Ayat
Terjemahan Per Kata
قُتِلَ
dibunuh/dibinasakan
أَصۡحَٰبُ
kaum/orang-orang
ٱلۡأُخۡدُودِ
pembuat parit
قُتِلَ
dibunuh/dibinasakan
أَصۡحَٰبُ
kaum/orang-orang
ٱلۡأُخۡدُودِ
pembuat parit
Terjemahan
binasalah orang-orang yang membuat parit (tempat menyiksa orang mukmin)
Tafsir
(Telah dibinasakan) telah dilaknat (orang-orang yang memiliki Ukhdud) artinya orang-orang yang menggali parit.
Tafsir Surat Al-Buruj: 1-10
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut nama langit dan gugusan-gugusannya, yakni bintang-bintangnya yang besar-besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir firman-Nya: Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (Al-Furqan: 61) Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi mengatakan bahwa Al-Buruj artinya bintang-bintang.
Diriwayatkan pula dari Mujahid bahwa Al-Buruj artinya yang ada penjaganya. Yahya ibnu Rafi' mengatakan bahwa Al-Buruj artinya gedung-gedung yang terdapat di langit. Al-Minhal ibnu Amr telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. (Al-Buruj: l) Yakni bentuk yang baik. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah manzilah-manzilah matahari dan bulan, yang semuanya ada dua belas buruj; matahari menempuh tiap-tiap manzilah itu selama satu bulan, sedangkan bulan berjalan pada masing-masing darinya selama dua sepertiga hari, yang berarti dua puluh delapan malam, sedangkan yang dua malamnya bulan bersembunyi.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:2-3) Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan maknanya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Amr Al-Gazi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid ibnu Safwan ibnu Aus Al-Ansari, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Dan hari yang dijanjikan, yaitu hari kiamat, dan yang menyaksikan, yaitu hari Jumat. Dan tiada suatu hari pun yang mentari terbit dan tenggelam padanya lebih utama daripada hari Jumat; di dalamnya terdapat suatu saat yang tidak sekali-kali seorang hamba yang muslim menjumpainya, lalu meminta suatu kebaikan padanya, melainkan Allah memberinya hal itu.
Dan tidaklah dia meminta perlindungan dari suatu kejahatan padanya melainkan Allah melindunginya. Dan hari yang disaksikan itu adalah hari Arafah. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, sedangkan dia orangnya daif. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Abu Hurairah, maka riwayat inilah yang lebih mirip kepada kesahihan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia telah mendengar Ali ibnu Zaid dan Yunus ibnu Ubaid; keduanya menceritakan hadits. dari Ammar maula Bani Hasyim, dari Abu Hurairah. Adapun meryurut riwayat Ali, maka dia me-rafa'-kannya sampai kepada Nabi ﷺ, sedangkan Yunus hanya sampai kepada Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Abu Hurairah telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Bahwa yang menyaksikan adalah hari Jumat, dan yang disaksikan adalah hari kiamat.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Yunus, bahwa ia pernah mendengar Ammar maula Bani Hasyim menceritakan hadits dari Abu Hurairah, bahwa ia telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Bahwa yang menyaksikan adalah hart Jumat dan yang disaksikan adalah hari 'Arafah, dan yang dijanjikan adalah hari kiamat.
Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia pernah mengatakan bahwa hari yang dijanjikan itu adalah hari kiamat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Zaid, tetapi aku tidak melihat mereka berselisih pendapat mengenainya; segala puji bagi Allah. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan: telah menceritakan kepada kamu Muhammad ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Hari yang dijanjikan ialah hari kiamat, dan sesungguhnya yang menyaksikan ialah hari Jumat, dan sesungguhnya yang disaksikan ialah hari 'Arafah dan hari Jumat yang sengaja disimpankan oleh Allah untuk kita (umat Muhammad).
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan: telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Musa Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, dari Ibnu Harmalah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sesungguhnya penghulu hari itu adalah hari Jumat, yaitu hari yang menyaksikan, sedangkan hari yang disaksikan adalah hari Arafah. Ini merupakan salah satu dari hadits mursal-nya Sa'id ibnul Musayyab. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Syu'bah, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf Al-Makki, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah Muhammad ﷺ, sedangkan yang disaksikan adalah hari kiamat.
Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (Hud: 103) Telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Syubak yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Hasan ibnu Ali tentang makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:3) Al-Hasan ibnu Ali menjawab, "Apakah engkau pernah bertanya kepada seseorang sebelumku?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku pernah bertanya kepada Ibnu Umar dan Ibnuz Zubair.
Lalu keduanya menjawab, bahwa makna yang dimaksud adalah Hari Raya Kurban dan hari Jumat." Maka Al-Hasan ibnu Ali berkata, "Bukan, yang menjadi saksi adalah Muhammad ﷺ" Kemudian Al-Hasan ibnu Ali membaca firman-Nya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Dan yang dimaksud dengan yang disaksikan adalah hari kiamat; kemudian Al-Hasan membaca firman-Nya: Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (Hud: 103) Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Ibnu Hannalah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa yang disaksikan adalah hari kiamat. Mujahid, Ikrimah, dan Adh-Dhahhak mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah anak Adam, dan yang disaksikan adalah hari kiamat. Diriwayatkan dari Ikrimah pula bahwa yang menyaksikan adalah Muhammad ﷺ, dan yang disaksikan adalah hari Jumat. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang menyaksikan adalah Allah, dan yang disaksikan adalah hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Yahya Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:3) Bahwa yang menyaksikan adalah manusia, sedangkan yang disaksikan adalah hari Jumat; hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Yang menyaksikan adalah hari' Arafah, dan yang disaksikan adalah hari kiamat. Hal yang sama diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa yang dimaksiid adalah Hari Raya Kurban dan hari Arafah, yakni yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa yang disaksikan adalah hari Jumat; sehubungan dengan hal ini mereka meriwayatkan sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh Ahmad ibnu Abdur Rahman, bahwa telah menceritakan kepadaku pamanku (yaitu Abdullah ibnu Wahb), telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Zaid ibnu Aiman, dari Ubadah ibnu Nasiy, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Perbanyaklah membaca salawat untukku di hari Jumat', karena sesungguhnya hari Jumat itu adalah hari yang disaksikan oleh para malaikat.
Diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa yang menyaksikan adalah Allah. Kemudian ia membaca firman-Nya: Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (Al-Fath: 28) dan yang disaksikan adalah kita semua; demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Bagawi. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah hari Jumat dan yang disaksikan adalah hari 'Arafah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. (Al-Buruj: 4) Yakni terkutuklah para pembuat parit itu.
Ukhdud bentuk jamaknya adalah akhadid. yang artinya galian. Hal ini menceritakan perihal suatu kaum yang kafir. Mereka dengan sengaja menangkap orang-orang mukmin yang ada di kalangan mereka; orang-orang mukmin itu lalu mereka paksa untuk murtad dari agamanya, tetapi orang-orang mukmin menolaknya. Untuk itu kaum kafir tersebut membuat suatu galian buat orang-orang mukmin yang mereka tangkap itu, kemudian mereka nyalakan di dalamnya api yang besar, dan mereka menyediakan kayu bakar yang cukup untuk membuat api itu tetap bergejolak.
Setelah itu mereka membawa orang-orang mukmin yang mereka tangkap itu ke dekat galian, lalu ditawarkan kepada mereka untuk murtad, tetapi ternyata orang-orang mukmin itu menolak dan tidak mau menerimanya. Akhirnya orang-orang mukmin itu dilemparkan ke dalam parit yang ada apinya itu. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. (Al-Buruj:4-7) Yaitu mereka menyaksikan apa yang dilakukan terhadap orang-orang mukmin itu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj: 8) Orang-orang mukmin itu tidak mempunyai salah terhadap mereka kecuali hanya karena iman mereka kepada Allah Yang Mahaperkasa yang tidak akan tersia-sia orang yang berlindung di bawah naungan-Nya yang sangat kokoh, lagi Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya. dan dalam syariat dan takdir-Nya. Sekalipun Dia telah menakdirkan atas hamba-hamba-Nya yang beriman itu berada di tangan kekuasaan orang-orang kafir yang memberlakukan terhadap mereka seperti apa yang disebutkan di atas, maka Dia tetap Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, walaupun penyebab hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. (Al-Buruj:9) Termasuk sifat Allah yang sempurna ialah Dia memiliki semua alam langit dan alam bumi berikut apa yang ada di antara keduanya dan juga yang ada di dalam keduanya. dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Buruj:9) Yakni tiada sesuatu pun yang tidak kelihatan bagi-Nya di langit dan di bumi, dan tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai orang-orang yang disebutkan dalam kisah ayat ini, siapakah mereka sebenarnya? Disebutkan dari sahabat Ali bahwa mereka adalah penduduk negeri Persia ketika raja mereka ingin menghalalkan kawin dengan mahram, lalu ulama mereka menentang kehendak raja itu.
Maka dengan sengaja si raja membuat parit dan melemparkan ke dalamnya setiap orang yang menentang keinginannya dari kalangan mereka; dan akhirnya menghalalkan kawin dengan mahram terus berlangsung sampai sekarang. Menurut riwayat lain yang juga dari Ali, mereka adalah suatu kaum di negeri Yaman. Orang-orang mukmin dari kalangan mereka berperang dengan orang-orang musyriknya. maka pada mulanya orang-orang mukmin menang atas orang-orang kafir, kemudian selang beberapa masa pertempuran di antara mereka kembali berkobar, dan kali ini orang-orang kafirlah yang menang atas orang-orang mukmin.
Lalu orang-orang kafir membuat parit-parit dan para tawanan kaum mukmin dimasukkan ke dalamnya, kemudian dibakar di dalam parit itu. Diriwayatkan pula dari Ali, bahwa mereka adalah penduduk negeri Habsyah (Etiopia sekarang). Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (Al-Buruj: 4-5) Bahwa mereka adalah segolongan orang-orang dari kaum Bani Israil yang membuat parit-parit, kemudian dinyalakanlah api di dalam parit itu.
Kemudian mereka membawa kaum laki-laki dan wanita yang beriman ke pinggir parit itu dan mereka dipaksa untuk kafir, tetapi mereka menolak, lalu mereka dimasukkan ke dalamnya. Menurut pendapat ulama, mereka adalah Nabi Danial dan para pengikutnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Adh-Dhahhak ibnu Muzahim; menurut pendapat yang lainnya lagi menyebutkan selain itu. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Suhaib, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceritakan kisah berikut.
Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kamu terdapat seorang raja yang mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah lanjut usia, ia berkata kepada rajanya, "Sesungguhnya usiaku telah lanjut dan tidak berapa lama lagi ajalku akan tiba, maka berikanlah kepadaku seorang pemuda yang akan kuajari ilmu sihir." Maka raja menyerahkan kepada tukang sihir itu seorang pemuda untuk diajarinya ilmu sihir.
Dan tersebutlah di antara rumah penyihir dan raja terdapat seorang rahib; maka bila si pemuda akan pergi ke rumah penyihir, terlebih dahulu ia mampir ke rumah si rahib dan mendengarkan perkataannya yang memikat hati si pemuda itu. Tersebutlah pula bahwa apabila si pemuda itu datang ke tempat penyihir, maka penyihir memukulnya seraya berkata.'Apakah yang membuatmu datang terlambat?" Dan apabila pemuda itu pulang ke rumah keluarganya, maka mereka memukulnya pula seraya bertanya.Mengapa kamu pulang terlambat?" Kemudian si pemuda mengadukan hal tersebut kepada si rahib.
Maka rahib memberinya petunjuk, "Apabila tukang sihir itu hendak memukulmu, katakanlah kepadanya bahwa keluargamu yang membuatmu datang terlambat. Dan apabila keluargamu hendak memukulmu. maka katakanlah kepada mereka bahwa si tukang sihirlah yang membuatmu pulang terlambat." Pada suatu hari si pemuda itu mendatangi seekor hewan yang besar lagi mengerikan, hewan itu menghalang-halangi jalan yang dilalui oleh manusia sehingga mereka tidak dapat melewatinya.
Maka si pemuda itu berkata, "Pada hari ini aku akan mengetahui apakah perintah rahib yang lebih disukai oleh Allah ataukah perintah si tukang sihir." Si pemuda memungut sebuah batu dan berdoa, "Ya Allah, jika perintah rahib lebih disukai oleh Engkau dan lebih Engkau ridai daripada perintah si tukang sihir, maka bunuhlah hewan yang mengerikan ini agar manusia dapat melalui jalannya," lalu ia melemparkan batu itu ke arah hewan tersebut dan mengenainya sampai mati, maka orang-orangpun dapat melewati jalannya seperti biasa.
Pemuda itu menceritakan hal tersebut kepada si rahib, maka si rahib berkata, "Wahai anakku, engkau lebih utama daripada aku, dan sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika engkau mendapat cobaan, janganlah engkau menunjukkan tempatku berada." Tersebutlah bahwa pemuda itu dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit supak, dan penyakit-penyakit lainnya yang sulit disembuhkan. Dan tersebutlah bahwa si raja mempunyai teman sekedudukan yang terkena penyakit kebutaan.
Ketika teman raja itu mendengar perihal si pemuda yang dapat menyembuhkan segala penyakit. maka ia datang kepadanya dengan membawa banyak hadiah seraya berkata, "Sembuhkanlah aku dari penyakitku ini. maka aku akan memberimu segala sesuatu yang ada di sini." Si pemuda menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menyembuhkan melainkan yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala Maka jika engkau mau beriman kepada-Nya. aku akan mendoakanmu kepada-Nya, dan Dia akan menyembuhkanmu." Teman raja itu mau beriman, maka si pemuda berdoa kepada Allah, kemudian dengan serta merta teman raja itu sembuh saat itu juga.
Lalu teman raja itu datang lagi kepada raja dan duduk bersamanya sebagaimana biasanya. Si raja merasa kaget dan bertanya, "Wahai Fulan, siapakah yang mengembalikan pandangan matamu menjadi seperti sedia kala?" Teman raja menjawab, "Tuhanku." Si raja bertanya, "Apakah itu aku?" Teman raja menjawab, "Bukan, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." Raja bertanya, "Apakah engkau mempunyai tuhan lain selain aku?" Teman raja menjawab, "Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." Maka raja terus-menerus menyiksa temannya itu, hingga pada akhirnya teman raja itu menunjukkan kepada si pemuda.
Maka pemuda itu dipanggil menghadap kepada raja, dan raja berkata kepadanya, "Wahai anakku, telah sampai kepadaku bahwa ilmu sihirmu mencapai tingkatan dapat menyembuhkan sakit buta, sakit supak, dan segala macam penyakit." Si pemuda menjawab, "Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun, sesungguhnya yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala" Si raja bertanya, "Dia adalah aku bukan?" Si pemuda menjawab, "Bukan." Raja bertanya, "Apakah engkau mempunyai tuhan selain aku?" Pemuda menjawab, "Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." Maka si raja itu pun menyiksa si pemuda dan terus-menerus menginterogasinya hingga pada akhirnya terpaksa si pemuda menunjukkan kepada si rahib, maka si rahib ditangkap dan dihadapkan kepada raja.
Raja berkata kepadanya, "Tinggalkanlah agamamu itu." Si rahib menolak', maka raja meletakkan gergaji di tengah kepalanya dan membelah tubuhnya hingga terbelah. Kemudian si raja berkata kepada temannya yang tadinya buta itu, "Tinggalkanlah agamamu!" Ia menolak, maka diletakkan pula gergaji di atas kepalanya, lalu tubuhnya dibelah menjadi dua dan jatuh ke tanah. Raja berkata kepada si pemuda, "Tinggalkanlah agamamu itu." Si pemuda menolak, maka raja menyuruh sejumlah orang untuk membawanya ke atas sebuah gunung, dan berpesan kepada mereka, "Apabila kamu telah mencapai puncaknya, ancamlah dia.
Maka jika dia mau meninggalkan agamanya, biarkanlah. Tetapi jika menolak. lemparkanlah ia dari puncaknya." Maka mereka membawa si pemuda itu. Dan ketika mereka telah sampai di puncak gunung tersebut bersama si pemuda itu, maka si pemuda berdoa, "Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki." Maka dengan tiba-tiba bumi mengalami gempa sangat kuat mengguncangkan mereka, sehingga mereka semuanya terjatuh dari puncak gunung itu.
Kemudian si pemuda itu datang kembali kepada raja. Setelah mendapat izin masuk, lalu pemuda itu menemui raja, dan raja bertanya kepadanya, "Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?" Si pemuda menjawab, "Allah subhanahu wa ta’ala telah menyelamatkan aku dari mereka." Lalu raja mengirim sejumlah orang untuk membawa pemuda itu ke laut, seraya berpesan kepada mereka, "Jika kalian telah sampai di tengah laut, dan ternyata dia mau meninggalkan agamanya, maka biarkanlah dia.
Tetapi jika ia tetap membangkang, maka lemparkanlah dia ke laut." Lalu mereka menempuh jalan laut dengan membawa si pemuda itu. Ketika sampai di tengah laut, si pemuda berdoa, "Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau sukai." Maka mereka semua tenggelam ke dalam laut itu. Pemuda itu kembali datang dan menghadap kepada'raja, dan raja bertanya, "Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?" Pemuda itu menjawab, "Allah subhanahu wa ta’ala telah menyelamatkan diriku dari mereka." Kemudian si pemuda itu berkata lagi kepada si raja, "Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sebelum melakukan apa yang akan kuperintahkan kepadamu.
Jika engkau lakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, niscaya engkau dapat membunuhku; dan jika tidak, maka selamanya engkau tidak akan dapat membunuhku." Raja bertanya, "Bagaimanakah caranya?" Pemuda itu menjawab, "Engkau kumpulkan semua manusia di suatu lapangan, kemudian engkau salib aku di atas balok kayu dan engkau ambil sepucuk anak panah dari wadah anak panahku, kemudian ucapkanlah, "Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si pemuda ini." Maka sesungguhnya jika engkau lakukan hal itu, barulah engkau dapat membunuhku." Raja melakukan apa yang disarankan oleh si pemuda itu dan memasang anak panah pemuda itu di busurnya, kemudian ia bidikkan ke arah pemuda tersebut dengan mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si pemuda ini." Maka panah melesat dan mengenai pelipisnya, lalu si pemuda memegang pelipisnya yang terkena panah itu dan meninggal dunia saat itu juga.
Maka semua orang yang hadir berkata, "Kami beriman kepada Allah, Tuhan si pemuda ini." Dan dikatakan kepada raja.Sekarang engkau baru menyaksikan apa yang engkau sangat mengkhawatirkannya. Sesungguhnya, demi Allah, kamu telah dikalahkan karena semua orang telah beriman." Raja sangat berang, lalu ia memerintahkan agar di tengah jalan dibuat galian parit yang cukup dalam dan dinyalakanlah api di dalam parit itu.
Lalu raja berkata, "Barang siapa yang mau meninggalkan agamanya, biarkanlah dia. Dan jika tidak ada, maka masukkanlah mereka semuanya ke dalam parit itu." Tersebutlah bahwa mereka berlari-lari menuju ke parit itu dan saling berdesakan untuk paling dahulu masuk ke dalamnya. Dan datanglah seorang ibu yang membawa anak laki-laki yang masih disusuinya, maka seakan-akan si ibu enggan untuk menjatuhkan dirinya ke dalam parit yang penuh dengan api itu.
Maka bayi yang digendongnya itu berkata.Wahai Ibu, bersabarlah karena sesungguhnya engkau berada di jalan yang benar." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di akhir kitab sahihnya, dari Hudbah ibnu Khalid, dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad dan lafal yang semisal. Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Salman, dari Usman ibnu Hammad ibnu Salamah dan melalui jalur Hammad ibnu Zaid; keduanya dari Sabit dengan sanad yang sama, tetapi mereka meringkas bagian pertama hadits.
Al-Imam Abu Isa At-At-Tirmidzi telah meriwayatkannya dengan predikat yang baik di dalam tafsir surat ini dari Mahmud ibnu Gailan dan Abdu ibnu Humaid, tetapi maknanya sama, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Sabit Al-Bannani, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Suhaib yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bila telah shalat Asar kelihatan sekan-akan berbisik-bisik, yang menurut istilah sebagian dari mereka, makna yang dimaksud ialah beliau ﷺ menggerak-gerakkan kedua bibirnya seakan-akan sedang berbicara. Maka ditanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apabila engkau shalat Asar kelihatan engkau menggerakkan kedua bibirmu." Rasulullah ﷺ menjawab, bahwa dahulu ada seorang nabi yang merasa bangga dengan umatnya, ia mengatakan, "Siapa yang dapat menandingi mereka?" Maka Allah menurunkan wahyu kepada nabi itu, "Suruhlah mereka untuk memilih apakah Aku yang mengazab mereka ataukah Aku jadikan mereka dikuasai oleh musuhnya?" Akhirnya mereka memilih lebih suka dihukum oleh Allah subhanahu wa ta’ala Maka Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan kepada mereka kematian, sehingga matilah dari mereka dalam sehari sebanyak tujuh puluh ribu orang.
Suhaib melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah apabila menceritakan kisah ini, maka beliau mengisahkan pula kisah lainnya yang menyangkut pemuda itu. Rasulullah ﷺ bersabda, "Dahulu ada seorang raja yang mempunyai seorang tukang tenung yang bekerja untuk raja dengan ilmu tenungnya. Maka tukang tenung itu berkata, 'Berikanlah kepadaku seorang pemuda yang pandai atau cerdik dan cerdas, aku akan mengajarkan kepadanya ilmuku ini." Kemudian kisah ini disebutkan dengan lengkap yang di akhirnya disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (Al-Buruj :4-5) sampai dengan firman-Nya: Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj:8) Adapun si pemuda itu telah dikebumikan, dan disebutkan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Umar pemuda itu dikeluarkan dari kuburnya, sedangkan telunjuknya berada di pelipisnya seperti sedia kala saat dia terbunuh.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib, dan konteks hadits ini tidak mengandung keterangan yang jelas yang membuktikan bahwa konteks kisah ini dari perkataan Nabi ﷺ Guru kami Al-Hafidzh Abul Hajjaj Al-Mazi telah mengatakan bahwa barangkali lafal ini dari perkataan Suhaib Ar-Rumi, karena sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan tentang berita-berita kaum Nasrani; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar telah mengetengahkan kisah ini di dalam kitab sirahnya dengan konteks yang lain yang berbeda dengan sebelumnya.
Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazib ibnu Ziyad, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi; telah menceritakan pula kepadaku sebagian ulama Najran, dari para pemilik kisah. Bahwa dahulu penduduk negeri Najran adalah para penyembah berhala, yaitu ahli syirik. Dan tersebutlah bahwa di salah satu dari kawasan kota Najran yang sangat besar itu lagi memiliki berbagai bagian kota, dan kepadanyalah dinisbatkan semua penduduk negeri itu, terdapat seorang tukang sihir yang mengajari sihir para pemuda Najran.
Ketika Faimun bermukim di Najran mereka tidak menyebutkan nama lelaki itu yang disebutkan namanya oleh Ibnu Munabbih, karena mereka hanya mengatakan bahwa Najran kedatangan seorang lelaki lalu ia membangun sebuah kemah yang terletak di antara Najran dan kota tempat tinggal si penyihir itu. Maka orang-orang Najran mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar kepada ahli sihir itu ilmu sihir yang dikuasainya.
Dan tersebutlah bahwa At-Tamir mengirimkan anaknya yang bernama Abdullah ibnu Tamir bersama-sama dengan anak-anakNajran untuk belajar ilmu sihir kepada si penyihir itu. Tersebutlah bahwa apabila Abdullah melewati penghuni kemah itu, ia merasa kagum dengan apa yang disaksikannya dari penghuni kemah itu yang banyak ibadah dan salatnya. Maka ia memberanikan diri untuk duduk di dekatnya dan mendengar darinya ajaran-ajarannya, pada akhirnya ia masuk Islam, mengesakan Allah dan menyembah-Nya.
Lalu ia menanyakan kepada penghuni kemah itu tentang syariat-syariat Islam, dan setelah ia pandai tentang syariat-syariat Islam, lalu ia meminta kepadanya untuk diberi Ismul A'zam. Tersebutlah bahwa lelaki penghuni kemah itu mengetahui Ismul A'zam, tetapi lelaki itu menyembunyikannya dari Abdullah dan menolak untuk mengajarkan Ismul A'zam kepadanya, seraya berkata.Wahai anak saudaraku, engkau tidak akan mampu memikulnya dan aku merasa khawatir dengan kelemahanmu darinya." Sedangkan ayah Abdullah (yaitu At-Tamir) hanya mengetahui bahwa anaknya berangkat hanyalah untuk belajar kepada tukang sihir tersebut.
Ketika Abdullah melihat bahwa gurunya tidak mau memberikan Ismul Azam kepadanya karena takut akan kelemahannya, maka dengan sengaja ia mengambil banyak wadah, lalu ia kumpulkan, dan tiada suatu wadah pun melainkan ia menuliskan padanya tiap isim yang telah diajarkan oleh gurunya. Dan setelah semuanya tertulis, maka ia menyalakan api, kemudian melemparkan wadah-wadah itu ke dalam api satu per satu.
Ketika sampai pada giliran wadah yang tertulis padanya Ismul A'zam (yang belum diketahuinya secara pasti), lalu ia melemparkan wadah itu. Maka tiba-tiba wadah itu terpental dari api dan keluar dari nyalanya tanpa mengalami suatu kerusakan pun, melainkan tetap utuh. Kemudian ia mengambil wadah tersebut dan membawanya menghadap kepada gurunya, lalu ia berkata kepadanya bahwa dirinya telah mengetahui Ismul Azam yang telah dia catat.
Maka gurunya bertanya, "Coba sebutkan." Abdullah menjawab, bahwa Ismul Azam itu adalah demikian dan demikian. Gurunya bertanya, "Bagaimana kamu mendapatkannya?" Maka Abdullah menceritakan kepada.gurunya apa yang telah ia lakukan. Lalu gurunya berkata, "Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau telah mendapatkannya, maka tahanlah dirimu, dan saya merasa yakin engkau tidak akan menyalahgunakannya." Maka jadilah Abdullah ibnu At-Tamir apabila memasuki Najran, tidak sekali-kali dia berdua dengan seseorang yang penyakitan melainkan ia mengatakan kepadanya, "Wahai hamba Allah, maukah engkau mengesakan Allah dan masuk ke dalam agamaku, aku akan mendoakanmu kepada Allah agar disembuhkan, maka Dia pasti akan menyehatkanmu seperti sediakala?" Maka orang yang dijumpainya itu menjawab, "Ya," dan ia pun mengesakan Allah dan masuk Islam, maka Abdullah berdoa untuk kesembuhannya, sehingga tiada seorang pun dari penduduk negeri Najran yang penyakitan melainkan dia datangi, dan menaati perintahnya, lalu ia mendoakannya hingga sembuh.
Pada akhirnya perihal Abdullah ibnut Tamir sampai kepada raja negeri Najran, lalu raja mengundangnya dan berkata kepadanya, "Engkau telah merusak rakyat negeriku dan menentang agamaku, yaitu agama nenek moyangku. Maka sungguh aku akan mencingcangmu." Abdullah menjawab, "Engkau tidak akan mampu melakukannya." Kemudian RajaNajran mengirimkan Abdullah ke atas sebuah bukit yang tinggi sekali, lalu dijatuhkan dari atasnya dengan kepala di bawah.
Maka jatuhlah Abdullah dari atasnya, tetapi tidak apa-apa. Lalu raja mengirimnya ke sebuah perairan di Najran yang berpusar, tiada suatu makhluk hidup pun yang dilemparkan ke dalamnya melainkan pasti mati. Maka Abdullah dilemparkan ke dalamnya, dan ternyata ia dapat keluar dari perairan itu dalam keadaan sehat wal afiat dan segar bugar. Setelah Abdullah dapat mengalahkan segala upaya RajaNajran itu, maka Abdullah berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau, demi Allah, tidak akan mampu membunuhku sebelum engkau beriman kepada apa yang aku imani dan mengesakan Allah.
Maka sesudah itu sesungguhnya jika engkau hendak meneruskan niatmu, kamu dapat menguasaiku dan membunuhku.' Pada akhirnya si raja mau beriman dan mengesakan Allah serta mengucapkan kalimat persaksian seperti apa yang dikatakan oleh Abdullah ibnut Tamir. Kemudian si raja memukulnya dengan tongkat yang ada di tangannya pada bagian kepalanya dan sempat melukainya, tetapi tidak besar. Dari pukulan itu meninggal dunialah Abdullah ibnut Tamir.
Dan raja itu mati pula di tempatnya, sedangkan seluruh penduduk negeri Najran telah memeluk agama Abdullah ibnut Tamir. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnut Tamir berada dalam agama yang disampaikan oleh Isa putra Maryam a.s., yaitu berpegangan kepada kitab Injil dan hukumnya. Kemudian para pemeluk agamanya tertimpa oleh musibah-musibah yang menguji mereka; oleh karena itulah maka asal agama Nasrani itu dari Najran.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa demikianlah menurut hadits Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan sebagian ulama Najran, dari Abdullah ibnut Tamir; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui kebenarannya. Kemudian dilanjutkan bahwa Zu Nuwas membawa bala tentaranya menuju ke Najran dan menyeru penduduknya untuk memeluk agama Yahudi, dan memberikan kepada mereka pilihan antara memeluk agama Yahudi atau dibunuh. Ternyata mereka lebih memilih untuk dibunuh, maka Zu Nuwas membuat galian parit dan di dalam parit dinyalakan api yang besar.
Lalu mereka dimasukkan ke dalamnya, yang sebelumnya mereka dibunuh dengan pedang dan dicincang, sehingga terbunuhlah dari mereka kurang lebih sebanyak dua puluh ribu orang. Berkenaan dengan kisah Zu Nuwas dan bala tentaranya inilah Allah subhanahu wa ta’ala menurutkan firman-Nya kepada Rasul-Nya: Binasa dan terkutuklah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Buruj :4-9) Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab sirahnya, bahwa orang yang membunuh dan membantai mereka yang dimasukkan ke dalam parit yang berapi itu adalah Zu Nuwas, yang nama aslinya ialah Zur'ah.
Dan di masa pemerintahannya ia dipanggil dengan sebutan Yusuf, dia adalah Ibnu Bayan alias As'ad ibnu Abu Kuraib. Dan dia adalah salah seorang Tubba' yang memerangi Madinah dan memberi kain kelambu kepada Ka'bah, serta membawa dua orang ulama Yahudi Madinah yang menjadi teman dekatnya. Tersebutlah bahwa dialah yang membawa agama Yahudi ke negeyi Yaman sehingga ada sebagian dari negeri Yaman yang beragama Yahudi.
Demikianlah menurut apa yang diterangkan oleh Ibnu Ishaq dengan panjang lebar. Zu Nuwas dalam sehari membunuh dua puluh ribu orang dengan memasukkan mereka ke dalam parit-parit berapi. Dan tiada seorang pun dari mereka yang selamat kecuali seorang lelaki yang dikenal dengan nama Daus Zu Sa'laban. Dia sempat melarikan diri dengan berkuda dan mereka mengejarnya, tetapi tidak dapat menangkapnya.
Kemudian Daus pergi menemui kaisar raja negeri Syam meminta suaka padanya. Selanjutnya kaisar berkirim surat kepada Najasyi raja negeri Habsyah (Etiopia) untuk bertindak (karena lebih dekat). maka Raja Najasyi mengirimkan pasukan besar yang terdiri dari orang-orang Nasrani negeri Habsyah yang dipimpin oleh Aryat dan Abrahah, maka pasukan ini menyelamatkan negeri Yaman dari cengkeraman orang-orang yang beragama Yahudi. Sedangkan Zu Nuwas sendiri melarikan diri melalui jalan laut, dan di laut ia tenggelam.
Kemudian negeri Yaman dikuasai oleh orang-orang Nasrani Habsyah selama tujuh puluh tahun, kemudian negeri Yaman diselamatkan oleh Saif ibnu Zu Yazin Al-Himyari dari tangan orang-orang Nasrani Habsyah. Hal ini terjadi ketika Saif bergabung dengan Kisra, Raja Persia. Maka Raja Persia mengirimnya bersama-sama dengan orang-orang yang dipenjara yang jumlah mereka kurang lebih tujuh ratus orang. Lalu Saif menaklukkan negeri Yaman dengan bala tentaranya, lalu dia sendiri pulang ke Himyar.
Dan kami akan mengetengahkan sekelumit kisahnya, insya Allah dalam tafsir firman-Nya.: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. (Al-Fil: l). Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Najran di masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab menggali sebuah reruntuhan peninggalan zaman dahulu di negeri Najran untuk suatu keperluannya. Maka ia mejumpai Abdullah ibnut Tamir berada di dalam sebuah kuburan yang ia dikebumikan di dalamnya dalam keadaan duduk dan memegangkan tangannya pada bekas luka pukulan di kepalanya.
Apabila ia mengangkat tangan Abdullah ibnut Tamir, maka keluarlah dari lukanya darah yang mengalir; dan apabila dilepaskan, maka lukanya itu kembali tertutup dan tidak mengalirkan darah lagi. Di tangan Abdullah ibnut Tamir (yakni jenazahnya) terdapat sebuah cincin yang bertuliskan sebuah prasasti yang artinya, "Tuhanku Allah." Kemudian lelaki itu berkirim surat kepada Khalifah Umar ibnul Khattab untuk meminta saran dan pendapatnya tentang apa yang harus ia lakukan terhadap jenazah Abdullah ibnut Tamir itu.
Maka Khalifah Umar membalas suratnya seraya memerintahkan, "Tetapkanlah dia di tempat semula dan kembalikanlah kepadanya apa yang dijumpai ada bersamanya," maka mereka melakukan perintah itu. Abu Bakar alias Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abud Dunia rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bilal Al-Asy'ari, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Ja'far ibnu Abu Thalib, telah menceritakan kepadaku salah seorang ahlul'ilmi, bahwa ketika Abu Musa menaklukkan Asbahan, ia menjumpai suatu tembok dari tembok yang mengelilingi kota itu telah runtuh.
Maka ia membangunnya kembali tetapi ternyata runtuh lagi; kemudian ia bangun lagi, dan ternyata runtuh lagi. Kemudian dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya di bawah fondasi tembok itu terdapat makam seorang lelaki yang saleh. Maka digalilah fondasinya, dan ternyata ia menjumpai jenazah-seorang lelaki yang sedang berdiri dengan membawa sebilah pedang yang termaktub di dalam pedangnya tulisan yang berbunyi, "Aku adalah Al-Haris ibnu Madad, akulah yang membela orang-orang yang dimasukkan ke dalam parit." Akhirnya Abu Musa mengeluarkan jenazah itu dan membangun tembok tersebut, maka ternyata tembok itu berdiri dengan kokohnya dan tidak runtuh lagi.
Menurutku jenazah tersebut adalah Al-Haris ibnu Madad ibnu Amr ibnu Madad Al-Jurhumi; salah seorang Raja Jurhum. Raja-raja Jurhumlah yang mengurus Ka'bah sesudah anak-anak Sabit ibnu Ismail ibnu Ibrahim. Dan keturunan Al-Haris ini (yaitu Amr ibnul Haris ibnu Madad) adalah Raja Jurhum terakhir di Mekah sebelum mereka diusir oleh Khuza'ah dan memindahkan mereka ke negeri Yaman. Dialah orang yang mengatakan dalam syairnya yang dikutip oleh Ibnu Hisyam, bahwa berikut ini adalah bait syair yang mula-mula dikatakan oleh orang-orang Arab, yaitu: ...
... Seakan-akan antara Hujun dan Safa tidak ada lagi keramaian, dan di Mekah tidak ada lagi orang-orang yang begadang malam hari. Tidak demikian, sebenarnya kami adalah penduduk aslinya, kami telah dibinasakan oleh pergantian malam (zaman) dan kejadian-kejadian yang menimbulkan mala petaka. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini terjadi di masa dahulu sesudah zaman Nabi Ismail a.s. dalam jarak masa kurang lebih lima ratus tahun.
Sedangkan apa yang diketengahkan oleh Ibnu Ishaq memberikan pengertian bahwa kisah ini terjadi di masa fatrah (kekosongan kenabian) antara masa Nabi Isa dan Nabi Muhammad ﷺ, tetapi pendapat yang kedua ini lebih mendekati kebenaran; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Dapat pula dihipotesiskan bahwa peristiwa ini banyak terjadi di berbagai kawasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim. bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Safwan, dari Abdur Rahman ibnu Jubair yang mengatakan bahwa peristiwa parit terjadi di negeri Yaman di masa Tubba', dan di Konstantinopel terjadi di masa Kaisar Konstantinopel, yaitu ketika kaum Nasrani dipaksa untuk berpaling dari kiblat mereka, yaitu agama Al-Masih dan ajaran tauhid.
Maka kaisar membuat dapur besar, lalu orang-orang Nasrani yang berpegangan kepada agama Al-Masih dan ajaran tauhid dilemparkan ke dalamnya yang dipenuhi dengan api yang bergejolak. Dan di negeri Irak peristiwa ini terjadi di negeri Babilonia yang rajanya bernama Bukhtanasar. Dia membuat patung dan memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk bersujud menyembah patung itu. Tetapi Nabi Danial dan kedua sahabatnya yang bernama Ezria dan Misyail menolak, maka dibuatkan bagi mereka tungku api yang besar, lalu dilemparkan ke dalam tungku itu kayu bakar dan api sehingga apinya besar sekali.
Kemudian kedua sahabat Danial dilemparkan ke dalam tungku api itu. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan tungku api itu terasa sejuk oleh keduanya dan menjadi keselamatan; Allah menyelamatkan keduanya dan sebaliknya orang-orang yang tadinya berbuat aniaya terhadap Danial dimasukkan ke dalam tungku api itu, mereka terdiri dari sembilan golongan yang semuanya mati terbakar oleh api. Asbat telah meriwayatkan dari As-Suddi sehubungan dengan firman Allah Swt: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. (Al-Buruj:4) Bahwa parit itu di masa lalu ada tiga, yaitu di Irak, di Syam, dan di Yaman.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Diriwayatkan dari Muqatil bahwa peristiwa parit itu ada tiga, yaitu di Najran di negeri Yaman, yang lainnya di negeri Syam, dan yang terakhir di Persia, mereka dibakar dengan api dalam parit-parit tersebut. Pelakunya yang di negeri Syam adalah Antonius dan orang-orang Romawi; dan yang di negeri Persia adalah Bukhtanasar, sedangkan yang di negeri Arab (yaitu negeri Yaman) adalah Yusuf alias Zu Nuwas.
Adapun mengenai yang terjadi di negeri Persia dan negeri Syam, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkannya di dalam Al-Qur'an, dan hanya menyebutkan apa yang terjadi di Najran saja. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ja'far, dari ayahnya, dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. (Al-Buruj:4) Kami telah mendengar bahwa mereka adalah suatu kaum yang ada di masa fatrah.
Ketika mereka melihat fitnah dan kejahatan yang melanda manusia di masa mereka yang membuat mereka menjadi bergolong-golongan, dan masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya sendiri, maka mereka memisahkan diri ke sebuah kampung, lalu mereka di dalam kampung itu menegakkan ibadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Demikianlah yang mereka lakukan selama beberapa waktu hingga perihal mereka terdengar oleh seorang raja yang angkara murka dan sewenang-wenang. Maka terjadilah peristiwa yang menimpa mereka, yang bermula raja memanggil mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk menyembah berhala-berhala yang disembah oleh raja dan orang-orangnya. Orang-orang yang beriman itu menolak dan mengatakan, "Kami tidak mau menyembah selain hanya kepada Allah semesta, tiada sekutu bagi-Nya." Raja berkata kepada mereka, "Jika kamu tidak mau menyembah sembahan-sembahan ini yang kami puja-puja, maka sesungguhnya aku akan membunuh kamu semuanya' Mereka tetap menolak kehendak rajanya, maka raja itu membuat parit-parit yang di dalamnya dinyalakan api.
Kemudian si raja berkata kepada para prajuritnya, "Perintahkanlah mereka supaya berdiri di pinggir parit itu dan suruhlah mereka memilih antara masuk ke dalam parit itu atau mau menyembah berhala-berhala kita." Orang-orang yang beriman itu menjawab, "Parit ini lebih kami sukai daripada menuruti kehendakmu." Sedangkan di antara mereka terdapat kaum wanita dan anak-anak, maka anak-anak mereka merasa takut dengan api itu.
Lalu orang-orang tua mereka berkata kepada mereka, "Wahai anak-anakku, tiada api lagi sesudah hari ini." Maka mereka memasukkan dirinya ke dalam parit itu yang penuh dengan api, dan arwah mereka telah dicabut sebelum tubuh mereka tersentuh oleh panasnya api. Setelah itu api yang ada dalam parit itu keluar dari tempatnya dan mengamuk mengepung orang-orang yang sewenang-wenang tersebut dan Allah subhanahu wa ta’ala membakar mereka dengan api itu. Berkenaan dengan kisah inilah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkannyadi dalam firman-Nya: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Buruj 4-9) Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ammar, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far dengan sanad dan lafal yang semisal. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan. (Al-Buruj: 10) Yakni yang membakar mereka, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, serta Ibnu Abza.
kemudian mereka tidak bertobat. (Al-Buruj: 10) Yaitu tidak mau menghentikan perbuatannya yang sewenang-wenang itu dan tidak menyesali apa yang telah mereka lakukan. maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (Al-Buruj: 10) Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis perbuatan (pelanggaran)nya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa perhatikanlah olehmu kemuliaan dan kemurahan ini, mereka telah membunuh kekasih-kekasih-Nya. Walaupun demikian, Dia menyeru mereka untuk bertobat dan meraih ampunan-Nya."
Allah melaknat penguasa kafir dari Najran, sebuah wilayah di Yaman saat ini, yang berbuat keji terhadap kaum beriman. Terlaknat dan binasalah orang-orang yang membuat parit untuk dijadikan ladang pembantaian terhadap kaum beriman yang tidak mau murtad. Merekalah para pembesar Najran di Yaman. 5. Mereka membuat parit yang berapi dan dinyalakan dengan kayu bakar hingga membara untuk membakar kaum beriman.
Dalam ayat-ayat ini diterangkan bahwa Allah telah membinasakan Najran, sebuah kota di Yaman, karena penduduknya telah menyiksa dan membunuh para pengikut Nabi Isa (orang-orang Nasrani) yang meninggalkan agama pembesar-pembesar negeri itu, yaitu agama Yahudi dan memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Isa dengan memasukkan mereka ke dalam parit-parit yang telah mereka gali dan diberi api yang menyala-nyala. Orang-orang kafir negeri itu duduk di sekitar parit-parit itu menyaksikan siksaan yang tidak berperikemanusia-an itu.
Siksaan itu sebenarnya tidak patut mereka lakukan sebab orang-orang itu tidak mempunyai kesalahan yang besar. Mereka menyiksa hanya karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yang mempunyai kerajaan langit dan bumi serta berkuasa atas semua yang ada pada keduanya. Sungguh tidak ada jalan bagi orang yang zalim itu untuk lari dari kekuasaan-Nya.
Bagi orang-orang mukmin siksaan dan pembunuhan ini hanyalah merupakan cobaan dan ujian yang akan membawa mereka kepada kebahagiaan abadi apabila mereka tetap sabar dengan tetap beriman kepada Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-BURUUJ
(BINTANG-BINTANG)
SURAH KE-85, 22 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-22)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Demi langit yang mempunyai bintang-bintang." (ayat 1)
Artinya, perhatikanlah olehmu langit yang mempunyai bintang-bintang itu, alangkah besar, alangkah luas dan alangkah jauh, entah di mana batasnya. Di sana terdapat bintang-bintang berjuta-juta banyaknya. Di antara bintang-bintang yang banyak itu ada yang dianggap sebagai tempat singgah atau manaazil. Ada dua belas bilangan bintang menurut letak bulan tiap-tiap tahun bergilir keadaannya; itulah bintang-bintang yang bernama: 1. Capricornus; 2. Aquarius; 3. Pisces; 4. Aries; 5. Taurus; 6. Gemini; 7. Cancer; 8. Leo; 9. Virgo; 10. Libra; 11. Scorpio, dan 12. Sagitarius. Dalam bahasa Arab kedua belas bintang itu disebut Buruj, yang dapat juga diartikan sebagai puri atau benteng tertinggi, tempat persinggahan perjalanan bulan dalam giliran setahun. Allah mengambil sumpah dengan keindahan dan kehebatan organisasi atau peraturan perjalanan makhluk di langit, yang dapat juga dinamai Kerajaan Langit, agar kita meletakkan perhatian kepadanya.
Ayat 2
“Demi hari yang telah dijanjikan." (ayat 2)
Yaitu pada suatu masa semuanya akan berakhir; langit akan runtuh dan bumi akan tenggelam, dan gunung-gunung akan menjadi rata dan air laut akan melimpah meluap, menggelegak.
Ayat 3
“Demi penyaksi, demi yang disaksikan." (ayat 3)
Berbagai pendapat ahli-ahli tafsir tentang Syahid dan Masyhud, tentang penyaksi dan yang disaksikan.
- Menurut Abu Hurairah, hari yang dijanjikan (al-Mau'ud) ialah Hari Kiamat. Syahid ialah hari Jum'at dan masyhud ialah hari Wuquf di Padang Arafah.
- Menurut Ikrimah, “Syahid ialah Nabi Muhammad ﷺ dan masyhud ialah hari Jum'at."
- Menurut Ibnu Abbas, “Syahid itu ialah Allah sendiri dan masyhud ialah Hari Kiamat."
- Ada pula, “Syahid itu ialah insan, masyhud ialah Hari Jum'at."
Tetapi barangkali tidak ada salahnya kalau kita katakan bahwa “Syahid" itu ialah insan dan yang masyhud itu ialah Allah “sebagai Pencipta alam ini." Sebab dari permulaan ayat Allah sudah mengambil sumpah dengan langit beserta bintang-bintang Buruj-nya. Maka kita manusia selaku penyelidik dan penilik atas kekayaan Allah pada alam ini. Dengan melihat kebesaran dan kekayaan Allah itu dapatlah kita percaya akan adanya Allah. Kita tidak akan dapat mengetahui betapa Zat Allah. Kalau itu yang kita cari, kita akan celaka. Tetapi saksikanlah adanya Allah pada alam yang Dia ciptakan.
Ayat 4
“Binasalah orang-orang yang membuat lubang parit." (ayat 4)
Celakalah atau kena kutuk laknatlah orang-orang yang telah sengaja menggali lubang atau parit yang dalam, yang mereka pergunakan untuk membakar orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa.
Ayat 5
“Dari api yang bernyala-nyala." (ayat 5)
Mereka gali lubang lalu mereka lemparkan orang-orang yang beriman kepada Allah ke dalam lubang itu, lalu mereka bakar.
Ayat 6
“Ketika mereka duduk di dekatnya." (ayat 6)
Sambil membakar mereka duduk di dekat lubang parit tersebut beramai-ramai.
Ayat 7
“Dan mereka, terhadap apa yang mereka perbuat atas orang-orang yang beriman itu, adalah menyaksikan." (ayat 7)
Menyaksikan orang-orang beriman jadi abu.
Ayat 8
“Dan tidaklah mereka berlaku kejam kepada orang-orang itu, melainkan karena orang-orang itu percaya kepada Allah Yang Mahagagah Perkasa, Yang Maha Terpuji." (ayat 8)
Kesalahan orang-orang yang dibakar itu, hanya karena mereka percaya kepada Allah; mereka tidak mau menukar keimanan dengan yang lain. Manusia beriman tidak akan tunduk kepada sesama manusia, seperti ketundukan dia kepada Allah. Dengan keyakinan tauhid, manusia sampai kepada kesimpulan bahwa yang gagah perkasa itu hanya Allah; adapun manusia tidaklah gagah perkasa. Terpuji, karena hanya Dia sajalah yang benar-benar berjasa atas alam ini dan tidak pernah bersalah.
Ayat 9
“Yang bagi-Nya lah kerajaan di semua langit dan bumi. Dan Allah, atas tiap-tiap sesuatu, adalah jadi penyaksi." (ayat 9)
Dia menyaksikan apa yang di belakang kita dan apa yang berada di muka kita. Yang tersembunyi ataupun yang nyata. Dan tiadalah Allah itu pelupa. Segala sesuatu tiadalah yang lepas dari pengetahuan-Nya.
Berbagai penafsiran telah dinyatakan oleh ahlinya berkenaan dengan apa yang disebut “yang membuat lubang parit" itu, siapakah mereka itu? Ada sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad tentang seorang bocah kecil yang kuat imannya dan banyak pertolongan Allah kepadanya, sehingga terlepas dari berbagai bahaya. Baru dia dapat mati dibunuh setelah raja yang memusuhinya membaca suatu kalimat pengakuan atas Keesaan Allah. Duduk ceritanya sebagai berikut.
Berkata Nabi ﷺ, “Di zaman dahulu ada seorang raja. Baginda mempunyai seorang ahli sihir. Setelah ahli sihir itu merasa dirinya telah tua, berdatang sembahlah dia kepada raja menerangkan bahwa dia telah tua dan hampir sampai ajalnya. Dia mohonkan kepada raja agar dia mencarikan seorang anak kecil, karena kepada anak itu akan diturunkan ilmu sihirnya.
Permohonan itu dikabulkan raja, lalu diserahkan kepadanya seorang anak kecil dan datanglah anak itu berulang-ulang kepada tukang sihir untuk mempelajari sihirnya. Di antara tempat tinggal tukang sihir dan tempat tinggal anak itu ada berdiam seorang pendeta. Anak itu senantiasa singgah berteduh di tempat kediaman pendeta itu dan banyak mendengar ucapan-ucapan dari pendeta tua yang amat menarik hatinya. Maka kalau dia terlambat datang kepada tukang sihir, tukang sihir itu marah lalu memukulnya. Dan kalau dia terlambat pulang ke rumah, orang tuanya marah pula mengapa terlambat pulang. Lalu diajarkan oleh pendeta tua itu suatu jawaban, kalau ditanya oleh tukang sihir mengapa lambat, jawablah karena terlambat turun dari rumah; dan kalau ditanya pula di rumah mengapa terlambat, katakan guruku tukang sihir menahan daku.
Dalam hal yang demikian selalulah dia pulang dan pergi ke rumah tukang sihir dan tetap singgah di rumah pendeta. Pada suatu hari terhambatlah orang yang lalu lintas berjalan di jalan raya yang ditempuhnya karena ada binatang buas yang mengganggu, sehingga orang merasa takut lewat di situ. Ketika itu anak kecil tersebut lewat di sana, dia berkata, “Akan aku uji, manakah yang lebih dapat aku gunakan, ajaran tukang sihirkah atau ajaran pendeta?" Lalu diambilnya sebuah batu dan dia ucapkan, “Ya Allah! Kalau ajaran pendeta itu yang benar di sisi Engkau, lebih daripada ajaran tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia yang lalu lintas di jalan ini tidak terhalang." Lalu dilemparkannya batu itu kepada binatang tersebut. Maka matilah binatang itu dan lalu lintaslah manusia jadi aman seperti biasa.
Setelah dia menghadap pendeta itu diceritakannya pengalamannya itu kepada beliau. Maka berkatalah beliau, “Wahai buyung, engkau telah mencapai derajat yang lebih tinggi dari yang aku capai! Tetapi aku peringatkan kepada engkau, engkau akan menderita banyak cobaan. Maka kalau cobaan itu datang, janganlah engkau beritahukan hubunganmu dengan daku."
Sejak waktu itu nama anak itu kian terkenal dan dapatlah dia mengobati orang yang ditimpa penyakit kusta, penyakit balak, dan penyakit lain-lain.
Raja ada mempunyai seorang penasihat yang selalu diajak musyawarah. Kebetulan orang itu buta. Dia mendengar cerita orang tentang anak itu, lalu datanglah dia kepadanya membawakan hadiah sebanyak-banyaknya dan berkata, “Sembuhkanlah butaku! Hadiah ini adalah untukmu dan jika aku sembuh hadiah ini aku tambah lagi!"
Anak itu menjawab, “Saya tidak berkuasa menyembuhkan apa jua pun macam penyakit. Yang Mahakuasa menyembuhkan hanya Allah. Kalau Tuan sudi beriman kepada Allah, saya akan berdoa memohonkan kepada-Nya agar Tuan disembuhkan."
Mendengar ajakan anak itu, berimanlah pejabat yang buta itu. Lalu anak itu berdoa, maka orang besar itu pun sembuhlah dan nyalalah kedua belah matanya.
Setelah matanya sembuh datanglah dia kembali ke dalam majelis raja. Baginda sangat tercengang lalu bertanya, “Siapa yang menyembuhkan mata engkau?" Dia menjawab, “Tuhanku!"
Dengan heran raja bertanya pula, “Akukah yang engkau maksudkan?"
Dia menjawab, “Bukan! Tuhanku dan Tuhan paduka ialah Allah!"
“Engkau mengakui ada lagi Tuhan selain aku?"
Orang besar itu tetap menjawab, “Tuhanku dan Tuhan paduka ialah Allah."
Raja sangat murka mendengar jawab itu, sehingga pejabat itu ditangkap dan disiksa, sampai karena tidak tahan menderita sakit, dibukanya rahasia bahwa guru yang mengajarnya ialah anak kecil tersebut.
Anak kecil itu pun ditangkap lalu ditanyai
apa benarkah dia dapat menyembuhkan orang yang dapat penyakit kusta, orang buta, dan lain-lain. Anak itu menjawab bahwa semuanya itu tidak benar! Dia tidak dapat menyembuhkan siapa jua pun. Yang menyembuhkan segala yang sakit hanya Allah Yang Mahakuasa.
“Akukah yang engkau maksudkan?" tanya raja.
“Bukan!" jawab anak itu, “Tapi Allah!"
“Apakah engkau mengakui pula ada Tuhan selain aku?" tanya raja lagi. Dengan tegas anak itu menjawab pula, “Tuhanku dan Tuhan raja ialah Allah!"
Mendengar jawab demikian anak itu pun disiksa. Dia pun dipaksa mengakui darimana dia mendapat pelajaran yang amat ganjil itu. Karena tidak tahan dipukul, terpaksa dia menunjukkan gurunya, yaitu pendeta tersebut tadi. Pendeta itu pun segera ditangkap. Dia pun disiksa dan dipaksa meninggalkan agama yang dianutnya, namun pendeta itu tidak mau. Akhirnya karena tidak mau juga meninggalkan agama bertuhan kepada Allah itu, diperintahkan raja mengergaji kepala pendeta itu. Kepala beliau digergaji sampai terbelah dua dan mati.
Kemudian dipaksa pula pejabat yang telah sembuh dan buta itu meninggalkan agama bertuhan kepada Allah itu dan kembali hanya bertuhan kepada raja. Dia pun tidak mau. Dia pun digergaji pula, sampai belah dua badannya dan mati.
Lalu dihadapkan pula anak kecil itu. Dia pun mulai dipaksa meninggalkan agama yang telah diimaninya itu. Tetapi dia tidak mau. Lalu raja memerintahkan beberapa orang membawa anak itu ke puncak gunung, dan raja memerintahkan, “Apabila sampai di puncak gunung paksa dia sekali lagi kembali kepada agama kita. Kalau dia tidak juga, mau lemparkanlah dia ke bawah!"
Maka dibawa oranglah dia ke puncak gunung. Sampai di sana kedengaranlah anak itu berdoa, “Ya Allah! Peliharalah aku dari mereka dengan kekuasaan-Mu!" Tiba-tiba berguncanglah gunung itu dan orang-orang yang mengantarkan itulah yang jatuh dan anak itu selamat.
Dia pun turun dan terus sekali menghadap raja. Lalu raja bertanya, “Apa kabar orang-orang yang aku suruh menghantarkan engkau ke gunung?"
Anak itu menjawab, “Tuhanku telah memeliharakan daku dari mereka."
Rupanya raja belum juga puas. Disuruhnya menangkap anak itu sekali lagi dan disuruh hantarkannya dengan sebuah sampan ke tengah laut. Diperintahkan kepada orang yang mengantarkan supaya memaksa anak itu kebali kepada agama yang lama. Kalau tidak mau supaya dia dibenamkan saja masuk laut. Sekali lagi anak itu menadahkan tangannya ke langit, maka datanglah angin ribut sangat besar. Tenggelamlah seluruh orang yang diperintah mengantarkannya, dan dia sendiri selamat berenang ke tepi. Dan kembali dia menghadap raja.
Dia pun ditanya apa yang telah terjadi. Dia menjawab Tuhannya telah menolongnya dan orang-orang itu telah tenggelam semuanya.
Kemudian berkatalah dia kepada raja, “Hai Raja! Tuanku tidak akan dapat membunuh aku kalau hanya dengan cara demikian. Barulah akan berhasil Tuan membunuhku jika Tuan kerjakan apa yang aku suruhkan. Kalau tidak akan kerjakan apa yang aku suruhkan, tidaklah akan berhasil maksud akan menyingkirkan daku dari dunia ini!"
Lalu raja bertanya, “Apakah yang engkau minta itu?"
Anak itu menjawab, “Tuan suruh manusia berkumpul di satu tempat. Kemudian suruhkan menaikkan daku ke atas kayu palang (salib), lalu akan ambil satu anak panah kepunyaanku sendiri dari dalam busurnya. Kemudian akan bidik aku dengan tepat, lalu baca,
“Dengan nama Allah, Tuhannya anak kecil ini."
Dengan melakukan cara demikian barulah Tuan dapat membunuhku.
Permintaannya itu dilakukan oleh raja, diambil anak panahnya dari busurnya dan dengan mengucapkan, “Dengan nama Allah, Tuhannya anak kecil Ini." Lalu dipanahnya anak kecil itu, tepat kena jantungnya dan terkulailah kepalanya, sedang tangannya memegang pangkal panah yang telah tersisip di dadanya dan dia pun matilah.
Tiba-tiba terloncatlah dari mulut seluruh orang yang hadir,
“Kami beriman kepada Tuhan anak kecil ini."
Gempitalah suara di tanah lapang itu menyatakan iman kepada Allah, yang dipercayai oleh anak kecil itu.
Maka berbisiklah seorang kepada raja, “Tidakkah Tuan perhatikan? Bukankah apa yang Tuan takuti selama ini telah terjadi? Budak kecil itu mati, tetapi semua orang telah menganut ajarannya?"
Sangatlah murka raja melihat manusia telah berbalik arah. Lalu raja memerintahkan menangkapi orang-orang yang menyatakan percaya kepada Tuhan anak kecil itu, dan baginda suruh gali lubang-lubang atau parit-parit besar. Dan diancamlah orang, “Barangsiapa yang masih memegang kepercayaan anak kecil itu akan dimasukkan ke dalamnya dan dibakar dan siapa yang kembali kepada agama nenek moyang, akan selamat."
Mendengar itu tidaklah mereka mundur, malahan mereka berduyun mendekati lubang yang ternganga itu menunggu giliran dibakar. Maka adalah di antara mereka itu seorang perempuan yang sedang membimbing anaknya, ketika telah dekat ke pinggir lubang itu timbul ragu-ragu dalam hatinya. Tiba-tiba berkatalah anaknya yang dalam bimbingan itu, “Teguhkan hatimu, ibuku! Ibu ada dalam agama yang benar!"
Ayat dan surah al-Buruuj ini dapatlah menjadi pegangan bagi tiap-tiap orang yang ingin mengambil teladan dalam kekuatan iman. Kadang-kadang sikap dan sifat lemah tidaklah akan menolong jika musuh-musuh tauhid itu telah menyatakan sikap hendak berlaku sewenang-wenang. Namun mati itu hanya sebentar saja. Setelah putus nyawa, bertemulah apa yang dicitakan oleh Mukmin, yaitu Liqa Rabbihi; berjumpa dengan Tuhannya.