. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinarnya; bila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti berjalan." Manakala muncul seberkas cahaya iman di dalam diri mereka, lalu mereka merasa kangen dan mengikutinya, tetapi di lain waktu muncul keraguan yang membuat hati mereka gelap dan berhenti dalam keadaan kebingungan.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Kullama adha-a lahum masyau fihi," artinya "manakala orang-orang munafik itu beroleh manfaat dari kejayaan Islam, mereka merasa tenang; tetapi bila Islam tertimpa cobaan, mereka bangkit kembali kepada kekufuran", seperti makna yang terkandung di dalam firman Allah ﷻ : “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu; dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke belakang” (Al-Hajj: 11).
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Kullama adha-a lahum masyau fihi, wa idza azhla-ma 'alaihim qamu" artinya manakala mereka mengetahui kebenaran dan membicarakannya, hal ini dimengerti melalui percakapan mereka berada dalam jalan yang lurus. Tetapi manakala mereka berbalik dari iman menjadi kafir, mereka berhenti, maksudnya kebingungan. Demikianlah takwil Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddu berikut sanadnya, dari sejumlah sahabat. Pendapat inilah yang paling shahih dan paling kuat. Demikianlah keadaan orang-orang munafik kelak di hari kiamat, yaitu di saat manusia diberi nur sesuai dengan kadar keimanan masing-masing.
Di antara mereka ada orang yang diberi nur yang dapat menerangi perjalanan yang jaraknya berpos-pos buatnya, bahkan lebih dari itu atau kurang dari itu. Di antara mereka ada yang nur-nya kadangkala padam dan kadangkala bercahaya. Di antara mereka ada yang dapat berjalan di atas sirat di suatu waktu, sedangkan di waktu lainnya dia berhenti. Di antara mereka ada yang nur-nya padam (tidak menyala) sama sekali, mereka adalah orang-orang munafik militan yang digambarkan oleh firman-Nya: "Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya kalian.’ Dikatakan (kepada mereka), ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)’." (Al-Hadid: 13).
Sehubungan dengan orang-orang mukmin di hari kiamat nanti, Allah ﷻ menceritakan perihal mereka melalui firman-Nya: "Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai’." (Al-Hadid: 12). Dalam firman lain Allah ﷻ mengatakan: ”Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dia; sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim: 8).
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: “Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, hingga akhir ayat” (Al-Hadid: 12). Disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Di antara orang-orang mukmin ada yang cahayanya dapat menyinari sejauh antara Madinah sampai 'Adn yang lebih jauh dari San'a, dan ada pula yang kurang dari itu, hingga sungguh di antara orang-orang mukmin ada yang cahayanya hanya dapat menyinari tempat kedua telapak kakinya saja.” Hadits riwayat Ibnu Jarir, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadits Imran ibnu Daud Al-Qattan, dari Qatadah hadits yang serupa. Hadits ini sama dengan yang dikatakan oleh Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa kepada mereka diberikan cahaya yang sesuai dengan amal perbuatan masing-masing; di antara mereka ada yang diberi cahaya seperti pohon kurma, ada yang seperti seorang lelaki berdiri, sedangkan yang paling kecil cahayanya di antara mereka adalah sebesar ibu jari, terkadang padam dan terkadang menyala.
Begitu pula menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Mutsanna, dari Ibnu Idris, dari ayahnya, dari Al-Minhal. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang mendengar dari ayahnya yang menceritakan dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firmannya: “Sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka” (At-Tahrim: 8). Yakni sesuai dengan kadar amal perbuatan masing-masing.
Mereka melewati sirat, di antara mereka ada yang cahayanya seperti gunung, ada pula yang seperti pohon kurma, dan orang yang paling kecil cahayanya di antara mereka adalah yang sebesar ibu jarinya, adakalanya bercahaya dan ada kalanya padam. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnul Yaqzan, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan ahli tauhid melainkan diberi cahaya di hari kiamat kelak.
Orang munafik cahayanya padam, orang mukmin merasa kasihan melihat orang-orang munafik padam cahayanya, lalu orang-orang mukmin berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami." Adh-Dhahhak ibnu Muzahim mengatakan, setiap orang yang menampakkan keimanan di dunia kelak di hari kiamat akan diberi cahaya. Tetapi bila sampai di sirat, maka padamlah cahaya orang-orang munafik. Ketika orang-orang mukmin melihat hal itu, mereka merasa kasihan, lalu berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami." Berdasarkan pengertian ini, maka manusia itu terbagi menjadi beberapa macam:
Pertama, yang mukmin secara murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut pada keempat ayat dari permulaan surat Al-Baqarah.
Kedua, orang-orang kafir murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut dalam dua ayat berikutnya.
Ketiga, orang-orang munafik yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan yang dibuat perumpamaan api bagi mereka dan orang-orang munafik yang masih terombang-ambing dalam kemunafikannya. Adakalanya tampak bagi mereka berkas sinar iman, dan terkadang sinar iman padam dalam diri mereka; mereka adalah orang-orang yang diumpamakan dengan air hujan. Golongan yang terakhir ini lebih ringan daripada golongan sebelumnya.
Perumpamaan mengenai diri seorang mukmin ditinjau dari berbagai segi, mirip dengan apa yang disebut di dalam surat An-Nur, yaitu tentang apa yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbunya berupa hidayah dan cahaya. Hal ini diumpamakan seperti pelita yang berada di dalam kaca, sedangkan kaca tersebut seakan-akan bintang mutiara yang bercahaya dengan sendirinya.
Demikianlah keadaan kalbu orang mukmin yang dijadikan secara fitrah beriman dan mendapat siraman dari syariah yang jernih secara langsung menyentuhnya tanpa kekeruhan dan tanpa ada campuran, sebagaimana akan dijelaskan nanti pada tempatnya, insya Allah.
Kemudian Allah membuat perumpamaan buat hamba-hamba yang kafir, yaitu mereka yang menduga bahwa diri mereka beroleh suatu manfaat, padahal tiada suatu manfaat pun yang mereka peroleh. Mereka adalah orang-orang yang jahil murakkab, sebagaimana disebut di dalam firman-Nya: “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapati sesuatu apa pun” (An-Nur. 39).
Kemudian Allah ﷻ membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah. Mereka adalah orang-orang yang disebut di dalam firman-Nya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya; barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun” (An-Nur: 40). Berdasarkan hal ini orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan, sebagaimana keduanya disebut di dalam permulaan surat Al-Hajj melalui firman-Nya: “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat” (Al-Hajj: 3). “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang jelas (memberi penerangan)” (Al-Hajj: 8). Allah telah mengklasifikasikan orang-orang mukmin pada permulaan surat Al-Waqi'ah dan bagian akhirnya, sedangkan di dalam surat Al-Insan mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang terdahulu mereka adalah golongan orang-orang muqarrabin (dekat dengan Allah); dan golongan ash-habul yamin, yaitu orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang mukmin itu terdiri dari dua golongan, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah dan orang-orang yang bertakwa. Orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang-orang kafir militan dan orang-orang kafir muqallid (ikut-ikutan). Orang-orang munafik pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan dan munafik dari salah satu seginya saja, sebagaimana disebut di dalam kitab Shahihain melalui Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Ada tiga perkara, barangsiapa menyandang ketiganya, maka dia adalah orang munafik militan; dan barang siapa yang menyandang salah satunya, maka di dalam dirinya terdapat suatu sifat munafik hingga ia meninggalkannya. Yaitu orang yang apabila berbicara berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila dipercaya khianat.” Berdasarkan hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa di dalam diri seseorang itu adakalanya terdapat suatu cabang dari iman dan suatu cabang dari sifat munafik, yang dalam realisasinya adakalanya berupa amali (perbuatan) berdasarkan hadits ini, atau berupa i'tiqadi (keyakinan) berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh ayat tadi. Demikian pendapat segolongan ulama Salaf dan sejumlah ulama yang telah disebut di atas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Syaiban), dari Al-Laits, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Bukhturi, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Kalbu (manusia) itu ada empat macam, yaitu kalbu yang jernih, bagian dalamnya seperti pelita yang bercahaya, kalbu yang terbungkus dalam keadaan terikat oleh pembungkusnya, kalbu yang layu, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang jernih adalah kalbu orang mukmin, sedangkan pelita yang di dalam adalah cahayanya. Adapun kalbu yang terbungkus adalah (perumpamaan) kalbu orang kafir, sedangkan kalbu yang layu adalah kalbu orang munafik murni (militan); pada mulanya mengetahui kebenaran, kemudian mengingkarinya. Kalbu yang terlapisi adalah kalbu yang di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu adalah seperti sayuran yang selalu diberi air yang baik, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti luka yang selalu mengeluarkan nanah dan darah. Maka yang mana pun di antara kedua benda yang diperumpamakan itu lebih kuat daripada yang lainnya, berarti ia dapat mengalahkannya. Hadits ini berpredikat jayyid lagi hasan.
Allah ﷻ telah berfirman: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqarah: 20). Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa itu terjadi setelah mereka mengetahui kebenaran, lalu mereka meninggalkannya.
Innallaha 'ala kulli syaiin qadir, menurut Ibnu Abbas artinya 'bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa terhadap semua hal yang dikehendaki-Nya atas hamba-hamba-Nya berupa hukuman atau ampunan'. Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya Allah ﷻ mensifati diri-Nya dengan sifat Kuasa terhadap segala sesuatu dalam hal ini, karena Dia bertindak memperingatkan terhadap orang-orang munafik tentang azab dan siksa-Nya. Allah memberitakan kepada mereka bahwa Dia Maha Meliputi mereka dan Maha Kuasa untuk menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Makna lafal qadir adalah qadir, sama halnya dengan lafal 'alim bermakna 'alim.
Ibnu Jarir dan orang-orang yang mengikutinya dari kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa kedua perumpamaan yang dibuat oleh Allah ini menggambarkan keadaan suatu golongan dari orang-orang munafik. Dengan demikian, berarti huruf au yang terdapat di dalam firman-Nya, "Au kashayyibim minas sama," bermakna wawu. Keadaannya sama dengan yang terdapat di dalam firman lain, yaitu: “Dan janganlah kamu ikuti orang berdosa dan orang kafir di antara mereka.” (Al-Insan: 24) Atau huruf au ini bermakna takhyir (pilihan), dengan kata lain 'aku buatkan perumpamaan ini bagi mereka atau jika kamu suka perumpamaan lainnya'.
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa huruf au di sini menunjukkan makna tasawi (persamaan atau pembanding), misalnya dikatakan: "Bergaullah kamu dengan Al-Hasan atau Ibnu Sirin." Demikian yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari, yaitu masing-masing dari keduanya memiliki persamaan dengan yang lain dalam hal boleh bergaul. Dengan demikian, berarti makna ayat menunjukkan mana saja di antara perumpamaan ini atau yang lain untuk menggambarkan mereka dinilai sesuai dengan keadaan mereka.
Menurut kami, perumpamaan ini dikemukakan berdasarkan jenis orang-orang munafik, karena sesungguhnya mereka terdiri dari berbagai macam tingkatan dan memiliki keadaan serta sifat masing-masing, sebagaimana yang disebut di dalam surat Bara-ah (At-Taubah) dengan memakai ungkapan waminhum (dan di antara mereka) secara berulang-ulang. Setiap kali disebut lafal waminhum, dijelaskan keadaan dan sifat-sifat mereka, ciri khas perbuatan serta ucapan mereka. Maka menginterpretasikan kedua perumpamaan ini buat dua golongan di antara mereka (orang-orang munaflk) lebih tepat dan lebih sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat mereka.
Allah ﷻ telah membuat dua perumpamaan bagi dua jenis orang-orang kafir yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan melalui firman-Nya di dalam surat An-Nur, yaitu: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar” (An-Nur: 39). “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam. (An-Nur: 40). Perumpamaan yang pertama ditujukan untuk orang kafir militan, yaitu mereka yang jahil murakkab (mereka tidak mengetahui bahwa dirinya tidak tahu); sedangkan yang kedua ditujukan untuk orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah, yaitu mereka dari kalangan para pengikut dan yang membebek kepada para pemimpinnya.
Atau keadaan mereka yang penuh kebimbangan, kesulitan, dan ketidaktahuan akan manfaat dan bahaya seperti keadaan orang yang ditimpa hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan karena tebal dan pekatnya awan, petir yang menggelegar dan kilat yang menyambar cepat. Mereka menyumbat telinga dengan ujung jari-jarinya, untuk menghindari suara petir itu karena takut mati. Mereka mengira dengan berbuat demikian akan terhindar dari kematian. Mereka itu bila diturunkan Al-Qur'an yang berisi penjelasan tentang kegelapan akibat kekufuran dan siksa yang akan diterima, penjelasan tentang keimanan dan cahayanya yang kemilau, dan penjelasan tentang macam-macam siksaan yang menakutkan, mereka berpaling dan berusaha menghindar darinya dengan harapan terbebas dari siksa. Allah meliputi dan mengetahui orang-orang yang kafir dengan ilmu dan kekuasaan-Nya. Karena amat cepat dan terangnya, hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan beberapa langkah di bawah sinar itu, dan apabila kilat itu menghilang dan gelap kembali menerpa mereka, mereka berhenti di tempat dengan penuh kebimbangan. Orang-orang munafik itu ketika melihat bukti-bukti dan tanda-tanda kekuasaan Allah terkagum-kagum dengan itu semua sehingga mereka berkeinginan mengikuti kebenaran tersebut. Akan tetapi, tidak beberapa lama kemudian mereka kembali kepada kekufuran dan kemunafikan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dengan suara halilintar yang memekakkan telinga, dan Dia hilangkan penglihatan mereka dengan sambaran kilat yang sangat cepat dan terang, tetapi Allah menangguhkan itu semua sampai tiba saatnya nanti. Sungguh, Allah yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan Mahakuasa atas segala sesuatu, dengan atau tanpa sebab apa pun.
Ayat ini memberikan perumpamaan yang lain tetang hal ihwal orang-orang munafik itu. Mereka diumpamakan seperti keadaan orang yang ditimpa hujan lebat dalam gelap gulita, penuh dengan suara gemuruh yang menakutkan dan kadang-kadang cahaya kilat menyambar sehingga mereka menutup telinga karena takut binasa.
Demikian halnya orang-orang munafik selalu dalam keragu-raguan dan kecemasan dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut anggapan mereka, Islam itu hanyalah membawa kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Kadangkala pikiran mereka menyebabkan mereka tidak dapat melihat apa yang ada di balik hujan lebat itu (Islam), yaitu unsur yang membawa kehidupan di atas bumi.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-20
NIFAK (II)
Ayat 14
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami ini telah beriman,' dan apabila mereka telah bersendirian dengan setan-setan mereka, mereka katakan, Sesungguhnya, kami adalah (tetap) bersama kamu, kami ini hanyalah mengolok-olokkan mereka itu".
Inilah kelanjutan dari perangai munafik; bila berhadapan mulutnya manis, bila di belakang lain bicara. Apa sebab jadi begini? Tidak lain adalah karena kelemahan jiwa, yang menyebabkan takut menghadapi kenyataan. Kepada orang-orang yang telah beriman, mereka mengaku telah beriman, sedangkan bila bertemu dengan teman-teman mereka yang sama-sama jadi setan atau ketua-ketua yang telah berpikiran sebagai setan, mereka takut didakwa, mengapa telah berubah pendirian. Mengapa telah ikut-ikut pula seperjalanan dengan orang-orang yang telah sesat itu? Mudah saja mereka menjawab bahwa pendirian mereka tetap, tidak berubah. Mereka mencampuri orang-orang yang telah menjadi pengikut Muhammad itu hanya siasat saja, sebagai olok-olok. Namun, pendirian mereka yang asli adalah mempertahankan yang lama tidaklah mau mereka mengubahnya. Karena, kalau tidak pandai kita menyesuaikan diri, tentu akhirnya kita tidak dapat mengetahui rahasia lawan kita. Beginilah kira-kira susun kata jawaban mereka jika setan-setan mereka bertanya. Adapun di segala zaman, jawaban yang seperti ini, dari orang yang jiwanya telah pecah, hampir sama saja, hanya susunannya berbeda sedikit-sedikit.
Mereka merasa telah menang sebab dapat memperolok-olokkan orang yang beriman. Padahal bagaimana yang sebenarnya? Merekalah jadinya yang diperolok-olok-kan Allah dan kesesatan itu diperpanjang sehingga mereka tidak sadar sama sekali. Mereka menjadi tidak tentu rebah-tegak, hilir mudik tidak menentu, resah gelisah, serba salah, sebab hanya mengambil muka ke sana, menarik hati kemari.
Ayat 15
“Allah-lah yang akan memperolok-olokkan mereka dan akan memperpanjang mereka di dalam kesesatan, Mereka resah gelisah."
Sekarang, mereka mengaku pula bahwa orang-orang yang beriman itu mereka perolok-olokkan, padahal merekalah yang telah diperolok-olokkan oleh Allah, sedangkan mereka pun tidak sadar. Yang mereka perolok-olokkan itu siapa? Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mempunyai seorang pemimpin besar yang disokong oleh wahyu. Sandaran mereka yang diperolok-olokkan itu
Ayat 16
“Mereka itulah orang-orang yang telah memberi kesesatan dengan petunjuk."
Artinya, Nabi ﷺ telah datang membawakan hudan, petunjuk. Hati kecil mereka sebagai insan yang berakal mengakui bahwa petunjuk Allah yang dibawa Nabi itu adalah benar, tidak dapat dibantah. Akan tetapi, ka-rena rayuan hawa nafsu dan perdayaan setan-setan halus dan setan kasar, terjadilah perjuangan batin. Akan ikutilah pada petunjuk itu atau akan tetap dalam kesesatan? Rupanya menanglah hawa nafsu dan setan, kalahlah jiwa murni karena kelemahan diri. Lalu, diadakanlah pertukaran (barter); badan, petunjuk, diserahkannya kepada orang lain, sedangkan dhalalah, kesesatan, diambilnya buat dirinya."Sebab itu, tidaklah berlaba perniagaan mereka." Awak sudah payah, resah gelisah siang dan malam “berniaga" pendirian; disangka gelas berlaba, rupanya pokok tua yang termakan.
“Dan tidaklah mereka dapat pimpinan."
Bagaimana mereka akan dapat pimpinan? Padahal pimpinan itulah yang mereka tentang selama ini? Padahal Muhammad ﷺ itulah yang pimpinan. Selain itu, tidak ada pimpinan lagi. Dan, ketenaran hanya satu, di luar kebenaran adalah batil. Kalau mengelak dari pimpinan wahyu, akan mengambil juga pimpinan yang lain, yaitu pimpinan untuk terus sesat. Itulah pimpinan setan.
Ayat 17
“Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api."
Mengapa api mereka nyalakan? Ialah karena mereka mengharap mendapat terang dari cahaya api itu, “Maka, tatkala api itu telah menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allah-lah cahaya mereka."
Api telah mereka nyalakan dan telah menggejolak naik dan yang di sekelilingnya telah diberinya cahaya, tetapi mata mereka sendiri tidak melihat lagi karena telah silau oleh cahaya api itu.
“Dan Dia biarkan mereka di dalam gelap gulita, tidak melihat."
Alangkah tepatnya perumpamaan Tuhan ini. Mereka diumpamakan dengan orang yang membuat unggun inginkan api, mengharap nyala dan cahayanya. Artinya, bahwa keinginan akan cahaya terang itu memang ada juga. Sebelum Nabi Muhammad ﷺ menyatakan risalahnya, dalam kalangan Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, yang mereka namai Messias. Mereka selalu membanggakan kepada orang Arab Madinah bahwa Taurat ada menyebutkan bahwa mereka akan kedatangan Nabi lagi. Sekarang, Nabi itu telah datang atau api telah nyala. Api yang telah lama mereka harapkan. Namun, setelah api nyala, yang di sekelilingnya mendapat terang. Arab Madinah yang dahulunya dihinakan oleh Yahudi, dikatakan orang-orang ummi, orang-orang yang tidak cerdas, telah menyambut nyala api itu dengan segala sukacita dan mereka telah mendapat cahaya-nya serta nyalanya. Orang-orang Yahudi kehilangan cahaya itu, walaupun api unggun ada di hadapan rumah mereka sendiri. Bertambah nyala api itu, mereka bertambah gelap gulita dan tidak melihat apa-apa.
Mengapa setelah unggun menyalakan api, mereka jadi gelap gulita dan mata mereka menjadi silau? Datang jawabnya pada ayat yang berikut.
Ayat 18
“Tuli, lagi bisu, lagi buta."
Meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau pancaindra yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu, dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu, dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan, inti sari agama Yahudi ajaran asli Nabi Musa telah hilang, dan yang tinggal hanya bingkai dan bangkai. Mereka bertahan pada huruf-huruf, tetapi mereka tidak peduli lagi pada isinya. Mereka menyangka mereka lebih di dalam segala hal, padahal karena menyangka lebih itulah mereka menjadi serba kurang.
“Maka, tidaklah Mereka (dapat) kembali lagi."
Sebab, langkah salah yang telah dimulai dari bermula telah membawa mereka masuk jurang. Apabila kendaraan telah menuju masuk jurang, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya ke tempat yang datar. Tujuannya sudah pasti ialah kehancuran.
Di ayat ini dimisalkan laksana orang yang menghidupkan api mengharapkan nyala dan cahayanya. Namun, ada lagi yang seperti mengharapkan hujan turun agar mendapat kesuburan.
Ayat 19
“Atau seperti hujan lebat dari langit, yang padanya ada gelap gulita, guruh dan kilat."
Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali. Namun, hujan lebat itu datangnya adalah dengan dahsyat. Pertama, langit jadi gelap oleh tebalnya awan dan mendung. Setelah awan itu sangat berat, lebih dahulu akan terdengarlah guruh dan petir, dan kilat pun sambung-menyambung; ngeri rasanya.
“Mereka sumbatkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka dari (mendengar) suara petir karena takut mati."
Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung-menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat, dan petir. Kebenaran Ilahi akan tegak di alam. Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan datangnya, mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, melainkan karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun. Dan, guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya, peringatan-peringatan yang keras sering dengan kedatangan hidayah Ilahi. Suara Rasul ﷺ akan keras laksana guruh membanteras adat lama pusaka usang, taklid dan berkeras mempertahankan pusaka nenek moyang. Kadang-kadang, memancar kilatan api kemurkaan dan ancaman. Siapa yang mengikut kebenaran, mari-kemari, iringkan daku menuju surga. Namun, siapa yang menentang, sengsaralah yang menunggunya dan neraka. Bila kehendak
Allah akan ditegakkan, semua orang wajib patuh. Pangkat dan kebesaran dunia, kekayaan yang berlimpah-limpah tidaklah akan menolong. Yang mulia di sisi Allah hanyalah orang yang takwa. Allah tidak menghitung berapa penghasilanmu sebulan, berapa orang gajian-mu, dan berapa bidang tanahmu. Allah hanya menghitung amalmu. Pendirian yang palsu tidak laku lagi; yang laku hanyalah ikhlas. Harta dunia dan anak yang selama ini menjadi kebanggaan bagimu, kalau dirimu tidak engkau sediakan untuk menjunjung tinggi kehendak Allah maka semuanya itu akan menjadi fitnah bagimu. Engkau akan kembali kepada Allah, engkau akan dibangkitkan kembali sesudah mati, dan akan diperhitungkan amalmu selama hidup. Di akhirat, harta kekayaan duniamu tidaklah akan menolong. Dan, tidak ada orang yang akan membelamu. Pembelaan hanyalah amalan sendiri.
Perkataan seperti ini adalah gelap bagi orang yang bertahan pada kemegahan dunia, walaupun bagi orang Mukmin membawa gembira sebab hujan pasti turun. Perkataan seperti ini bagi orang yang memang bertahan pada kebatilan memang Laksana guruh yang bunyinya menakutkan atau laksana kilat dan petir yang memancarkan api. Oleh karena takutnya mereka pada penghantar-penghantar hujan itu, tidaklah mereka gembira menunggu hujan, tetapi mereka tutup lubang telinga dengan jari supaya guruh dan petir itu jangan terdengar sebab semua mereka pandang ancaman maut bagi mereka. Mereka takut mati, mereka tidak mau bercerai dengan kehidupan lama yang mereka pegang teguh itu. Mereka tidak mau berpisah dengan benda yang mereka junjung sebagai menjunjung Tuhan.
“Tetapi Allah mengepung orang-orang yang kafir."
Allah mengepung mereka dari segala penjuru.
Ainal mafarri. Ke mana mereka akan lari?
Ayat 20
“Nyarislah kilat itu menyambar penglihatan Mereka"
Oleh karena mereka meraba-raba di dalam gelap, terutama kegelapan jiwa. Maka, kilat yang sambung-menyambung yang mereka takuti itu nyarislah membawa celaka mereka sendiri. Demikianlah, bagi orang Mukmin kilat itu tidak apa-apa. Mereka tahan melihat guruhnya dan melihat pancaran apinya yang hebat itu, tetapi si munafik menjadi kebingungan karena tidak tentu jalan yang akan ditempuh."Tiap-tiap kilat menerangi mereka, mereka pun berjalan padanya." Mereka angsur melangkah ke muka selangkah, tetapi takut tidak juga hilang, “Dan, apabila telah gelap atas mereka, mereka pun berhenti."
Perjalanan tidak diteruskan lagi, karena mereka hanya meraba-raba dan merumbu-rumbu. Sebab, pelita yang terang tidak ada di dalam dada mereka, yaitu pelita iman."Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka" Artinya, sia-sia penglihatan dan pendengaran yang masih ada pada mereka, mudah sajalah bagi Allah menghilangkannya sama sekali sehingga tamAllah riwayat hidup mereka di dalam kekufuran dan kesesatan, tersebab dari sikap jiwa yang pada mulanya ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, lalu kepadaman suluh,
“Sesungguhnya, Allah atas tiap-tiap sesuatu, adalah Mahakuasa."
(ujung ayat 20)