Al-Anfal: 41

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّمَا
sesungguhnya
غَنِمۡتُم
kamu rampas
مِّن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu/apa saja
فَأَنَّ
maka sesungguhnya
لِلَّهِ
bagi/untuk Allah
خُمُسَهُۥ
seperlimanya
وَلِلرَّسُولِ
dan untuk Rasul
وَلِذِي
dan untuk yang dimiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat dekat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱبۡنِ
dan Ibnu
ٱلسَّبِيلِ
Sabil
إِن
jika
كُنتُمۡ
kalian adalah
ءَامَنتُم
kamu beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَآ
dan kepada apa
أَنزَلۡنَا
Kami turunkan
عَلَىٰ
atas
عَبۡدِنَا
hamba Kami
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡفُرۡقَانِ
Furqan (pemisah)
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡتَقَى
pertemuan
ٱلۡجَمۡعَانِۗ
dua pasukan
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قَدِيرٌ
Maha Kuasa

Terjemahan

Ketahuilah, sesungguhnya apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad) pada hari al-furqān (pembeda), yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tafsir

Tafsir Surat Al-Anfal: 41 Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah menjelaskan rincian apa yang disyariatkan-Nya khusus buat umat yang dimuliakan ini dan yang tidak terdapat di dalam syariat umat-umat sebelumnya, yaitu Allah telah menghalalkan ganimah untuk mereka. Ganimah adalah harta benda yang diperoleh dari orang-orang kafir melalui peperangan, sedangkan harta fai adalah harta yang diperoleh dari mereka bukan dengan jalan perang, misalnya sejumlah harta yang telah disepakati oleh mereka untuk diserahkan kepada kaum muslim berdasarkan perjanjian; atau mereka mati, sedangkan ahli warisnya tidak ada; dan jizyah serta kharraj, dan lain-lainnya. Demikianlah menurut mazhab Imam Syafi'i dan sejumlah ulama Salaf dan Khalaf. Sebagian ulama ada yang memutlakkan pengertian harta fai, yang berarti ganimah pun termasuk ke dalam pengertiannya. Demikian pula sebaliknya. Karena itulah Qatadah berpendapat bahwa ayat ini memansukh (merevisi) salah satu ayat dalam surat Al-Hasyr yang mengatakan: “Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, untuk kaum kerabatnya.” (Al-Hasyr: 7), hingga akhir ayat. Qatadah mengatakan bahwa surat Al-Anfal ayat 41 ini menasakh (merevisi) surat Al-Hasyr ayat 7, dan ghanimah itu dibagi menjadi lima bagian: Empat perlimanya buat para Mujahidin, sedangkan yang seperlimanya buat mereka yang disebutkan dalam ayat ini. Pendapat yang diketengahkan oleh Qatadah ini jauh dari kebenaran, mengingat ayat ini diturunkan sesudah Perang Badar; sedangkan ayat surat Al-Hasyr diturunkan berkenaan dengan Bani Nadir. Dan semua ahli sejarah dan tarikh magazi tidak ada yang memperselisihkan bahwa perang dengan Bani Nadir terjadi sesudah Perang Badar. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi. Orang yang berpendapat membedakan antara fai dan ganimah mengatakan bahwa surat Al-Hasyr diturunkan berkenaan dengan harta fai, sedangkan surat Al-Anfal ayat 41 diturunkan berkenaan dengan ganimah. Dan orang yang menyamakan antara ganimah dan fai merujuk kepada pendapat imam bahwa tidak ada pertentangan antara ayat surat Al-Hasyr dan masalah takhmis (ganimah), jika imam menyamakannya. Firman Allah ﷻ: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah.” (Al-Anfal: 41) Ungkapan ayat ini mengandung makna taukid (penegasan) yang mengukuhkan pembagian menjadi lima bagian, baik yang dibaginya itu sedikit ataupun banyak sehingga jangan terlewatkan barang sekecil apa pun, seperti jarum dan benangnya. Allah ﷻ telah berfirman dalam ayat yang lain: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan sesuai dengan apa yang ia kerjakan (dengan pembalasan setimpal) sedangkan mereka tidak dizalimi.” (Ali Imran: 161) Adapun tentang firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul,” (Al Anfal 41) Para ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini, sebagian berpendapat bahwa dari seperlima itu Allah beroleh bagian yang dananya diberikan untuk (pemeliharaan) Ka'bah. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi yang mengatakan bahwa ganimah diserahkan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau membaginya menjadi lima bagian; empat perlimanya buat orang-orang yang ikut berperang. Kemudian beliau mengambil yang seperlimanya dengan meletakkan tangannya pada bagian itu. Nabi ﷺ mengambil sebagian dari bagiannya itu segenggam tangannya, kemudian memperuntukkannya buat Ka'bah; apa yang beliau ambil itu merupakan bagian Allah. Setelah itu beliau membagi yang tersisa menjadi lima bagian, yaitu untuk dirinya, untuk kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa dalam permulaan ayat ini disebutkan nama Allah untuk tabarruk (memperoleh keberkahan), lalu menyusul bagian Rasulullah ﷺ. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ apabila mengirimkan suatu pasukan lalu pasukan itu memperoleh ganimah, maka beliau membaginya menjadi lima bagian. Kemudian beliau membagi yang seperlimanya itu menjadi lima bagian lagi. Lalu beliau ﷺ membacakan firman-Nya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul.” (Al-Anfal: 41) Kalimat 'sesungguhnya seperlimanya untuk Allah' merupakan pendahuluan, sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.” (Al-Baqarah: 284) Bagian yang diperuntukkan buat Allah dan Rasul-Nya dijadikan satu. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan ibnu Muhammad ibnul Hanafiyah. Al-Hasan Al-Basri, Asy-Sya'bi, ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Abdullah ibnu Buraidah, Qatadah, Mugirah, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, bahwa bagian untuk Allah dan Rasul-Nya dijadikan satu. Hal ini diperkuat oleh riwayat Abu Bakar Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih: Dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari seorang lelaki yang mengatakan bahwa ia datang menghadap Nabi ﷺ yang sedang berada di Wadil Qura. Saat itu Rasulullah ﷺ sedang mengendarai kudanya. Lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang harta rampasan perang (ganimah)?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Seperlimanya untuk Allah, sedangkan yang empat perlimanya untuk pasukan." Ia bertanya, "Apakah ada seseorang yang lebih diutamakan daripada yang lainnya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, dan tidak pula terhadap bagian yang engkau keluarkan dari kantongmu. Engkau bukanlah orang yang lebih berhak terhadapnya daripada saudara semuslimmu." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Aban dari Al Hasan yang mengatakan bahwa Al Hasan mewasiatkan seperlima dari harta bendanya dan ia mengatakan, "Tidakkah aku rela terhadap sebagian dari hartaku seperti apa yang direlakan oleh Allah bagi diri-Nya." Kemudian orang-orang yang berpendapat demikian berselisih pendapat pula. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ganimah itu dibagi menjadi lima bagian: Empat perlimanya dibagikan di antara orang-orang yang terlibat dalam peperangan, sedangkan yang seperlimanya dibagi menjadi empat. Seperempatnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan bagian yang untuk Allah dan Rasul-Nya adalah untuk kaum kerabat Nabi ﷺ, sedangkan Nabi ﷺ sendiri tidak mengambil sesuatu pun dari seperlima itu. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Husain Al-Mu'allim, dari Abdullah ibnu Buraidah sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ berikut ini: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah, Rasul.” (Al-Anfal: 41) Bahwa bagian untuk Allah berarti untuk Nabi-Nya, dan bagian Nabi ﷺ adalah untuk istri-istrinya. Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa khumus (bagian seperlima) Allah dan Rasul-Nya disatukan. Nabi ﷺ dapat mengambil dan dapat berbuat terhadapnya menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian ini lebih umum dan lebih mencakup, yaitu bahwa Nabi ﷺ men-tasarruf-kan (menggunakan) bagian Allah yang dari seperlima ini menurut apa yang disukainya. Beliau ﷺ boleh mengembalikannya kepada umatnya menurut apa yang beliau sukai. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishak ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Abu Bakr ibnu Abdullah Ibnu Abu Maryam, dari Abu Salam al-Araj dari Madani ibnu Madi Kariba al Kindi bahwa ia duduk bersama Ubadah ibnus Samit, Abu Darda, Al-Haris ibnu Abu Mu'awiyah Al-Kindi, lalu mereka berbincang-bincang mengenai hadits Rasul ﷺ. Abu Darda berkata kepada Ubadah, "Wahai Ubadah, bagaimanakah sabda Rasulullah ﷺ dalam perang anu dan anu sehubungan dengan harta rampasan yang dibagi lima?" Ubadah menjawab bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah melakukan shalat bersama mereka dalam suatu peperangan dengan mengesampingkan sejumlah ternak unta hasil ganimah. Setelah salam, Rasulullah ﷺ mengambil sehelai bulu unta dengan kedua jarinya, lalu bersabda: “Sesungguhnya ini termasuk ganimah kalian. Dan sesungguhnya tiada hakku padanya melainkan seperti bagianku bersama kalian yaitu seperlimanya, dan seperlimanya akan dikembalikan kepada kalian. Maka tunaikanlah (kumpulkanlah) barang sebesar jarum dan benangnya, baik yang lebih besar daripada itu atau yang lebih kecil daripadanya, dan janganlah kalian melakukan penggelapan. Karena sesungguhnya menggelapkan hasil ganimah itu merupakan cela dan neraka yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat. Dan berjihadlah melawan orang-orang demi membela Allah, baik terhadap kerabat ataupun orang lain. Janganlah kalian pedulikan celaan orang-orang yang mencela dalam membela Allah. Tegakkanlah ketentuan-ketentuan Allah dalam perjalanan dan dalam keadaan berada di tempat (mukim). Dan berjihadlah karena Allah, karena sesungguhnya jihad itu merupakan salah satu pintu surga yang besar; dengan jihad Allah menyelamatkan (kaum mukmin) dari kesusahan dan kesengsaraan.” Hadits ini sangat baik, dan saya tidak menjumpainya pada satu pun dari kitab Sittah melalui jalur ini. Tetapi Imam Ahmad meriwayatkan pula, juga Abu Daud dan Imam An-Nasai melalui hadits Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Abdullah ibnu Amr), dari Rasulullah ﷺ tentang hal yang serupa dalam kisah khumus dan larangan berbuat gulul (korupsi) dalam pembagian ganimah. Dari Amr ibnu Anbasah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat dengan mereka sebelum membagi ganimah berupa sejumlah ternak unta. Setelah salam, lalu beliau mengambil sehelai bulu unta dan bersabda: “Tidak halal bagiku dari ganimah kalian hal seperti ini kecuali hanya seperlima, dan seperlima itu akan dikembalikan kepada kalian.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam An-Nasai. DahuIu Nabi ﷺ mengambil bagian dari ganimah untuk dirinya, lalu beliau memilihnya, baik berupa budak laki-Iaki ataupun budak perempuan atau kuda atau pedang atau lain-lainnya. Demikianlah menurut nas Muhammad ibnu Sirin, Amir Asy-Sya'bi, dan kebanyakan ulama yang mengikuti pendapat mereka berdua. Imam Ahmad dan Imam At-Tirmidzi yang menilai hasan hadits berikut telah meriwayatkan melalui Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ menghadiahkan pedangnya yang diberi nama Zul Fiqar pada hari Perang Badar, yaitu di hari beliau bermimpi melihat apa yang akan terjadi dalam Perang Uhud. Dari Siti Aisyah disebutkan bahwa Siti Safiyyah berasal dari tawanan yang dipilih oleh Nabi ﷺ. Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya. Imam Abu Daud pun telah meriwayatkan berikut sanadnya demikian pula Imam An-Nasai, dari Yazid ibnu Abdullah yang mengatakan: "Ketika kami berada di Al-Marbad, tiba-tiba masuklah seorang lelaki membawa sepotong kulit. Lalu kami membacanya, ternyata di dalamnya tertuliskan kalimat berikut: “Dari Muhammad utusan Allah ditujukan kepada Zuhair ibnu Aqyasy. Sesungguhnya jika kalian mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta kalian mau mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mau menunaikan seperlima dari ganimah, bagian Nabi ﷺ dan bagian yang dipilihnya untuk dirinya, maka kalian dalam keadaan aman, berada dalam jaminan keamanan Allah dan Rasul-Nya.” Maka kami bertanya kepada lelaki itu, “Siapakah yang menulis (mendiktekan) surat ini?" Lelaki menjawab, “Rasulullah ﷺ.” Hadits-hadits yang jayyid (baik) ini menunjukkan akan ketetapan dan keberadaan pilihan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap ganimah untuk dirinya. Karena itu, banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu kekhususan bagi diri Nabi ﷺ. Ulama lainnya berpendapat bahwa bagian khumus dibelanjakan oleh imam untuk keperluan kemaslahatan kaum muslim, sebagaimana imam mentasarrufkan harta fai. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa yang demikian itu merupakan pendapat Imam Malik dan kebanyakan ulama Salaf, dan pendapat inilah yang paling shahih. Apabila hal ini telah diakui dan diketahui kebenarannya, maka masih diperselisihkan pula perihal apa yang diambil oleh Nabi ﷺ dari khumus, untuk apakah bagian ini sesudah Nabi ﷺ tiada? Sebagian ulama mengatakan bahwa bagian tersebut diberikan kepada orang yang menggantikan beliau ﷺ sesudah beliau tiada (yakni untuk para khalifah sesudahnya). Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Ali, dan Qatadah serta sejumlah ulama; dan sehubungan dengan hal ini terdapat sebuah hadits marfu yang menguatkannya. Ulama lain mengatakan bahwa bagian tersebut dibelanjakan untuk keperluan kemaslahatan kaum muslim. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa bagian tersebut dikembalikan untuk asnaf lainnya. Yaitu kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Ulama lainnya berpendapat bahwa bagian Nabi ﷺ dan bagian kaum kerabatnya dikembalikan untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin serta ibnu sabil. Demikian menurut Ibnu Jarir. Pendapat ini dikatakan oleh sejumlah ulama Irak. Pendapat lainnya lagi mengatakan, sesungguhnya bagian secara keseluruhan adalah untuk kaum kerabat Nabi ﷺ, seperti disebutkan di dalam riwayat Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Gaffar telah menceritakan kepada kami Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Muhammad ibnu Ali dan dan Ali ibnul Husain tentang bagian khumus. Maka keduanya menjawab bahwa bagian itu untuk kami (ahli bait Nabi ﷺ ). Ia bertanya kepada Ali Ibnul Husain bahwa bagaimanakah dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.” (Al-Anfal: 41) Ali ibnul Husain menjawab, "Ya, buat anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kalangan kami." Sufyan Ats-Tsauri, Abu Na'im, dan Abu Usamah telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan ibnu Muhammad ibnul Hanafiyah rahimahullah tentang makna firman-Nya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya untuk Allah dan Rasul.” (Al-Anfal: 41) Maka Al-Hasan ibnu Muhammad menjawab, "Ini adalah kunci kalamullah di dunia dan akhirat." Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai kedua bagian ini (yaitu bagian Allah dan Rasul-Nya) sesudah Rasulullah ﷺ wafat. Sebagian berpendapat bahwa bagian Nabi ﷺ diserahkan sepenuhnya untuk khalifah sesudahnya. Ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu untuk kerabat Nabi ﷺ. Dan ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bagian kaum kerabat diserahkan untuk bagian kerabat khalifah. Tetapi semuanya sependapat bila menjadikan kedua bagian ini untuk keperluan kuda (perang) dan peralatan perang lainnya di jalan Allah. Hal inilah yang dipraktekkan di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, bahwa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar menjadikan bagian Nabi ﷺ untuk keperluan membeli kendaraan perang dan peralatan senjata. Lalu saya (perawi) bertanya kepada Ibrahim, "Bagaimanakah pendapat Ali tentang ini?'" Ibrahim menjawab, "Dia adalah orang yang paling keras dalam hal ini." Demikianlah pendapat segolongan besar ulama. Adapun mengenai bagian kaum kerabat, diberikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muttalib, karena Bani Muttalib mendukung Bani Hasyim di masa Jahiliah dan di masa permulaan Islam; sehingga mereka ikut bergabung dengan Rasulullah ﷺ di lereng bukit (ketika kaum muslim diisolasi) karena solidaritas mereka kepada Rasulullah ﷺ dan demi membelanya. Perasaan orang-orang muslim didasari oleh taat kepada Allah, sedangkan orang-orang kafirnya didasari oleh perasaan hamiyah (kefanatikan) kabilah, harga diri, dan taat kepada Abu Thalib, paman Rasulullah ﷺ. Tetapi Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, sekalipun mereka adalah anak-anak paman (saudara-saudara sepupu) tidak sependapat dalam hal tersebut bahkan mereka memeranginya dan mengisolasinya serta menghasut semua kalangan Quraisy untuk memerangi Rasulullah ﷺ. Karena itulah Abu Thalib mencela mereka dalam kasidah lamiyah-nya dengan kecaman yang paling keras, mengingat kekerabatan mereka yang dekat. Dalam kasidahnya itu antara lain Abu Thalib mengatakan: “Semoga Allah menimpakan pembalasan-Nya karena kami kepada Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, yaitu dengan azab yang terburuk lagi segera tanpa ditangguhkan lagi, demi neraca keadilan, tanpa melenceng sedikit pun, dia mempunyai saksi dari dirinya tanpa beban. Sesungguhnya mereka telah menghasut pemikiran banyak kaum. Mereka rela mengganti kami dengan Bani Khalaf karena benci dan tidak senang kepada kami. Padahal kami adalah inti dari keturunan Hasyim dan keluarga Qusai; dalam medan perang kami adalah yang terdepan.” Jubair ibnu Mufim ibnu Addi ibnu Naufal mengatakan bahwa ia berjalan bersama Usman ibnu Affan (yakni ibnu Abdul As ibnu Umayyah ibnu Abdu Syams) mendekati Rasulullah ﷺ lalu mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi bagian kepada Bani Muthalib dari khumus Khaibar, tetapi engkau membiarkan kami tidak mendapat bagian, padahal kami dan mereka mempunyai kedudukan kerabat yang sama terhadapmu?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah sesuatu yang menyatu.” (Riwayat Muslim) Menurut riwayat lain dari hadits ini disebutkan: “Sesungguhnya mereka belum pernah berpisah dengan kami, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam.” Demikianlah pendapat jumhur ulama, bahwa sesungguhnya mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Mereka (kaum kerabat Nabi ﷺ) adalah Bani Hasyim." Ibnu Jarir meriwayatkan dari Khasif, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Allah mengetahui di kalangan Bani Hasyim terdapat kaum fakir miskin maka Dia menjadikan untuk mereka bagian dari khumus sebagai ganti zakat. Menurut riwayat lain yang bersumber dari Mujahid mereka adalah seluruh kerabat Rasulullah ﷺ yang tidak boleh menerima harta zakat. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hal yang serupa dari Ali ibnul Husain. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Mereka adalah semua orang Quraisy.” Telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Nafi' dari Abu Ma'syar, dari Sa'id Al-Maqbari yang mengatakan bahwa Najdah berkirim surat kepada Abdullah ibnu Abbas untuk menanyakan kepadanya tentang zawul qurba (kaum kerabat Nabi ﷺ). Maka Ibnu Abbas menjawab, “Kami dahulu mengatakan bahwa kami adalah mereka, tetapi kaum kami menolak hal tersebut, dan mereka mengatakan bahwa kaum Quraisy seluruhnya adalah zawul qurba." Hadits di atas shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Sa'id Al-Maqbari, dari Yazid ibnu Hurmuz. Disebutkan bahwa Najdah berkirim surat kepada Ibnu Abbas, menanyakan tentang zawul qurba. Lalu disebutkan sampai dengan kata-kata Ibnu Abbas, "Tetapi kaum kami menolak hal tersebut." Tambahan dalam atsar ini hanya ada pada Abu Ma'syar Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, tetapi di dalamnya terdapat ke-dha’if-an. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Saya tidak suka bila kalian mendapat kotoran cuci tangan orang-orang lain, karena sesungguhnya bagi kalian ada seperlima dari khumus bagian yang mencukupi kalian atau yang membuat kalian berkecukupan.” Sanad hadits ini hasan. Ibrahim ibnu Mahdi dinilai tsiqah oleh Ibnu Abu Hatim. Tetapi menurut penilaian Yahya ibnu Mu'in, dia (Ibrahim ibnu Mahdi) banyak mempunyai hadits yang berpredikat munkar. Firman Allah ﷻ: “Dan anak-anak yatim.” (Al-Anfal: 41) Maksudnya anak-anak yatim kaum muslim. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hal itu khusus bagi anak-anak yatim kaum fakir miskin mereka ataukah bersifat umum mencakup anak-anak yatim orang-orang hartawan dan orang-orang miskin mereka. Ada dua pendapat mengenainya. Jelasnya, menurut bahasa pengertian miskin ialah orang-orang yang mempunyai keperluan serta tidak menemukan apa yang mencukupi kebutuhan dan tempat tinggal mereka. “Ibnu sabil.” (Al-Anfal: 41) Yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah musafir atau orang yang hendak melakukan perjalanan sejauh perjalanan qasar, sedangkan dia tidak mempunyai biaya untuk perjalanannya itu. Penafsiran tentang pengertian ibnu sabil Insya Allah akan diterangkan di dalam “Bab Zakat", bagian dari surat At-Taubah. Hanya kepadaNya-lah kami percaya dan hanya kepada Nya-lah pula kami bertawakal. Firman Allah ﷻ: “Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad).” (Al-Anfal: 41) Artinya, kerjakanlah apa yang telah Kami syariatkan kepada kalian dalam masalah khumus ganimah (membagi lima bagian harta rampasan perang), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Karena itulah di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui hadits Abdullah ibnu Abbas dalam kisah tentang delegasi Abdul Qais yang menghadap Rasulullah ﷺ. Dalam kitab itu disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: "Aku perintahkan kalian empat perkara, dan aku larang kalian dari empat perkara lainnya. Aku perintahkan kepada kalian untuk beriman kepada Allah.” Kemudian dalam kalimat selanjutnya disebutkan: “Tahukah kalian apakah iman kepada Allah itu? Yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menunaikan seperlima dari ganimah (rampasan perang).” Demikianlah hingga akhir hadits yang cukup panjang. Dalam hadits ini disebutkan bahwa menunaikan seperlima dari ganimah termasuk salah satu dari bagian keimanan. Imam Bukhari telah membahas masalah ini dalam suatu bab tersendiri, bagian dari Kitabul Iman yang ada di dalam kitab Shahih-nya. Ia mengatakan bahwa ini adalah Bab "Menunaikan Seperlima Ganimah termasuk Keimanan", kemudian ia mengetengahkan hadits Ibnu Abbas ini. Kami pun telah menerangkan pembahasan masalah ini secara panjang lebar dalam Syarah Bukhari. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan.” (Al-Anfal: 41) Yakni di hari pembagian ganimah. Firman Allah ﷻ: “Di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Anfal: 41) Allah ﷻ mengingatkan tentang nikmat dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya, yaitu dengan dipisahkan-Nya kebenaran dan kebatilan dalam Perang Badar. Hari itu dinamakan "hari Furqan" karena pada hari itu Allah memenangkan kalimat iman dan mengalahkan kalimat kebatilan. Dia memenangkan agama-Nya dan menolong Nabi serta para pendukungnya. Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hari Furqan ialah hari Perang Badar. Pada hari itu Allah memisahkan kebenaran dari kebatilan. Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Miqsam, Ubaidillah ibnu Abdullah, Adh-Dhahhak, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, bahwa hari yang dimaksud adalah hari Perang Badar. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Mamar, dari Az-Zuhri, dari Urwah Ibnuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: “Di hari Furqan.” (Al-Antal: 41) Yaitu hari Allah memisahkan kebenaran dan kebatilan, yaitu hari Perang Badar yang merupakan permulaan peperangan yang dialami oleh Rasulullah ﷺ. Saat itu pemimpin atau panglima pasukan kaum musyrik ialah Atabah ibnu Rabi'ah. Kedua pasukan berhadapan pada hari Jumat, tanggal sembilan belas atau tujuh belas Ramadan. Sahabat Rasulullah ﷺ saat itu berjumlah tiga ratus lebih beberapa belas orang. sedangkan jumlah pasukan kaum musyrik antara sembilan ratus sampai seribu orang. Maka Allah memukul mundur pasukan kaum musyrik. sehingga tujuh puluh orang lebih dari kalangan mereka terbunuh dan yang tertawan berjumlah sama dengan yang terbunuh. Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak telah meriwayatkan melalui hadits Al-A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan dengan malam lailatul qadar, "Carilah lailatul qadar pada malam kesembilan belas, karena sesungguhnya pada pagi harinya adalah Perang Badar!" Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini dengan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair melalui hadits Ja'far ibnu Barqan, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnuz Zubair. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ya'qub Abu Thalib, dari Ibnu Aim, dari Muhammad ibnu Abdullah As-Saqafi, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang mengatakan bahwa Al-Hasan ibnu Ali pernah berkata, “Malam hari Furqan adalah keesokan harinya bertemu dua golongan pasukan, yaitu pada tanggal tujuh belas Ramadan." Sanad atsar ini jayyid lagi kuat. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya dari Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Habib, dari Ali yang mengatakan, "Malam hari Furqan adalah malam hari yang pada keesokan harinya bertemu dua golongan pasukan, yaitu malam hari Jumat tanggal tujuh belas bulan Ramadan." Riwayat ini menurut ahli sejarah dan sirah dinilai shahih. Yazid ibnu Abu Habib Imam di Mesir pada zamannya mengatakan bahwa hari Perang Badar terjadi pada hari Sabtu. Tetapi tidak ada yang mengikuti pendapatnya ini, yang lebih diprioritaskan adalah pendapat jumhur ulama.

Al-Anfal: 41

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat