Ayat
Terjemahan Per Kata
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
جَآءَ
datang
أَمۡرُنَا
perintah Kami
وَفَارَ
dan memancar air
ٱلتَّنُّورُ
dapur
قُلۡنَا
Kami berfikir
ٱحۡمِلۡ
bawalah/muatkanlah
فِيهَا
didalamnya
مِن
dari
كُلّٖ
masing-masing
زَوۡجَيۡنِ
sepasang
ٱثۡنَيۡنِ
dua
وَأَهۡلَكَ
dan keluargamu
إِلَّا
kecuali
مَن
orang
سَبَقَ
terdahulu
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡقَوۡلُ
perkataan/ketetapan
وَمَنۡ
dan orang
ءَامَنَۚ
telah beriman
وَمَآ
dan tidak ada
ءَامَنَ
beriman
مَعَهُۥٓ
bersamanya (Nuh)
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٞ
sedikit
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
جَآءَ
datang
أَمۡرُنَا
perintah Kami
وَفَارَ
dan memancar air
ٱلتَّنُّورُ
dapur
قُلۡنَا
Kami berfikir
ٱحۡمِلۡ
bawalah/muatkanlah
فِيهَا
didalamnya
مِن
dari
كُلّٖ
masing-masing
زَوۡجَيۡنِ
sepasang
ٱثۡنَيۡنِ
dua
وَأَهۡلَكَ
dan keluargamu
إِلَّا
kecuali
مَن
orang
سَبَقَ
terdahulu
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡقَوۡلُ
perkataan/ketetapan
وَمَنۡ
dan orang
ءَامَنَۚ
telah beriman
وَمَآ
dan tidak ada
ءَامَنَ
beriman
مَعَهُۥٓ
bersamanya (Nuh)
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٞ
sedikit
Terjemahan
(Demikianlah,) hingga apabila perintah Kami datang (untuk membinasakan mereka) dan tanur (tungku) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (bahtera itu) dari masing-masing (jenis hewan) sepasang-sepasang (jantan dan betina), keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu (akan ditenggelamkan), dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata tidak beriman bersamanya (Nuh), kecuali hanya sedikit.
Tafsir
(Hingga) mengisahkan batas pembuatan bahtera (apabila perintah Kami datang) yang membinasakan mereka (dan dapur telah memancarkan air) yang dimaksud adalah dapur pemanggangan roti, hal itu merupakan pertanda bagi Nabi Nuh. (Kami berfirman, "Muatkanlah ke dalam bahtera itu) ke dalam perahu itu (dari masing-masing binatang sepasang) yaitu jenis jantan dan betina dari semua jenis binatang (yaitu sejodoh) jantan dan betina. Lafal itsnain ini berkedudukan menjadi maf'ul atau objek. Dan disebutkan di dalam kisah Nabi Nuh, bahwasanya Allah ﷻ mengumpulkan kepada Nabi Nuh semua binatang buas dan semua jenis unggas atau burung. Kemudian Nabi Nuh a.s. memukulkan tangannya kepada setiap jenis binatang itu; maka tangan kanannya mengenai jenis jantan sedangkan tangan kirinya mengenai jenis betina, lalu ia memuatkannya ke dalam perahu (dan keluargamu) yaitu istri dan anak-anaknya (kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya) di antara keluargamu yang sudah dipastikan akan binasa, yaitu anaknya yang bernama Kan'an dan istrinya. Sedangkan Sam, Ham, dan Yafits dibawa oleh Nabi Nuh ke dalam bahtera berikut istri-istri mereka yang berjumlah tiga orang (dan muatkan pula orang-orang yang beriman." Dan tidak beriman terhadap Nabi Nuh itu melainkan sedikit). Dikatakan, bahwa jumlah mereka yang beriman itu hanya ada enam orang lelaki dan istri-istri mereka. Menurut pendapat yang lain dikatakan, bahwa jumlah orang-orang yang termuat di dalam bahtera itu ada delapan puluh orang; separuh di antara mereka terdiri dari kaum laki-laki sedangkan separuh yang lainnya terdiri dari kaum wanita.
Tafsir Surat Hud: 40
Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya, dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.
Hal ini merupakan janji Allah ﷻ kepada Nuh a.s. yang menyatakan bahwa apabila telah datang perintah Allah yang berupa hujan yang berturut-turut tiada henti-hentinya disertai dengan luapan air yang tak pernah berhenti, bahkan keadaannya adalah seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam ayat lain, yaitu: “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air, itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh).” (Al-Qamar: 11-14)
Firman Allah ﷻ: “Dan dapur telah memancarkan air.” (Hud: 40) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan tannur ialah permukaan bumi. Dengan kata lain, bumi menjadi mata air yang memancarkan air, sehingga air pun keluar menyembur dari tempat pemanggangan roti yang merupakan tempat yang berapi. Maksudnya bumi memancarkan airnya dari segala tempat. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Dari Ali ibnu Abu Talib r.a., diriwayatkan bahwa tannur artinya cahaya waktu subuh dan sinar fajar. Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling jelas. Mujahid dan Asy-Sya'bi mengatakan bahwa tannur tersebut berada di kota Kufah. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, tannur adalah sebuah mata air yang terletak di negeri India. Sedangkan menurut riwayat dari Qatadah, tannur adalah sebuah mata air yang terletak di Jazirah Arabia yang dikenal dengan nama "mata air Wardah". Tetapi semua pendapat di atas berpredikat garib (aneh).
Maka pada saat itu Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. untuk membawa bersamanya ke dalam bahtera itu dari setiap jenis makhluk yang bernyawa sepasang jodoh. Menurut pendapat yang lain, juga membawa yang lainnya yang berupa tumbuh-tumbuhan dari setiap jenis sepasang jodoh.
Menurut suatu pendapat, burung yang mula-mula dimasukkan ke dalam bahtera Nabi Nuh a.s. ialah burung beo, dan hewan terakhir yang dimasukkan ke dalam bahtera adalah keledai. Lalu bergantung iblis pada ekornya; ketika keledai hendak bangkit naik ke bahtera, iblis memberatkannya karena ia bergantung pada ekor keledai itu. Maka Nabi Nuh a.s. berkata, "Mengapa kamu, masuklah, celakalah kamu!" Keledai hendak bangkit, tetapi tidak mampu. Maka Nuh berkata, "Masuklah kamu, sekalipun iblis ikut bersamamu," hingga masuklah keduanya ke dalam bahtera itu. Sebagian ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka merasa keberatan bila singa dibawa masuk ke dalam bahtera bersama-sama mereka, akhirnya ditimpakan penyakit lemah kepada singa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setelah Nuh membawa serta ke dalam perahunya dari setiap makhluk satu jodoh, teman-temannya berkata, ‘Bagaimana ternak-ternak itu dapat tenang bila mereka tinggal bersama singa?’ Maka Allah menimpakan penyakit demam pada singa, dan penyakit demam itu adalah penyakit demam yang mula-mula ada di bumi. Kemudian mereka mengadu tentang tikus, mereka berkata, ‘Binatang perusak ini telah membuat rusak makanan dan barang-barang kami.’ Maka Allah memerintahkan kepada singa untuk bersin. Lalu bersinlah singa itu, dan keluarlah darinya kucing; maka tikus-tikus itu bersembunyi dari kucing (karena takut kepadanya).”
Firman Allah ﷻ: “Dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya.” (Hud: 40)
Yakni muatkanlah ke dalam bahtera itu seluruh keluargamu, mereka terdiri atas ahli bait dan kaum kerabat Nuh a.s. Kecuali orang yang telah ditetapkan oleh takdir Allah dari kalangan mereka, yaitu orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dari kalangan mereka. Di antaranya ialah anak lelaki Nabi Nuh sendiri yang bernama Yam, dia memisahkan dirinya; juga istri Nabi Nuh yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah ﷻ: “Dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.” (Hud: 40)
Yaitu dari kalangan kaummu.
“Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.” (Hud: 40) Maksudnya, sangat sedikit; padahal masa Nabi Nuh tinggal bersama mereka cukup lama, yaitu kurang lebih sembilan ratus lima puluh tahun.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa jumlah mereka yang beriman kepada Nabi Nuh ada delapan puluh jiwa termasuk kaum wanitanya. Diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar bahwa jumlah mereka yang beriman adalah tujuh puluh dua orang. Menurut pendapat lainnya adalah sepuluh orang. Menurut pendapat lainnya, sesungguhnya yang naik ke dalam bahtera itu hanyalah Nuh dan ketiga putranya (yaitu Sam, Ham, dan Yafis) serta empat orang wanita, yaitu istri dari ketiga putra Nuh dan istri Yam.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, istri Nuh pun berada bersama mereka di dalam bahtera itu, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya. Karena sesungguhnya menurut pendapat yang kuat, istri Nabi Nuh binasa, karena dia masih memeluk agama kaumnya, sehingga ia tertimpa apa yang menimpa kaumnya. Perihalnya sama dengan istri Nabi Lut yang ikut tertimpa azab yang menimpa kaumnya.
Demikianlah kaum Nabi Nuh yang terus-menerus mengejeknya
dalam pembuatan kapal. Hingga apabila perintah Kami datang untuk
membinasakan para pendurhaka dan tiba perintah Kami kepada Nabi
Nuh beserta pengikutnya menaiki kapal dan air dari dalam tanur, yakni
periuk telah mendidih dan bergejolak hingga memancarkan air dengan
sangat deras, lalu Kami berfirman kepada Nabi Nuh, Muatkanlah ke
dalamnya segala jenis hewan, dari masing-masing sepasang jantan dan
betina, dan muatkan juga keluargamu yang beriman kepada Allah kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu sebagai orang yang akan
diazab karena kedurhakaan mereka, dan muatkan pula orang yang beriman dari mereka. Ternyata orang-orang beriman yang ikut bersama dengan Nabi Nuh hanya sedikit. Meskipun Nabi Nuh sudah berdakwah
kurang lebih 950 tahun lamanya, mengajak umatnya beriman kepada
Allah dan meyakinkan bahwa mereka yang tidak mengikuti ajakannya
akan ditenggelamkan, tetapi mereka tetap durhaka. (Lihat: Surah al-
'Ankabut/29:14). Dan dia pun berkata kepada kaumnya yang beriman, Naiklah kamu
semua bersamaku ke dalamnya, yakni kapal itu dengan menyebut nama
Allah pada waktu kapal mulai berlayar dan setelah berlabuhnya, seraya
berserah diri kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun atas
dosa orang yang bertobat, dan Maha Penyayang kepada siapa saja yang
menempuh jalan kebenaran. Ayat ini mengandung pesan, tentang keharusan tawakal kepada Allah ketika memulai suatu aktivitas maupun
setelah persoalan selesai, dan berbaik sangka kepada-Nya.
Pada ayat ini Allah ﷻ menerangkan, bahwa Nabi Nuh a.s. dalam melaksanakan pembuatan kapal itu dengan segala macam persiapannya sangat bersungguh-sungguh dan banyak menerima ejekan dan cemoohan dari kaumnya. Ketika datang ketetapan Allah untuk membinasakan kaum yang kafir itu, bumi pun memancarkan air yang meluap-luap seperti meluapnya air yang mendidih dari kuali di dapur tempat memasak, sehingga menenggelamkan segala apa yang ada di permukaannya. Sementara ulama memahami bahwa banjir tersebut tidak bersifat universal melainkan lokal.
Maka Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. agar membawa ke dalam kapal itu sepasang (jantan dan betina) dari tiap jenis binatang, agar keturunannya dapat berkembang biak sesudah air bah yang dinamakan topan itu reda. Selain itu, Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua keluarganya yang laki-laki dan perempuan kecuali yang tidak beriman. Begitu juga Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua orang-orang yang beriman yang jumlahnya sedikit. Sebagian mufasir ada yang mengatakan bahwa yang dibawa oleh Nuh ke dalam kapal itu dari keluarganya ialah seorang istrinya yang beriman dan tiga putranya dari istri yang beriman itu, yaitu Syam, Ham, dan Yafis.
Adapun jumlah orang yang beriman, yang dibawa Nuh a.s. ke dalam kapal itu tidak terdapat keterangannya dalam Al-Qur'an atau pun dalam hadis. Dalam ayat ini hanya diterangkan bahwa jumlah mereka sedikit. Pada permulaan ayat ini dan permulaan ayat 42 yang akan datang dilukiskan sebagian dari kisah topan itu, dan pada ayat-ayat lain dilukiskan lebih banyak seperti dalam firman Allah:
Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya). (al-Qamar/54: 11-14)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MEMUNCAK
Maka untuk menenteramkan hati beliau dan menghilangkan putus asanya berfirmanlah Allah,
Ayat 36
“Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidaklah akan beriman dari kaum engkau itu, melainkan yang telah beriman (Juga)."
Artinya, tidaklah akan ada tambahannya lagi. Itu ke itu jugalah orang yang akan percaya. Yang lain akan tetap menantang dan tidak mau percaya.
“Maka janganlah engkau berduka cita dari apa yang telah mereka kerjakan."
Alangkah pentingnya ayat ini untuk menjadi tuntunan dan pimpinan bagi para penyeru jalan kebenaran, mubalig, dan terutama orang yang telah dihargai kaumnya seperti ulama, supaya mereka memerhatikan nasihat Allah kepada Nuh itu, janganlah berduka cita karena pengikut yang beriman itu tidak bertambah, hanya sebesar yang ada itu sajalah.
yang memang telah beriman juga. Cobalah gambarkan! Seorang Rasulullah yang mencapai usia selama itu, hampir seribu tahun, disambut dengan begitu dingin oleh kaumnya. Namun demikian, Allah selalu menyuruhnya sabar, jangan berduka cita dan jangan berputus asa. Yang engkau kerjakan itu adalah suatu tugas, suatu kewajiban. Tentang hasil dari tugasmu itu adalah ketentuan dari Allah.
Bagaimana bagi kita yang disebut orang sebagai ulama? Yang selalu dikatakan penyambut warisan dari nabi-nabi? Apalah baru artinya perjuangan kita dalam usia sependek ini untuk melaksanakan tugas sebagai pewaris tersebut? Padahal usia kita tidaklah seper-sepuluh dari usaha beliau Nabi Nuh pada umumnya?
PERINTAH MEMBUAT KAPAL
Lalu firman Allah selanjutnya,
Ayat 37
“Dan buatlah sebuah kapal di hadapan mata-mata Kami dan dengan wahyu Kami."
Di sinilah datang perintah Allah kepada Nuh supaya segera membuat kapal atau bahtera, yaitu di bawah penglihatan mata Allah sendiri. Disebut di sini bahwa mata Allah itu banyak, yakni kata jamak lebih dari dua mata. Memang Allah itu bersifat melihat, tetapi tidaklah layak di sini kita membicarakan pula apakah yang dimaksud di sini benar-benar banyak mata? Atau berarti penglihatan saja? Artinya, Nabi Nuh membuat kapal itu selalu beliau dipimpin oleh wahyu bagaimana cara membuat kapal itu. Karena kononnya, sebelum bahtera Nabi Nuh itu, manusia belumlah pandai membuat alat untuk berlayar.
“Dan janganlah engkau hadapkan kepada -Ku dari hal orang-orang yang zalim itu" Artinya, janganlah engkau mengeluh lagi atau mengadu jika orang-orang yang zalim itu selalu mengganggu dan mengusik engkau, bahkan bersabarlah engkau mengerjakan peker-jaanmu membuat kapal itu karena,
“Sesungguhnya,mereka akan ditenggelamkan."
Lebih baik engkau bersabar dan jangan bersakit hati, dan jangan mengeluh jika ada gangguan dari mereka. Karena apabila engkau ladeni gangguan itu, akan terlambat pekerjaanmu, padahal di dalam keputusan Allah telah tertentu bahwa mereka akan ditenggelamkan.
Ayat 38
“Dan dibuatnyalah kapal itu."
Artinya, dilaksanakannyalah apa yang diperintahkan oleh Allah. Menurut setengah ahli tafsir, bertahun-tahun lamanya, kononnya seratus tahun sejak menanam kayu yang akan dijadikan bahtera itu, sampai kepada menebang dan menggergajinya. Bermacam-macamlah kata ahli tafsir tentang panjang dan lebar bahtera itu. Menurut Qatadah 300 hasta panjangnya, 50 hasta lebar. Al-Hasan mengatakan panjang 600 hasta, lebar 300 hasta. Ibnu Abbas mengatakan panjangnya 1.200 hasta, lebar 600 hasta.
Maka bersungguh-sungguhlah beliau mengerjakan bahtera itu siang dan malam. Niscaya ada orang yang Mukmin yang membantunya, tetapi akan berapa banyaklah mereka itu."Dan setiap lalu di hadapannya serombongan dari kaumnya itu, menghinalah mereka kepadanya." Menjadi buah cemoohan mereka sebab bahtera itu diperbuat di tengah padang, dihinakan dan tidak dipercayai bahwa Allah akan sanggup memperlayarkan kapal itu. Apakah Nuh hendak lari? Apakah mereka hendak ditenggelamkan? Dan berbagai ragam ejekan yang lain. Untuk menyambut penghinaan itu,
“Dia pun berkata, “Jika kamu hinakan kami, sesungguhnya kami pun akan menghinakan kamu, sebagaimana kamu menghinakan kami itu (pula). ‘“
Kalian boleh menertawakan dan mengejek kami pada hari ini. Namun kelak akan datang masanya, kamilah yang akan mengejek dan
menghinakan kamu sebab adzab siksaan Allah pasti datang kepada kamu.
Ayat 39
“Maka kelak akan tahulah kamu siapakah yang akan didatanginya oleh adzab yang akan merendahkannya."
Lihat sendirilah nanti siapakah di antara kita yang akan dapat siksaan itu, kamikah atau kamu yang sekarang mengejek dan menghina merendahkan kami.
“Dan yang akan menimpa kepadanya adzab yang tetap."
Dengan demikianlah, Nabi Nuh menyambut ejekan dan penghinaan mereka tatkala beliau asyik menyelesaikan pekerjaan yang berat itu, dibantu oleh beberapa pengikutnya dalam jumlah kecil, yang sangat setia.
Ayat 40
“Sehingga apabila datang perintah Kami dan menggelegaklah tanah."
Perintah Allah datang, menggelegak atau menggejolaklah air dari dalam tanah. Di mana-mana air pun tumbuh dengan tidak semena-mena banyaknya. Tanah yang tadinya tidak ada air atau tidak ada mata air atau sumur, sekarang menerbitkan air, “Maka berfirmanlah Kami" (Kata Allah), “Hai, Nuh! Bawalah padanya!" yaitu pada bahtera yang telah selesai engkau kerjakan itu, “dari tiap-tiap jenis sepasang." Bawalah dua-dua, seekor jantan, seekor betina, baik binatang jinak maupun binatang liar, lalu masukkan ke dalam kapal itu, “Dan keluarga engkau!' Artinya bawa pula ikut serta keluarga engkau."Kecuali orang-orang yang telah terdahulu atasnya kata!' Artinya segala anggota keluarga bawalah serta, bawalah masuk ke dalam bahtera itu kecuali orang-orang yang sudah ditentukan oleh Allah bahwa mereka tidak akan ikut. Meskipun misalnya Nuh ingin juga membawa serta mereka, mereka tidak juga akan ikut masuk bahtera itu. Maka kalau terjadi ada di antara anggota keluarga itu yang tidak dapat masuk atau tidak mau masuk, sudahlah diperingatkan lebih dahulu oleh Allah pada ayat 37 di atas tadi, yaitu supaya Nuh jangan memintakan kepada Allah agar orang-orang yang aniaya disamakan dengan orang yang beriman. Dan pada lanjutan ayat dijelaskan lagi siapa-siapa yang akan masuk itu, “Dan orang-orang yang beriman" Orang yang telah menyatakan percaya, orang-orang yang dari semula telah menyambut baik segala seruan Nuh. Tetapi ujung ayat menjelaskan lagi,
“Dan tidaklah beriman sentanya kecuali sedikit."
Beratus tahun bekerja mengadakan dakwah kepada kaumnya, hanya sedikit yang mau beriman, yang sedikit itulah yang disuruh masuk ke dalam bahtera itu.
Satu riwayat yang diterima orang dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa manusia juga masuk ke dalam bahtera itu hanya 80 orang, termasuk di dalamnya perempuan-perempuan. Menurut Ka'bul Ahbaar, 72 orang semuanya. Termasuklah di sana Nuh sendiri dan ketiga putranya laki-laki yang namanya dikenal dalam sejarah yang menurunkan serpih belahan keturunan manusia dunia ini, yaitu Sam, Ham, dan Yafits. Masing-masing dengan istrinya. Anak yang keempat yang di dalam catatan tafsir-tafsir disebut Yarn, itulah yang tenggelam. Termasuk juga dalam yang tenggelam itu istri Nuh sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah at-Tahriim ayat 10 bahwa istri Nuh dan istri Luth sama nasibnya, sama-sama binasa, meskipun suami mereka orang-orang yang saleh.
Kemudian itu, patut juga kita jelaskan sedikit tentang tannur, yang tersebut di dalam pangkal ayat 40 ini,
“Menggelegaklah tannur."
Telah kita artikan bahwa yang menggelegak, membusat-busat air keluar dari dalam tanah. Kita artikan tannur dengan tanah.
menurut satu tafsir dari Ibnu Abbas, yang berarti permukaan bumi. Maka jadilah seluruh permukaan bumi menjadi mata air sehingga air itu pun keluar dari tannur yang menurut setengah ahli bahasa berarti tempat yang berapi, yaitu tungku tempat memasak.
Setelah segala keluarga dan orang-orang yang beriman dalam jumlah kecil itu naik dan telah naik pula binatang-binatang sepasang-sepasang, seekor jantan, seekor betina, dan air pun kian lama kian naik juga, dan bahtera itu sudah mulai terapung di permukaan air, maka datanglah firman Allah,
Ayat 41
“Dan berkatalah dia, ‘Naiklah kepadanya dengan nama Allah.'"
Ingatlah bahwasanya engkau bersama keluarga dan orang-orang yang beriman ini naik ke dalam bahtera yang penuh sesak adalah atas kehendak Allah. Sebab itu, naikilah dia dengan nama Allah, “Di kala berlayarnya dan di kala berlabuhnya," kelak. Ingatlah nama Allah ketika bahtera mulai berlayar dan ingatlah pula kelak nama Allah ketika bahtera akan berlabuh di tempat yang kelak akan ditentukan oleh Allah pula,
“Sesungguhnya, Allahku adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang,"
Makna yang mendalam dari ujung ayat ini dapatlah kita rasakan kalau kita telah membiasakan diri berjihad pada jalan Allah. Jihad pada jalan Allah, yang dahulu telah di-tempuh oleh rasul-rasul Allah itu benar-benar menghendaki tenaga, pikiran, dan kadang-kadang air mata dan darah, bahkan maut. Kadang-kadang melihat betapa besarnya rin-tangan yang dihadapi, timbullah ragu-ragu, apakah benar janji yang telah dijanjikan Allah itu. Kalau benar, mengapa tidak juga datang janji itu, padahal kita tidak tahan lagi (tengok surah al-Baqarah ayat 214, “Apakah ada kamu menyangka bahwa kamu akan masuk saja ke dalam surga, padahal belum datang kepada kamu sebagaimana yang datang kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu; mereka disentuh oleh berbagai kesusahan dan berbagai penyakit, dan sampai juga digoncangkan, sampai berkata rasul dan orang beriman bersama dia, ‘Bilakah akan datang pertolongan Allah?'"
Begitulah suasana Rasulullah Nuh dan orang-orang yang beriman beserta beliau berpuluh tahun lamanya. Sulit dan susah yang dihadapi, namun pertolongan Allah yang dijanjikan belum juga datang sehingga kadang-kadang timbullah duka cita hati, sebagaimana yang telah dibayangkan Allah pada ayat 36 di atas tadi bahwa Nabi Nuh dibujuk, dilarang berduka cita.
Maka ujung ayat 41 ini menjelaskan lagi keadaan itu, untuk dapat dipahami oleh tiap-tiap mujahidin fi sabilillah, pejuang menegakkan jalan Allah, bahwa karena besarnya rintangan, mereka pernah mengeluh, mungkin pernah berputus asa, atau mengomel atau berduka cita. Sekarang, Allah melepaskan mereka dan bahaya itu sebab Allah menunjukkan kasih sayang-Nya, dengan membawa mereka berlayar dalam bahtera itu.
Hal ini dapat dibandingkan pula dengan firman Allah dalam surah an-Nashr yang ditu-runkan Allah setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil menaklukkan Mekah, yang delapan tahun lamanya sejak pindah (hijrah) ke Madinah, beliau sangat mengharapkan suatu waktu akan dapat merebut kota Mekah itu juga dari tangan musyrikin. Sebelum cita itu tercapai, niscaya akan ada juga keluhan batin dan keputusasaan. Kalau tidak pada Rasul sendiri, niscaya ada pada kalangan orang-orang yang beriman beserta Nabi. Maka datanglah surah an-Nashr, “Apabila telah datang pertolongan Allah; dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah berduyun-duyun, maka ucapkanlah kesucian disertai pujian terhadap Allah engkau; dan mohonkanlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya;Allah itu adalah pemberi tobat"
Bahtera itu telah mulai terapung ke atas permukaan air karena bumi mulailah terendam. Lalu datanglah lanjutan firman Allah menerangkan keadaan kapal itu,
Ayat 42
“Dan berlayarlah dia, membawa mereka di dalam ombak yang laksana gunung-gunung."
Isyarat ayat ini yang mengatakan bahwa kapal telah berlayar di dalam ombak yang tinggi laksana setinggi gunung, memberi tanda bagi kita bahwa topan halilintar besar telah turun. Niscaya berembus keras dan bumi pun kian lama kian terendam. Air kian naik sehingga yang datar tidak kelihatan lagi. Air bertambah naik sehingga kaki bukit-bukit dan gunung-gunung pun mulai terendam. Dan manusia yang tidak dapat naik ke dalam bahtera itu niscaya mulailah berduyun mendaki tempat yang tinggi, yang sekira-kira air tidaklah akan sampai ke sana. Di antara mereka itu terdapatlah salah seorang putra Nuh, yang menurut para ahli tafsir bernama Yam. Ada juga yang menyebut namanya Kana'an. Lalu Allah melanjutkan kisahnya dalam wahyu, “Dan memanggillah Nuh kepada anaknya, sedangkan anaknya itu ada di suatu tempat yang terpisah jauh." Sudah terpisah jauh karena sang ayah sudah berada dalam bahtera, sedangkan anak sedang berjuang bersama orang banyak hendak mendaki bukityang lebih tinggi karena hendak membebaskan diri dari air yang kian lama kian naik itu. Sebab si anak menyangka betapapun besar air dan banjir itu, tidaklah akan sampai ke lereng bukit, apatah lagi akan merendam puncak gunung. Nabi Nuh menyeru,
“Wahai, anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah engkau berada bensama orang-orang yang tidak percaya
Perhatikan pulalah rahasia perikemanusiaan, rahasia cinta ayah yang telah tua kepada anak kandungnya, penyambung turunannya. Meskipun Allah telah berkali-kali memperingatkan, meskipun Allah telah melarang memohonkan perlindungan Allah bagi orang-orang yang aniaya, karena orang-orang itu pasti tenggelam (ayat 37), dan meskipun Allah telah menjelaskan bahwa di antara ahli beliau ada yang telah tertentu lebih dahulu bahwa mereka tidak akan dapat masuk, namun Nuh sebagai ayah, masih belum putus harapan bahwa anaknya akan terpelihara. Nuh sebagai ayah tidak juga tahan hati melihat anaknya akan binasa. Sebab itu, diajaknya, marilah naik sedang ada kesempatan, sebelum air bertambah naik dan ombak bertambah besar. Tetapi bagaimana jawaban awak? Allah di dalam wahyu menceritakan bagaimana sambutan anak itu,
Ayat 43
“Dia menjawab, ‘Aku akan berlindung ke gunung, yang akan menyelamatkan aku dari air.'"
Sampai kepada saat yang amat genting itu si anak masih saja memandang soal ini sebagai soal yang enteng. Dia masih menyangka bahwa air tidak akan naik ke puncak gunung. Barangkali dia menyangka bahwa orang yang di daratlah yang akan selamat, bukan orang yang dalam bahtera.
Kemudian Nuh pun berkata, “Tidak ada yang akan menyelamatkan di hari ini dari ketentuan Allah kecuali orang yang dikasihi-Nya" Begitulah seruan kasih sang ayah, yang tergetar hatinya melihat air bertambah naik dan dia diberi tahu langsung dari Allah bahwa seluruh permukaan bumi sampai ke puncak gunung-gunung akan terendam air.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya? Sebelum si anak sempat menjawab kembali seruan ayahnya atau sebelum si anak sempat memanjat dinding kapal, atau bergayut pada tali yang mungkin akan diulurkan, terjadilah apa yang dikira-kirakan oleh si ayah. Lanjutan ayat mengatakan, “Dan dihalangilah di antara keduanya oleh ombak!" Artinya, air bertambah naik dan ombak gelombang yang laksana gunung itu membataslah di antara ayah dan anak. Sehingga betapapun si anak hendak mencoba merenangi tepi kapal, tidaklah dia kuat lagi menyongsong ombak itu dan sang ayah yang berdiri di pinggir atau di geladak kapal pun tidak pula lagi dapat berbuat apa-apa. Dengan kesaksian sang ayah sendiri, di hadapan mata beliau, anak itu tenggelam digulung ombak. Betapapun kasihannya seorang ayah, tidaklah dia dapat mengubah apa yang telah ditentukan Allah terlebih dahulu dalam janji-Nya, sebagaimana telah dibayangkan Allah pada ayat yang ke-40 tadi.
“Maka jadilah dia dari golongan orang-orang yang ditenggelamkan."
Sedangkan sebuah kapal besar, apabila tenggelam ke dalam laut, betapapun dahsyatnya, namun bila kapal itu telah hilang dari permukaan laut, kesannya pun tidak kelihatan lagi. Dia telah hilang tak berbekas, apatah lagi seorang manusia. Maka tersebutlah bahwasanya air pun tidak berapa lama kemudian bertambah naik dan naik juga, sehingga tingginya air dari puncak gunung yang paling tinggi lebih dari 15 hasta. Kata setengah tafsir bahkan 80 mil. Wallahu aTam!
Maka terkatung-katunglah kapal itu di permukaan lautan, dengan tidak melihat sedikit pun tanah daratan karena memang semuanya telah tenggelam, semuanya telah berada di bawah permukaan laut. Maka tidaklah berke-tentuan lagi ke mana arah yang akan dituju, sampai kepada suatu waktu yang Allah sendiri yang menentukannya.
Ayat 44
“Dan difirmankanlah, ‘Hai, Bumi! Telanlah airmu; hai, langit, berhentilah,'" menurunkan hujan.
Bumi pun melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Air yang tergenang mulai diisapnya dan langit pun demikian pula, hujan pun tidak turun lagi."Dan surutlah air," hujan tak turun lagi, “dan selesailah perintah" yaitu apa yang dikehendaki oleh Allah, apa yang diperintahkan Allah kepada bumi dan langit-Nya telah selesai dilaksanakan menurut rencana semula yang tidak berubah sebab dia adalah rencana Allah sendiri."Dan berlabuhlah dia di Judi," yaitu oleh karena bumi sudah kering oleh karena air sudah surut dan susut, dengan sendirinya kapal itu terdampar di sebuah tempat bernama Judi.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa Judi itu adalah nama sebuah bukit di Maushil (Irak) sekarang. Tetapi sebagaimana telah kita masukkan ketika menafsirkan ayat-ayat cerita Nabi Nuh dalam surah Yuunus ayat 72 yang telah lalu, ahli-ahli sarjana zaman modern, bukan saja pemeluk Islam, bahkan pemeluk Yahudi dan Nasrani pun mewarisi kepercayaan ini dari wahyu, telah menyelidiki di mana letak Gunung Judi itu. Menurut penyelidikan mereka, Gunung Judi adalah dalam gugusan pegunungan Ararat, yang terletak di batas antara Turki dan Soviet Rusia. Telah ditilik bekas-bekas bahtera Nuh itu, yang karena telah terlalu lama, bahtera itu telah membatu, menjadi fosil. Dan demikian bunyi lanjutan ayat,
“Dan difirmankanlah, ‘Kebinasaanlah bagi kaum yang zalim.'"
Artinya, selain dari yang selamat masuk bahtera, yang lainnya tenggelam semuanya, tak ada sisanya lagi. Dan itulah yang selalu dikenal dengan sebutan Topan Nabi Nuh.
Menurut yang diriwayatkan oleh Alba bin Ahmar, yang diterimanya dari Ikrimah, dan Ikrimah menerima dari Ibnu Abbas, penumpang bahtera itu semua berjumlah 80 orang, laki-laki dan perempuan. Lamanya mereka terkatung-katung selama 150 hari. Menurut Qatadah pula dan beberapa perawi yang lain, mulai bahtera terkatung lepas dari bumi pada 10 Rajab dan setelah terkatung 150 hari lalu terdampar. Maka keluarlah mereka dari dalamnya pada 10 Muharram, yang dikenal dengan sebutan ‘Asyura. Ibnu Jarir dalam tafsirnya ada menyalinkan sebuah hadits (marfu') tentang turun dari kapal 10 Muharram ini, berkenaan dengan anjuran puasa di hari itu.
Mungkin ada juga orang-orang tak bersalah atau teraniaya turut-turutan yang tenggelam ditelan ombak gelombang topan itu. Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Aisyah, istri Rasulullah ﷺ bahwa adalah seorang perempuan menggendong anaknya yang masih sangat kecil sedang sarat menyusu. Setelah air bertambah naik, takutlah perempuan itu anaknya akan tenggelam, padahal dia sangat mencintainya. Maka digendongnyalah anak itu mendaki gunung, sampai terdaki seper-tiganya. Sesampai dia di sana dan mulai hendak berhenti, air pun meningkat naik juga, dia larikan lagi anaknya ke atas, sampai dua pertiga gunung. Dan air pun sampai juga ke sana. Dan dilarikannya juga anaknya itu sampailah ke puncak gunung. Namun air masih tetap naik hingga terendamlah kakinya, lalu anaknya dipangkunya. Air pun sampai ke pinggangnya, ke dadanya, dan sampailah air ke lehernya, diangkatnya juga anaknya itu, sampai dijunjungnya ke atas kepalanya, dan air pun sampai melebihi kepalanya dan melebihi anak yang dicintainya itu. Mereka keduanya pun tenggelamlah. Maka berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Kalau ada di antara mereka yang akan dikasihani oleh Allah, pastilah perempuan ini termasuk di antara mereka."
Sebenarnya banyak lagi cerita lain tentang Topan Nabi Nuh ini dicurai-paparkan di dalam kitab-kitab tafsir, yang tidak perlu rasanya kita salinkan semuanya karena tidak kurang di antaranya yang ditambah-tambahkan dan dilebih-lebihi, yang agaknya sudah termasuk di dalam apa yang dinamai israiliyat, dongeng-dongeng israili.
Cuma satu yang patut juga dicatat, yaitu suatu tafsiran dari Ikrimah yang diterimanya dari Ibnu Abbas, yaitu setelah 150 hari berlayar dan hujan telah lama berhenti, dan air sudah terasa surut, Nabi Nuh menyuruh burung gagak buat menyelidiki keadaan bumi di sana agaknya yang telah kering tempat berlabuh. Gagak pun segera terbang melaksanakan perintah itu. Bertemulah dia tanah yang telah kering dan di sana berjumpa banyak bangkai. Berhentilah dia di sana untuk mengenyangkan perutnya sehingga lupa pulang. Lalu diutus oleh Nabi Nuh burung merpati. Setelah dia berkeliling menyediliki, dibawanyalah setangkai ranting pohon zaitun dan pada kaki burung merpati itu terdapat tanah. Maka mafhumlah Nabi Nuh bahwa tanah yang kering sudah ada dan masa berlabuh sudah dekat. Maka di dalam penafsiran surah at-Tiin dikatakan oleh setengah tafsir bahwa persumpahan Allah “demi zaitun" karena dahan dan daun zaitun itulah yang dibawa burung merpati kepada Nabi Nuh. Dan “demi Gunung Thusina" peringatan atas perjuangan Nabi Musa dan “demi ini negeri yang aman sentosa" yaitu Mekah tempat Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan. Lantaran itu, di dalam surah at-Tiin itu empat Nabi Allah diperingati, yaitu Adam, Nuh, Musa, dan Muhammad, sebagai mata rantai, mata pertama dan mata terakhir serta mata tengah yang terpenting di dalam kedatangan nabi-nabi membawa tuntunan Ilahi.
Selain itu, ada lagi beberapa cerita lucu. Misalnya di dalam bahtera itu muntahlah babi lalu keluarlah tikus. Kerja tikus itu mengganggu saja, merobek dan menembus membuat lubang dalam bahtera sehingga membahayakan. Lalu muntahlah singa maka keluarlah dari muntahnya itu sang kucing. Lalu dikejarnyalah tikus-tikus itu dan dibunuhnya. Kata dongeng itu pula, keledai ketika dibawa masuk, dia enggan hingga payah menariknya. Ternyata iblis menumpang di ekornya. Adapun singa, baru dapat dimasukkan ke dalam setelah dia dibuat demam oleh Allah.
Kita sengaja menyalinkan ini untuk membuktikan bahwa beberapa riwayat dan tafsir itu ada juga yang lucu jenaka. Dan kalau kita tidak percaya atau kita pandang iseng saja, tidaklah mengapa karena di dalam Al-Qur'an sendiri tidaklah tersebut hal itu dan hadits yang shahih pun tidak pula ada untuk menguatkannya. Cuma yang kita pujikan disini ialah kesetiaan orang zaman dahulu mengumpulkan fakta dan data, apa yang diterima dan didengar. Adapun menerima atau menolak, terserah kepada yang datang di belakang.