Ayat
Terjemahan Per Kata
حُرِّمَتۡ
diharamkan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
أُمَّهَٰتُكُمۡ
ibu-ibumu
وَبَنَاتُكُمۡ
dan anak-anak perempuanmu
وَأَخَوَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuanmu
وَعَمَّـٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan bapakmu
وَخَٰلَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan ibumu
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأَخِ
saudaramu laki-laki
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأُخۡتِ
saudaramu perempuan
وَأُمَّهَٰتُكُمُ
dan ibu-ibumu
ٱلَّـٰتِيٓ
yang
أَرۡضَعۡنَكُمۡ
menyusui kamu
وَأَخَوَٰتُكُم
dan saudara-saudara perempuanmu
مِّنَ
dari
ٱلرَّضَٰعَةِ
sepersusuan
وَأُمَّهَٰتُ
dan ibu-ibu
نِسَآئِكُمۡ
isterimu
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
dan anak-anak isterimu
ٱلَّـٰتِي
yang
فِي
dalam
حُجُورِكُم
pemeliharaanmu
مِّن
dari
نِّسَآئِكُمُ
isteri-isteri kamu
ٱلَّـٰتِي
yang
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
تَكُونُواْ
kalian menjadi
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَحَلَٰٓئِلُ
dan isteri-isteri
أَبۡنَآئِكُمُ
anak-anakmu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِنۡ
dari
أَصۡلَٰبِكُمۡ
tulang rusukmu/anak kandungmu
وَأَن
dan bahwa
تَجۡمَعُواْ
kamu menghimpun
بَيۡنَ
antara
ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
dua perempuan bersaudara
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
قَدۡ
sungguh
سَلَفَۗ
yang lalu/lampau
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
حُرِّمَتۡ
diharamkan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
أُمَّهَٰتُكُمۡ
ibu-ibumu
وَبَنَاتُكُمۡ
dan anak-anak perempuanmu
وَأَخَوَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuanmu
وَعَمَّـٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan bapakmu
وَخَٰلَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan ibumu
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأَخِ
saudaramu laki-laki
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأُخۡتِ
saudaramu perempuan
وَأُمَّهَٰتُكُمُ
dan ibu-ibumu
ٱلَّـٰتِيٓ
yang
أَرۡضَعۡنَكُمۡ
menyusui kamu
وَأَخَوَٰتُكُم
dan saudara-saudara perempuanmu
مِّنَ
dari
ٱلرَّضَٰعَةِ
sepersusuan
وَأُمَّهَٰتُ
dan ibu-ibu
نِسَآئِكُمۡ
isterimu
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
dan anak-anak isterimu
ٱلَّـٰتِي
yang
فِي
dalam
حُجُورِكُم
pemeliharaanmu
مِّن
dari
نِّسَآئِكُمُ
isteri-isteri kamu
ٱلَّـٰتِي
yang
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
تَكُونُواْ
kalian menjadi
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَحَلَٰٓئِلُ
dan isteri-isteri
أَبۡنَآئِكُمُ
anak-anakmu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِنۡ
dari
أَصۡلَٰبِكُمۡ
tulang rusukmu/anak kandungmu
وَأَن
dan bahwa
تَجۡمَعُواْ
kamu menghimpun
بَيۡنَ
antara
ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
dua perempuan bersaudara
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
قَدۡ
sungguh
سَلَفَۗ
yang lalu/lampau
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
Terjemahan
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Diharamkan atas kamu ibu-ibumu) maksudnya mengawini mereka dan ini mencakup pula nenek, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu (dan anak-anak perempuanmu) termasuk cucu-cucumu yang perempuan terus ke bawah (saudara-saudaramu yang perempuan) baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu (saudara-saudara bapakmu yang perempuan) termasuk pula saudara-saudara kakekmu (saudara-saudara ibumu yang perempuan) termasuk pula saudara-saudara nenekmu (anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan) maksudnya keponakan-keponakanmu dan tercakup pula di dalamnya anak-anak mereka (ibu-ibumu yang menyusui kamu) maksudnya ibu-ibu susuan, yakni sebelum usiamu mencapai dua tahun dan sekurang-kurangnya lima kali susuan sebagaimana dijelaskan oleh hadis (saudara-saudara perempuanmu sesusuan). Kemudian dalam sunah ditambahkan anak-anak perempuan daripadanya, yaitu wanita-wanita yang disusukan oleh wanita-wanita yang telah dicampurinya, berikut saudara-saudara perempuan dari bapak dan dari ibu, serta anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak-anak perempuan dari saudara perempuannya, berdasarkan sebuah hadis yang berbunyi, "Haram disebabkan penyusuan apa yang haram oleh sebab pertalian darah." Riwayat Bukhari dan Muslim. (ibu-ibu istrimu, mertua, dan anak-anak tirimu) jamak rabiibah yaitu anak perempuan istri dari suaminya yang lain (yang berada dalam asuhanmu) mereka berada dalam pemeliharaan kalian; kalimat ini berkedudukan sebagai kata sifat dari lafal rabaaib (dan istri-istrimu yang telah kamu campuri) telah kalian setubuhi (tetapi jika kamu belum lagi mencampuri mereka, maka tidaklah berdosa kamu) mengawini anak-anak perempuan mereka, jika kamu telah menceraikan mereka (dan diharamkan istri-istri anak kandungmu) yakni yang berasal dari sulbimu, berbeda halnya dengan anak angkatmu, maka kamu boleh kawin dengan janda-janda mereka (dan bahwa kamu himpun dua orang perempuan yang bersaudara) baik saudara dari pertalian darah maupun sepersusuan, dan menghimpun seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya atau saudara perempuan ibunya tetapi diperbolehkan secara "tukar lapik" atau "turun ranjang" atau memiliki kedua mereka sekaligus asal yang dicampuri itu hanya salah seorang di antara mereka (kecuali) atau selain (yang telah terjadi di masa lalu) yakni di masa jahiliah sebagian dari apa yang disebutkan itu, maka kamu tidaklah berdosa karenanya. (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat An-Nisa': 23
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 23
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: “Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian” (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: ”Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian” (An-Nisa: 23) Mereka adalah mahram dari nasab.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna firman-Nya: “Dan anak-anak perempuan kalian.” (An-Nisa: 23) Walau bagaimanapun keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'.
Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firman-Nya: “Allah telah mensyariatkan bagi kalian tentang pembagian warisan, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa: 11) Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewarisi menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini (An-Nisa:23).
Firman Allah ﷻ: “Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian.” (An-Nisa: 23) Sebagaimana diharamkan atas kalian mengawini ibu kalian yang telah melahirkan kalian, maka diharamkan pula atas diri kalian mengawini ibu kalian yang telah menyusukan kalian.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui hadits Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.” Menurut lafal Imam Muslim disebutkan: “Diharamkan karena persusuan hal-hal yang diharamkan karena nasab.”
Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab diharamkan pula karena hubungan persusuan, kecuali dalam empat hal. Sebagian dari mereka mengatakan enam hal. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu' (fiqih). Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadits menurut kaidah asalnya.
Para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadits di dalam kitab Shahih Muslim, melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.”
Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.” Menurut lafal yang lain disebutkan: “Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.” Hadits riwayat Imam Muslim.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadits ini diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah, Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar dan Sa'id ibnu Jubair. Ulama lainnya berpendapat tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya: “Sepuluh kali persusuan yang telah diketahui dapat menjadikan mahram.” Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang diketahui. Lalu Nabi ﷺ wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca.
Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang serupa. Di dalam hadits Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan. Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dan murid-muridnya. Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat jumhur ulama.
Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233) Para ulama berselisih pendapat tentang kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain-lainnya: Apakah persusuan mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf. Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih.
Firman Allah ﷻ: “Ibu-ibu istri kalian (mertua kalian); anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya.” (An-Nisa: 23)
Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun belum menggaulinya.
Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa: 23) Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja.
Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa: 23)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali menjawab bahwa ibu si wanita itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Qatadah, dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum menggaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya itu."
Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Said, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum menggaulinya maka jika ia suka ia boleh mengawini ibunya.”
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda, bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah mengatakan, “Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang tidak pula mengizinkan aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.” (An-Nisa: 23) Makna yang dimaksud ialah bila menggauli kedua-duanya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Muawiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini. Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang serupa, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
Imam Ath-Thabarani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ats-Tsauri, dari Abu Farwah, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini seorang wanita, lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." Lalu si lelaki menceraikan istrinya. Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan akad nikah dengan ibunya. Lain halnya dengan ibu; sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal baginya.”
Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan itu sebagai hal yang makruh. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah, ‘Atha’, Al-Hasan, Makhul, Ibnu Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang serupa. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang sekarang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini ditetapkan persyaratan adanya persetubuhan. Menurut kesepakatan ini adalah hujah yang tidak dapat dibantah lagi, yaitu adanya syarat bersetubuh. Telah diriwayatkan pula satu hadits yang berpredikat garib mengenai hal tersebut namun sanadnya masih perlu dipertimbangkan.
Hadits itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.”
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadits ini sekalipun di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan sesungguhnya menurut kesepakatan, hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadits tersebut. Adapun mengenai firman-Nya: “Anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu.” (An-Nisa: 23) Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang bersangkutan atau tidak.
Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum pengertian apa pun. Keadaannya sama dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian melakukan pelacuran padahal mereka sendiri menginginkan kesucian.” (An-Nur: 33) Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata: “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, yaitu anak perempuan Abu Sufyan." Menurut lafal Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan. Nabi ﷺ menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. “Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi ﷺ bertanya: “Anak perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan kalian, jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.”
Menurut riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan seperti berikut: “Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.”
Dalam hadits ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau ﷺ dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya dengan penyebab tersebut. Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Memang ada satu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifaah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Thalib berjumpa denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.’ (An-Nisa: 23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
Sanad atsar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Thalib dengan syarat Muslim. Akan tetapi pendapat ini garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu Hazm.
Guruku Al-Hafidzh Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqiuddin Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Ashram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan firman-Nya: “Yang dalam pemeliharaan kalian.” (An-Nisa: 23) Maksudnya di dalam rumah-rumah kalian.
Sehubungan dengan rabibah (anak tiri perempuan) dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." Maksudnya ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Atsar ini munqathi’ (sanadnya terputus).
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab. “Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesungguhnya Allah ﷻ mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri.” (An-Nisa: 23) Milkul Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka. Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
Makna firman-Nya: “Dari istri kalian yang telah kalian campuri.” (An-Nisa: 23) Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’ bahwa yang dimaksud dengan dukhlah adalah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" ‘Atha’ menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama, khalwat (berduaan bermesraan) seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu birahi tertentu bisa diartikan bahwa si lelaki telah bersetubuh dengan istrinya; hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami.
Firman Allah ﷻ: “Dan istri-istri anak kandung kalian (menantu).”
Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka.” (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Atha’ mengenai makna firman-Nya: “Dan istri-istri anak kandung kalian.” (An-Nisa: 23) Kami pernah menceritakan hanya Allah yang lebih mengetahui bahwa ketika Nabi ﷺ mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan istri-istri anak kandung kalian.” (An-Nisa: 23);
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian.” (Al-Ahzab: 4);
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian.” (Al-Ahzab: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: “Dan istri-istri anak kandung kalian” (An-Nisa: 23) serta firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua).” (An-Nisa: 23)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Makhul hal yang serupa. Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut menjadikan mahram hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Menurut jumhur ulama (kesepakatan mayoritas ulama) hal inilah yang telah disepakati jika ditanyakan dari segi apakah menjadi mahram istri anak sepersusuannya. Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri). Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Diharamkan karena rada (sepersusuan) hal-hal yang diharamkan karena nasab.”
Firman Allah ﷻ: “Dan menghimpun (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau.” (An-Nisa: 23). hingga akhir ayat.
Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang karena dikecualikan oleh ayat tentang hal-hal yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia).” (Ad-Dukhan: 56) Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama-lamanya (yakni mereka hidup kekal di dalamnya).
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam baik yang terdahulu maupun yang sekarang sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Adh-Dhahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara.
Maka Nabi ﷺ memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Dawud dan Imam Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadits Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadits ini dari Abu Wahb Al-Jusyani, Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya', dari Adh-Dhahak ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafal yang sama menurut lafal yang diketengahkan oleh Imam Tirmidzi.
Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.” Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah, dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu kehendaki." Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Adh-Dhahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya menjadi nabi, semoga Allah melaknatnya.
Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisa: 24) Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)." Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf).
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari hadapan Usman, lalu bersjumpa dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat Nabi ﷺ tersebut berkata, "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut maka ia benar-benar akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: “Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ itu adalah Ali ibnu Abu Thalib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang serupa dari Az-Zubair ibnul Awwam." Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang lelaki dari sahabat Nabi ﷺ tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Abu Thalib tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu Marwan (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Thalib). Mereka merasa keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Thalib dengan sebutan yang jelas.
Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku Has ibnu Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Thalib, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara budak-budak wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Thalib menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang telah kamu campuri itu kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya.’ Aku berkata, ‘Akan tetapi orang-orang (para ulama) mengatakan bahwa aku boleh mengawininya dan menggauli yang lainnya.’ Ali ibnu Abu Thalib berkata, 'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas kamu terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali mengatakan, ‘Kecuali empat orang istri dan diharamkan pula atas dirimu sehubungan dengan masalah sepersusuan hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah sehubungan dengan nasab.’ Abu Umar berkata bahwa atsar ini merupakan hasil jerih payah perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh apapun dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya atsar ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi.
Menurut kami, atsar ini diriwayatkan pula dari Ali, dari Usman.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Thalib pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara tadi.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang-orang Jahiliah mengharamkan semua hal yang kalian haramkan kecuali istri ayah (ibu tiri) dan menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau.’ (An-Nisa: 22) Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan menghimpun dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (An-Nisa: 23) Yakni dalam pernikahan.
Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Hambal telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa juga diharamkan terhadap budak-budak wanita hal-hal yang diharamkan terhadap wanita-wanita merdeka kecuali bilangan (poligami). Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Asy-Sya'bi hal yang serupa. Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang serupa dengan perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abbas.
Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada seorang pun dari kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib (Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena mengikuti makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang mengamalkan demikian secara terang-terangan harus dikucilkan bila kita berkumpul dengannya. Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan dalam nikah.
Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya: ‘Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan saudara-saudara perempuan kalian.’ (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Bahwa nikah dan memiliki mereka (yang disebut di dalam ayat ini) sebagai budak sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan suatu keharusan bahwa ketentuan hukum ini berlaku secara rasional dan analogi terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta masalah ibu-ibu istri dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan suatu hujah (argumen) yang mematahkan alasan orang-orang yang berpendapat menyendiri dan berbeda. [Demikian akhir dari juz ke-4]
Selain haram menikahi ibu tiri sebagaimana dijelaskan di atas, diharamkan pula menikahi beberapa perempuan berikut ini. Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu termasuk juga nenekmu, anak-anakmu yang perempuan termasuk cucu perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan baik kandung, seayah, atau seibu, saudara-saudara ayahmu yang perempuan termasuk saudara perempuan kakek, saudara-saudara ibumu yang perempuan termasuk saudara perempuan nenek. Demikian pula anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, maupun anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan termasuk anak-anak perempuan mereka. Itulah tujuh golongan yang haram dinikahi karena hubungan nasab. Selain itu diharamkan pula menikahi ibu-ibumu yang menyusui kamu ketika kamu dahulu berada dalam masa penyusuan (Lihat: Surah alBaqarah/2: 233, Surah al-Ahqa'f/26: 15). Karena ibu susu mempunyai posisi sama dengan ibu kandung, maka perempuan yang haram dinikahi karena nasab, diharamkan pula karena persusuan. Dengan demikian diharamkan atas kamu menikahi saudara-saudara perempuanmu sesusuan apabila kamu menyusu langsung pada tempat yang sama, dengan ketentuan tidak kurang dari lima kali susuan yang mengenyangkan, baik mereka menyusu sebelum kamu menyusu, atau dalam waktu bersamaan, atau setelah kamu selesai.
Selain itu diharamkan pula menikahi ibu-ibu dari istrimu atau mertua, baik istri itu telah kamu gauli layaknya suami istri maupun yang belum kamu gauli. Selain itu diharamkan pula menikahi anak-anak perempuan dari istrimu yakni anak tiri yang berada dalam pemeliharaanmu dan tinggal bersama maupun anak-anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaanmu, keduanya sama saja. Larangan tersebut adalah jika anak tiri itu merupakan anak dari istri yang telah kamu campuri sebagaimana layaknya suami istri. Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan dia sudah kamu ceraikan atau istri yang belum kamu gauli itu meninggal dunia, maka tidak berdosa kamu menikahi anak-anak tiri dari bekas istri yang telah kamu ceraikan atau meninggal sebelum kamu menggaulinya. Dan diharamkan pula kamu menikahi istri-istri anak kandungmu atau menantumu sendiri. Demikian itulah ketentuan tentang keharaman menikahi perempuan untuk selama-lamanya.
Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi tetapi tidak untuk selamalamanya dijelaskan berikut ini. Dan diharamkan pula melangsungkan perkawinan dengan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara pada waktu yang sama, baik kedua perempuan itu kakak beradik, atau seorang perempuan dengan bibi yakni saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu dari perempuan tersebut, kecuali perkawinan serupa yang telah terjadi pada masa lampau sebelum datangnya larangan ini. Sungguh yang demikian ini karena Allah Maha Pengampun atas segala dosa atau kekhilafan yang telah kamu lakukan, Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya. Agama Islam melarang menikahi ibu kandung, ibu tiri, ibu susu, maupun bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), adalah untuk menghormati kedudukan dan status mereka. Bagaimana mungkin orang yang diperintahkan Allah untuk dihormati malah dijadikan istri oleh anak sendiri' Di mana letak penghormatan anak terhadap mereka, dan bagaimana dengan status anak yang lahir nanti' Demikian pula larangan memperistri dua perempuan bersaudara sekaligus dalam waktu yang sama. Tindakan ini dapat menimbulkan kecemburuan besar yang berdampak pada retaknya hubungan persaudaraan. Islam sangat menjunjung tinggi hubungan kekeluargaan atau kekerabatan apabila terjalin dengan harmonis serta kokoh, dan membenci tindakan apa pun yang dapat mendorong retak bahkan putusnya hubungan tersebut
Bila pada ayat yang lalu Allah melarang pernikahan yang menghimpun dua atau lebih perempuan bersaudara, maka ayat ini melarang seorang istri dinikahi oleh dua orang laki-laki. Dan diharamkan juga kamu menikahi perempuan yang sudah bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan bersuami yang secara khusus kamu dapatkan melalui tawanan perang ketika suaminya tidak ikut tertawan, yang kemudian kamu miliki. Pengharaman itu sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain perempuan-perempuan yang demikian itu, yakni selain perempuan yang disebutkan oleh ayat sebelum ini, jika kamu berusaha bersungguh-sungguh membayar mahar dengan hartamu untuk menikahinya bukan dengan maksud untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, istri-istri itu, segera berikanlah maskawinnya dengan sempurna kepada mereka sebagai suatu kewajiban yang harus kamu tunaikan. Tetapi tidak mengapa, artinya kamu tidak berdosa, wahai para suami, jika ternyata di antara kamu sebagai suami istri telah saling merelakannya, sebagian mahar atau keseluruhannya, setelah ditetapkan kewajiban pembayaran mahar itu secara bersama. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Perempuan lain yang juga haram dinikahi terdiri dari:
1. Dari segi nasab (keturunan)
a. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya ke atas.
b. Anak, termasuk cucu dan seterusnya ke bawah.
c. Saudara perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu saja.
d. Saudara perempuan dari bapak maupun dari ibu.
c. Kemenakan perempuan baik dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.
2. Dari segi penyusuan:
a. Ibu yang menyusui (ibu susuan).
b. Saudara-saudara perempuan sesusuan.
c . Dan selanjutnya perempuan-perempuan yang haram dikawini karena senasab haram pula dikawini karena sesusuan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
"Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena nasab." (Hadis Muttafaq 'alaih).
Dapat ditambahkan di sini masalah berapa kali menyusu yang dapat mengharamkan perkawinan itu ada beberapa pendapat:
a. Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Hasan, az-Zuhri, Qatadah, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa tidak ada ukuran yang tertentu untuk mengharamkan pernikahan. Banyak atau sedikit asal sudah diketahui dengan jelas anak itu menyusu, maka sudah cukup menjadikan ia anak susuan. Pendapat ini mereka ambil berdasarkan zahir ayat yang tidak menyebutkan tentang batasan susuan.
b. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa batasan penyusuan tersebut adalah minimal tiga kali menyusu barulah menjadi anak susuan. Ini didasarkan pada suatu riwayat yang artinya: "Sekali atau dua kali menyusu tidaklah mengharamkan."
c. Abdullah bin Masud, Abdullah bin Zubair, Syafii dan Hambali berpendapat bahwa ukurannya adalah paling sedikit lima kali menyusu.
Demikian juga tentang berapakah batas umur si anak yang menyusu itu, dalam hal ini para ulama mempunyai pendapat:
a. Umur si anak tidak boleh lebih dari dua tahun. Pendapat ini diambil berdasarkan firman Allah:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna? (al-Baqarah/2: 233).
Juga sabda Rasulullah ﷺ yang artinya, "Tidak dianggap sepersususan kecuali pada umur dua tahun" (Riwayat Ibnu Abbas). Pendapat ini dipegang oleh Umar, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Syafii, Ahmad, Abu Yusuf dan Muhammad.
b. Batasan umur adalah sebelum datang masa menyapih (berhenti menyusu). Jika si anak sudah disapih walau belum cukup umur dua tahun tidak lagi dianggap anak susuan. Sebaliknya umurnya telah lebih dari dua tahun tapi belum disapih, maka jika dia disusukan, tetaplah berlaku hukum sepersusuan. Pendapat ini dipegang oleh az-Zuhri, Hasan, Qatadah dan salah satu dari riwayat Ibnu Abbas.
3. Dari segi perkawinan:
a. Ibu dari istri (mertua) dan seterusnya ke atas.
b. Anak dari istri (anak tiri) yang ibunya telah dicampuri, dan seterusnya ke bawah.
c. Istri anak (menantu) dan seterusnya ke bawah seperti istri cucu.
Perlu dicatat dalam mengharamkan menikahi anak tiri, disebutkan "yang dalam pemeliharaanmu," bukanlah berarti bahwa yang di luar pemeliharaannya boleh dinikahi. Hal ini disebut hanyalah karena menurut kebiasaan saja yaitu perempuan yang kawin lagi sedang ia mempunyai anak yang masih dalam pemeliharaannya biasanya suami yang baru itulah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dan memeliharanya. Kemudian ditambahkan apabila si ibu belum dicampuri lalu diceraikan maka diperbolehkan menikahi anak tiri tersebut.
4. Diharamkan juga menikahi perempuan karena adanya suatu sebab dengan pengertian apabila hilang sebab tersebut maka hilang pula keharamannya, yaitu seperti menghimpun (mempermadukan) dua orang bersaudara. Demikian pula mempermadukan seseorang dengan bibinya. Yang terakhir ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak boleh menghimpun antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ayah) dan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ibu)." (Riwayat al-Bukhari)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama fikih membuat satu kaidah yaitu, haram mengumpulkan (mempermadukan) antara dua orang perempuan yang mempunyai hubungan kerabat (senasab dan sesusuan), andaikata salah seorang diantaranya laki-laki, maka haram pernikahan antara keduanya, seperti mengumpulkan antara seorang perempuan dengan cucunya. Dengan demikian boleh mengumpulkan (mempermadukan) antara seorang perempuan dengan anak tiri perempuan itu, karena hubungan antara keduanya bukan hubungan kerabat atau sesusuan, tetapi hubungan semenda saja.
Hukum ini berlaku sejak ayat ini diturunkan dan apa yang telah diperbuat sebelum turunnya ketentuan ini dapat dimaafkan. Kemudian ayat itu menutup ketentuan yang diberikannya ini dengan menerangkan sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi ampun. Dia memberikan ampunan atas perbuatan yang salah yang pernah dikerjakan hamba-Nya pada masa-masa sebelum datangnya syariat Islam, dan juga memberi ampunan kepada hamba-Nya yang segera bertobat apabila berbuat sesuatu tindakan yang salah.
Ayat di atas menyatakan mengenai kepatutan dan hal-hal yang secara biologis tidak baik dilakukan dalam memilih pasangan dalam perkawinan. Dalam hal kepatutan, dengan jelas dikatakan bahwa tidak patut seorang laki-laki menikahi saudara sesusuan, ibu susu, mertua, anak tiri, maupun dua saudara pada saat yang sama. Sedangkan mengenai perkawinan di antara keluarga (inbreed - misal saudara perempuan, bibi, dan keponakan) juga dilarang karena akan menimbulkan keturunan yang tidak baik. Mengenai hal kedua ini, penjelasannya adalah demikian.
Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak boleh dikawini sebagaimana disebutkan dalam Surah an-Nisa/4: 22.
Saudara-saudara laki-laki dan perempuan (juga saudara-saudara tiri laki-laki dan perempuan, dsb.) dilarang oleh hukum untuk menikah diantara mereka karena anak-anak mereka memiliki resiko tinggi yang tak dapat diterima yaitu menjadi cacat. Semakin dekat kekerabatan orangtua, semakin mungkin keturunannya akan menjadi cacat.
Hubungan sumbang (incest) adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosioantropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.
Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah dari kedua "orang tua" pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.
Ada suatu alasan genetis yang kuat bagi hukum-hukum tersebut yang mudah untuk dipahami. Setiap orang memiliki dua set gen, ada sekitar 130,000 pasang yang menentukan bagaimana seseorang terbentuk dan berfungsi. Setiap orang mewarisi satu gen dari setiap pasang milik masing-masing orangtua. Sayangnya, gen-gen sekarang mengandung banyak kesalahan, dan kesalahan-kesalahan ini muncul dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, beberapa orang membiarkan rambutnya tumbuh menutupi telinga mereka untuk menyembunyikan kenyataan bahwa satu telinga lebih rendah dari yang satunya -- atau mungkin hidung seseorang terletak tidak benar-benar di tengah mukanya, atau rahang seseorang agak sedikit tidak berbentuk -- dan sebagainya.
Semakin jauh kekerabatan orangtua, semakin mungkin mereka akan memiliki kesalahan-kesalahan berbeda dalam gen-gen mereka.Anak-anak, yang mewarisi satu set gen dari setiap orangtuanya, sepertinya akan berakhir dengan memiliki sepasang gen yang mengandung maksimum satu gen buruk dalam setiap pasangnya. Gen yang baik cenderung menolak yang buruk sehingga suatu kelainan (yang serius, tentu saja) tidak terjadi.
Namun, semakin dekat hubungan kekerabatan dua orang, semakin mungkin mereka mendapatkan kesalahan-kesalahan (kelemahan) yang sama dalam gen-gen mereka, karena semua itu diwarisi dari orangtua yang sama. Karena itu, seorang saudara lelaki dan seorang saudara perempuan sepertinya lebih mungkin memiliki kesalahan yang sama dalam gen mereka. Seorang anak hasil dari perpaduan hubungan saudara kandung seperti itu dapat mewarisi gen buruk yang sama pada sepasang gen yang sama dari keduanya, berakibat dua salinan buruk dari gen dan kerusakan yang serius.
Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa kebudayaan mentoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras.
Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sebagai lanjutan membela kemuliaan perempuan, mengubah adat jahiliyyah juga, datanglah ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman!
Ayat 19
Tidaklah halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan paksa."
Di dalam beberapa hadits yang shahih, ada disebutkan lagi satu adat buruk jahiliyyah terhadap perempuan. Yaitu perempuan dianggap sebagai barang warisan. Kalau seseorang meninggal dunia, meninggalkan istri ataupun budak perempuan, perempuan itu diambil oleh si pewaris, entah anaknya yang laki-laki ataupun saudaranya, sebagaimana mengambil barang-barang yang lain saja. Kalau perempuan itu memang budak, dapatlah dimengerti. Akan tetapi, bagaimana kalau perempuan itu orang merdeka, janda dari si mati? Dia diambil oleh saudara si mati. Bahkan juga oleh anaknya. Kalau cantik mungkin dinikahinya, tetapi kalau dia tidak senang, disimpannya saja sebagaimana menyimpan budak, tidak dinikahinya dan tidak dinikahkannya. Menurut Imam az-Zuhri, ada juga yang ditahannya perempuan itu sampai mati karena mengharapkan hartanya. Datanglah ayat ini mencegah adat busuk itu karena perempuan bukanlah barang tetapi orang. Semuanya itu mereka lakukan dengan paksa, seakan-akan perempuan diperbuat sebagai makhluk yang tidak berakal saja. “Jangan kamu menyusahkan mereka, lantaran hendak mendapat sebagian dari yang telah kamu berikan kepada mereka." Ada pula orang yang dipersakitinya hati perempuan, dibuatnya “makan hati berulam jantung" sehingga dia merasa tidak tenteram lagi, apa yang ‘dikerjakan serbasalah, karena tersembunyi maksud buruk, yaitu mencari-cari hal sehingga ada alasan bagi si laki-laki hendak mengambil harta perempuan itu, baik harta waris yang diterimanya dari yang mati, ataupun harta mas kawin yang diberikan oleh suaminya kepadanya.
Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, kaum Qu-raisy jahiliyyah mempunyai pula adat buruk cara menindas perempuan. Mereka nikahi seorang perempuan berbangsa. Setelah bergaul ternyata dia tidak berapa suka kepada perempuan itu ataupun perempuan itu sendiri tidak suka kepadanya. Lalu dibuat persetujuan bahwa si suami mau menceraikannya asal kalau dia hendak bersuami lagi mesti dengan persetujuannya terlebih dahulu. Karena tidak tahan menderita, perempuan itu pun sudi menerima perjanjian itu dan bercerailah mereka. Tiap orang lain datang meminang, mestilah dahulu diminta persetujuan bekas suaminya. Kerap kali disiksanya perempuan itu, dihalangi setiap orang meminang. Maksudnya ialah hendak memeras, meminta ganti kerugian kepada perempuan itu.
Rupanya ada dua kebiasan buruk jahiliyyah yang sangat dicela oleh Islam dan diberi peringatan kepada orang Islam supaya jangan melakukannya lagi. Pertama, memandang perempuan sebagai harta pusaka, sebagai barang warisan dari orang yang telah mati. Kedua, melakukan yaitu membuat agar hati perempuan sakit, membuat pikirannya jadi sempit sehingga akhirnya dia tidak berdaya lagi, menyerah saja kepada si pemeras apa yang akan diperlakukannya terhadap hak miliknya. Kedua kebiasaan ini wajib diberantas, sebab ini aniaya.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat sebagai pengecualian, yaitu, “Kecuali jika mereka melakukan kekejian yang nyata."
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah, dan adh-Dhahhak yang dimaksud dengan kekejianyang nyata di ayat ini ialah jika perempuan durhaka kepada suaminya (nusyuz) atau memang perangai dan kelakuannya buruk, kasar, tidak sopan. Menurut al-Hassan, kekejian yang nyata ialah jika dia berzina. Di sini tentu dapat kita tambahkan penafsiran Abu Muslim al-Ishbahany atas ayat 15 tadi, yaitu bahwa kekejian yang nyata ialah jika dia mengadu farajnya dengan faraj perempuan lain. Lantaran itu, arti kekejian yang nyata bolehlah diperluas. Misalnya suka ribut dengan tetangga atau mencuri. Akan tetapi, hendaklah diingat benar-benar yang ditulis dalam ayat, yaitu kekejian yang nyata, Kalau hanya fitnah atau tuduhan karena benci, atau mencari-cari hal untuk membuatnya ‘adhal, tidaklah dapat diterima. Dengan adanya perkataan kecuali, bolehlah lapangan hidup mereka dipersempit atau di-'adhal karena perangai mereka yang demikian, atau ceraikan saja mereka baik-baik, seperti yang telah diuraikan dalam surah al-Baqarah ayat 232 atau surah an-Nisaa' ayat 15 di atas.
Dengan keterangan ini jelas sekali bahwa hak-hak perempuan diperlindungi dan mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang saja. Mereka hanya boleh dihukum bila jelas melanggar ketenteraman rumah tangga. Oleh sebab itu kalau terjadi gaduh sehingga masing-masing tidak mau mengalah, masing-masing menuduh campur tangan, sebagaimana kelak akan tersebut di dalam ayat 34 surah ini juga, yang terkenal dengan Ayat Syiqa.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat, “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut." Di dalam ayat tersebut ma'ruf, kita artikan sepatutnya (yang patut).
Yaitu pergaulan yang diakui baik dan patut oleh masyarakat umum, tidak menjadi buah mulut orang karena buruknya. Tegakkanlah suatu pergaulan yang bersopan santun, yang menjadi suri teladan kepada orang kiri kanan.
Agama tidaklah memberi perincian bagaimana coraknya pergaulan yang patut dan ma'ruf. Itu diserahkan kepada sinar iman yang ada dalam dada kita sendiri dan bergantung pula kepada kebiasaan di tiap-tiap negeri dan di tiap masa. Sebab, yang ma'ruf sudah boleh dihubungkan dengan pendapat umum.
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Pergaulan yang ma'ruf ialah bahwa engkau pakai di hadapan istrimu pakaian yang bersih, bersisir rambut yang teratur, dan berhias secara laki-laki." Menurut riwayat Ibnul Mundzir dari Ikrimah, tafsir-tafsir bergaul dengan ma'ruf ialah pergaulilah mereka dengan persahabatan yang baik, sediakan, pakaiannya dengan rezekinya yang patut.
Berkenaan dengan penafsiran Ibnu Abbas tadi, teringatlah kita akan perbuatan Nabi kita yang dapat menyenangkan istrinya. Beliau mempunyai sebuah kotak kecil untuk menyimpan sisir beliau, sikat gigi (siwak), dan minyak wangi. Rambut beliau selalu harum sehingga lantaran itu semuanya suasana Nabi dengan istrinya selalu gembira. Beliau benci kepada orang yang kotor, yang kainnya jarang dicuci.
Untuk ini semuanya, Rasulullah telah meninggalkan satu pesan demikian bunyinya,
“Yang sebaik-baik kamu ialah orang yang baik terhadap ahlinya (istrinya) Dan aku adalah seorang yang baik terhadap ahliku. “
Perhatikan pulalah salah satu doa yang dipercontohkan Allah, yaitu doa hamba-hamba Allah yang Rahman di dalam pergaulannya dengan anak istrinya. Tersebut dalam surah al-Furqaan ayat 74,
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, kurniakanlah kami dari istri-istri kami dan anak keturunan kami penawar mata (penenang hati), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang muttaqin. (Yakni imam bagi orang-orang yang bertakwa kepada tuhan)'“ (al-Furqaan: 74)
Penawar mata, di Minangkabau disebut orang pamenan mato, obat jerih pelerai demam, sidingin tampal di kepala. Melihat istri yang taat, hati pun senang. Melihat yang memenuhi harapan, kesusahan ayah terobat. Itulah kekayaan yang sejati.
Istri-istri Rasulullah, terutama Aisyah dan ikut juga Ummi Salamah menceritakan kehidupan Rasulullah dalam pergaulan dengan istrinya. Aisyah pernah dibawanya menonton orang Habsyi mengadakan suatu permainan di depan masjid, sedang Aisyah meletakkan dagunya di atas bahu Nabi. Ummi Salamah menceritakan bahwa pernah beliau berebut air wudhu dari satu timba dengan beliau.
Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah meriwayatkan satu hadits dari Aisyah bahwa pernah beliau menciumnya padahal beliau sedang berwudhu. Ketika datang waktu shalat, beliau terus saja shalat. Dalam satu hadits lagi Ummi Salamah mengatakan bahwa beliau pernah menciumnya ketika berwudhu dan dalam puasa. Puasa beliau terus dan shalat beliau terus.
Kita kemukakan hal ini, yang dari satu pihak dapat dijadikan alasan bahwa tidak batal wudhu mencium istri, dan dari pihak lain dapatlah kita ambil pelengkap tafsir ayat menyuruh menggauli istri dengan ma'ruf.
Yang lebih mengharukan lagi ialah bahwa pergaulan yang ma'ruf beliau pegang sampai dekat ajalnya akan sampai. Meskipun beliau telah dalam sakit, tetapi beliau tetap menggiliri rumah-rumah istrinya, padahal kakinya tak dapat diangkatnya lagi. Satu kali telanjur mulutnya, “Sudah di rumah siapa aku sekarang?" Maklumlah istri-istrinya itu bahwa beliau ingin menceritakan sakitnya di rumah Aisyah. Lantaran itu bersepakatlah semua untuk mengizinkan beliau di rumah Aisyah saja di dalam selama sakit. Di rumah Aisyah-lah, di atas haribaan istrinya itu beliau mengembuskan napas yang penghabisan.
Inilah yang wajib menjadi teladan bagi seorang Muslim dalam hidup berumah tangga. Jangan meniru adat jahiliyyah sebagai tersebut tadi, yang menyakiti hati perempuan, mempersempit langkahnya, cemburu tak menentu, bakhil, dan muka merengut berkerut saja. Sehingga rumah tangga dibuat jadi neraka dunia oleh kerut kening penghuninya sendiri. Kemudian, datanglah lanjutan ayat,
“Dan sekiranya kamu tidak senang kepada mereka, (maka bersabarlah) kanena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."
Ayat ini telah menembus perasaan hati manusia, terutama hati seorang suami. Perempuan yang mana pun dalam dunia ini mesti ada saja kekurangannya, ada saja cacat celanya, tidak ada kekecualiannya. Ada saja cacatnya yang tidak menyenangkan hati suaminya. Maklumlah perempuan adalah manusia, bukan malaikat. Akan tetapi, Allah telah memberikan tuntunan yang jitu sekali. Bahwa bukan saja istri kita sendiri yang menjadi teman hidup kita setiap hari, bahkan disebut, dia adalah pakaian kamu, dan kamu pun adalah pakaiannya, sebagai tersebut ketika membicarakan soal puasa dalam surah al-Baqarah. Bukan saja istri sendiri, bahkan segala yang kita temui da-lam kegiatan hidup kita, ada saja yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, kemudiannya akan ternyata bahwa itulah yang baik bagi kehidupan kita. Berapa banyak orang besar-besar berubah kemajuan di dalam hidupnya karena bantuan istrinya yang tidak dikenal. Kalau kita tidak sabar melihat suatu cacat, lalu kita tinggalkan dan kita buangkan dan kita pindah lagi kepada yang lain, di tempat yang lain itu pun kita akan bertemu yang tidak menyenangkan hati. Dalam kita mencoba-coba dan menyesuaikan diri dengan yang baru itu, akan tampak pula cacatnya. Tiba-tiba umur pun di dalam mencari-cari mana yang tidak cacat, mana yang sesuai, telah lanjut jua. Allah menjelaskan di ujung ayat bahwasanya dalam kesabaranmu menghadapi cacat yang tidak memuaskan hati apabila kamu telah membina rumah tangga terimalah nasibmu itu dan tetapkanlah tujuan hidup. Kekurangan yang ada pada istrimu, moga-moga dalam perjalanan hidup kelak akan dapat engkau bimbing dengan baik yang lebih sempurna.
Ayat ini adalah pendidikan yang mendalam sekali, yang dapat dijadikan pedoman dalam menegakkan rumah tangga. Kita sendiri sebagai laki-laki ada cacatnya, sebagaimana istri kita pun ada cacatnya. Seorang yang belajar dari pengalamannya dapatlah meyakinkan bahwasanya dua raga dan jiwa yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan. Yang satu akan mengimbuhi. Pergaulan yang telah berjalan bertahun-tahun akan membentuk jiwa yang dua menjadi satu. Suami istri yang telah bergaul berpuluh tahun akhirnya menuju kepada persamaan dan per-seimbangan. Jika semula nikah si suami seorang yang pemarah dan si istri seorang yang sangat dingin perasaan, akhirnya dalam pergaulan bertahun-tahun si suami akan berangsur menjadi seorang yang dingin perasaan dan si istri berangsur menjadi pemarah. Kata ahli ilmu jiwa, sampai pun kepada “sunnah" yaitu raut muka dan pandangan mata dan keduanya menjadi serupa. Kedua kekurangan yang lengkap-melengkapi itu akan berkesan pula kepada anak-anak. Kian lama kian nyata kesatuan pandangan hidup dan kesatuan rasa. Suami istri yang telah hidup bertahun-tahun sampai jadi satu perasaan. Jika suami dalam perjalanan ke negeri lain, di suatu hari akan merasa kurang enak perasaan. Sebabnya dia tidak tahu. Kemudian, setelah pulang baru dia tahu bahwa ketika perasaannya tidak enak di perantauan itu, memang istrinya di rumah ditimpa sakit. Demikianlah pula sebaliknya. Seorang ibu akan berkata kepada anak-anaknya. Barangkali ayah kalian ditimpa celaka di rantau orang. Anaknya bertanya. Di mana ibu tahu. Si ibu menjawab bahwa ada tanda-tanda yang didapatnya dalam perasaannya sendiri. Setelah si ayah pulang, dan timbul tanya ternyata yang dirasakan istrinya memang kejadian.
Ada laki-laki yang sebentar beristri, lalu bercerai, dan lalu menikah lagi. Tiap-tiap istrinya tidak memuaskannya karena ada saja cacatnya, Lantaran itu, sampai tuanya dia tidak pernah merasakan ketenangan hati. Yang lepas hanyalah nafsu mudanya. Padahal syahwat zaman muda berbatas juga adanya. Pada masa tua, niscaya jasmani ruhani sudah meminta ketenteraman diri dan itu hanya akan didapat pada pergaulan yang telah dihias antara suami istri puluhan tahun. Kedua belah pihak sudah mengetahui kemauan masing-masing sehingga jiwa laksana sudah berpadu jadi satu.
Imam Ghazali di dalam al-Ihya menulis panjang lebar menyuruh sabar menanggungkan akhlak istri.
Ayat 20
“Dan jika kamu bermaksud mengganti seorang istri dengan istri lain."
Artinya bahwa jika terpaksa juga bercerai dengan yang lama dan akan mengganti dengan istri yang baru. Adapun sebab-sebabnya bercerai adalah urusan pribadi sendiri. Entah bersalah entah tidak, tidak ada orang lain yang akan campur tangan karena hal itu bergantung kepada pertimbangan masing-ma sing. “Padahal telah kamu berikan kepada salah seorang mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu ambil sedikit pun dari harta itu." Janganlah demikian kasar budimu sehingga lantaran istri kamu ceraikan, lalu harta-harta pemberianmu selama ini, entah perhiasan, entah pakaian, entah alat rumah tangga yang telah kamu berikan sebagai pemberian kepadanya janganlah kamu ambil kembali. Mengambil kembali harta yang telah diberikan kepada istri karena istri diceraikan, bukanlah akhlak orang yang beriman.
“Apakah (patut) kamu mengambilnya dengan cara yang mengejutkan itu dan dosa yang nyata?"
Ujung ayat berbunyi pertanyaan, “Adakah patut perbuatan itu?" Kamu telah mengejutkan dia dengan talak, lalu harta yang telah dimilikinya diambil pula. Di sini kalimat buhtanan kita artikan mengejutkan. Talak yang diterimanya tiba-tiba dalam pergaulan yang demikian mesra, cuma karena kamu akan “mengubah-ubah selera" akan beristri baru adalah amat mengejutkan. Buhtanan berarti juga dusta besar! Memang bercerai cara demikian sama juga dengan membohongi diri sendiri. Sebab, perubahan ketenteraman rumah tangga, yang diperintah oleh agama, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah hanyalah meninggali istri harta benda, mut'ah, mengobat hatinya yang luka, bukan mencabut kembali barang yang telah diberikan. Di ayat ini ditegaskan, syai'an artinya sedikit pun jangan diambil. Dia dibelikan gelang, subang, dokoh, dan sebagainya. Mungkin cincin dua tiga bentuk; sebentuk pun jangan diambil yang dimilikinya. Bukan saja hal ini mengejutkan bahkan adalah salah satu dosa yang besar.
Setengah ahli tafsir menafsirkan kalimat buhtanan yang berarti dusta atau kebohongan besar ini ialah menilik dari perangai setengah laki-laki ketika dia menceraikan istrinya. Kalau orang bertanya mengapa perempuan itu diceraikan, timbullah berbagai dusta yang dikarang-karang, menyebut cela dan cacat jandanya. Kadang-kadang yang tidak masuk akal. Laki-laki yang berbudi tidak akan berbuat demikian.
Apa sebab bahwa ini dusta yang mengejutkan dan dosa yang besar? Ini dijelaskan lagi oleh lanjutan ayat, yang juga mengandung pertanyaan,
Ayat 21
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya, padahal telah berpadu sebagian kamu kepada yang sebagian?"
Ayat yang berupa pertanyaan ini, bagi orang yang beriman hendaklah menjadi pengertian yang mendalam. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih halus daripada ini untuk orang yang beriman! Sampai hati kamu mengambilnya kembali, padahal sudah sekian lama kamu bersuami istri dengan dia? Telah berpadu. Telah engkau pakai dia dan telah dipakainya engkau. Tidakkah engkau ingat bahwa sekian lama engkau berkasih mesra dengan dia, engkau sebagai laki-laki dan dia sebagai perempuan? Apalah harganya barang-barang itu jika diingat bahwa sari istrimu telah engkau ambil? Apatah lagi, akan menjadi dosa yang lebih lagi mengejutkan jika kelak barang-barang itu akan engkau hadiahkan pula kepada istrimu yang baru.
Ditambah lagi oleh Allah dengan peringatan yang lebih mendalam,
“Dan telah mereka ambil dari kamu janji yang benar."
Memang, setengah orang yang hendak mendirikan rumah tangga, terutama pada zaman modern ini telah mengikat janji terlebih dahulu, bahwa mereka akan sehidup semati. Bahkan meskipun sejak zaman dahulu, sebelum kaum perempuan pandai menyatakan perasaan hatinya kepada bakal suami, semua lisanul hal, perkataan tentang keadaan, menunjukkan bahwa mulai pernikahan diikatkan, janji telah dipadu. Bila seorang perempuan telah mengetahui si fulan akan suaminya, diterimanya itu dengan hati syukur dan mengharaplah dia hidupnya akan bahagia dengan bakal suaminya.
Dengan senang hidupnya dengan kedua ayah bundanya, sekarang hidup yang demikian dilepaskanny, karena ingin hidup yang lebih berbahagia dengan bakal suaminya. Badan dan nyawalah yang diserahkannya kepada suaminya,
Bila runtuh kota Melaka, pagar di Jawa beta tarahkan;
Jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa beta serahkan...!
Kehormatannya diberikan kepada suaminya. Si suami pun telah menyerahkan diri menyambut nasibnya dan membina hidup berumah tangga. Dalam khayatnya akan hidup rukun, sampai mati salah seorang. Sekarang tiba-tiba hancur segala harapan itu, dia diceraikan dan barang-barangnya diambil pula.
Sungguh perbuatan ini amat nista, bukan perangai orang beriman. Yang akan berbuat begini hanya orang jahiliyyah atau orang yang mengakui Islam, padahal budinya budi jahiliyyah.
Sayyid Rasyid Ridha telah menuliskan tafsir ayat ini secara romantis,
“Bagaimana engkau sampai hati mengambil barang kepunyaannya, yang dahulu telah engkau berikan kepadanya. Padahal engkau telah pernah bersatu padu dengan dia, menurut yang ditempuh oleh tiap-tiap suami istri sehingga tercapailah arti yang sebenarnya persuamiistrian. Yang satu telah memakai yang lain sehingga seakan-akan kamu berdua tidak akan berpisah lagi untuk selama-lamanya. Dari persatupaduan itu menurunlah anak; dan anak itu adalah paduan darah sari kamu berdua. Adakah pantas sesudah mencapai puncak kebahagiaan yang demikian, lalu kamu yang laki-laki yang datang lebih dahulu dan menghubungi lebih dahulu, kamu yang memutuskan hubungan besar itu, lalu kamu sebagai orang yang kuat mengambil barangnya dari tangannya karena ingin akan dipergunakan untuk yang lain?"
Lalu, Sayyid Rasyid Ridha menyalinkan sebuah syair Arab, menggambarkan suasana perceraian yang amat menyedihkan,
Telah pernah kita selapik seketiduran berdua, tak ada orang ketika di antara kita.
Laksana dua ekor burung merpati, sama bertengger, atau laksana dua dahan berpalun.
Apakah sesudah pertemuan yang begitu mesra, dan kasih telah tertumpah keseluruhannya. Apakah pantas, engkau tinggalkan daku seorang diri, begini sunyi Begini sepi...!
Teringat pula penulis tafsir ini pantun talibun Minangkabau, yang dipantunkan oleh seorang istri yang diceraikan suami hanya karena si suami ingin mencari yang baru,
Dahulu ramai pekan Ahad,
‘rang jual talang kami beli,
‘rang jual ke Bukittinggi, kiri disurih buah pala, alangkah rimba padi Jambi...
Dahulu kata semufakat,
Bukit ‘lah sama kita daki, lurah ‘lah sama diterjuni,
Kini diganjur surut saja, alangkah hiba hati kami...!
Bila kita bertemu ayat-ayat langsung dari Al-Qur'an, amat mendalamlah kesan yang ditinggalkannya di dalam hati kita. Betapa halus Al-Qur'an mendidik budi dan kemesraan rumah tangga. Jauh bedanya daripada jika kita hanya membaca peraturan-peraturan yang kaku dan gersang dalam kitab-kitab fiqih.
Dalam surah al-Baqarah ayat 229 telah dibayangkan pula bagaimana jika terjadi, pihak perempuan sendiri yang menyerahkan harta bendanya sendiri kepada suaminya, walaupun harta itu dahulunya adalah hadiah suami juga. Ini dapat berlaku jika perempuan itu sendiri yang menebus talak, yang dinamai uang khulu'. Talak dijatuhkan oleh si suami karena permintaan si istri sendiri dengan menggantikan (‘iwadh) karena pergaulan tidak dapat diteruskan lagi. Penyerahan yang seperti ini adalah dari perdamaian berdua. Ikatan terpaksa dibuka kembali karena ternyata tidak dapat diteruskan, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
(22) Janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan sejahat-jahat jalan.
(23) Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu, saudara-saudara perempuan ayah, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan saudara laki-laki, anak-anak perempuan saudara perempuan, ibu-ibumu yang pernah menyusui kamu, saudara-saudara perempuan kamu sepesusuan, ibu-ibu istri-istrimu, anak-anak perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu, yang telah kamu campuri. Akan tetapi, jika belum kamu campuri mereka, maka tiada halangan atas kamu. Dan istri-istri anak kandungmu laki-laki; dan (jangan) kamu mengumpulkan dua saudara perempuan,
Sekarang mulai diterangkan mana perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi, yang disebut mahram. Sebelum disebut satu demi satu, terlebih dahulu diberantas adat jahiliyyah yang buruk sekali, yaitu menikahi janda ayah.
Ayat 22
“Janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu."
Itulah ibu tiri atau yang disebut orang Jakarta mak kwalon.
Ada riwayat bahwa setelah Islam datang, pada zaman Rasul, sebelum ayat turun, masih ada orang yang menikahi ibu tirinya, sesudah ayahnya mati. Aswad bin Khalaf menikahi janda ayahnya. Shafwan bin Umayyah bin Khalaf pun menikahi janda ayahnya, Fakhtah binti al-Aswad bin al-Muthalib. Manzhur bin Raiab menikahi janda ayahnya yang bernama Mulaikah binti Kharijah.
Setelah ayat ini bersama ayat yang sebelumnya, tentang mewarisi perempuan dengan paksa diturunkan, sebagai larangan keras, tanggallah nikah mereka semuanya. Ibnu Abbas berkata, “Tiap-tiap perempuan yang telah pernah jadi istri ayahmu, apakah sudah engkau campuri atau belum, haramlah dia bagi engkau."
“Kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau." Artinya yang telah telanjur pada zaman lampau, hal itu tidak diperkatakan lagi. Namanya adat jahiliyyah, yang sekarang dihapuskan. Kemudian, diterangkan bahwa menikahi perempuan bekas pakaian ayah kandung sendiri adalah perbuatan yang hina.
“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji." yang berakal. “Dibenci (Allah), dan sejahat-jahat jalan."
Tampak benar bahwa engkau tidak dapat mengendalikan nafsumu. Mungkin ibu tirimu masih muda, sudah jatuh hatimu kepadanya sejak ayahmu masih hidup, lalu engkau intai-intai selama menanti ayahmu mati, lalu engkau nikahi. Jijik! Jijik sekali engkau memasukkan zakarmu ke dalam faraj yang telah pernah dimasuki oleh zakar ayahmu.
Sesudah diterangkan bahwa perbuatan itu amat keji, dimurkai Allah sehingga zaman jahiliyyah sendiri pun orang yang berbuat begitu digelari orang si rnuqit, artinya si durhaka. Untuk merekan lagi kekejian perbuatan itu, datanglah ayat 23 menjelaskan siapa-siapa perempuan yang haram dinikahi dengan mendahulukan ibu. Sebab, seorang perempuan yang telah pernah jadi istri ayahmu pun adalah ibumu juga.
“Diharamkan atas kamu" menikahinya “ibu-ibu kamu." Itulah yang pertama sekali diharamkan. Yang kedua,
Ayat 23
“Anak-anak perempuan kamu."
Perihal ibu kandung dan anak perempuan kandung, sudahlah nyata sehingga tidak perlu keterangan lagi. Yang ketiga, “Saudara-saudara perempuan ayahmu." Baik saudara-saudara perempuan ayah yang seibu sebapak dengan beliau, atau sebapak saja atau seibu saja. Dalam bahasa Arab disebut ‘ammah (laki-laki ‘ammi) “Saudara-saudara perempuan ibumu." Baik seibu sebapak, atau sebapak saja, atau seibu saja. Dalam bahasa Arab disebut khalah. Segala anak perempuan nenek laki-laki dan anak perempuan nenek perempuan adalah mahram semua. “Anak-anak perempuan saudara laki-laki," kamu. Baik anak perempuan saudara laki-lakimu seibu sebapak, atau seibu saja, atau sebapak saja. Semua adalah laksana anakmu juga, haram kamu nikahi. “Anak-anak perempuan saudara perempuan"kami, baik saudara perempuan seibu sebapak dengan kamu atau hanya seibu saja atau sebapak saja. Dalam bahasa Minang, ini yang dinamai kemenakan.
Ibu-ibumu yang telah pernah menyusui kamu." Inilah satu mahram tambahan yang dikatakan oleh ketentuan syara' Bahwasanya perempuan yang telah pernah kita cucut air susunya, telah menyusui kita sebagai anaknya sendiri, jadilah dia ibu kita pula; haram dinikahi. Itulah sebabnya, setelah Bani Sa'ad dapat dikalahkan dalam Peperangan Hunain, dibawa oranglah seorang perempuan tua ke hadapan Rasulullah (usia Rasul ketika itu telah 62 tahun) sebagai tawanan. Ternyata perempuan itu ialah Halimah as-Sa'diyah yang menyusui beliau waktu kecil. Dengan terharu disuruhnya perempuan itu duduk ke atas hamparan tempat beliau duduk. Tidak dia usir karena dipandang masih najis. Sebagaimana Ummi Habibah menyentakkan hamparan kedudukan Nabi yang sedang diduduki ayahnya, tempo ayahnya datang ke Madinah hendak mencari jalan damai. Setelah perempuan tua itu duduk, Nabi kita duduk ke hadapan haribaannya, lalu beliau sandarkan kepalanya ke atas dada beliau. Sehingga terbayanglah kembali peristiwa 60 tahun yang lalu, ketika Nabi kita masih dalam asuhan dan penyusuan perempuan itu di desa Bani Sa'ad. Beliau tanyakan kepadanya dari hal saudara-saudara sepesusuannya. Rupanya ada yang telah mati dan ada yang masih hidup. Yang masih hidup itu ada yang turut datang sekarang mengharapkan belas kasih beliau. Dengan ini beliau telah memberikan teladan bagaimana mengasihi seorang ibu yang telah pernah kita minum dan kita cicip air susunya.
“Saudara-saudara perempuan kamu se-pesusuan."
Karena itu yang menyusui telah dihukumkan sebagai ibu kandung, niscaya sekalian saudara yang telah turut mengecap, mencicip air susu itu dengan sendirinya telah jadi saudara pula, tidak boleh dinikahi lagi.
Termasuk pulalah di sini dengan sendirinya saudara lain yang sama-sama menyusu dari perempuan yang telah menyusuinya. Seumpama hubungan sepesusuan antara Rasul ﷺ dengan pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib yang syahid dalam Perang Uhud. Pada waktu sama-sama menyusu Nabi dan Hamzah sama disusui oleh seorang perempuan bernama Tsuaibah, hamba sahaya Abu Lahab. Hamzah mati meninggalkan seorang anak perempuan yang sudah patut dinikah. Lalu ditawarkan orang kepada Rasulullah ﷺ supaya beliau sudi menikah dengan anak Hamzah itu. Beliau tolak dengan sabdanya,
“Dia tidaklah halal untukku, sebab dia adalah anak saudaraku sepesusuan. Haramlah, karena sepesusuan sebagaimana haram karena seketurunan." (HR Bukhari dan Muslim dari lbnu Abbas)
Pernah pula seseorang bertanya kepada lbnu Abbas tentang dua orang perempuan bersaudara. Seorang antaranya menyusui seorang anak perempuan dan yang seorang lagi menyusui seorang anak laki-laki, bolehkah anak laki-laki itu menikahi anak perempuan tadi. lbnu Abbas menjawab, “Tidak boleh! Karena pesusuan satu."
Tersebut pula dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga bahwa Nabi pernah bersabda,
“Sesungguhnya penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan oleh kelahiran." (HR Bukhari dan Muslim)
Lantaran itu, suami perempuan yang menyusui seorang anak perempuan menjadi ayahlah bagi yang disusui itu, tidak pula boleh mereka menikah.
Di dalam satu hadits Aisyah lagi yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang sahabat muda bernama Aflah meminta izin hendak bertemu langsung dengan Aisyah.
Bersabdalah Rasulullah ﷺ kepada Aisyah,
“Izinkanlah si Aflah saudara Abui Qa'is masuk, karena dia adalah paman engkau. “ (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah ﷺ berkata demikian karena istri Abui Qa'is waktu Aisyah masih kecil pernah menyusuinya. Sedangkan Abui Qa'is, karena istrinya pernah menyusui Aisyah, jadilah bapaknya. Karena itu, Aflah saudara Abui Qa'is menjadi paman bagi Aisyah.
Pendeknya, yang telah dikerjakan turun-temurun dalam Islam jelaslah bahwa perempuan yang pernah menyusui seseorang, jadi ibulah baginya. Sekalian anak perempuan itu, karena telah sama-sama mengisap air susu-nya, jadi saudaralah bagi yang disusui, meskipun semua berlain-lain bapaknya. Suami perempuan yang menyusui itu jadi bapaklah bagi anak yang disusui, demikian juga saudara laki-laki bapak susu semua jadi pamannya. Saudaranya yang perempuan jadi uncunya pula, kalau dia laki-laki. Artinya tidak boleh dia nikah dengan saudara perempuan ibunya. Anak-anak perempuan saudaranya perempuan sepesusuan itu pun tidak boleh lagi dinikahinya. Akan tetapi, saudara yang menyusu, tidaklah haram nikah dengan saudara sepesusuannya karena tidak ada pertalian air susu lagi antara mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah awas benar-benar dan dicatat serta dikenangkan baik-baik kalau terjadi penyusuan atas anak orang lain itu, walaupun anak itu disusui misalnya oleh babu pembantu rumah tangga supaya jangan berkacau kelak.
Pada zaman kita ini, setelah ada klinik-klinik tempat menolong perempuan bersalin, kerap kali juru rawat menampung beberapa air susu perempuan yang berlebih, lalu dijadikan persediaan untuk membantu perempuan ha-bis melahirkan yang kekurangan air susu. Kadang-kadang tidak diketahui lagi air susu keluar masuk dalam rumah Abu Huzaifah dan sulitlah dia berhubungan dengan ibu angkatnya, istri Abu Huzaifah. Sedang kedua suami istri itu telah memandang Salim sebagai putra. Tidak ada lagi rasa apa-apa karena sejak kecil dibesarkan. Setelah datang ayat larangan anak angkat, istri Abu Huzaifah datang mengadukan halnya kepada Nabi. Menilik riwayat sahabat-sahabat Rasulullah, kita mengenal bahwa ketiga orang ini: Abu Huzaifah, istrinya dan Salim adalah sahabat-sahabat yang mempunyai mutu iman yang tinggi belaka. Abu Huzaifah sudah berkeberatan Salim masuk rumah, meskipun selama ini dianggap anak. Karena taat kepada perintah Rasul dan Salim pun telah segan pula masuk. Diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Nabi ﷺ menyuruh Salim mencucut susu Ummi Huzaifah sampai lima kali. Berkata setengah ulama hadits bahwa Ummi Huzaifah sampai menampung air susunya dengan cangkir dan diminum oleh Salim sampai lima kali tampungan. Sejak itu Salim dianggap sudah jadi anak susu Ummi Huzaifah dan Abu Huzaifah.
Kata setengah ulama hadits, kejadian pada Salim ini telah martsukh. Sebab, hal itu terjadi ketika baru hijrah ke Madinah, masyarakat Islam baru saja diatur. Kata setengah ulama lagi soal menyusu Salim ini adalah satu khu-suslah (dispensasi/pengecualian) Dari Nabi untuk Salim saja, tidak berlaku untuk umat seluruhnya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak berlaku nasikh dan tidak berlaku khususiah, melainkan dapat dipakai terus apabila terdapat hubungan kekeluargaan yang sudah sebagai anak kandung dengan ibu kandung antara seorang pemuda dengan ibu yang mengasuhnya dari kecil. Dengan sebab air susu ibu itu telah dicucut atau diminum, berartilah sudah jadi seperti ibu kandung, sudah haram nikah dan sudah tidak berat lagi peraturan keluar masuk dalam rumah.
perempuan yang mana karena semuanya sama saja. Oleh karena pada zaman dahulu belum ada pengumpulan air susu itu, niscaya pada zaman sekarang soal seperti ini termasuk masalah yang harus ditinjau, menjadi bagian ijtihadiah. Mungkin kalau tidak diketahui lagi susu dari perempuan yang mana, tidaklah menjadikan hubungan sepesusuan kalau dibagikan kepada seorang anak. Karena yang terpenting dalam hadits-hadits Nabi ialah si anak itu sendiri yang mencicip, tetapi susu perempuan itu, bukan susu banyak perempuan yang tidak dicucut dicicip, tetapi dimasukkan di dalam botol susu. Sungguh pun begitu kekacauan keturunan, yang menjadi pokok dalam ajaran Islam.
Tentang berapa kalikah anak itu menyusu baru dianggap anak pesusuan, jadi perbincangan pula antara ahli-ahli ilmu fiqih. Dalam perbincangan yang mendalam antara ulama-ulama salaf dan khalaf itu, ada yang mengatakan walaupun sekali, sudah disebut ibu pesusuan; yang lain mengatakan lima kali; dan yang lain pula mengatakan tiga kali. Antara sekalian riwayat itu, yang lebih kuat untuk dipegang, ialah menyusukan sampai lima kali.
Jadi perbincangan pula tentang tempo menyusu. Karena Al-Qur'an dalam beberapa ayat menerangkan bahwa batas waktu menyusui anak ialah dua tahun. Kalau anak telah besar dan tidak patut menyusu lagi, tidaklah menyebabkan ibu yang menyusui itu jadi mahram. Akan tetapi, pernah kejadian satu hal dalam kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yaitu Abu Huzaifah pada zaman dahulu mengangkat seorang budaknya bernama Salim menjadi anak angkat, sebagaimana Nabi kita ﷺ memerdekakan Zaid bin Haritsah lalu beliau angkat jadi anak. Akan tetapi, kemudian datang larangan Allah terhadap meneruskan adat anak angkat sehingga Salim tidak leluasa lagi di dalam rumah Abu Huzaifah.
KARENA HUBUNGAN PERNIKAHAN
“Ibu-ibu istri-istrimu," yaitu yang kita sebut mertua perempuan. Akan tetapi, ibu tiri istri atau saudara perempuan mertua tidaklah menjadi mahram pula. Sehingga kalau ayah istri kita meninggal, lalu kita menikah dengan adik ibu mertua, tidaklah mengapa. Atau meninggal mertua kita yang laki-laki, lalu kita nikahi ibu tiri istri kita dan kita permadukan dengan istri kita, tidaklah mengapa.
“Anak-anak perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu yang telah kamu campuri." Itu yang kita sebut anak tiri atau anak tepatan. Haramlah anak perempuan itu kita nikahi kalau habis nikah dengan ibunya, kita telah menyetubuhi ibunya itu, “Tetapi jika belum kamu campuri mereka, tiadalah halangan atas kamu." Misalnya sehabis ibunya kita nikahi, belum sempat bercampur, istri itu telah meninggal dunia. Tidaklah mengapa kita nikahi anaknya karena tidak jadi dengan ibunya. Akan tetapi, kalau sudah pernah kita campuri lalu kita bercerai dan sehabis bercerai janda kita itu mati, tidaklah boleh anak itu dinikahi sebab dia telah jadi mahram kita ter-sebab pernah kita menyetubuhi ibunya.
“Dan istri-istri anak kandungmu laki-laki." Lantaran anak laki-laki datang dari sulbi kamu, niscaya anak dari anakmu, yaitu cucu dan anak dari cucu, cucu pula dari cucu sampai ke bawah adalah turunan langsung darahmu, sebab itu segala istri mereka mahramlah bagi kamu, haram kamu nikahi.
“Dan (jangan) kamu mengumpulkan dua saudara perempuan." Artinya, jangan kamu permadukan dua perempuan yang bersaudara, baik bersaudara seibu sebapak ataupun bersaudara sebapak saja, atau seibu saja. Su-dahlah dapat kita maklumi mengapa yang demikian itu terlarang. Ialah karena dua perempuan yang bermadu jaranglah terlepas dari bersakitan hati. Dilaranglah membuat persakitan hati dua perempuan yang bersaudara karena memperebutkan kasih sayang
suami. Dalam hal ini, dan berdasar kepada ayat ini sama pulalah pendapat sekalian ulama bahwa haram mengumpulkan seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya. Lain halnya jika istri telah bercerai atau me-ninggal dunia, jika diganti dengan adik atau kakaknya. “Kecuali (kejadian pada masa)yang telah lampau." Artinya dimaafkan Allah, jika pada zaman jahiliyyah sebelum kamu mengerti peraturan ini engkau nikahi dua orang perempuan bersaudara, itu dimaafkan oleh Allah. Akan tetapi, jika telah memeluk Islam, segeralah ceraikan salah seorang antara keduanya. Sebagai lanjutan ampunan Allah yang telah telanjur dahulu itu, anakmu dengan pe-rempuan yang kamu ceraikan itu tetap sah jadi anakmu dan tetap berhak menerima warismu jika kamu meninggal dunia.
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Dosa yang terdahulu itu diampuni oleh Allah, sebab waktu itu kamu belum tahu. Lalu sekarang kamu telah hidup dalam Islam. Diberinya kamu peraturan yang baik tentang pernikahan dan ketentuan mahram, karena sayang-Nya kepada kamu.
Berkenaan dengan anak angkat dan se-pesusuan tadi, terutama tentang kejadian pada Salim Maula Abu Huzaifah, yang diizinkan Rasulullah mencicip atau meminum air susu Ummi Huzaifah, teringatlah penafsir ini kepada salah seorang muridnya yang mendapat didikan Barat.
Dia telah menikah lebih dari 25 tahun, tetapi belum pernah dikurniai anak oleh Allah. Dia telah mengambil anak angkat menurut kebiasaan Barat. Lalu saya beri keterangan kepada mereka suami istri bahwa anak itu bisa saja dijadikan anak angkat karena air susu walaupun telah besar. Anak perempuan karena disusui menjadi mahram ayah angkatnya dan anak laki-laki menjadi mahram ibu angkatnya. Akan tetapi pertalian karena air susu itu tidaklah mengubah pembagian harta karena faraidh.
Anak yang mendapat ibu angkat—karena meminum air susu ibu itu—jika si ibu mati, tidaklah mendapat bagian dari harta si ibu atau harta si bapak pesusuan itu, kecuali dengan jalan wasiat. Dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah harta.
Selesai Tafsir Juz 4 dengan Kurnia dan Hidayah Allah Pada Hari Rabu, 25 Muharram 1385 26 Mei 1965
Sedang dalam Tahanan Di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta.