TAFSIR IJMALI JUZ 2
Pada pembahasan kali ini akan memuat materi dari Juz dua yakni dari Q.S. Al baqarah ayat 142 sampai ayat 252. Awal juz kedua mengangkat isu pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis di Al-Quds menuju Ka’bah di Mekkah. Yahudi Madinah berbaris paling depan dalam mengritisi perubahan ini. Mereka yang memang tidak mempercayai konsep nasakh menuduh hal itu sebagai inkonsistensi dan sikap plin-plan. Padahal nasakh artinya Allah memang sejak awal mengetahui dan menakdirkan akan mengubah kiblat. Bukan karena ada evaluasi kebijakan, apalagi baru mengetahui efek perintah pertama. Uniknya, Yahudi lupa bahwa nasakh telah terjadi pula di ajaran Nabi Musa dan nabi-nabi Bani Israil lainnya.
Tetapi pada akhirnya, tetap saja ke mana pun arah kiblat bukanlah perkara esensial. Kebajikan sejati ialah kemurnian iman, ketulusan berderma, dan kesungguhan menjalankan ibadah. Kebajikan pun belum nyata jika tidak diiringi dengan meninggalkan dosa, utamanya yang terkait jiwa dan harta sesama. Karenanya, Allah wajibkan pelaksanaan qisas untuk menjaga jiwa, perintahkan wasiat dan larang suap untuk menjaga harta, syariatkan puasa untuk mengontrol keinginan buruk menzalimi jiwa dan harta sesama, serta titahkan haji dan umrah sebagai latihan pengorbanan jiwa sekaligus harta.
Selanjutnya Dia perintahkan kita korbankan jiwa dan harta dalam berjuang di jalan-Nya. Jika jiwa seseorang terbunuh dalam medan jihad, janganlah ada yang mengira ia telah benar-benar mati. Sungguh ia sedang menikmati hidup sebenarnya hidup meski orang lain tak menyadari. Jika harta seseorang habis demi menyokong perjuangan, maka sungguh Allah hanya sedang meminjamnya untuk kemudian kelak Dia akan lunasi dengan pelipatgandaan yang banyak. Enggan berjuang berujung pada tersebarnya kerusakan di muka bumi. Enggan berkorban justru ibarat menjerumuskan diri pada kebinasaan. Sebesar apapun kehilangan jiwa dan harta dalam perjuangan menegakkan Islam, bukankah tetap saja kemusyrikan lebih besar dan lebih parah daripada pembunuhan?
Sejarah mencatat bahwa turunnya juz kedua ini masih di tahun-tahun awal fase Madinah. Dakwah masih sangat membutuhkan perjuangan serta pengorbanan jiwa dan harta walau itu memang dibenci hawa nafsu dalam diri. Tapi bukankah boleh jadi yang dibenci justru sebuah kebaikan serta boleh jadi yang dicinta malah sebuah keburukan? Khamr dan judi hanyalah dua dari sekian contoh hal yang disukai nafsu padahal senoktah manfaatnya sirna terlebur dalam lautan mudaratnya. Lagipula selincah bagaimana pun seseorang lari dari kehilangan jiwa dalam perjuangan, ia akan ditimpa kematian pula dengan cara lain. Seperti ribuan penduduk sebuah kota yang lari keluar kota karena takut mati dari wabah tetapi sampai di luar kota justru mereka semua tetap meninggal dunia dengan bencana alam. Hidup itu sendiri memang penuh ujian ketakutan, kelaparan, sakit, dan kematian. Berbahagialah yang menghadapinya dengan sabar.
Banyaknya orang tidak mau berkorban jiwa dan harta bukanlah penghalang perjuangan. Allah tetap mampu dan pasti memenangkan agama-Nya. Betapa banyak kelompok kecil, dari sisi jumlah dan fasilitas, mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Lihatlah Nabi Dawud muda yang dengan tubuh kecilnya sanggup menumbangkan Jalut nan bertubuh besar. Penghalang keberhasilan perjuangan sebenarnya adalah lumpur dosa mendurhakai nabi yang membuat kaki berat melangkah dan kecintaan berlebihan terhadap dunia yang membuat hati tak teguh. Bahkan air sungai Yordania yang diminum berlebihan saja dapat menghentikan langkah juang mayoritas pasukan Raja Thalut! Dapat menciutkan nyali mereka hingga berujar, “Kami tak kuat lagi melawan Jalut dan bala tentaranya hari ini.”
Dosa kedurhakaan dan cinta dunia itu pulalah yang menjerumuskan pemuka agama untuk menutupi kebenaran dan menjual ayat-Nya dengan murah demi kepentingan sesaat. Orang awam yang mengikuti para pemuka agama tersebut bak tuli, bisu, dan buta karena hanya seperti gembalaan yang mengikuti teriakan ke mana saja. Kasihan mereka yang lebih menyukai tradisi leluhur daripada kebenaran Allah. Kasihan mereka yang mencintai tandingan selain Allah menyamai atau melebihi kecintaannya pada Allah. Kelak mereka pun akan sadar di akhirat. Mereka akan berlepas diri dari pemuka agama dan leluhur yang menyesatkan mereka itu walau sudah terlambat sebenarnya. Demikianlah kesudahan orang yang mengikuti langkah-langkah setan.
Memang takwa itulah kekuatan perjuangan sesungguhnya. Takwa dengan menjalankan Islam secara utuh (kaaffah). Takwa yang merupakan kebajikan hakiki, bukan seperti orang yang menakjubkan dalam pembicaraannya tentang dunia, padahal dia adalah penentang yang paling keras, dia berbuat kerusakan di bumi, dia bahkan congkak apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah.” Sedemikian urgennya takwa hingga Allah tutup delapan ayat dalam juz kedua ini dengan perintah takwa ditambah pemaparan puluhan syariat, termasuk rukun Islam, yang berimplikasi takwa. Takwalah sebaik-baik bekal (khairazzaad) menuju kebaikan di dunia dan akhirat serta perlindungan dari azab neraka.
Namun, pribadi-pribadi bertakwa yang siap berkorban jiwa dan harta tersebut tidak muncul begitu saja. Mereka lahir dari pasangan suami istri yang dasar pemilihan pasangannya lebih karena iman daripada sekadar ketertarikan hati karena fisik dan harta. Pasutri yang visi pernikahannya adalah menegakkan ajaran Allah. Pasutri yang bahkan hubungan romantisme mereka diniatkan sebagai ladang kebaikan hingga begitu memperhatikan aturan Allah terkaitnya. Pasutri yang begitu memperhatikan pendidikan dan kesehatan anak mereka, termasuk agar mendapat ASI selama dua tahun serta tidak makan kecuali yang halal nan thayyib (bergizi). Pasutri yang khusyu dalam salat, berhati-hati dalam bersumpah, serta membudayakan musyawarah. Pasutri yang bahkan berpisah, baik karena cerai atau wafat, pun dijalani dengan cara terbaik nan mengesankan sesuai bimbingan-Nya.
Juz kedua ini juga begitu serasi dengan kisah pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di juz pertama. Berkali-kali di juz ini Allah perintahkan salat menghadap Ka’bah. Allah ungkapkan betapa bahwa sa’i antara Shafa Marwah merupakan syiar-Nya. Allah ajarkan konsep berhaji dengan tawaf, mabit, hingga wukuf. Semua itu isyarat bahwa meski saat ayat-ayat ini turun Ka’bah masih dikepung ratusan berhala dan masih menjadi pusat ritual kemusyrikan Arab, tetapi kelak engkau, wahai Nabi Muhammad, akan kembali ke sana, mengembalikan fungsinya sebagaimana dibangun mula-mula. Sebab engkaulah jawaban atas doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di depan Ka’bah dahulu sebagai nabi dari penduduk Mekkah yang membacakan Al-Qur’an beserta Sunnah serta menyucikan dan mengajari manusia. Sungguh engkau benar-benar termasuk dari para utusan-Nya. Wallahu A’lam.
Untuk mendapatkan file dalam bentuk PDF silakan download di:
Penulis: Nur Fajri Romadhon