Ayat

Terjemahan Per Kata
أَوَمَن
Ataukah orang
كَانَ
adalah dia
مَيۡتٗا
mati
فَأَحۡيَيۡنَٰهُ
maka/kemudian Kami menghidupkannya
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan
لَهُۥ
untuknya
نُورٗا
cahaya yang terang
يَمۡشِي
berjalan
بِهِۦ
dengannya (cahaya itu)
فِي
di (tengah-tengah)
ٱلنَّاسِ
manusia
كَمَن
seperti orang
مَّثَلُهُۥ
serupa dengan dia
فِي
dalam
ٱلظُّلُمَٰتِ
kegelapan
لَيۡسَ
tidak dapat
بِخَارِجٖ
keluar
مِّنۡهَاۚ
daripadanya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
زُيِّنَ
dijadikan memandang baik
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
مَا
apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
أَوَمَن
Ataukah orang
كَانَ
adalah dia
مَيۡتٗا
mati
فَأَحۡيَيۡنَٰهُ
maka/kemudian Kami menghidupkannya
وَجَعَلۡنَا
dan Kami jadikan
لَهُۥ
untuknya
نُورٗا
cahaya yang terang
يَمۡشِي
berjalan
بِهِۦ
dengannya (cahaya itu)
فِي
di (tengah-tengah)
ٱلنَّاسِ
manusia
كَمَن
seperti orang
مَّثَلُهُۥ
serupa dengan dia
فِي
dalam
ٱلظُّلُمَٰتِ
kegelapan
لَيۡسَ
tidak dapat
بِخَارِجٖ
keluar
مِّنۡهَاۚ
daripadanya
كَذَٰلِكَ
demikianlah
زُيِّنَ
dijadikan memandang baik
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
مَا
apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan

Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, seperti orang yang berada dalam kegelapan sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir apa yang mereka kerjakan.
Tafsir

(Dan apakah yang sudah mati) oleh sebab kekafirannya (kemudian dia Kami hidupkan) dengan hidayah (dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia) dia dapat pula melihat perkara yang benar berkat cahaya itu dan dapat membedakannya daripada yang lainnya; yang dimaksud adalah keimanan (serupa dengan orang yang keadaannya) Lafal mitsl adalah tambahan, yakni sebagaimana seseorang (yang keadaannya dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya) dimaksud orang kafir; sebagai jawabannya ialah tentu saja tidak. (Demikianlah) sebagaimana orang-orang mukmin dihiasi dengan keimanan (orang-orang kafir pun dihiasi pula dengan apa yang telah mereka kerjakan) berupa kekafiran dan maksiat-maksiat.
Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.
Hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menggambarkan perihal orang mukmin. Pada mulanya dia binasa dalam kesesatannya, lalu Allah menghidupkannya, yakni menghidupkan hatinya dengan iman, menunjukinya, dan memberinya taufik (dorongan) untuk mengikuti rasul-rasul-Nya. Seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya: dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia. (Al-An'am: 122) Yaitu mendapat petunjuk, bagaimana menempuh jalan yang dilaluinya dan bagaimana dia harus berbuat. Yang dimaksud dengan 'cahaya' dalam ayat ini ialah Al-Qur'an, seperti apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi dan Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Sedangkan menurut As-Suddi, yang dimaksud dengan 'cahaya' dalam ayat ini ialah agama Islam. Tetapi pada garis besarnya kedua pendapat di atas benar. serupa dengan orang yang keadaannya berada di dalam gelap gulita. (Al-An'am: 122) Maksudnya, berada di dalam kebodohan, tenggelam di dalam hawa nafsu dan kesesatan yang berpecah belah. yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? (Al-An'am: 122) Yakni tidak menemukan jalan keluar tidak pula jalan selamat dari kegelapan yang mengungkungnya.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia cipratkan sebagian dari Nur-Nya kepada mereka. Maka barang siapa yang dikenai oleh cipratan nur itu, berarti ia mendapat hidayah; dan barang siapa yang luput darinya, berarti sesatlah ia. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran).
Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 257) Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (Al-Mulk: 22) Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran (dari perbandingan itu)? (Hud: 24) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. Kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan. (Fathir: 19-23) Ayat-ayat yang menerangkan hal ini cukup banyak. Segi kaitan dalam pengetengahan kedua perumpamaan di sini yakni dengan cahaya dan kegelapan, karena hal yang sama telah disebutkan pada permulaan surat ini, yaitu firman-Nya: dan mengadakan gelap dan terang. (Al-An'am: 1) Sebagian ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan 'kedua perumpamaan' ini adalah dua orang lelaki tertentu.
Suatu pendapat menyebutkan Umar ibnui Khattab, karena pada mulanya dia dalam keadaan mati (kafir), kemudian Allah menghidupkannya dan menjadikan cahaya baginya untuk menerangi jalannya dalam berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia. Menurut pendapat lain, orang yang dimaksud ialah Ammar ibnu Yasir, Yang dimaksud dengan orang yang berada dalam kegelapan dan tidak dapat keluar darinya adalah Abu Jahal yang nama aslinya Amr Ibnu Hisyam, la'natullahi 'Alaihi.
Tetapi yang benar ayat ini bersifat umum. Dengan kata lain, termasuk ke dalam pengertiannya semua orang mukmin dan orang kafir. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 122) Yaitu dijadikan baik di mata mereka segala kebodohan dan kesesatan yang mereka kerjakan, sebagai takdir dari Allah karena mengandung hikmah yang dalam; tidak ada Tuhan selain Dia semata dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kemudian Allah menjelaskan tentang perbedaan yang mencolok antara orang muslim dan orang musyrik atau kafir dalam bentuk pertanyaan agar pembaca merenung dan menemukan sendiri jawabannya. Dan apakah orang yang sudah mati yaitu orang kafir lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang berupa hidayah, berupa Al-Qur'an atau Islam, yang membuatnya dapat berjalan menuju ke arah yang benar di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, yaitu kekufuran, kebutaan mata hati, dan kebodohan sehingga dia tidak dapat keluar dari sana' Dia selalu bimbang dan ragu dalam Allah lalu menenangkan hati Nabi Muhammad dengan menjelaskan bahwa para pembesar yang jahat tidak hanya terdapat di Mekah saja, tetapi juga di setiap negeri. Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu karena mereka lebih mampu menipu daya bawahannya, dan dalam kebiasaan, masyarakat akan mengikuti atasannya apakah dalam hal kebaikan atau keburukan. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya, akibat dari perbuatan mereka akan mengenai mereka sendiri.
.
Sabab Nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Abu Syaikh dari Ibnu 'Abbas dalam firman Allah, beliau mengatakan bahwa ayat ini turun pada Umar dan Abu Jahal.
Dalam rangka menampakkan perbedaan antara kaum Muslimin dari orang-orang kafir, Allah mengemukakan pertanyaan, yaitu apakah orang-orang yang mati hatinya karena kekufuran dan kebodohan lalu Kami hidupkan hatinya dengan keimanan dan Kami berikan pula kepadanya cahaya, yaitu Al-Qur'an yang terang benderang, sama keadaannya dengan keadaan orang yang berada dalam kegelapan yang berlapis-lapis? Ia tidak dapat keluar dari kegelapan itu. Dirinya diliputi dengan ketakutan, kelemahan dan kebingungan. Demikian pula seorang yang berada dalam kebodohan, taklid yang buta dan kerusakan pikiran, tidak dapat keluar lagi dari hal yang demikian itu. Ia merasa takut keluar dari gua kesesatannya dan merasa tidak perlu untuk keluar kepada petunjuk yang terang benderang karena matanya silau oleh cahaya petunjuk itu.
Maka sepantasnyalah setiap muslim untuk selalu mencari dan menggunakan ilmu pengetahuan dalam segala hal. Ia harus mengetahui kebenaran agamanya dengan penuh keyakinan sehingga ia mantap dalam melakukan amal-amal kebajikan, dan dapat menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
Dengan demikian, ia akan menjadi mercusuar yang mencerminkan keyakinan yang kuat dan hujjah yang nyata, memperlihatkan keutamaan agamanya kepada pemeluk agama-agama yang lain. Begitulah Allah telah menjadikan orang beriman memandang baik kepada cahaya petunjuk dan agama yang telah menghidupkan hatinya. Sebaliknya Allah telah menjadikan orang-orang kafir memandang baik apa saja yang mereka kerjakan, seperti berbuat dosa dan pelanggaran memusuhi Rasul, menyembelih kurban untuk selain Allah dan mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya dan sebagainya. Semua itu mereka lakukan disebabkan oleh tipu daya setan yang membisikkan bujukan itu ke dalam hati mereka. Contoh nyata dari orang yang tidak beriman dan menolak hidayah Allah adalah Abu Jahal.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 122
“Dan apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan dia dan Kami jadikan baginya cahaya yang berjalan dia dengan (cahaya) itu di antara manusia, akan sama seperti orang yang dalam kegelapan, yang tidak ada jalan keluar daripadanya?"
Dengan susunan firman Allah sebagai bertanya ini, apakah sama, segera kita dapat me-mahamkan bahwa keduanya tidaklah sama. Tidaklah sama di antara macam insan itu. Yang pertama ialah orang yang diumpamakan telah mati, tetapi Allah telah menghidupkannya dan diberi pula cahaya. Maka, dengan cahaya anugerah Allah itulah dia berjalan di tengah-tengah manusia.
YANG MATI HIDUP KEMBALI
Hal yang umum kita ketahui ialah bahwasanya manusia yang masih di dunia ini, jika mereka mati tidaklah bisa dihidupkan kembali. Salah satu tiang dari kepercayaan kita, ialah bahwa kelak kemudian Hari Kiamat akan terjadi dan seluruh manusia yang telah mati akan dihidupkan kembali.
Berkali-kali Allah menunjukkan bukti bahwa hal demikian bisa terjadi. Kita disuruh melihat tanah yang mati, tumbuh-tumbuhan yang mati hancur karena datangnya musim panas. Kelak kemudian hari datanglah hujan. Maka, rumput-rumput itu pun hidup kembali. Tanah yang tadiriya gersang menjadi subur.
Akan tetapi, di dalam ayat ini Allah mengemukakan lagi suatu perumpamaan tentang orang yang mati dalam dunia ini, bisa dihidupkan Allah kembali. Dan, sesudah dihidupkan, dia pun diberi cahaya dan dengan cahaya itu dia bisa keluar ke hadapan alam, untuk hidup di tengah orang banyak. Allah memberi sabda dalam ayat ini bahwasanya orang yang seperti ini, hidup sesudah mati, tidaklah sama dengan orang yang masih dalam kegelapan, dan tidak dapat membebaskan diri dalam suasana gelap itu. Orang yang seperti ini tetaplah mati, walaupun masih hidup. Meskipun kita hidup di dalam dunia, menarik napas turun dan naik, kalau jiwa tidak mem-punyai cahaya, samalah artinya dengan mati. Hidup manusia tidaklah ada artinya samalah dengan mati, kalau sekiranya dia tidak mempunyai aqidah, atau kepercayaan dan pegangan. Manusia yang hidup di dunia tanpa kepercayaan dan pegangan, samalah hidupnya dengan kehidupan binatang yang melata di muka bumi. Yang diingat oleh binatang siang dan malam hanyalah makan, minum, kawin, dan beranak, sesudah itu mati. Binatang di rimba tidak mempunyai peraturan sehingga diberi orang sebutan hukum rimba. Sedangkan binatang ternak diasuh dan dibesarkan orang hanya untuk disembelih.
Sejak mulai manusia mempunyai kepercayaan atau aqidah, sejak itulah dia mempunyai hidup yang sebenarnya. Sebab, pangkal hidup sejati itu adalah di dalam hati. Hati memancarkan cahaya pada mata. Dengan tidak ada aqidah, mata hati jadi buta. Timbul aqidah, mata hati jadi terang benderang. Terang nyata ke mana jalan yang akan dituju. Hidup yang sejati itu dapat memandang segala sesuatu, mendengar segala sesuatu dan menilai segala sesuatu dan merasakan segala sesuatu. Sedang sebelum aqidah itu masuk ke dalam hati, walaupun mata terkembang namun apa yang dilihat mata, yang didengar telinga, tidaklah dapat dirasakan dalam hati, sebab alat penampung tidak ada. Dengan adanya aqidah, segala sesuatu dilihat dengan penglihatan yang baru.
Mengabaikan dan menolak perintah dan garis yang ditentukan Allah berarti kufur. Kalau orang sudah mulai kufur, berartilah bahwa dia mulai saat itu memutuskan hubungannya dengan kehidupan yang sejati, yaitu hidup yang tidak mengenal fana, tidak mengenal hancur dan lenyap. Bahkan hidup yang kekal. Sebab itu, kufur berarti maut. Kufur berarti kehilangan wibawa dalam jiwa, kehilangan kekuatan dan sinar. Sedang iman artinya ialah cahaya, tali yang berhubung, yang tidak pernah putus. Iman adalah perbantuan yang tidak pernah berhenti. Iman ialah dialog terus-menerus di antara yang diciptakan dengan yang mencipta. Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa iman itu ialah hidup.
Kufur menutup nyawa dan menghambatnya buat naik. Kufur menyebabkan permainan jiwa hanya di bawah-bawah, tak dapat meningkat ke atas. Padam segala timbang rasa, padam segala perasaan halus. Kufur mempersempit langkah dan mempersempit alam tempat berdiri sehingga pikiran hanya sekadar untuk kepuasan nafsu dan penguasaan benda. Sedang iman adalah dada lapang, sinar yang tak pernah padam, ketenteraman, dan kedamaian.
Kafir adalah batil. Yang batil itu tidak ada ujudnya. Dia tidak berurat dan tidak berakar ke bumi. Orang yang memutuskan sendiri hubungannya dengan pencipta alam sebab putus hubungannya dengan pencipta alam, niscaya putus pula hubungannya dengan alam. Oleh sebab itu, hidupnya hanya sekadar bernapas dan hanya untuk dirinya. Persis, sebagai kehidupan binatang. Kedatangannya ke dunia tidaklah menukuk menambah dan perginya dari alam tidak pula menyebabkan orang merasa rhgi.
Dari mana kita memulai kehidupan itu?
Memulai kehidupan ialah dari mulai kesadaran kita atas hubungan kita dengan Allah. Perhubungan dengan Allah menyebabkan timbulnya hubungan sesama makhluk di dalam jalan Allah. Sejak saat itu, kita yang tadiriya mati, memulai hidup baru. Kita yang tadiriya hilang, telah timbul kembali. Jalan Allah itu (sabilillah) adalah kekal. As-shirathal mustctqim adalah lurus tak berhenti, jalan terus, terus dan lurus, sampai pada perhentian terakhir, yaitu surga Jannatun Na'im. Inti daripada surga itu, tidak lain ialah melihat wajah Allah.
Maka, bersatu-padulah setiap hamba Allah yang menempuh jalan itu, berjalan di atas garis itu, menjadi umat yang satu, tak terpisah. Tauhidul-kalimah di dalam kalimat tauhid. Orang-orang seperti ini tidak pernah merasa kecil sebab hidupnya terikat dalam kebesaran Allah. Allahu Akbar! Tidak pernah merasa takut mati. Sebab maut itu hanya pembatas di antara dua suasana hidup, yaitu hidup fana dengan hidup baqa. Tidak pernah merasa miskin sebab jiwa kaya dengan iman, kaya dengan takwa, kaya dengan hubungan cinta ke langit dan cinta di atas permukaan bumi. Tidak merasa takut mati karena dia merasa bahwa pendiriannya dan aqidahnya tidak pernah berguncang. Tidak merasa takut mati sebab dia yakin bahwa dengan kematiannya pun, perjuangan ini akan diteruskan oleh orang lain.
Nabi Muhammad pernah mengajarkan doa agar kita memohon kepada Allah sehabis shalat atau pada waktu-waktu yang lain agar Tuhan menganugerahi diri kita nur atau cahaya, dan agar Allah memberikan nur itu ke dalam hati, ke dalam tubuh, kepada kedua tangan, ke muka dan ke belakang, ke atas diri dan ke bawah, ke kanan atau ke kiri, malahan sampai kepada kuburan sebagai istirahat terakhir di dunia ini, agar kiranya Allah memberikan nur itu.
Wahai saudaraku, kalau nur ini telah mulai ada dalam hati, pastilah hakikat kebenaran agama yang kita peluk ini akan dibukakan Allah kepada kita. Iman yang dituruti amal, menyebabkan timbulnya kasyaf rahasia itu terbuka sehingga tidak ada lagi jarak di antara langit dengan bumi, tidak ada lagi jarak di antara dunia dengan akhirat, tidak ada lagi pemisahan di antara dunia dengan agama, masjid dengan parlemen. Dia rupanya bukanlah semata-mata upacara agama dan ibadah, tetapi hidup seluruhnya sehingga kalau kita jatuh cinta kepada hidup, bukanlah karena kita ingin hendak terus hidup dalam dunia ini. Kita mencintai hidup, ialah karena hidup itu buat beribadah. Dan, walaupun orang lain tidak melihat, kita ingin beramal juga, beramal yang baik. Sebab kita telah tahu, apalah artinya hidup itu kalau tidak berbuat yang baik.
Nur ini menghilangkan segala keraguan, kecemasan, dan mundur-maju. Ia menimbulkan rasa tenteram dan menimbulkan yakin. Ia menimbulkan keberanian menghadapi kesukaran. Karena iman belum ada artinya sebelum ia menempuh ujian. Apabila ia akan menghadapi suatu tujuan yang mulia, dari semula dia telah bersedia menghadapi kesukaran dan rintangan. Karena dia sudah tahu bahwa iman tidak mungkin subur kalau tidak disiram dengan air percobaan. Seorang Mukmin dengan nur iman itu tenang terus, sebab dia yakin sesudah pasang turun, pasang itu akan naik. Sebab, sesudah badai dan topan tengah malam, besok pagi matahari akan cerah kembali.
Oleh sbab itu, nur iman memancarkan hidup dan kufur menyebabkan mati. Hidupnya laksana menghasta kain sarung, berputar-putar di sana sama saja.
Bahkan ajaib sekali pengaruh iman dalam dada itu pada sinar di mata. Dan, ajaib pula kegelapan kufur dalam hati itu pada gelapnya pandang mata. Amat halus rupanya urat saraf yang menyambungkan rasa hati dengan sinar mata.
Itulah sebabnya di dalam ayat ini Allah bertanya, “Dan, apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan dia," yaitu Kami beri dia iman lalu timbullah cahaya dalam pribadiriya lantaran iman. Dengan cahaya itu, dia sanggup berdiri, bahkan berjalan melangkah lapang di antara manusia. Apakah engkau sangka bahwa orang yang telah diberi Allah cahaya itu akan sama dengan orang yang hidup dalam kegelapan terus-menerus sebab hatinya gelap gulita? Dan, dia tidak sanggup keluar dari suasana gelap itu? Laksana orang yang tersentak dari tidurnya tengah malam, padahal kesadarannya belum pulih, lalu dia “dimaling oleh rumahnya sendiri?"
Sedikit tentang sebab turun ayat.
Orang yang diumpamakan telah mati adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang utama itu. Menurut riwayat lbnu Abbas dan Zaid bin Aslam dan adh-Dhahhak, yang dimaksud dengan orang ini ialah Umar bin Khaththab. Menurut Ikrimah ialah Amar bin Yasir. Menurut suatu riwayat lagi yang dibawakan Ar-Razi dari lbnu Abbas, ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ Yang mana pun yang akan dikuatkan di antara riwayat itu, tetapi teranglah sahabat-sahabat yang tersebut itu, bahkan sahabat-sahabat yang lain pun, adalah sebelum mendapat hidayat Allah dan bimbingan Rasulullah ﷺ laksana orang yang telah mati belaka. Kalau manusia hidup di dunia ini hanya semata-mata memikirkan isi perut, memenuhi syahwat, samalah artinya dengan mati. Barulah hidup berarti sebenar-benar hidup apabila cahaya iman telah di-sinarkan Allah ke dalam kalbu, dan dengan sinar cahaya iman itulah mereka berjalan di tengah-tengah manusia. Lantaran sinar iman itu mereka tidak merasa takut menghadapi hidup dan tidak duka cita memikirkan yang sesudah mati. Dan, sinar jiwa mereka memancarkan juga pada wajah mereka. Orang seperti ini niscaya tidak sama dengan orang yang kegelapan jahiliyyah dan syirik. Ahli-ahli tafsir sependapat bahwa yang dituju dengan orang yang hidup dalam kegelapan ini, dan tidak mendapat jalan keluar, ialah Abu Jahal. Susah jugalah hidupnya, orang yang laksana mati karena tidak mendapat cahaya itu. Mereka berkeliling-keliling di sekitar tempat yang gelap itu saja, tidak mendapat jalan keluar, sedang mereka tidak sadar bahwa mereka hidup dalam gelap, yang sama artinya dengan maut. Dan, wajah orang yang begini pun gelap terus.
“Demikian itulah, telah dihiaskan bagi orang-orang yang kafir itu apa-apa yang telah mereka kerjakan."
Yang mereka kerjakan tidak lain daripada yang mungkar. Menyembah berhala, me-nyembelih kurban buat berhala, menghalangi kebenaran, menentang ajaran tauhid. Mereka senang dengan perbuatan mereka yang salah itu, apalagi karena bisik rayuan setan-setan selalu pula menghiaskan kata lemak manis memujikan sikap mereka sehingga yang salah mereka pertahankan dan katakan benar. Bertambah lama mereka akan bertambah keras mempertahankan pendirian yang salah itu. Di dalam ayat ini dikatakan “dihiaskan/' sebagai lanjutan dari kata pada ayat 112 yang lalu, zukhrufal-qauli ghururan kata lemak manis dari tipu daya atau dari kesombongan. Bisik iblis dan setan bisalah masuk ke dalam hati orang yang hidup dalam kegelapan itu sehingga yang buruk dihiaskan, lalu dikatakan baik dan kemusyrikan dihiaskan lalu dikatakan itulah yang sejati ibadah. Berhala dipujikan lalu dikatakan Allah. Karena di dalam batin sudah gelap, petunjuk tidak masuk, berputar-putarlah ia dari sana ke sana juga sehingga sampai saat terakhir ia tidak mendapat jalan keluar dari kesulitan jiwa itu.
HALANGAN DARI PENGUASA
Ayat 123
“Dan demikianlah telah Kami jadikan pada tiap-tiap negteni beberapa orang besar-besar. Jadi pendurhakanya supaya mereka menipu daya di dalamnya."
Pada ayat yang terdahulu disuruh membandirig di antara orang yang mati dihidupkan kembali dengan cahaya, dibandirigkan dengan orang yang tetap dalam kegelapan dan tidak mendapat jalan keluar. Ahli tafsir tadi telah memberikan penafsirannya bahwa orang yang kembali hidup dengan cahaya itu ialah salah seorang di antara Umar bin Khaththab, Amar bin Yasir atau Hamzah bin Abdul Muthalib. Semua orang ini dulunya hidup laksana mati sebab mereka pun penyembah-penyembah berhala dengan pikiran mati sebab hanya menuruti adat pusaka nenek moyang, tetapi mereka kemudian telah diberi sinar cahaya iman dan hidup di tengah-tengah masyarakat dengan sinar cahaya iman itu. Lawannya, yang tetap hidup dalam gelap itu ialah Abu Jahal. Demikian kata ahli tafsir. Maka, terkenallah bahwa sejak Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan dakwahnya, dalam masa 13 tahun, sampai beliau pindah ke Madiriah, Abu Jahal itulah yang mengatur segala tipu daya bagaimana menghalang dan menggagalkan segala usaha Rasulullah ﷺ, baik secara halus maupun secara kasar, malahan lebih banyak secara kasar.
Di dalam ayat ini diperingatkanlah kepada Rasul dan sekalian orang yang beriman bah-wasanya segala cara-cara yang dilakukan Abu Jahal adalah hal yang lumrah. Bahwasanya, di tiap negeri, baik negeri besar maupun negeri kecil, memang ditakdirkan Allah ada orang-orang besar negeri itu yang mendurhakai atau berusaha menghalang-halangi segala maksud yang baik dan menipu daya di dalamnya.
Liyamkuru fiha, kita artikan karena hendak membuat tipu daya di dalamnya, yaitu di dalam negeri itu. Yamkuru ialah dari kata “makar", kita artikan tipu daya. Di dalam bahasa hukum, dalam bahasa Indonesia modern, kata-kata makar itu telah diambil alih masih hidup dalam kegelapan, yaitu dan dijadikan bahasa Indonesia. Segala tindak pidana untuk maksud yang jahat di dalam bahasa hukum di Indonesia disebut makar. Dalam maksud asalnya disebut maksud makar. Makar ialah segala tipu daya dan telah buat memalingkan seseorang dari tujuan yang di-maksudnya pada tujuan yang lain, baik dengan perbuatan maupun dengan ucapan-ucapan yang manis. Dan, dipakai untuk memalingkan orang dari yang benar pada yang salah, dari yang baik pada yang jahat.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa dalam perjuangan menegakkan agama Allah, janganlah heran apabila mendapat hambatan dan gangguan dari orang-orang terkemuka di negeri itu. Sebab, yang begitu selalu terjadi di tiap-tiap negeri jika ada orang yang bermaksud baik dan bercita-cita mulia. Mereka itu selalu berbuat makar dengan segala tipu daya akal busuk menyalahartikan segala maksud yang baik itu dan bekerja keras membelokkan tujuannya. Dan, ayat ini menjadi pedoman bagi umat Muhammad hingga ke akhir zaman, apabila mereka bermaksud akan menegakkan agama yang hak. Halangan pasti ada. Yang menghalangi bukan sembarang orang, bahkan orang-orang terkemuka di negeri itu.
Pada zaman modern ini, pihak-pihak yang berkuasa mudah saja melakukan makar itu dalam mempertahankan kekuasaannya. Orang yang berjuang hendak menegakkan ajaran Nabi Muhammad ﷺ mendapat berbagai halangan dan rintangan. Cara propaganda yang modern bisa saja membuat suatu cita-cita yang benar dan suci sebagai suatu kejahatan. Keinginan agar hukum Allah berlaku dalam masyarakat dapat saja dituduh sebagai pemberontak dan segala usaha hendak menyingkirkan peraturan Allah dari muka bumi mendapatkan pujian yang besar. Berusaha menegakkan syiar Allah, mengucapkan salam menurut ajaran Muhammad ﷺ teguh memegang ajaran Al-Qur'an, sabda dan wahyu Allah, dapat saja dituduh fanatik dan menghalang-halangi kemajuan. Inilah usaha dari “Akaabira Mujrimiha!" Penjahat kaliber besar dalam negeri itu.
Kemudian, datanglah ujung ayat,
“Padahal tidaklah mereka menipu daya," atau tidaklah mereka berbuat makan, “melainkan kepada diri mereka sendiri. Namun, mereka tidaklah sadar."
Segala usaha makar mereka itu, tidak lain mempertinggi tempat mereka jatuh. Mereka hendak memakar orang lain, dan tidak mereka sadari yang kena makar oleh perbuatan mereka itu ialah diri mereka sendiri. Sebab, makar itu adalah perbuatan jahat, dan kejahatan jika sudah dimulai, tidak dapat dihentikan di tengah jalan. Kejahatan pertama mesti diikuti oleh kejahatan kedua, sampai akhirnya kejahatan mereka sendirilah yang mengelilingi dan mengepung diri mereka. Setelah di ujung sekali mungkin mereka sadar, tetapi buat mundur tidak dapat lagi.
Untuk menjadi perbandirigan lebih baik kita kemukakan dua kisah berkenaan dengan Abu Jahal dengan makarnya ini.
Pada suatu hari Rasulullah ﷺ bertemu dengan Abu Jahal di satu tempat, Abu Jahal langsung mencaci-maki Nabi Muhammad ﷺ, menyakiti, menista, dan menghinakan beliau. Nabi Muhammad ﷺ menghadapi itu dengan tenang dan diam, tidak menjawab apa-apa.
Di antara orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, ada seorang perempuan hamba sahaya, budak dari Abdullah bin Jud'an.
Ketika perempuan itu berjumpa dengan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ, yang ketika itu baru kembali dari berburu, sedang anak panah dan busurnya masih ter-genggam dalam tangannya. Perempuan itu berkata kepada Hamzah,
“Wahai Abu Ammarah (gelar panggilan Hamzah), sekiranya engkau melihat apa yang dilakukan Abil Hakam bin Hisyam (yakni Abu Jahal) terhadap anak saudaramu, Muhammad, entah apa yang akan terjadi. Dia mencaci-maki, menyakiti, dan menghina Muhammad, sedangkan Muhammad hanya diam saja."
Mendengar itu, hati Hamzah tersentak marah kepada Abu Jahal. Meskipun ketika itu dia belum memeluk agama Islam, perasaan kekeluargaan mendorongnya untuk membela Nabi Muhammad ﷺ Dia pergi mencari Abu jahal. Didapatinya Abu Jahal berada di satu majelis di tengah kaumnya.
Hamzah memanggilnya dan terus memukulnya dengan anak panah yang tergenggam dalam tangannya sehingga luka dan berdarah, sambil dia berkata kepada Abu Jahal, “Engkau caci-maki Muhammad. Ketahuilah, aku pun juga sekarang menganut agamanya."
Melihat tindakan Hamzah dan mendengar kata-katanya yang tegas dan berani itu dengan sikap bersedia menghadapi segala kemungkinan untuk berkelahi, semangat Abu Jahal menjadi luntur, segala pengikutnya terpesona, diam tak berkutik. Sehingga, harga diri Abu Jahal sebagai orang yang dibesarkan dan dibanggakan oleh pengikutnya, pada waktu itu jatuh dalam pandangan mereka.
Kemudian, Hamzah pergi mencari Nabi Muhammad ﷺ Ketika berjumpa Nabi, di-ceritakan nyalah apa tindakan yang telah diperbuatnya terhadap Abu Jahal yang sangat memusuhi Nabi Muhammad itu. Dan, ketika itu pulalah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan dengan ikhlas menganut Islam.
Dalam cerita lain, ialah Abu Jahal menipu. Datang seorang Badui menjual ternaknya be-berapa ekor ke Mekah. Kemudian, kelihatan oleh Abu Jahal. Dia pun bersedia membeli ternak itu. Disuruhnya Badui itu menghalaukan ternak tersebut ke kandang persediaan Abu Jahal dan dia berjanji akan membayarnya besok. Setelah besok harinya Badui tadi datang menemui Abu Jahal, lalu dijanjikan besok pula, dari besok ke besok sehingga berhari-hari dia telah tertahan di Mekah, uangnya tidak diterima, sedangkan ternaknya sudah masuk ke kandang ternak Abu Jahal, tidak dapat diambilnya lagi. Dia mencoba mengadukan permasalahannya kepada pemuka-pemuka Quraisy. Namun, tidak seorang pun yang mau menolong. Akhirnya, setelah beberapa kali keliling-keliling, dia masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan pemuka-pemuka Quraisy itu. Dia minta tolong dan minta akal supaya uangnya dapat diterimanya. Di antara mereka itu, lalu menunjukkan kepada Badui itu, Nabi kita Muhammad ﷺ yang sedang duduk dekat Ka'bah. Kemudian, pemuka Quraisy itu berkata, “Cobalah engkau temui orang itu. Dialah yang dapat menolongmu memintakan uangmu itu kepada Abu Jabal."
Badui kampung yang jujur itu, yang tidak mengerti duduk soal, terus saja menemui Rasulullah ﷺ dan mengadukan perasaannya dan meminta tolong. Adapun orang musyrikin yang menyuruh tadi berdiri dari jauh sambil tersenyum-senyum.
Mereka jadi heran. Sebab, setelah mendengar kisah orang Badui itu, Rasulullah ﷺ berdiri dari duduknya, lalu diajaknya Badui itu menurutkannya. Berjalanlah mereka berdua menuju rumah Abu Jahal. Sampai di muka pintu, beliau ketuk pintu itu dan dipanggilnya Abu Jahal dengan suara nyaring, “Abu Jahal!"
Abu Jahal segera membuka pintu. Baru saja berhadapan, beliau pegang leher baju Abu Jahal dengan segera berkata, “Bayar sekarang juga uang orang ini!" Gemetar seluruh tubuh Abu Jahal dan dia berkata, “Baiklah!" Kemudian, dilepaskanlah dia oleh Rasulullah. Dia pun langsung ke dalam biliknya mengambil sebuah pundi penuh berisi uang, lalu diserahkannya kepada Rasulullah ﷺ dan Rasulullah ﷺ pun berkata kepada Badui tadi, “Ini uangmu, ambillah!" Kemudian beliau pun kembali ke masjid diiringkan Badui itu sambil menggenggam pundi-pundi penuh berisi uang, dengan sangat gembiranya. Sesampai di masjid, berkerumunlah orang-orang yang menyuruh dengan mengejek dan tersenyum tadi, tercengang melihat apa yang telah terjadi. Dan, Nabi Muhammad ﷺ kembali ke dalam tafakurnya di dekat Ka'bah.
Tidak lama kemudian., Abu Jahal pun datang. Berkerumunlah mereka menemuinya, hendak menanyakan mengapa sampai dia kalah. Abu jahal menjawab bahwa ketika namanya dipanggil oleh Muhammad, jiwanya sudah mulai merasa kecut. Dan, setelah pintu dibuka, dilihatnya di belakang kepala Muhammad itu tersembul pula kepala seekor unta yang sangat besar dan menakutkan sehingga lantaran takut, dia pun tidak dapat membantah apa yang dikehendaki Muhammad ﷺ lagi.
Inilah dua macam contoh tentang betapa kecilnya jiwa Abu Jahal jika benar-benar telah berhadapan pribadi dengan pribadi. Sebab jiwanya kosong, isinya hanya kekosongan dan kesombongan. Ahli-ahli ilmu jiwa dapatlah menganalisa kedua cerita ini secara ilmiah. Meskipun sudah kejadian seperti itu, Abu Jahal masih tetap melanjutkan makarnya sampai dia mati dalam Peperangan Badar, dibunuh oleh bekas tukang pengembala untanya sendiri, Abdullah bin Mas'ud.
Dari kedua kisah ini, dapatlah kita melihat teladan ketinggian budi Nabi kita ﷺ Ketika dirinya dicaci-maki, disakiti dan dihinakan oleh Abu Jahal, beliau tidak sedikit juga menunjukkan rasa marah sehingga Abu Jahal menyangka beliau pengecut sehingga paman beliau, Hamzahlah yang naik darah karena perbuatan Abu Jahal yang sangat kurang ajar itu. Namun, setelah orang lain yang datang dari dusun, seorang Badui, mengadukan halnya bahwa dia telah dianiaya dan dicurangi oleh Abu Jahal, setelah si Badui itu diberi nasihat oleh orang lain supaya mengadu kepada beliau, Muhammad ﷺ, pada waktu itulah baru beliau bertindak.
Mulanya kaum musyrikin itu menyangka bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan berani menemui Abu Jahal meminta penyelesaian
harga unta orang Badui itu. Tentu, Abu Jahal sendiri pun tidak sedikit juga menyangka bahwa Rasulullah ﷺ akan berani menemui dia. Kemudian, setelah leher bajunya ditarik-tarik menyuruh membayar uang Badui itu, barulah Abu Jahal insaf dengan siapa dia sedang berhadapan. Di situlah, dia baru tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidaklah akan segera marah kalau hanya diri pribadiriya yang tersinggung, tetapi marahnya akan menggelegak kalau perintah Allah disanggah dan orang yang lemah hendak dianiaya.
Ayat 124
“Dan, apabila datang kepada mereka suatu ayat, mereka berkata, Sekali-kali kami tidakkan percaya sehingga didatangkan seumpama apa yang didatangkan kepada Rasul-rasul Allah."
Inilah salah satu contoh betapa makar yang dilakukan oleh orang yang kafir terhadap Rasul Allah. Setelah didatangkan kepada mereka satu perintah Allah dengan perantaraan Rasul Allah, mereka menolak dan berkata, “Kami tidak mau percaya pada keterangan itu, kalau dikatakan dia diterima dari Allah dengan perantaraan Jibril. Apakah kelebihan Muhammad itu daripada kami. Dia manusia, kami pun manusia. Kalau dia dapat wahyu, mengapa kepada kami tidak pula akan datang wahyu?"
Al-Walid bin al-Mughirah dengan sombongnya pernah berkata, “Kalau nubuwwah ini memang datang kepada engkau, saya pun lebih pantas mendapat nubuwwah daripada engkau. Sebab, usia saya lebih tua daripada usia engkau dan harta benda saya lebih banyak dari harta benda engkau."
Dan, Abu Jahal pun pernah berkata, “Demi Allah, kami tidak suka, kami tidak akan sekali-kali akan menjadi pengikutnya. Kalau wahyu datang pula kepada kami, seperti yang datang kepadanya itu, baru kami mau percaya."
Ini adalah suatu kesombongan yang senantiasa terdapat pada orang yang merasa dirinya berpengaruh. Kesombongan inilah yang menghambat dan mendiridirigi mereka sehingga mereka lebih suka menerima menjadi kafir daripada jadi orang Mukmin.
“Tetapi, Allah-lah yang lebih mengetahui kira-kira di mana yang patut Dia menjadikan risalah-Nya."
Kalau kita pahamkan isi firman Allah ini dengan saksama, terasalah bagaimana kerasnya sambutan Allah atas kata-kata sombong orang-orang kafir itu. Yang tidak mau percaya akan kebenaran yang dibawa oleh Rasul Allah, kalau mereka pun tidak diberi wahyu pula. Sebagai al-Walid bin al-Mughirah yang menyombong karena usianya lebih tua dan dia seorang kaya. Dan, Abu Jahal yang merasa dirinya pun patut jadi Nabi, dituruni wahyu. Dengan sambungan ayat ini Allah menjawab, “Tuhanlah yang lebih tahu memilih siapa orang yang patut dijadikan Rasul."
Tampaklah bahwa orang-orang ini tidak tahu diri. Seakan-akan ayat ini berkata, “Cer-minilah dirimu dahulu, lihat mukamu di sana. Bukan macam engkau orang yang akan dipilih Allah menjadi Rasul-Nya. Bukan soal umur karena banyak orang yang telah tua umurnya, tetapi tidak ada nilai apa-apa dalam jiwa dan otaknya. Dan, bukan pula kekayaan yang akan menentukan orang jadi Nabi. Menjadi Rasul bukanlah dengan menggunakan uang suap, seperti yang selalu dilakukan orang-orang yang ingin pangkat, supaya dia dipilih oleh rakyat."
Muhammad ﷺ tidak meminta jabatan menjadi Rasul itu. Dan, dia dipilih Allah menjadi Rasul-Nya, setelah terlebih dahulu jiwanya dipelihara dan dipupuk bertahun-tahun.
Dalam perjuangan menegakkan ajaran Rasulullah ﷺ sampai pada zaman kita ini, masih saja ada orang yang kafir, yang mengatakan bahwa dia pun sanggup mencapai wahyu sebagai yang dicapai rasul-rasul Allah. Di negeri kita ini karena pengaruh bekas ajaran Hindu dan bekas bisikan penjajahan, ada saja guru-guru klenik yang mendakwakan dirinya
mendapat Wahyu Cakraningrat. Kadang kala, mereka ini diperkuda tenaga-tenaga politik yang benci pada ajaran Islam. Bahkan, ada yang berkata bahwa ilmu pengetahuan zaman modern yang dicapai manusia, sudah jauh lebih maju daripada wahyu-wahyu yang ada dalam kitab-kitab suci itu. Setengah mereka itu hanyalah sebagai burung beo, mengucapkan kalimat yang diajarkan oleh tuannya (His Master's Voice), yang mereka sendiri tidak mengerti apa yang mereka katakan.
“Akan mengenallah kepada orang-orang yang berdosa itu kehinaan dari sisi Allah, dan siksaan yang sangat, lantaran apa yang mereka tipu dayakan itu."