Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَيۡسَ
bukankah
ٱللَّهُ
Allah
بِأَحۡكَمِ
lebih bijaksana/seadil-adilnya
ٱلۡحَٰكِمِينَ
para hakim
أَلَيۡسَ
bukankah
ٱللَّهُ
Allah
بِأَحۡكَمِ
lebih bijaksana/seadil-adilnya
ٱلۡحَٰكِمِينَ
para hakim
Terjemahan
Bukankah Allah hakim yang paling adil?
Tafsir
(Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?) artinya Dia adalah hakim yang paling adil di antara hakim-hakim yang adil lainnya, dan keputusan-Nya berdasarkan sifat tersebut. Di dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa membaca surah At-Tiin hingga akhir surah, maka hendaknya sesudah itu ia menjawab, 'Balaa Wa Anaa 'Alaa Dzaalika Minasy Syaahidiina/tentu saja kami termasuk orang-orang yang menyaksikan akan hal tersebut.'".
Tafsir Surat At-Tin: 1-8
Demi (buah) tin dan (buah) zaitun, dan demi Bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yanga man, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir surat ini, ada beberapa pendapat yang cukup banyak di kalangan mereka mengenainya.
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan tin adalah sebuah masjid di kota Dimasyq. Menurut pendapat yang lainnya adalah buah tin. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi adalah nama sebuah gunung penuh dengan buah tin. Al-Qurtubi mengatakan bahwa tin adalah nama masjid As-habul Kahfi. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Al-Aufi, bahwa tin di sini adalah masjid Nabi Nuh yang ada di puncak Bukit Al-Judi.
Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah pohon tin kalian ini. Sedangkan mengenai zaitun menurut Ka'bul Ahbar, Qatadah, Ibnu Zaid, dan yang lainnya hal ini adalah nama sebuah masjid yang terletak di kota Yerussalem (Baitul Maqdis). Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah buah zaitun yang kalian peras ini. dan demi Bukit Sinai. (At-Tin: 2) Ka'bul Ahbar dan yang lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini adalah nama bukit yang di tempat itu Allah berbicara langsung kepadaMusa’alaihissalam
dan demi kota (Mekah) ini yang aman. (At-Tin: 3) Makna yang dimaksud adalah kota Mekah, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Ibnu Zaid, dan Ka'bul Ahbar; tiada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini. Sebagian para imam mengatakan bahwa ketiganya merupakan nama tiga tempat yang pada masing-masingnya Allah telah mengutus seorang nabi dari kalangan Ulul 'Azmi para pemilik syariat-syariat yang besar. Yang pertama ialah tempat yang dipenuhi dengan tin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis, Allah telah mengutus Isa putra Maryam padanya.
Yang kedua adalah Tur Sinai, yakni nama bukit yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa ibnu Imran. Dan yang ketiga ialah Mekah alias kota yang aman; yang barang siapa memasukinya, pasti dia dalam keadaan aman; di tempat inilah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad ﷺ Mereka mengatakan bahwa pada akhir kitab Taurat nama ketiga tempat ini disebutkan, "Allah datang dari Bukit Sinai yakni tempat yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa a.s. ibnu Imran. Dan muncul di Sa'ir, nama sebuah bukit di Baitul Maqdis, yang padanya Allah mengutus Isa.
Dan tampak di bukit-bukit Faran, yakni bukit-bukit Mekah yang darinya Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Muhammad ﷺ Maka Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan nama-nama ketiga tempat itu seraya memberitakan tentang mereka yang diutus-Nya secara tertib dan menurut urutan zamannya. Untuk itulah hal ini berarti Allah bersumpah dengan menyebut yang mulia, lalu yang lebih mulia darinya, kemudian yang lebih mulia dari keseluruhannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tin: 4) Dan inilah subjek sumpahnya, yaitu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5) Yakni neraka, menurut Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Yakni kemudian sesudah penciptaan yang paling baik lagi paling indah itu, tempat kembali mereka adalah ke neraka, jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti rasul-rasul-Nya.
Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin:6) Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempatyang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5) Yaitu kepada usia yang paling hina. Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Ikrimah, sehingga Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang hafal Al-Qur'an seluruhnya, maka ia tidak akan memasuki usia yang paling hina.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Seandainya hal itulah yang dimaksud oleh makna ayat, niscaya tidaklah menjadi indah pujian bagi kaum mukmin, mengingat sebagian dari mereka adalah yang mengalami usia pikun. Dan sesungguhnya makna yang dimaksud hanyalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yakni ke neraka, bukan ke usia yang paling hina alias pikun.
Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, (Al-'Asr: 1-3) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (At-Tin: 6) Yakni tiada habis-habisnya, sebagaimana yang sering diterangkan sebelumnya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan. (At-Tin: 7) wahai anak Adam. (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Maksudnya, pembalasan di hari kemudian. Sesungguhnya kamu telah mengetahui permulaan kejadianmu dan telah mengetahui bahwa Tuhan yang mampu menciptakan dari semula berkuasa pula untuk mengembalikannya jadi hidup, bahkan itu lebih mudah bagi-Nya.
Maka apakah yang mendorongmu mendustakan adanya hari pembalasan, padahal engkau telah mengetahui hal tersebut? Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Mansur yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada Mujahid mengenai makna firman-Nya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Apakah yang dimaksud adalah Nabi ﷺ? Maka Mujahid menjawab, "Ma'azallah, makna yang dimaksud adalah manusia." Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan lain-lainnya.
Firman Allah Swt: Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (At-Tin: 8) Yakni bukankah Dia Hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seseorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya ialah Dia mengadakan hari kiamat, lalu orang yang dianiaya di dunia dapat membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya di hari itu. Dalam pembahasan yang lalu telah kami terangkan melalui hadits Abu Hurairah secara marfu': Apabila seseorang di antara kamu membaca Wat Tini Waz Zaituni (surat At-Tin), lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala, "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya, maka hendaklah ia mengucapkan, "Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.
Demikianlah akhir tafsir surat At-Tin, dan segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya."
Bukankah Allah adalah hakim yang paling adil' Jangan kaukira Allah menciptakan manusia secara sia-sia dengan tidak memberinya perintah dan larangan. Allah telah menurunkan aturan syariat. Dia akan memberi putusan dengan adil; memberi pahala kepada orang yang taat dan menghukum orang yang bersalah. 1. Wahai Nabi, bacalah apa yang Allah wahyukan kepadamu dengan terlebih dahulu menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan segala sesuatu dengan keesaan-Nya.
Allah menegaskan bahwa menerapkan ketentuan tentang kemuliaan manusia itu didasarkan atas iman dan perbuatan baiknya, itu adalah bukti bahwa Allah Mahabijaksana. Hal itu karena iman itulah yang akan membuahkan perbuatan baik, sedangkan keingkaran hanya akan membuahkan kejahatan, sebagaimana disampaikan di atas. Bila kemuliaan diletakkan pada kekafiran dan kejahatan, itu akan menghancurkan alam ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 4
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu atas sebaik-baik pendirian." (ayat 4)
Yaitu bahwa di antara makhluk Allah di atas muka bumi ini, manusia diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk lahir dan batinnya; bentuk tubuh dan nyawanya.
Ayat 5
“Kemudian itu, Kami jatuhkan dia kepada serendah-rendah yang rendah." (ayat 5)
Sesudah lahir ke dunia, berangsur tubuhnya kuat dan bisa berjalan, dan akal pun berkembang, sampai dewasa, sampai puncak kemegahan umur. Kemudian itu berangsur menurun tubuh tadi, berangsur kian tua. Badan mulai lemah, pikiran juga lemah, tenaga berkurang, gigi mulai rontok, rambut hitam berganti uban, kulit kencang mulai kendor, telinga berkurang pendengarannya, mulai pelupa. Kalau umur masih panjang juga, suatu ketika akal pun padam, sehingga kembali seperti anak-anak, berharap akan belas kasihan anak-cucu.
Ayat 6
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh."
Menurut Tafsir Ibnu Jarir, “Beriman dan beramal saleh di waktu badan masih muda dan sehat."
“Maka untuk mereka ada ganjarnan yang tiada putus-putus." (ujung ayat 6)
Doa yang diajarkan Nabi ﷺ itu ialah “Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bakhil dan pemalas, dari tua dan kepikunan, dari siksa kubur dan fitnah dajjal, dari fitnah kehidupan dan kematian." (HR Bukhari)
Di dalam Al-Qur'an umur tua renta (Ardzalil ‘Umur) itu sampai bertemu dua kali. Yaitu surah an-Nahl, ayat 70 dan surah al-Hajj, ayat 5. Ketika menafsirkan Ardzalil ‘Umur itu terdapatlah satu tafsir dari Ibnu Abbas, demikian bunyinya, “Asal saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap dituliskan amal salehnya sebagaimana di waktu mudanya itu jua, dan tidaklah dia akan dianggap berdosa lagi atas perbuatannya di waktu akalnya tak ada lagi itu. Sebab dia adalah beriman. Dia adalah taat kepada Allah di masa mudanya."
Ayat 7
“Maka apakah sesuatu yang akan mendustakan kamu tentang agama." (ayat 7)
Artinya, kalau sudah demikian halnya, yaitu Allah telah menciptakan engkau, hai insan sedemikian rupa, dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan setelah lanjut umur kamu akan jatuh menjadi serendah-rendahnya; kalau tidak ada pendidikan dan asuhan agama semenjak kecil. Bukankah ajaran agama itu yang akan menjadi pegangan bagi kamu menempuh hidup ini, sejak mudamu sampai kepada hari tuamu?
Ayat 8
“Bukankah Allah itu yang paling adil diantara segala yang menghukum?" (ayat 8)
Kalau seseorang setia memegang ajaran agama untuk pedoman hidupnya, lalu hidupnya selamat sampai hari tuanya, bukankah itu suatu akibat yang adil dari hukum kebijaksanaan Ilahi?
Maka segala petunjuk yang dibawa oleh nabi-nabi, baik yang dilambangkan oleh buah tin dan zaitun yang tumbuh di pergunungan Jerusalem (Palestina) yang berupa kitab suci; atau yang diturunkan di Jabal Thursina di Semenanjung Sinai, tempat Taurat diberikan kepada Musa; atau kitab penutup yang dibawa oleh Khatamul Anbiya' wal Mursalin, Al-Qur'an yang dibawa Muhammad, yang mula diturunkan di negeri yang aman, Mekah Al-Mukarramah; semuanya itu adalah satu maksudnya, yaitu ad-Din, agama untuk maslahat hidup manusia sejak datang ke dunia ini sampai pulangnya ke akhirat esok.
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits dirawikan Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi menganjurkan bila imam sampai pada penutup ayat ini, pada shalat jahar, Alaisallaahu bi ahkamil haakimiirr, kita makmun sunnat membaca, “Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minasy syaahidiin. Benar itu! Dan aku sendiri atas yang demikian itu turut menyaksikan."