Ayat
Terjemahan Per Kata
خَتَمَ
menutup/mengunci
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
وَعَلَىٰ
dan atas
سَمۡعِهِمۡۖ
pendengaran mereka
وَعَلَىٰٓ
dan atas
أَبۡصَٰرِهِمۡ
penglihatan mereka
غِشَٰوَةٞۖ
tutup/tabir
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
siksaan
عَظِيمٞ
besar/berat
خَتَمَ
menutup/mengunci
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
وَعَلَىٰ
dan atas
سَمۡعِهِمۡۖ
pendengaran mereka
وَعَلَىٰٓ
dan atas
أَبۡصَٰرِهِمۡ
penglihatan mereka
غِشَٰوَةٞۖ
tutup/tabir
وَلَهُمۡ
dan bagi mereka
عَذَابٌ
siksaan
عَظِيمٞ
besar/berat
Terjemahan
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat.
Tafsir
(Allah mengunci mati hati mereka) maksudnya menutup rapat hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan (begitu pun pendengaran mereka) maksudnya alat-alat atau sumber-sumber pendengaran mereka dikunci sehingga mereka tidak memperoleh manfaat dari kebenaran yang mereka terima (sedangkan penglihatan mereka ditutup) dengan penutup yang menutupinya sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran (dan bagi mereka siksa yang besar) yang berat lagi tetap. Terhadap orang-orang munafik diturunkan:.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 7
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Khatamallahu, menurut As-Suddi maknanya ialah "Allah mengunci mati." Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu (hati) dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna khatamallahu 'ala qulubihim, bahwa makna at-tab'u adalah dosa-dosa yang telah melekat di hati dan meliputinya dari semua sisinya hingga menutupinya dengan rapat. Istilah menutup inilah yang dinamakan dilak. Menurut Ibnu Juraij sendiri, yang terkunci mati adalah kalbu dan pendengarannya. Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Katsir, bahwa ia pernah mendengar Mujahid berkata, "Istilah ar-ran (kotoran) lebih ringan daripada istilah ath-thab'u (tertutup rapat), sedangkan at-tab'u lebih ringan daripada al-iqfal (terkunci), dan al-iqfal lebih berat daripada kesemuanya." Al-A'masy mengatakan bahwa Mujahid berisyarat memperagakan kepadaku dengan tangannya tentang pengertian ini. Dia mengatakan, "Mereka berpendapat bahwa kalbu seseorang itu seperti ini , yakni telapak tangannya. Apabila seorang hamba melakukan suatu dosa, maka sebagian darinya tergenggam seraya menggenggamkan jari manisnya. Apabila dia berbuat dosa lagi, maka tergenggam pula yang lainnya seraya menggenggamkan jari yang lain, hingga semua jari jemari telapak tangannya tergenggam." Kemudian dia mengatakan, "Maka tertutup rapatlah kalbunya oleh dosa-dosa tersebut." Mujahid mengatakan pula, "Mereka memandang bahwa hal tersebutlah yang dinamakan kotoran dosa yang menutupi."
Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang sama dari Kuraib, dari Waki', dari Al-A'masy, dari Mujahid. Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya makna firman-Nya: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka” (Al-Baqarah: 7). merupakan berita dari Allah ﷻ tentang sifat takabur orang-orang kafir dan berpalingnya mereka dari kebenaran yang disampaikan kepada mereka, yakni mereka tidak mau mendengarkannya. Keadaannya sama dengan perkataan seseorang, "Sesungguhnya si Fulan tuli, tidak mau mendengar perkataan ini," yakni bila dia tidak mau mendengarkannya dan merasa tinggi diri, tidak mau memahaminya karena takabur. Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah memberitahukan bahwa Dialah yang mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka.
Az-Zamakhsyari mengulas dengan pembahasan panjang lebar dalam menyanggah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir tadi, dan Az-Zamakhsyari menakwilkan makna ayat dari lima hipotesis, tetapi semuanya itu lemah sekali. Menurut kami, tiada yang mendorongnya berbuat demikian melainkan hanya aliran mu'tazilah yang dianutnya. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa makna "mengunci mati hati mereka dan membuatnya menolak untuk menerima kebenaran yang disampaikan kepadanya" merupakan suatu hal yang buruk (jahat) menurut Az-Zamakhsyari, dan Allah ﷻ Maha Tinggi dari perbuatan tersebut; demikianlah keyakinannya. Akan tetapi, seandainya dia memahami firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” (Ash-Shaff: 5). “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak mau beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada awalnya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang dalam” (Al-An'am: 110). Masih banyak ayat serupa lainnya yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ mengunci mati kalbu orang-orang kafir dan menghalang-halangi mereka dari hidayah, hanyalah sebagai balasan yang setimpal atas perbuatan mereka yang terus-menerus tenggelam di dalam kebatilan dan mereka tidak mau mengikuti kebenaran. Hal ini merupakan keadilan dari Allah ﷻ sebagai sikap yang baik, bukan yang buruk. Seandainya Az-Zamakhsyari menyadari hal ini, niscaya dia tidak akan mengeluarkan pendapatnya itu.
Al-Qurthubi mengatakan, para ulama sepakat bahwa Allah ﷻ mensifati diri-Nya berlaku mengunci mati dan melak kalbu orang-orang kafir sebagai balasan yang setimpal atas kekufuran mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya” (An-Nisa: 155). Selanjutnya Al-Qurthubi menyebutkan hadits yang menceritakan tentang berbolak-baliknya hati, yaitu: “Wahai Tuhan yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah kalbu kami dalam agama-Mu.” Ia mengetengahkan hadis Huzaifah yang terdapat di dalam kitab Shahih, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Berbagai macam fitnah (dosa) ditampilkan pada kalbu bagaikan tikar yang dianyam sehelai demi sehelai. Hati siapa yang melakukannya, maka dosa itu membuat suatu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang menolaknya, maka terukirlah padanya suatu sepuhan yang putih. Jadi hati manusia itu ada dua macam, yaitu ada yang putih seperti warna yang jernih; hati yang ini tidak akan tertimpa bahaya oleh suatu dosa pun selagi masih ada langit dan bumi. Sedangkan hati yang lainnya tampak hitam kelam seperti tembikar yang hangus terbakar, ia tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak menolak perkara yang mungkar hingga akhir hadits.
Ibnu Jarir mengatakan, "Menurut kami, yang benar sehubungan dengan masalah ini adalah sebuah hadits shahih yang bermakna mirip dari Rasulullah ﷺ, yaitu sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Basysyar; dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Al-Qa'qa', dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu menjadi noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali). Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, itulah yang dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutupi hati mereka" (Al-Muthaffifin: 14). Hadits ini dari segi yang sama diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai, dari Qutaibah, Al-Laits ibnu Sa'd dan Ibnu Majah, dari Hisyam ibnu Ammar, dari Hatim ibnu Ismail dan Al-Walid ibnu Muslim, semuanya berasal dari Muhammad ibnu ‘Ajlan dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Rasulullah ﷺ telah memberitakan bahwa dosa-dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam pada hati maka ia akan menutup hati. Apabila telah tertutup, maka saat itulah dilakukan penguncian oleh Allah ﷻ dan dilak. Setelah itu tiada jalan bagi iman untuk menembusnya dan tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk meninggalkannya." Pengertian inilah yang dimaksud oleh istilah penguncian dan pengelakan yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka” (Al-Baqarah: 7). Pengertian ini diserupakan dengan penguncian dan pengelakan hal yang dapat diindera dengan mata, yakni diserupakan dengan wadah dan botol yang tidak dapat diambil isinya kecuali dengan membuka dan memutar tutupnya. Dengan kata lain, demikian pula iman; tidak dapat sampai ke dalam kalbu orang-orang yang disifati oleh Allah ﷻ hati dan pendengaran mereka telah dikunci mati, kecuali setelah membuka dan melepaskan penutup yang menguncinya.
Perlu diketahui bahwa waqaf yang sempurna (menghentikan bacaan secara total) pada firman-Nya: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka” (Al-Baqarah: 7), “Dan penglihatan mereka ditutup” (Al-Baqarah: 7) menunjukkan masing-masing sebagai kalimat yang sempurna. Dengan kata lain, penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan. Sebagaimana yang dikatakan As-Suddi di dalam kitab Tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka” (Al-Baqarah: 7). As-Suddi mengatakan, "Karena itu, mereka (orang-orang kafir) tidak dapat memikirkannya dan tidak dapat pula mendengarnya." Disebutkan pula, "Dan penglihatan mereka ditutup," makna yang dimaksud adalah pada penglihatan mereka ada penutupnya hingga mereka tidak dapat melihat kebenaran.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku (Al-Husain ibnul Hasan), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah telah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penutup terdapat pada penglihatan mereka. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Abu Dawud), telah menceritakan kepadaku Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad Al-A'war), telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa penguncian terjadi pada hati dan pendengaran, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan.
Allah ﷻ berfirman: “Maka jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu” (Asy-Syura: 24). “Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya” (Al-Jatsiyah: 23). “Ibnu Jarir mengatakan lafal ghisyawah pada firman-Nya, "Wa'ala absharihim ghisyawatan" (Al-Baqarah: 7). Barangkali yang me-nasab-kannya adalah fi'il yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah wa-ja'ala 'ala absharihim ghisyawatan (Dan Dia menjadikan pada penglihatan mereka penutup). Barangkali nasab-nya itu karena mengikut kepada mahall i'rab dari lafal wa 'ala sam'ihim, sebagaimana i'rab ittiba' pada firman-Nya: “Dan (mereka dikelilingi oleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli” (Al-Waqi'ah: 22). Demikian pula pada perkataan seorang penyair, yaitu: Aku beri dia makan makanan ternak dan kuberi dia minum air yang sejuk, hingga terhapuslah belek pada kedua matanya, dan aku lihat suamimu berada dalam pertempuran menyandang pedang dan memanggul tombak. Bentuk lengkapnya ialah wasaqaituha ma-an baridan dan mu'taqilan bumhan.
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin dalam permulaan surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang kafir melalui dua ayat berikutnya, maka Allah ﷻ mulai menjelaskan keadaan orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah mereka yang menampakkan lahiriahnya seakan-akan beriman, sedangkan di dalam batin mereka memendam kekufuran. Mengingat keadaan mereka membingungkan kebanyakan orang, maka Allah ﷻ mengetengahkan perihal mereka dalam pembahasan yang cukup panjang dengan menyebutkan sifat dan ciri khas yang beraneka ragam, tetapi masing-masing ragam dan bentuk tersebut merupakan ciri khas kemunafikan tersendiri. Sebagaimana Allah pun menyebutkan perihal mereka dalam surat Bara’ah (surat At-Taubah), surat Munafiqun, dan surat An-Nur serta surat-surat lainnya, untuk memperkenalkan keadaan dan sepak terjang mereka agar dihindari dan jangan sampai orang yang belum mengetahuinya terjerumus ke dalamnya."
Karena mereka ingkar dengan menutup diri dari kebenaran, maka seakan Allah telah mengunci hati mereka dengan sekat yang tertutup rapat sehingga nasihat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk ke dalam hati mereka, dan pendengaran mereka juga seakan terkunci, sehingga tidak mendengar kebenaran dari Allah. Demikian pula penglihatan mereka telah tertutup, sehingga tidak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat mengantarkan kepada keimanan, dan sebagai akibatnya, mereka akan mendapat azab yang berat.
Dan selanjutnya disebutkan kelompok manusia yang ketiga dalam menyikapi kebenaran petunjuk Al-Qur'an, yaitu di antara manusia yang ingkar seperti disebut sebelumnya ada sekelompok orang yang mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lahir dari dalam hati nurani. Mereka berkata, Kami hanya beriman kepada Allah dengan segala keagungan-Nya dan kami juga beriman kepada hari akhir yang diingkari oleh orang-orang kafir, padahal sesungguhnya mereka itu tidak jujur dalam mengatakan itu sehingga mereka bukanlah termasuk golongan orang-orang yang beriman. Kelompok ketiga ini jauh lebih berbahaya daripada yang secara terang-terangan menolak (kafir), sebab mereka menampakkan diri seperti kawan padahal sesungguhnya mereka adalah lawan.
Hal yang menyebabkan orang-orang kafir tidak menerima peringatan adalah karena hati dan pendengaran mereka tertutup, bahkan terkunci mati, tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasihat tidak berbekas pada mereka. Karena penglihatan mereka tertutup, mereka tidak dapat melihat, memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang telah mereka dengar, tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.
Terkuncinya hati dan pendengaran, serta tertutupnya penglihatan orang-orang kafir itu karena mereka selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Tiap-tiap perbuatan terlarang yang mereka lakukan akan menambah rapat dan kuatnya kunci yang menutup hati dan pendengaran mereka. Makin banyak perbuatan itu mereka lakukan, makin bertambah kuat pula kunci dan tutup pada hati dan telinga mereka:
Maka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan karena mereka mengatakan, "Hati kami tertutup." Sebenarnya Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman (an-Nisa'/4: 155)
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An'am/6: 110)
Proses bertambah kuatnya tutup dan bertambah kuatnya kunci hati dan pendengaran orang-orang kafir itu diterangkan oleh hadis :
Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba apabila ia mengerjakan perbuatan dosa terdapatlah suatu noda hitam di dalam hatinya, maka jika ia bertobat, mengkilat hatinya, dan jika ia tambah mengerjakan perbuatan buruk, bertambahlah noda hitam ". Itulah firman Allah, "Tidak, tetapi perbuatan mereka menjadi noda hitam di hati mereka". (Riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir at-tabari dari Abu Hurairah).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 6-7
KUFUR
Ayat 6
‘“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak mau percaya (kafir), sama saja atas mereka, apakah engkau beri peringatan kepada mereka, ataupun tidak engkau beri peringatan, tetapi mereka tidaklah akan percaya."
Di sini, kita melihat arti yang dalam sekali dari kalimat kufur itu. Yakni, bahwa di dalam hati sanubari itu ada kesediaan buat menerima kebenaran atau lebih tegas lagi di dalam hati tiap-tiap manusia itu ada tampang buat mengakui kebenaran. Akan tetapi, oleh si kafir tampang yang bisa tumbuh dengan baik itu ditimbunnya, dikemukakan berbagai alasan kebenaran dengan berbagai cara. Namun bagi mereka sama saja; tidak ada yang mereka terima. Mereka telah mengkafiri suara hati mereka sendiri.
Apa sebab orang menjadi kafir?
Orang menjadi kafir kadang-kadang ialah karena juhud, yaitu meskipun seruan yang disampaikan kepada mereka itu tidak dapat mereka tolak kebenarannya, tetapi karena mengganggu kedudukan dan perasaan tinggi diri mereka, kebenaran itu mereka tolak. Banyak pemuka Quraisy di Mekah tidak mau menerima peringatan Nabi Muhammad ﷺ melarang mereka menyembah berhala atau memakan riba, karena keduanya itu amat bertali dengan kedudukan mereka. Pemuka-pemuka Yahudi di Madinah pun menolak kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ bukan karena yang beliau serukan itu tidak benar, melainkan karena hasad atau dengki dan iri hati. Mengapa seorang Arab mengakui diri menjadi rasul Allah, padahal nabi dan rasul itu hendaklah dari Bani Israil?
Raja Heraclius di Syam pernah menerima surat dari Rasulullah ﷺ yang mengajaknya memeluk Islam. Karena pandainya utusan yang membawa surat, hatinya menerima, bahkan tidak ada sikapnya yang menentang. Namun, setelah dikajinya lebih mendalam kalau sekiranya dia masuk Islam, artinya kedudukannya sebagai raja akan terancam, karena dibantah keras oleh pendeta dan orang-orang besar kerajaan, dia pun akhirnya menyatakan tidak akan menukar agamanya, hanya berkirim ucapan selamat saja kepada Rasulullah ﷺ Akan tetapi, Kisra Abruiz (Raja Besar) Persia, demi dibacanya surat yang dikirimkan Nabi kepadanya, dengan murka dan kesombongan dia merobek surat itu di hadapan utusan, padahal tingkah laku yang demikian sangat melanggar sopan santun kerajaan. Sebab, dia memandang sangat tidak pantas orang Arab yang hina itu berkirim surat kepadanya sebagai orang yang sama kedudukan, padahal dia raja besar.
Itulah beberapa contoh sikap kekafiran yang telah disambutkan orang kepada Rasulullah ﷺ Maka, orang-orang yang seperti demikian sama sajalah bagi mereka, apakah Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan peringatan kepada mereka ataupun tidak memberikan peringatan, tetapi mereka tidak hendak percaya.
Ayat 7
“Telah dicap (di meterai) oleh Allah atas hati Mereka dan atas pendengaran Mereka, dan atas penglihatan Mereka ada penutup."
Lantaran sikap mereka yang demikian, kesombongan, juhud (menentang), inad (keras kepala) maka hati dan pendengaran mereka telah dicap (dimaterai) oleh Tuhan atau telah disegel. Artinya, kekafiran itu telah menjadi sikap hidup mereka. Tidak bisa diubah lagi.
Lantaran bekas cap itu, sudah ada tanda di dalamnya yang tidak dapat dihilangkan lagi. Ibarat kertas yang sudah dicetak padanya huruf maka buat dimasukkan lagi cap yang lain di dalamnya, tidaklah berfaedah lagi. Yang dapat diberi cap atau cetakan hanyalah kertas yang masih kosong. Atau, pengertian segel atau materai, tidak dapat dibuka lagi oleh siapa juga, laksana sebuah rumah yang telah disegel oleh jaksa karena kalah dalam perkara, tidak bisa dibuka lagi.
Dan, pada penglihatan mereka sudah ada penutup. Sebab itu, apa pun yang diperlihatkan kepada mereka, tidaklah akan tampak oleh mereka lagi. Pernah juga dikatakan orang bahwa mata itu telah memakai kacamata yang mempunyai warna khusus, misalnya warna hitam. Maka, meskipun barang putih dibawa kepadanya, dia akan melihatnya hitam juga.
“Dan bagi Mereka adalah adzab yang besar."
(ujung ayat 7)