Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ
dan hendaklah menjaga kehormatan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
(mereka) tidak
يَجِدُونَ
dapat/mampu
نِكَاحًا
nikah/kawin
حَتَّىٰ
sehingga
يُغۡنِيَهُمُ
memberi kekayaan/kemampuan kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
مِن
dari
فَضۡلِهِۦۗ
karunia-Nya
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَبۡتَغُونَ
(mereka) menginginkan
ٱلۡكِتَٰبَ
catatan/perjanjian
مِمَّا
dari apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡ
budak-budak kamu
فَكَاتِبُوهُمۡ
maka adakan perjanjian dengan mereka
إِنۡ
jika
عَلِمۡتُمۡ
kamu ketahui
فِيهِمۡ
pada mereka
خَيۡرٗاۖ
kebaikan
وَءَاتُوهُم
dan berikanlah mereka
مِّن
dari
مَّالِ
harta
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
ءَاتَىٰكُمۡۚ
diberikan/dikaruniakan padamu
وَلَا
dan jangan
تُكۡرِهُواْ
kamu memaksa
فَتَيَٰتِكُمۡ
budak-budak perempuan
عَلَى
atas
ٱلۡبِغَآءِ
melakukan pelacuran
إِنۡ
jika
أَرَدۡنَ
mereka menghendaki
تَحَصُّنٗا
menjaga kesucian
لِّتَبۡتَغُواْ
karena kamu mencari
عَرَضَ
keuntungan
ٱلۡحَيَوٰةِ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَاۚ
dunia
وَمَن
dan barangsiapa
يُكۡرِههُّنَّ
ia memaksa mereka
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
إِكۡرَٰهِهِنَّ
memaksa mereka
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ
dan hendaklah menjaga kehormatan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
(mereka) tidak
يَجِدُونَ
dapat/mampu
نِكَاحًا
nikah/kawin
حَتَّىٰ
sehingga
يُغۡنِيَهُمُ
memberi kekayaan/kemampuan kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
مِن
dari
فَضۡلِهِۦۗ
karunia-Nya
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَبۡتَغُونَ
(mereka) menginginkan
ٱلۡكِتَٰبَ
catatan/perjanjian
مِمَّا
dari apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡ
budak-budak kamu
فَكَاتِبُوهُمۡ
maka adakan perjanjian dengan mereka
إِنۡ
jika
عَلِمۡتُمۡ
kamu ketahui
فِيهِمۡ
pada mereka
خَيۡرٗاۖ
kebaikan
وَءَاتُوهُم
dan berikanlah mereka
مِّن
dari
مَّالِ
harta
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّذِيٓ
yang
ءَاتَىٰكُمۡۚ
diberikan/dikaruniakan padamu
وَلَا
dan jangan
تُكۡرِهُواْ
kamu memaksa
فَتَيَٰتِكُمۡ
budak-budak perempuan
عَلَى
atas
ٱلۡبِغَآءِ
melakukan pelacuran
إِنۡ
jika
أَرَدۡنَ
mereka menghendaki
تَحَصُّنٗا
menjaga kesucian
لِّتَبۡتَغُواْ
karena kamu mencari
عَرَضَ
keuntungan
ٱلۡحَيَوٰةِ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَاۚ
dunia
وَمَن
dan barangsiapa
يُكۡرِههُّنَّ
ia memaksa mereka
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
إِكۡرَٰهِهِنَّ
memaksa mereka
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.
Tafsir
(Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya) maksudnya mereka yang tidak mempunyai mahar dan nafkah untuk kawin, hendaklah mereka memelihara kesuciannya dari perbuatan zina (sehingga Allah memampukan mereka) memberikan kemudahan kepada mereka (dengan karunia-Nya) hingga mereka mampu kawin. (Dan orang-orang yang menginginkan perjanjian) lafal Al Kitaaba bermakna Al Mukaatabah, yaitu perjanjian untuk memerdekakan diri (di antara budak-budak yang kalian miliki) baik hamba sahaya laki-laki maupun perempuan (maka hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka) artinya dapat dipercaya dan memiliki kemampuan untuk berusaha yang hasilnya kelak dapat membayar perjanjian kemerdekaan dirinya. Shighat atau teks perjanjian ini, misalnya seorang pemilik budak berkata kepada budaknya, "Aku memukatabahkan kamu dengan imbalan dua ribu dirham, selama jangka waktu dua bulan. Jika kamu mampu membayarnya, berarti kamu menjadi orang yang merdeka." Kemudian budak yang bersangkutan menjawab, "Saya menyanggupi dan mau menerimanya" (dan berikanlah kepada mereka) perintah di sini ditujukan kepada para pemilik budak (sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian) berupa apa-apa yang dapat membantu mereka untuk menunaikan apa yang mereka harus bayarkan kepada kalian. Di dalam lafal Al-Iitaa terkandung pengertian meringankan sebagian dari apa yang harus mereka bayarkan kepada kalian, yaitu dengan menganggapnya lunas. (Dan janganlah kalian paksakan budak-budak wanita kalian) yaitu sahaya wanita milik kalian (untuk melakukan pelacuran) berbuat zina (sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian) memelihara kehormatannya dari perbuatan zina. Adanya keinginan untuk memelihara kehormatan inilah yang menyebabkan dilarang memaksa, sedangkan syarath di sini tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi (karena kalian hendak mencari) melalui paksaan itu (keuntungan duniawi) ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, karena dia memaksakan hamba-hamba sahaya perempuannya untuk berpraktek sebagai pelacur demi mencari keuntungan bagi dirinya. (Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah kepada mereka yang telah dipaksa itu adalah Maha Pengampun) (lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat An-Nur: 32-34
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri di antara kalian, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian.
Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat-ayat yang mulia lagi menjelaskan ini mengandung sejumlah hukum yang muhkam dan perintah-perintah yang pasti. Firman Allah ﷻ: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. (An-Nur: 32), sampai akhir ayat. Hal ini merupakan perintah untuk kawin. Segolongan ulama berpendapat bahwa setiap orang yang mampu kawin diwajibkan melakukanya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis Nabi ﷺ yang berbunyi: Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung biaya perkawinan, maka hendaklah ia kawin.
Karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya. Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Ibnu Mas'ud. Di dalam kitab sunan telah disebutkan hadis berikut melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang subur peranakannya, niscaya kalian mempunyai keturunan; karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan (banyaknya) kalian terhadap umat-umat lain kelak di hari kiamat.
Menurut riwayat lain disebutkan, "Sekalipun dengan bayi yang keguguran." Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini dapat ditujukan kepada pria dan wanita yang tidak punya pasangan hidup, baik ia pernah kawin ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat Al-Jauhari yang ia nukil dari ahli lugah (bahasa). Dikatakan rajulun ayyimun dan imra-tun ayyimun, artinya pria yang tidak beristri dan wanita yang tidak bersuami.
Firman Allah ﷻ: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32), hingga akhir ayat. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ini mengandung anjuran kepada mereka untuk kawin. Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan budak-budak untuk kawin, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan kecukupan. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid Al-Azraq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdul Wahid, dari Said ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernah mengatakan, "Bertakwalah kalian kepada Allah dalam menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kalian dalam hal nikah, niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian apa yang telah Dia janjikan kepada kalian, yaitu kecukupan." Allah ﷻ telah berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32) Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Carilah kecukupan dalam nikah, karena Allah ﷻ telah berfirman: 'Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya' (An-Nur: 32)." Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui Umar.
Telah diriwayatkan dari Al-Lais, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari Allah, yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak mukatab yang bertekad melunasinya, dan orang yang berperang di jalan Allah. Hadis riwayat imam Ahmad, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Nabi ﷺ pernah mengawinkan lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain sehelai kain sarung yang dikenakannya dan tidak mampu membayar maskawin cincin dari besi sekalipun.
Tetapi walaupun demikian, beliau ﷺ mengawinkannya dengan seorang wanita dan menjadikan maskawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya Al-Qur'an yang telah dihafalnya. Kebiasaannya, berkat kemurahan dari Allah ﷻ dan belas kasih-Nya, pada akhirnya Allah memberinya rezeki yang dapat mencukupi kehidupan dia dan istrinya. Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh kebanyakan orang, bahwa hal berikut merupakan sebuah hadis, yaitu: Kawinilah orang-orang yang fakir, niscaya Allah akan memberikan kecukupan kepada kalian. Maka hadis ini tidak ada pokok pegangannya, dan menurut hemat saya sanadnya tidak kuat, juga tidak lemah; sampai sekarang saya masih belum mengetahuinya.
Apa yang ada di dalam Al-Qur'an merupakan suatu kecukupan yang tidak memerlukannya; begitu pula hadis-hadis di atas yang telah kami kemukakan, sudah cukup sebagai dalilnya. Firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 33) Ini adalah perintah dari Allah ﷻ,ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu kawin; hendaknyalah mereka memelihara dirinya dari hal yang diharamkan, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw: .
". Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan untuk kawin, kawinlah kalian; karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia mengerjakan puasa; karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya. Ayat ini mengandung makna yang mutlak, sedangkan ayat yang terdapat di dalam surat An-Nisa lebih khusus maknanya, yaitu firman Allah ﷻ: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) sampai dengan firman-Nya: dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 25) Artinya, kesabaran kalian untuk tidak mengawini budak perempuan lebih baik bagi kalian, karena anaknya kelak akan menjadi budak pula.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. (An-Nisa: 25) Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya. (An-Nur: 33) Yakni berkenaan dengan seorang lelaki yang melihat wanita lain hingga ia bernafsu kepadanya. Maka jika ia mempunyai istri, hendaklah ia pulang kepada istrinya dan tunaikanlah hajatnya itu kepadanya. Jika ia tidak beristri, hendaklah mengalihkan pandangannya kepada kerajaan langit dan bumi hingga Allah memberikan kecukupan kepadanya.
Firman Allah ﷺ: Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Ini adalah perintah dari Allah ditujukan kepada para tuan, bila budak-budak mereka menginginkan transaksi kitabah. Yaitu hendaknya mereka memenuhi permintaan budak-budak mereka dengan mengikat perjanjian, bahwa budak yang bersangkutan dipersilakan berusaha dan dari hasil usahanya itu si budak harus melunasi sejumlah harta yang telah dituangkan dalam perjanjian mereka berdua, sebagai imbalan dari kemerdekaan dirinya secara penuh.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa perintah dalam ayat ini merupakan perintah arahan dan anjuran, bukan perintah harus atau wajib, bahkan si tuan diperbolehkan memilih apa yang disukainya. Dengan kata lain, bila budaknya ada yang menginginkan transaksi kitabah darinya, maka si tuan berhak memilih setuju atau tidaknya. Jika ia setuju, tentu menandatangani transaksi kitabah budaknya; dan jika tidak setuju, tentu ia akan menolaknya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, bahwa jika si tuan menghendakinya,ia boleh menandatangani transaksi kitabah yang diajukan budaknya; dan jika tidak menghendakinya, ia boleh menolaknya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Isma'il ibnu Ayyasy, dari seorang lelaki, dari Ata ibnu Abu Rabah. Disebutkan bahwa seorang tuan jika suka, boleh menandatangani transaksi kitabah itu; dan jika tidak suka, boleh menolaknya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Al-Hasan Al-Basri. Ulama yang lain berpendapat bahwa seorang tuan jika budaknya mengajukan transaksi kitabah, diwajibkan baginya memenuhi apa yang diminta oleh budaknya. Pendapat mereka berdasarkan kepada makna lahiriah dari perintah yang terkandung dalam ayat ini. Imam Bukhari mengatakan bahwa Rauh telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib atas diriku memenuhi permintaan budakku yang mengajukan transaksi kitabah dengan sejumlah harta?" Ata menjawab, "Menurut hemat saya tiada lain bagimu kecuali wajib memenuhi permintaannya." Amr ibnu Dinar mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah engkau lebih mementingkan orang lain daripada dia (budak yang meminta kitabah)?" Ata menjawab, "Tidak." Kemudian ia menceritakan kepadaku, Musa ibnu Anas pernah menceritakan kepadanya bahwa Sirin pernah mengajukan transaksi kitabah kepada Anas, sedangkan Sirin mempunyai harta yang banyak; tetapi Anas menolak.
Maka Sirin segera menghadap kepada Khalifah Umar untuk melaporkan kasusnya. Khalifah Umar berkata (kepada Anas), "Penuhilah transaksi kitabah-nya!" Anas menolak. Maka Khalifah Umar memukulnya dengan cambuk, lalu membacakan kepadanya firman Allah ﷻ: hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Akhirnya Anas mau membuat perjanjian kitabah dengan Sirin. Hal yang sama telah disebutkan oleh Imam Bukhari secara ta'liq.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib bagiku melakukan transaksi kitabah dengannya (si budak) bila aku telah memberitahukan kepadanya sejumlah harta (yang harus dibayarnya untuk kemerdekaannya)?" Maka Ata menjawab, "Menurut hemat saya tiada lain kecuali wajib belaka." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakr, telah menceritakan kepada kami Said, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Sirin bermaksud membuat perjanjian kitabah kepadanya, tetapi Anas menolak.
Maka Khalifah Umar berkata kepada Anas, "Kamu harus menerima perjanjian kitabah-nya." Sanad asar ini sahih. Sa'id ibnu Mansur telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Juwaibir, dari Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa perintah ini merupakan 'azimah (keharusan). Hal inilah yang dianut oleh Imam syafii dalam qaul qadim-nya. Sedangkan dalam qaul Jadid ia mengatakan bahwa perintah ini tidak wajib karena berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan hati yang senang.
Ibnu Wahb mengatakan, Malik pernah mengatakan bahwa duduk perkara yang sebenarnya menurut pendapat kami pemilik budak tidak diwajibkan memenuhi permintaannya, jika si budak meminta pembuatan perjanjian kitabah. Dan aku belum pernah mendengar seseorang pun dari kalangan para imam yang menekankan terhadap seseorang untuk melakukan transaksi kitabah terhadap budaknya. Imam Malik mengatakan bahwa sesungguhnya hal itu semata-mata sebagai anjuran dari Allah ﷻ dan perizinan dari-Nya bagi manusia, akan tetapi tidak wajib.
Hal yang sama telah dikatakan oleh As-Sauri, Abu Hanifah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya. Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan wajib karena berdasarkan makna lahiriah ayat. Firman Allah ﷻ: jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan kebaikan dalam ayat ini ialah dapat dipercaya. Menurut sebagian ulama lainnya adalah kejujuran.
Sebagian ulama yang lain mengatakan harta, dan sebagian lagi mengatakan keahlian dan profesi. Abu Daud telah meriwayatkan di dalam himpunan hadis mursal-nya melalui Yahya ibnul Abu Kasir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Rasulullah ﷺ bersabda: ". Jika kalian mengetahui bahwa mereka mempunyai profesi (keahlian), dan janganlah kalian melepaskan mereka menjadi beban bagi orang lain. Firman Allah ﷻ: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. (An-Nur: 33) Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna ayat ialah bebaskanlah dari mereka sebagian utang kitabah mereka.
Sebagian lainnya mengatakan seperempatnya, ada yang mengatakan sepertiganya, ada yang mengatakan separonya, ada pula yang mengatakan sebagiannya tanpa batas. Ulama lainnya mengatakan bahkan makna yang dimaksud dari firman Allah ﷻ: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Yaitu bagian yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka dari harta zakat. Pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Hasan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, serta ayahnya dan Muqatil ibnu Hayyan, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibrahim An-Nakha'i telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Anjuran ini ditujukan kepada semua orang dan tuan budak yang bersangkutan serta orang lainnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Buraidah ibnul Hasib Al-Aslami dan Qatadah. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada kaum mukmin agar menolong budak-budak (untuk memerdekakan dirinya). Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah hadis dari Nabi ﷺ yang mengatakan bahwa ada tiga macam orang yang pasti mendapat pertolongan dari Allah, antara lain ialah budak mukatab yang bertekad melunasi utangnya.
Pendapat pertama merupakan pendapat yang terkenal. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isma'il, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ibnu Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa ia menulis perjanjian kitabah terhadap seorang budak yang memintanya; budak tersebut dikenal dengan sebutan Abu Umayyah. Ketika ia datang dengan membawa cicilannya yang telah jatuh tempo, Umar berkata, "Hai Abu Umayyah," pergilah dan jadikanlah itu modalmu untuk membayar transaksi kitabah-mu" Abu Umayyah menjawab, "Wahai Amirul Muminin, sudikah kiranya engkau meringankan beban cicilanku hingga akhir cicilan?" Khalifah Umar menjawab, "Aku merasa khawatir bila tidak dapat meraih hal itu (yang dianjurkan oleh ayat)." Lalu Umar membaca firman-Nya: hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Ikrimah mengatakan bahwa hal tersebut merupakan permulaan cicilan yang ditunaikan dalam Islam.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Harun ibnul Mugirah, dari Anbasah, dari Salim Al-Aftas, dari Sa'id Ibnu Jubair yang mengatakan bahwa dahulu Khalifah Umar bila hendak membuat perjanjian kitabah terhadap seorang budak, maka ia tidak membebaskan sesuatu pun dari budak itu dalam cicilan pertamanya karena khawatir bila si budak yang bersangkutan tidak mampu yang pada akhirnya sedekah yang diberikannya itu akan kembali lagi kepada dirinya.
Tetapi bila telah jatuh tempo cicilan terakhirnya, maka ia membebaskan dari budak itu sejumlah apa yang disukainya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Ibnu Abbas mengatakan, "Bebaskanlah mereka dari sebagian tanggungannya." Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Qasim ibnu Abu Buzzah, Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dan As-Saddi.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan sehubungan dengan makna ayat, bahwa ia suka bila seseorang membebaskan budak mukatab-nya dari sebagian tanggungannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata ibnus Sa-ib, bahwa Abdullah ibnu Jundub pernah menceritakan kepadanya dari Ali r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda, "Seperempat dari perjanjian kitabah." Tetapi hadis ini garib, predikat marfu '-nya tidak dapat diterima; yang lebih mendekati kebenaran predikatnya adalah mauqufnya sampai kepada Ali r.a., seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahulah bersumber dari dia.
Firman Allah ﷻ: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33), hingga akhir ayat. Dahulu di masa Jahiliah bila seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan, ia melepaskannya untuk berbuat zina dan menetapkan atas dirinya pajak yang ia pungut di setiap waktu. Setelah Islam datang, maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan hal tersebut. Latar belakang turunnya ayat yang mulia ini menurut apa yang telah disebutkan oleh sejumlah ulama tafsirbaik dari kalangan ulama Salaf maupun Khalaf berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul.
Dia mempunyai banyak budak perempuan yang sering ia paksa untuk melakukan pelacuran karena mengejar pajak dari mereka, menginginkan anak dari mereka, dan beroleh kepemimpinan dari perbuatannya itu menurut dugaannya. Beberapa asar yang membicarakan hal ini: Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar rahimahullah telah mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Wasit, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami (yakni Muhammad ibnul Hajjaj), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa dahulu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mempunyai seorang budak perempuan yang dikenal dengan nama Mu'azah, dia memaksanya untuk melacur.
Setelah Islam datang, maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33), hingga akhir ayat. Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Sufyan, dari Jabir sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan budak perempuan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang dikenal dengan nama Masikah. Abdullah ibnu Ubay memaksanya untuk melacur, sedangkan Masikah cukup cantik rupanya, tetapi Masikah menolak.
Maka Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Imam Nasai telah meriwayatkan hal yang semisal melalui hadis Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, dari Jabir. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, telah menceritakan kepadaku Abu Sufyan dari Jabir yang telah mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang dikenal dengan nama Masikah sering dipaksa oleh tuannya melacur.
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinahan. (An-Nur: 33). sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Al-A'masy menjelaskan bahwa dia telah mendengarnya dari Abu Sufyan ibnu Talhah ibnu Nafi'. Hal ini menunjukkan kebatilan pendapat orang yang mengatakan bahwa Al-A'masy tidak mendengar asar ini dari Abu Sufyan. Sesungguhnya pendapat ini merupakan suatu kekeliruan, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar.
Abu Daud At-Tayalisi telah meriwayatkan dari Sulaiman ibnu Mu'az, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang budak perempuan milik Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul melacur di masa Jahiliah hingga ia melahirkan banyak anak dari perbuatan lacurnya. Pada suatu hari Abdullah ibnu Ubay menegurnya, "Mengapa kamu tidak melacur lagi? Si budak wanita menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan melacur lagi." Maka Abdullah ibnu Ubay memukulinya.
Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33) Al-Bazzar telah meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami (yakni Muhammad ibnul Hajjaj), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang dikenal dengan nama Mu'azah sering dipaksa oleh tuannya melacur. Setelah Islam datang, turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, bahwa seorang lelaki dari kalangan Quraisy menjadi tawanan perang sejak Perang Badar.
Dia menjadi tawanan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, sedangkan Abdullah ibnu Ubay mempunyai seorang budak wanita yang dikenal dengan nama Mu'azah. Tawanan Quraisy itu menginginkan budak wanitanya, sedangkan budak wanita itu adalah seorang yang telah masuk Islam. Maka budak wanita itu menolak karena ia sudah masuk Islam. Sementara itu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul memaksa budaknya untuk melakukan pelacuran dengan lelaki Quraisy tersebut, bahkan memukulinya agar ia mau.
Tujuan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul ialah agar budak wanitanya itu dapat mengandung dari lelaki Quraisy itu, yang pada akhirnya ia akan menuntut tebusan anaknya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33) As-Saddi mengatakan bahwa ayat yang mulia ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dia memiliki seorang budak wanita bernama Mu'azah. Apabila dia kedatangan tamu, maka ia mengirimkan budak wanitanya kepada tamu itu agar si tamu berbuat zina dengannya.
Tujuannya ialah agar ia beroleh imbalan dari tamunya, juga kehormatan. Maka budak wanita itu lari menemui Abu Bakar r.a. dan mengadukan perlakuan tuannya. Kemudian Abu Bakar menceritakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepada Abu Bakar agar membelinya dari tangan tuannya. Abdullah ibnu Ubay merasa terkejut, lalu berkata, "Siapakah yang akan membelaku dari perlakuan Muhamad? Dia dapat mengalahkan kami dalam urusan budak kami." Maka Allah menurunkan firman-Nya ini berkenaan dengan mereka. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, telah sampai kepadaku hanya Allah Yang Maha Mengetahui bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang laki-laki yang memaksa dua orang budak wanita miliknya (untuk melacur); nama salah seorang budak wanita itu ialah Masikah yang menjadi milik orang Ansar, sedangkan yang lainnya adalah ibunya bernama Umaimah, dan Mu'azah serta Arwa mengalami nasib yang sama.
Lalu Masikah dan ibunya datang menghadap kepada Nabi ﷺ dan menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya sehubungan dengan peristiwa itu: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan pelacuran. (An-Nur: 33). Yakni perzinaan. Firman Allah ﷻ: sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33) Makna firman ini menggambarkan tentang pengecualian dari mayoritas, maka tidak mengandung arti yang berhubungan dengan sebelumnya. Firman Allah ﷻ: karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. (An-Nur: 33) Yaitu dari pajak mereka, hasil mahar mereka, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka. Rasulullah ﷺ telah melarang hasil usaha dari berbekam, maskawin pelacur, dan upah tukang tenung. Menurut riwayat lain disebutkan: Maskawin pelacur adalah kotor, hasil usaha berbekam adalah kotor, dan hasil penjualan anjing adalah kotor.
Firman Allah ﷻ: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Hal ini sebagaimana telah dikemukakan dalam hadis melalui Jabir. Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa apabila kalian melakukan demikian, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang orang yang memaksa mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata Al-Khurasani, Al-A'masy, dan Qatadah.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ishaq Al-Azraq, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna ayat berikut: maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka. Diriwayatkan dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun kepada mereka sesudah mereka dipaksa berbuat itu. Diriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada wanita-wanita yang dipaksa berbuat demikian.
Semua pendapat di atas diriwayatkan oleh Ibnul Munzir dalam kitab tafsirnya berikut sanad-sanadnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Ata, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan sehubungan dengan qiraat Abdullah ibnu Mas'ud: maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang-orang yang memaksa mereka.
Di dalam hadis marfu' dan Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Dimaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada mereka. Setelah menjelaskan hukum-hukum masalah ini dengan keterangan yang rinci, Allah ﷻ berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan. (An-Nur: 34) Yaitu Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas lagi diterangkan. dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian. (An-Nur: 34) Yakni berita perihal umat-umat terdahulu dan azab yang menimpa mereka disebabkan menentang perintah-perintah Allah ﷻ, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az-Zukhruf: 56) Maksudnya, sebagai pelajaran agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.
dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (An-Nur: 34) Yakni bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan takut kepada-Nya. Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan dalam gambarannya tentang Al-Qur'an, bahwa di dalam Al-Qur'an terkandung hukum yang memutuskan di antara kalian, berita yang terjadi sebelum kalian, dan kabar apa yang akan terjadi sesudah kalian. Al-Qur'an adalah pemisah (antara yang hak dan yang batil), bukan lelucon. Barang siapa yang meninggalkannya karena sikap angkuhnya, niscaya Allah akan membinasakannya; dan barang siapa yang mencari petunjuk bukan darinya, niscaya Allah akan menyesatkannya."
Bila arahan pada ayat sebelumnya ditujukan kepada para wali atau pihak yang dapat membantu pernikahan, arahan pada ayat ini ditujukan kepada pria agar tidak mendesak wali untuk buru-buru menikahkannya. Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian diri-nya dengan berpuasa atau aktivitas lain, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya dan memberi mereka kemudahan untuk menikah. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian, yaitu kesepakatan untuk memerdekakan diri dengan membayar tebusan, hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, yaitu jika kamu tahu mereka akan mampu melaksanakan tugas dan kewajiban mereka, mampu menjaga diri, serta mampu menjalankan tuntunan agama mereka; dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu berupa zakat untuk membantu pembebasan mereka dari perbudakan. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, hanya karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi dari pelacuran itu. Barang siapa memaksa mereka untuk melakukan perbuatan tercela itu maka sungguh, Allah Maha Pengampun terhadap perempuan-perempuan yang dipaksa itu, Maha Penya-yang kepada mereka setelah mereka dipaksa, dan Dia akan memikulkan dosa kepada orang yang memaksa mereka. 34. Ayat ini menutup uraian kelompok ayat-ayat tentang kabar bohong yang menimpa keluarga Nabi serta petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan isu tersebut. Dan sungguh, Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan, tuntunan hidup, dan contoh-contoh yang serupa dengan apa yang kamu alami dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu, seperti Maryam dan Yusuf yang dituduh berzina dan menerima pembebasan dari tuduhan itu; dan sebagai pelajaran bagi mereka yang mau membuka pikiran dan hatinya, yaitu orang-orang yang bertakwa.
Bagi orang-orang yang benar-benar tidak mampu untuk membiayai keperluan pernikahan dan kebutuhan hidup berkeluarga sedangkan wali dan keluarga mereka tidak pula sanggup membantunya, maka hendaklah ia menahan diri sampai mempunyai kemampuan untuk itu. Menahan diri artinya menjauhi segala tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan apalagi melakukan perzinaan karena perbuatan itu adalah sangat keji dan termasuk dosa besar.
Di antara tujuan anjuran untuk mengawinkan pria dan perempuan yang tidak beristri atau bersuami adalah untuk memelihara moral umat dan bersihnya masyarakat dari tindakan-tidakan asusila. Bila pria atau perempuan belum dapat nikah tidak menjaga dirinya dan memelihara kebersihan masyarakatnya, tentulah tujuan tersebut tidak akan tercapai. Sebagai suatu cara untuk memelihara diri agar jangan jatuh ke jurang maksiat, Nabi Besar memberikan petunjuk dengan sabdanya:
Hai para pemuda! Siapa di antara kamu sanggup nikah, hendaklah ia nikah karena pernikahan itu lebih menjamin terpeliharanya mata dan terpeliharanya kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, maka hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu mengurangi naluri seksnya. (Riwayat shahihain dari Ibnu Mas'ud)
Di masa dahulu kesempatan melakukan tindakan asusila amat sempit sekali karena masyarakat sangat ketat menjaga kemungkinan terjadinya dan bila diketahui hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya amat berat sekali. Oleh sebab itu, perbuatan asusila itu jarang terjadi.
Berlainan dengan masa sekarang di mana masyarakat terutama di kota-kota besar tidak begitu mengindahkan masalah ini bahkan di daerah-daerah tertentu dilokalisir sehingga banyak pemuda-pemuda kita yang kurang kuat imannya jatuh terperosok ke dunia hitam itu. Oleh sebab itu dianjurkan kepada pemuda-pemuda bahkan kepada semua pria yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami yang patuh dan taat kepada ajaran agamanya, agar benar-benar menjaga kebersihan diri dan moralnya dari perbuatan terkutuk itu, terutama dengan berpuasa sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah dan dengan menyibukkan diri pada pekerjaan dan berbagai macam urusan yang banyak faedahnya atau melakukan berbagai macam hobby yang disenangi seperti olahraga, musik dan sebagainya.
Kemudian Allah menyuruh kepada para pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya dengan harta, bila ternyata budak itu bermaksud baik dan mempunyai sifat jujur dan amanah. Biasanya pembayaran itu dilakukan berangsur-angsur sehingga apabila jumlah pembayaran yang ditentukan sudah lunas maka budak tersebut menjadi merdeka. Ini adalah suatu cara yang disyariatkan Islam untuk melenyapkan perbudakan, sebab pada dasarnya Islam tidak mengakui perbudakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan bertentangan pula dengan harga diri seseorang yang dalam Islam sangat dihormati, karena semua Bani Adam telah dimuliakan oleh Allah, sebagai tersebut dalam firman-Nya.
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (al-Isra`/17: 70)
Tetapi karena pada masa Rasulullah itu semua bangsa mempraktikkan perbudakan, maka diakuinya perbudakan itu oleh Nabi Muhammad sebagai hukum darurat dan sementara. Karena musuh-musuh kaum Muslimin bila mereka mengalahkan kaum Muslimin dalam suatu peperangan mereka menganggap tawanan-tawanan yang terdiri dari kaum Muslimin itu dianggap sebagai budak pula. Karena perbudakan itu bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka dimulailah memberantasnya, di antaranya seperti yang tersebut dalam ayat ini. Banyak lagi cara untuk memerdekakan budak itu, seperti kaffarat bersetubuh di bulan puasa atau di waktu ihram, kaffarat membunuh, kaffarat melanggar sumpah dan sebagainya.
Di samping seruan kepada pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka untuk memerdekakan dirinya, diserukan pula kepada kaum Muslimin supaya membantu para budak itu dengan harta benda baik berupa zakat atau sedekah agar budak itu dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat memerdekakan dirinya. Sebenarnya adanya perbudakan dan banyaknya budak itu dalam suatu masyarakat membawa kepada merosotnya moral masyarakat itu sendiri, dan membawa kepada terjadinya pelacuran, karena budak merasa dirinya jauh lebih rendah dari orang yang merdeka. Dengan demikian mereka tidak menganggap mempertahankan moral yang tinggi sebagai kewajiban mereka dan dengan mudah mereka menjadi permainan orang-orang merdeka dan menjadi sarana bagi pemuasan hawa nafsu.
Selanjutnya sebagai satu cara untuk memberantas kemaksiatan dan memelihara masyarakat agar tetap bersih dari segala macam perbuatan yang bertentangan dengan moral dan susila, Allah melarang para pemilik hamba sahaya perempuan memaksa mereka melakukan perbuatan pelacuran, sedang budak-budak itu sendiri tidak ingin melakukannya dan ingin supaya tetap bersih dan terpelihara dari perbuatan kotor itu. Banyak di antara pemilik budak perempuan yang karena tamak akan harta benda dan kekayaan mereka tidak segan-segan dan merasa tidak malu sedikit pun melacurkan budak-budak itu kepada siapa saja yang mau membayar. Bila terjadi pemaksaan seperti ini sesudah turunnya ayat ini maka berdosa besarlah para pemilik budak itu. Sedang para budak yang dilacurkan itu tidak bersalah karena mereka harus melaksanakan perintah para pemilik mereka. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun mengampuni mereka, karena mereka melakukan perbuatan maksiat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi karena dipaksa oleh pemilik mereka.
Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir ra bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul mempunyai dua amat (hamba sahaya perempuan), yaitu Musaikah dan Umaimah. Lalu dia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini:
Demikian peraturan yang diturunkan Allah untuk keharmonisan dan kebersihan suatu masyarakat, bila dijalankan dengan sebaik-baiknya akan terciptalah masyarakat yang bersih, aman dan bahagia jauh dari hal-hal yang membahayakannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Iffah Dan Menahan Nafsu
Kemudian itu pada ayat 33 Tuhan menasihalkan kepada orang yang belum mampu melaksanakan perkawinan, supaya dia berlaku Iffah, menahan nafsu dan syahwat, memelihara kehormatan diri, dan jangan dilepaskan niat agar dapat hendak mendirikan rumahtangga karena melaksanakan perintah Tuhan Moga-moga dengan menjaga kesucian diri, sehingga hidup teratur, tidak boros kepada yang tak berfaedah, tidak terperosok kepada zina, menyebabkan kesucian diri dapat dipertahankan. Dan kesucian diri memberi pula inspirasi buat berusaha yang halal. Dengan sendirinya rezeki akan dilimpahkan Tuhan.
Sungguh menjadi suatu kebanggaan diri sampai tua, dapat dibanggakan kepada anak dan cucu jika sebelum kawin kesucian kita dapat terjaga. Kesucian diri dan tidak bemoda, menyebabkan kedua belah pihak sama-sama hormat-menghormati dan harga-menghargai setelah rumahtangga berdiri. Dan itulah modal dan pokok yang menjadi induk dari segala modal dan pokok.
Kemudian itu diceritakan pula tentang budak-budak atau hambasahaya yang ingin bebas dari perbudakan dan ingin menjadi orang merdeka, yang sanggup membayar ganti kerugian kepada majikannya dengan perjanjian yang tertentu.
Di ayat ini dijelaskan, “hendaklah dibuat perjanjian itu," hendaklah dimudahkan agar dia segera dapat lepas dari belenggu perbudakan. Terutama apabila dilihat bahwa memang ada baiknya jika dia dimerdekakan, sebab dia memang hidup sendiri setelah dimerdekakan. Lebih cepat memerdekakan itu dilaksanakan lebih baik.
Ayat ini dan ayat-ayat lain yang membicarakan budak atau hambasahaya dalam al-Qur'an, banyak dijadikan “alat" pemukul Islam oleh pihak musuh Islam, dikatakan bahwa Islam menganjurkan perbudakan. Padahal kalau mereka jujur, ayat Inilah dan ayat-ayat yang lain itu dengan tegas menganjurkan agar budak-budak itu dimerdekakan. Sebab yang membikin perbudakan itu bukanlah Islam, tetapi masyarakat manusia turun-temurun sejak beribu-ribu tahun, sehingga baik Yunani di kala jayanya, atau Kristen di kala kekuasaannya di zaman Tengah, atau Islam sendiri seketika Nabi Muhammad s,a.w. muncul ke dunia, telah mendapati belaka masyarakat manusia berbudak. Yaitu akibat daripada peperangan-peperangan. Boleh dipastikan bahwa anjuran menghapuskan perbudakan secara evolusi, lebih jelas nyata (konkrit) apa yang diajarkan oleh Islam daripada dalam agama lain.