Hukum Uang Elektronik dalam Islam
Uang elektronik merupakan salah satu produk fintech yang sedang berkembang saat ini. Banyak perusahaan start up bermunculan dan mengeluarkan produk uang elektronik mereka. Lalu, bagaimana hukum fintech dan uang elektronik itu sendiri bila dilihat dari kacamata Islam?
Perlu Anda ketahui sebelumnya bahwa pengertian uang elektronik dalam istilah keuangan merupakan alat pengganti uang fisik yang dapat digunakan untuk bertransaksi. Dan sebagaimana penggunaannya, uang ini dimanfaatkan sebagai salah satu alat pembayaran yang sah.
Dalil Perihal Uang Elektronik
Berikut ini adalah beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum uang elektronik.
1. Alquran
- S. an-Nisa (4): 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
- S. al-Maidah (5): 1
“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu..”
- S. al-Isra (17): 34
“…Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban…”
- S. an-Nisa (4):29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian….”
- S. al-Kahfi (18): 19
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang paling baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.”
- S. al-Furqan (25): 67
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
- S. al-Qashash (28): 26
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai, ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
- S. al-Baqarah (2): 275
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual–beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual–beli dan mengharamkan riba.
Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
- S. al-Baqarah (2): 282
“Hai orang yang berimanl Jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis… “
2. Hadis Nabi Saw.
- Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, al-Nasa’i. dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit:
“(Jual–beli/pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (disyaratkan harus dalam ukuran yang) sama (jika yang dipertukarkan) satu jenis dan (harus) secara tunai.
Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
- Hadis Nabi riwavat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri:
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”
- Hadis Nabi riwayat Abu Daud dan al-Tirmidzi:
“Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.”
- Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin al-Shamit r.a.,riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas r.a., riwayat Malik dari bapaknya Yahya al-Mazini r.a. dan riwayat al-Hakim dan al-Dar al-Quthni dari Abu Sa’id al-Khudriy r.a.:
“Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya). “
- Hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi dari kakeknya ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, dan riwayat al-Hakim dari kakeknya Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf r.a.:
“Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
- Hadis Nabi saw. riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah r.a. dan Abu Sa’id al-Khudri r.a.:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, berikanlah upahnya.”
- Hadis Nabi riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar r.a., riwayat al-Thabarani dari Jabir r.a., dan riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah r.a.:
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”
- Hadis Nabi riwayat Muslim, dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas:
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
Dalil-dalil tersebut yang menjadi dasar penentuan hukum fintech dan uang elektronik dalam aqidah Islam. Nantinya, keputusan yang diambil memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hukum Uang Elektronik Menurut MUI
Hasil dari fatwa MUI mengenai hukum uang elektronik tertuang pada Fatwa DSN No: 116/DSN-MUI/IX/2017. MUI menyimpulkan bahwa uang elektronik boleh digunakan sebagai alat transaksi perdagangan. Dan, ada beberapa hal yang ditekankan pada fatwa yang ditetapkan tersebut.
Pertama adalah mengenai akad yang akan digunakan antara pihak yang terlibat dalam pembuatan uang elektronik. Akad wadiah atau akad qardh adalah akad yang digunakan antara pihak penerbit dengan pemegang uang elektronik.
Sedangkan, akad yang digunakan pihak penerbit dengan para penyelenggara uang elektronik adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah. Ketiga akad tersebut kemudian juga digunakan penerbit dengan agen layanan keuangan.
Hal yang kedua adalah penggunaan uang elektronik harus terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, risywah, israf, dan juga transaksi atas objek yang diharamkan.
Ketiga adalah jumlah uang elektronik yang disimpan pada penerbit harus ditempatkan di lembaga perbankan syariah. Dan hal yang keempat adalah apabila kartu yang digunakan sebagai media uang elektronik hilang, jumlah uang yang terdata di penerbit tidak boleh hilang.
Keempat hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan pakar perbankan syariah Dede Abdul Fatah, yang berpendapat bahwa uang elektronik penggunaannya diperbolehkan dan pihak penerbit tidak boleh menggunakan uang pengguna tanpa seizin yang bersangkutan.
Bagaimana dengan Diskon Uang Elektronik?
Banyaknya produk uang elektronik memunculkan persaingan di tiap produk yang dikeluarkan pihak penerbit. Tak heran berbagai strategi mereka terapkan dalam menarik minat pelanggan, salah satunya adalah dengan melakukan diskon pada pembayaran dengan uang elektronik.
Menurut pengamat ekonomi syariah dari United Nations Development Programme (UNDP), Greget Kalla Buana, penerapan diskon dari penyedia uang elektronik merupakan hal yang sah dalam Islam. Karena pengguna uang elektronik menggunakan akad jual-beli, maka diskon diperbolehkan.
Demikian pembahasan mengenai hukum fintech dalam artikel ini. Kesimpulannya, umat Islam tidak dilarang menggunakan alat pembayaran virtual ini serta menikmati potongan harga atau bentuk keuntungan lain yang menyertainya. Semoga bermanfaat!
Referensi:
https://www.dakwatuna.com/2017/11/14/89409/hukum-menggunakan-uang-elektronik/#axzz5yX80Xwk9
https://ala-nu.com/hukum-penggunaan-uang-elektronik/