Ayat
Terjemahan Per Kata
وَعِبَادُ
dan hamba-hamba
ٱلرَّحۡمَٰنِ
Maha Pengasih
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَمۡشُونَ
(mereka) berjalan
عَلَى
di atas
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
هَوۡنٗا
rendah hati
وَإِذَا
dan apabila
خَاطَبَهُمُ
mengajak omong-omong mereka
ٱلۡجَٰهِلُونَ
orang-orang jahil/bodoh
قَالُواْ
mereka berkata
سَلَٰمٗا
keselamatan
وَعِبَادُ
dan hamba-hamba
ٱلرَّحۡمَٰنِ
Maha Pengasih
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَمۡشُونَ
(mereka) berjalan
عَلَى
di atas
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
هَوۡنٗا
rendah hati
وَإِذَا
dan apabila
خَاطَبَهُمُ
mengajak omong-omong mereka
ٱلۡجَٰهِلُونَ
orang-orang jahil/bodoh
قَالُواْ
mereka berkata
سَلَٰمٗا
keselamatan
Terjemahan
Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.”
Tafsir
(Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu) yakni hamba-hamba-Nya yang baik. Lafal ayat ini dan kalimat sesudahnya, berkedudukan menjadi Mubtada, yaitu sampai dengan firman-Nya, "Ulaika Yujzauna" dan seterusnya, tanpa ada jumlah lain yang menyisipinya (yaitu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) dengan tenang dan rendah diri (dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka) mengajak mereka berbicara mengenai hal-hal yang tidak disukainya (mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan) perkataan yang menghindarkan diri mereka dari dosa.
Tafsir Surat Al-Furqan: 63-67
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati; dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kehinaan yang kekal. Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Berikut ini adalah sifat-sifat hamba-hamba Allah Yang beriman, yaitu: orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. (Al-Furqan: 63) Yaitu dengan langkah yang tenang dan anggun, tidak sombong, dan tidak angkuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra: 37), hingga akhir ayat. Cara jalan mereka tidak sombong, tidak angkuh, tidak jahat, dan tidak takabur.
Tetapi makna yang dimaksud bukanlah orang-orang mukmin itu berjalan dengan langkah seperti orang sakit, karena dibuat-buat dan pamer. Karena sesungguhnya penghulu anak Adam (yakni Nabi ﷺ) apabila berjalan seakan-akan sedang turun dari tempat yang tinggi (yakni dengan langkah yang tepat) seakan-akan bumi melipatkan diri untuknya. Sebagian ulama Salaf memakruhkan berjalan dengan langkah yang lemah dan dibuat-buat, sehingga diriwayatkan dari Umar bahwa ia melihat seorang pemuda berjalan pelan-pelan.
Maka ia bertanya, "Mengapa kamu berjalan pelan? Apakah kamu sedang sakit?" Pemuda itu menjawab, "Tidak, wahai Amirul Mu-minin." Maka Umar memukulnya dengan cambuk dan memerintahkan kepadanya agar berjalan dengan langkah yang kuat. Makna yang dimaksud dengan haunan dalam ayat ini ialah rendah hati dan anggun, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ: Apabila kalian mendatangi (tempat) salat (masjid), janganlah kalian mendatanginya dengan berlari kecil, tetapi berjalanlah dengan langkah yang tenang.
Apa yang kalian jumpai dari salat itu, kerjakanlah; dan apa yang kamu tertinggal darinya, maka sempurnakanlah. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Umar ibnul Mukhtar, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna finnan-Nya: Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 63), hingga akhir ayat. Bahwa orang-orang mukmin adalah orang-orang yang rendah hati demi Allah, pendengaran dan penglihatan serta semua anggota tubuh mereka menampilkan sikap yang rendah hati; sehingga orang yang jahil menduga mereka sebagai orang yang sakit, padahal mereka sama sekali tidak sakit.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sehat, tetapi hati mereka dipenuhi oleh rasa takut kepada Allah, tidak seperti selain mereka; dan mereka tidak menyukai dunia karena pengetahuan mereka tentang akhirat. Maka mereka mengatakan dalam doanya, "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami." Ingatlah, demi Allah, kesusahan mereka tidaklah seperti kesusahan manusia. Tiada sesuatu pun yang menjadi dambaan mereka selain dari memohon surga.
Sesungguhnya mereka menangis karena takut terhadap neraka. Sesungguhnya barang siapa yang tidak berbelasungkawa dengan belasungkawa Allah, maka jiwanya akan dicabut meninggalkan dunia dalam keadaan kecewa. Dan barang siapa yang tidak melihat nikmat Allah selain hanya pada makanan atau minuman, maka sesungguhnya amalnya akan sedikit dan azabnya akan datang menimpanya. Firman Allah ﷻ: dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Al-Furqan: 63) Yaitu apabila orang-orang jahil menilai mereka sebagai orang-orang yang kurang akalnya yang diungkapkannya kepada mereka dengan kata-kata yang buruk, maka mereka tidak membalasnya dengan hal yang semisal, melainkan memaafkan, dan tidaklah mereka mengatakan perkataan kecuali yang baik-baik.
Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ; semakin orang jahil bersikap keras, maka semakin pemaaf dan penyantun pula sikap beliau. Dan seperti yang disebutkan oleh firman Allah ﷻ dalam ayat yang lain: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya. (Al-Qasas: 55) "] Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Al-A'masy, dari Abu Khalid Al-Walibi, dari An-Nu'man ibnu Muqarrin Al-Muzani yang mengatakan bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki mencaci maki lelaki lainnya di hadapan Rasulullah ﷺ, lalu orang yang dicaci mengatakan, "'Alaikas salam (semoga engkau selamat)." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu.
Setiap kali orang itu mencacimu, malaikat itu berkata, "Bahkan kamulah yang berhak, kamulah yang berhak dicaci.Dan apabila kamu katakan kepadanya, 'Alaikas salam," maka malaikat itu berkata, "Tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya. Sanad hadis berpredikat hasan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Al-Furqan: 63) Mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka menjawab dengan kata-kata yang baik. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, mereka mengatakan, "Salamun 'alaikum (semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian)." Jika mereka dinilai sebagai orang yang kurang akalnya, maka mereka bersabar. Mereka tetap bergaul dengan hamba-hamba Allah di siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka dengar. Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah.
Allah ﷻ berfirman: Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (Al-Furqan: 64) Yakni mengerjakan ketaatan dan beribadah kepada-Nya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Az-Zariyat: 17-18) Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. (As-Sajdah: 16), hingga akhir ayat. Dan firman Allah ﷻ: ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (Az-Zumar: 9), hingga akhir ayat. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami.
Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. (Al-Furqan: 65) Yaitu tetap dan abadi. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan dengan makna garaman ini, melalui salah satu bait syairnya: ..... Jika dia (orang yang disanjung penyair) menyiksa, maka siksaannya terus-menerus lagi tetap; dan jika dia memberi dengan pemberian yang banyak, ia tidak peduli (berapa pun banyaknya). Al-Hasan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sesungguhnya azab Jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal. (Al-Furqan: 65) Segala sesuatu yang menimpa anak Adam, lalu lenyap darinya, tidak dapat dikatakan garam.
Sesungguhnya pengertian garam itu tiada lain bagi sesuatu yang kekal selagi ada bumi dan langit. Hal yang sama dikatakan oleh Sulaiman At-Taimi. Muhammad ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sesungguhnya azab Jahanam itu adalah kebinasaan yang kekal. (Al-Furqan: 65) Yakni mereka tidak merasakan nikmat hidup di dunia ini. Sesungguhnya Allah ﷻ menanyakan kepada orang-orang kafir tentang nikmat (yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka). Mereka tidak dapat mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Maka Allah menghukum mereka, lalu memasukkan mereka ke dalam neraka.
Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Al-Furqan: 66) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Malik ibnul Haris yang mengatakan bahwa apabila seseorang dilemparkan ke dalam neraka, maka ia terjatuh ke dalamnya. Dan apabila sampai pada salah satu pintunya, dikatakan kepadanya, "Tetaplah di tempatmu, kamu akan diberi jamuan terlebih dahulu." Maka ia diberi minum racun ular hitam dan kalajengking.
Perawi mengatakan bahwa lalu kulit, rambut, urat, dan otot-ototnya pecah. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan, "Sesungguhnya di dalam neraka benar-benar terdapat sumur-sumur yang di dalamnya terdapat ular-ular yang besarnya seperti unta, dan kalajengking-kalajengking yang besarnya seperti begal yang besar.
Apabila ahli neraka dilemparkan ke dalam neraka, maka ular-ular dan kalajengking-kalajengking itu keluar dari tempat persembunyiannya menuju kepada mereka, lalu menggigit dan mematuki kulit dan rambut mereka sehingga daging mereka sampai ke telapak kaki tersayat. Dan apabila ular-ular dan kalajengking-kalajengking itu merasakan panasnya neraka, maka mereka kembali ke tempatnya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Musa, tela' menceritakan kepada kami Salam ibnu Miskin, dari Abu Zhalali, dari Anas ibnu Malik r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya ada seorang hamba di dalam neraka Jahanam berseru selama seribu tahun dengan mengucapkan, "Ya hannan Ya Mannan " (Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, wahai Tuhan Yang Maha Pemberi anugerah).
Maka Allah ﷻ berfirman kepada Jibril, "Pergilah kamu dan bawalah hamba-Ku itu. Jibril berangkat, dan ia menjumpai ahli neraka dalam keadaan terjungkal seraya menangis. Lalu Jibril kembali menghadap kepada Tuhannya, dan menceritakan kepada-Nya apa yang telah dilihatnya. Allah ﷻ berfirman, "Bawalah dia kepada-Ku, sesungguhnya dia berada di tempat anu. Maka Jibril membawa orang tersebut dan memberdirikannya di hadapan Allah ﷻ Allah berfirman, "Hai hamba-Ku, bagaimanakah kamu jumpai tempat tinggal dan tempat peristirahatanmu? Si hamba menjawab, "Wahai Tuhanku, benar benar tempat yang buruk dan tempat peristirahatan yang buruk. Maka Allah ﷻ berfirman, "Kembalikanlah hamba-Ku (ke tempatnya). Si hamba berkata, "Wahai Tuhanku, setelah Engkau keluarkan daku dari neraka, daku sama sekali tidak berharap untuk dikembalikan kepadanya. Maka Allah ﷻ berfirman, "Biarkanlah hamba-Ku. Firman Allah ﷻ: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir. (Al-Furqan: 67) Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi.
Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 67) Seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. (Al-Isra: 29), hingga akhir ayat. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isham ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Tamim Al-Gassani, dari Damrah, dari Abu Darda, dari Nabi ﷺ yang telah mengatakan: Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya.
Akan tetapi, mereka (Ahlus Sunan) tidak ada yang mengetengahkannya. [] Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Miskin ibnu Abdul Aziz Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin. Mereka (Ahlus Sunan) tidak ada yang mengetengahkan hadis ini. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Sa'd ibnu Hakim, dari Muslim ibnu Habib, dari Bilal Al-Absi, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan berkecukupan, dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan fakir, dan betapa baiknya sikap ekonomis (pertengahan) dalam (hal) ibadah.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis Huzaifah r.a. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa membelanjakan harta dijalan Allah tidak ada batas berlebih-lebihan. Iyas ibnu Mu'awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Selain dia mengatakan bahwa berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta itu bila digunakan untuk berbuat durhaka kepada Allah ﷻ"
Jika pada ayat-ayat yang lalu disebutkan sifat-sifat orang kafir yang tidak mau bersujud kepada Allah, pada ayat berikut ini disebutkan ciri dan sifat 'Ib'durrahm'n atau para pengabdi Allah. Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati tidak dibuat-buat, tapi berjalan secara wajar, tidak menyombongkan diri, dalam sikap dan tindakan, karena dia tahu bahwa sikap itu tidak terpuji, akan mengakibatkan hal-hal yang negatif dalam pergaulan. Dan apabila orang-orang bodoh yang tidak tahu nilai-nilai sosial kemasyarakatan menyapa mereka dengan kata-kata yang menghina, atau kasar, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang semisal, namun dengan penuh sopan dan rendah hati mereka mengucapkan 'sal'm,' yang berarti mudah-mudahan kita berada dalam keselamatan, damai, dan sejahtera. Nabi Muhammad telah memberikan contoh sendiri, bahwa semakin dikasari, beliau semakin santun, arif dan bijaksana. 64. Sifat 'ib'durahman berikutnya adalah senantiasa salat malam, dan orang-orang yang menghabiskan atau menggunakan sebagian waktu malamnya terutama waktu sepertiga malam terakhir, untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan mereka yang telah memelihara mereka dengan bersujud dan berdiri. Beribadah pada saat itu betul-betul mencerminkan keikhlasan, hati lebih khusyuk, lebih konsentrasi kepada Sang Khalik.
Sifat-sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih dijelaskan mulai ayat 63 ini dan ayat-ayat berikutnya. Sifat-sifat itu semua dapat disimpulkan menjadi 9 sifat yang bila dimiliki oleh seorang muslim, dia akan mendapat keridaan Allah di dunia dan di akhirat, serta akan ditempatkan di posisi yang tinggi dan mulia yaitu di surga Na'im. Sifat-sifat tersebut ialah:
Pertama: Apabila mereka berjalan, terlihat sikap dan sifat kesederhanaan, mereka jauh dari sifat kesombongan, langkahnya mantap, teratur, dan tidak dibuat-buat dengan maksud menarik perhatian orang atau untuk menunjukkan siapa dia. Itulah sifat dan sikap seorang mukmin bila ia berjalan. Allah berfirman:
Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. (al-Isra'/17: 37)
Kedua: Apabila ada orang yang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau tidak senonoh terhadap mereka, mereka tidak membalas dengan kata-kata yang serupa. Akan tetapi, mereka menjawab dengan ucapan yang baik, dan mengandung nasihat dan harapan semoga mereka diberi petunjuk oleh Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Penyayang. Demikian pula dengan sikap Rasulullah bila ia diserang dan dihina dengan kata-kata yang kasar, beliau tetap berlapang dada dan tetap menyantuni orang-orang yang tidak berakhlak itu.
Al-hasan al-Basri menjelaskan bahwa orang-orang mukmin senantiasa berlapang hati, dan tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar. Bila kepada mereka diucapkan kata-kata yang kurang sopan, mereka tidak emosi dan tidak membalas dengan kata-kata yang tidak sopan pula. Mungkin ada orang yang menganggap bahwa sifat dan sikap seperti itu menunjukkan kelemahan dan tidak tahu harga diri, karena wajar bila ada orang yang bertindak kurang sopan dibalas dengan tindakan kurang sopan pula. Akan tetapi, bila direnungkan secara mendalam, pasti hal itu akan membawa pertengkaran dan perselisihan yang berkepanjangan. Setiap mukmin harus mencegah perselisihan dan permusuhan yang berlarut-larut. Salah satu cara yang paling tepat dan ampuh untuk membasminya ialah dengan membalas tindakan yang tidak baik dengan tindakan yang baik sehingga orang yang melakukan tindakan yang tidak baik itu akan merasa malu, dan sadar bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang tidak wajar. Sikap seperti ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fussilat/41: 34-35).
Demikianlah sifat dan sikap orang-orang mukmin di kala mereka berada di siang hari di mana mereka selalu ingat dengan sesama hamba Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
‘Ibadur Rahman
Untuk meresapkan ayat-ayat ‘Ibadur Rahman ini ke dalam jiwa, bacalah dengan penuh khusyu' ayat yang sebelumnya, yang telah ditafsirkan di atas tadi."Dialah, Tuhan, yang telah mempergantikan di antara malam dengan siang." Apabila hal itu diperhatikan dan direnungkan, timbullah ingatan akan kebesaran Ilahi (zikir) dan akan timbullah rasa syukur.
Pergantian siang dengan malam, pertemuan hari dengan bulan dan bulan dengan tahun. Matahari terbit dan matahari terbenam, memperlihatkan pula putaran roda nasib dalam dunia fana ini. Kadang-kadang ada bintang naik dan kadang-kadang ada bintang jatuh. Usia manusia laksana terbitnya bulan, sejak bulan sabit sampai bulan pemama dan sampai susut bulan. Banyak yang kita dapat baca dalam pergantian malam dengan siang itu. Ada bangsa jatuh, ada bangsa naik dan kemudian tiba giliran bagi yang jatuh buat bangkit kembali, semuanya berlaku dalam siang dan dalam malam. Dengan pergantian malam dengan siang itulah kita mengumpulkan sejarah dalam ingatan kita.
Tak ada pergantian malam dengan siang, niscaya tak ada apa yang dinamai sejarah. Bila menilik pergantian di antara malam dengan siang, akan timbullah ingatan atas kekuasaan Tuhan (zikir). Tidak ada artinya dan nilainya pergantian malam dengan siang itu bagi orang yang tidak menyediakan jiwanya buat mengenAl Tuhan dan mensyukuri nikmatNya.
Apabila zikir dan syukur telah tumbuh dalam hati, mulailah terasa bahwa kehidupan makhluk seluruhnya, termasuk kehidupan kita sendiri, tidaklah pemah terlepas daripada kasih-sayang dan kemurahan Tuhan. Ke mana saja pun mata memandang. Rahman Ilahi akan jelas nampak. Rahman Ilahi meliputi segala. Terasalah kecil diri di hadapan kebesaranNya, dan bersedialah kita dengan segala kerelaan hati buat menjadi hamba dari Tuhan Pemurah itu. Orang-orang yang insaf itulah ‘Ibadur Rahman.
Keinsafan siapa diri di hadapan Kemurahan Tuhan menimbulkan kesukarelaan mengabdi dan berbakti. Dasarnya ialah Zikr dan Syukr membentuk peri-badi sehingga tumbulah “tokoh-tokoh" ‘Ibadur Rahman itu.
Adalah di dalam ayat-ayat akhir Surat “al-Furqan" ini Tuhan mewahyukan kepada Rasul tentang sifat-sifat, karakter, sikap hidup dan pandangan hidup dari ‘Ibadur Rahman.
Pertama sekali ialah sebagai yang dijelaskan pada ayat 63: Orang yang berhak disebut ‘Ibadur Rahman (Hamba-hamba daripada Tuhan Yang Maha Murah), ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi Allah dengan sikap sopan-santun, lemah-lembut, tidak sombong dan tidak pongah. Sikapnya tenang.
Bagaimana dia akan menyangkat muka dengan sombong, padahal alam di kelilingnya menjadi saksi atasnya bahwa dia mesti menundukkan diri. Dia adalah laksana padi yang telah berisi, sebab itu dia tunduk. Dia tunduk kepada Tuhan karena insaf akan kebesaran Tuhan dan dia rendah hati terhadap sesamanya manusia, karena dia pun insaf bahwa dia tidak akan sanggup hidup sendiri, di dalam dunia ini. Dan bila dia berhadapan, bertegur sapa dengan orang yang bodoh dan dangkal fikiran, sehingga kebodohannya banyaklah katanya yang tidak keluar daripada cara berfikir yang teratur, tidaklah dia lekas marah, tetapi disambutnya dengan baik dan diselenggarakannya. Pertanyaan dijawabnya dengan memuaskan, yang salah dituntunnya sehingga kembali ke jalan yang benar. Orang semacam itu pandai benar menahan hati.
Dalam ayat 64 diterangkan lagi sifat-sifatnya yang lain. Yaitu kesukaannya ialah bergadang, tidak banyak tidur di waktu malam, karena dia hendak melakukan sujud dan berdiri, tegasnya sembahyang mengingat Tuhan dan membuat hubungan kontak dengan Tuhan. Laksana jiwanya itu sebagai suatu dinamo yang selalu diisi dengan kekuatan yang baru, hampir setiap malam.
Pada sembahyang malam itulah sumber kekuatannya. Dia mengenal Tuhan demi melihat bekas RahmanNya, dan sebab itu dia selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Lantaran itu pula maka jiwanya yang tadinya tidak berdaya (la haulAl dan tidak berupaya (la quwwatAl, dengan sebab Tahajjud (sembahyang malam), dia berdaya kembali dan dia pun berupaya.
Ayat 65
Dia pun berdoa (ayat 65) agar kiranya terlepas daripada azab siksa neraka jahannam, karena azab neraka jahannam adalah membawa kepiluan jiwa. Permohonan seorang Mu'min agar terlepas daripada a2ab siksa neraka, adalah gejala daripada kerendahan hati tadi, tersunyi daripada kesombongan. Dia insaf bahwa dia manusia yang tidak suci daripada lengah dan lalai, selalu dipengaruhi oleh hawanafsu dan diancam oleh perdayaan syaitan. Hanyalah perlindungan diri kepada Ilahi jua yang akan melepaskan seseorang daripada siksaan itu.
Seorang ‘Ibadur Rahman tidaklah merasa bahwa dia telah mengerjakan suruhan Tuhan dengan menghentikan larangannya saja, sudah terjamin bahwa dia akan masuk ke dalam syurga dan terlepas daripada azab neraka. Seorang beriman memandang dosanya, betapa kecil sekalipun, adalah laksana orang duduk di bawah naungan sebuah bukit, yang merasa seakan-akan bukit itu selalu akan menimpa dirinya.
Kemudian pada ayat 67 diterangkan lagi sikap hidup sehari-hari seorang ‘Ibadur Rahman itu, yaitu apabila dia menafkahkan hartabendanya tidaklah dia ceroboh, royai dan berlebih daripada ukuran yang mesti, tetapi tidak pula sebaliknya, yaitu bakhil (kikir), melainkan dia berlaku sama tengah. Tidak dia ceroboh royal sehingga hartabendanya habis tidak menentu, karena pertimbangan fikiran yang kurang matang, tidak memikirkan hari depan. Dan tidak pula dia bakhil, karena bakhil pun adalah satu penyakit. Dia berusaha mencari hartabenda ialah pemagar maruah, penjaga kehormatan diri. Hartabenda dicari ialah buat dipergunakan sebagaimana mestinya, bukan mencari harta yang harus diperbudak oleh harta itu sendiri. Maka dua sikap itu, royal dan bakhil, terhadap hartabenda adalah alamat jiwa yang tidak “stabil". Keroyalan dan berbelanja lebih daripada keperluan, menjadi alamat bahwa jika orang ini ditimpa bahaya karena kehabisan harta itu kelak, dia akan dapat menjaga keseimbangan dirinya lagi, Dan orang yang bakhil menjadi putus hubungannya dengan masyarakat, karena dia salah pilih di dalam meletakkan cinta. Kalau di waktu yang penting hartabenda ditahan keluarnya, karena bakhil, maka suatu waktu kelak hartabenda itu akan terpaksa dikeluarkan juga mau ataupun tidak mau. Seorang yang bakhil ditimpa sakit keras, doktor menasihatkan supaya dia berobat, supaya dia tetirah (istirahat) ke tempat yang berhawa sejuk berobat meminta belanja banyak. Kalau dia tidak berobat, dia akan mati. Karena takui akan mati, hartabenda itu dikeluarkan pengobat diri, padahal di waktu sedang sihat dia tidak merasai nikmat harta itu.
Timbullah hidup yang “Qawaaman", yang sama tengah di antara royal dan bakhil, tidak lain sebabnya ialah karena kecerdasan fikiran yang telah terlatih. Memandang bahwa hartabenda semata-mata pemberian Tuhan yang harus dirasai nikmat pemakaiannya, dan dijaga pula jangan sampai dipergunakan untuk yang tidak berfaedah.
Hartabenda amat perlu. Kita hendaklah kaya supaya dapat membayar Zakat dan Naik Haji. Sedang zakat dan haji adalah dua di antara 5 tiang (rukun) dari Islam.
Ayat 64
Perjuangan agama, jihad, meminta pengurbanan harta dan jiwa. Dan bila membaca urutan ayat bangun bergadang tengah malam (ayat 64), dan takut akan siksa neraka jahannam (ayat 65 dan 66) disambungkan lagi dengan ayat melarang royal dan melarang bakhil, nampaklah bahwa Hamba Allah Yang Pemurah itu mempertalikan keteguhan batinnya dengan sembahyang tengah malam, dengan usaha mencari hartabenda untuk dinafkahkan. Satu dengan lainnya tiada terpisah.
Kemudian itu datanglah ayat 68, menyatakan bahwa seorang Hamba Tuhan Pemurah itu tidaklah menyeru atau berbakti pula kepada Tuhan lain, selain Allah. Dalam ayat itu bertemu tiga hal yang amat dijauhi oleh Hamba Allah yang sejati itu. Pertama tidak memperserikatkan Tuhan dengan yang lain, kedua tidak membuwuh akan suatu nyawa yang diharamkan Allah, kecuali menurut hak-hak yang tertentu, dan ketiga tidak berbuat zina.
Sebagai urut-urutan ayat-ayat yang tersebut sebelumnya, kehidupan seorang Muslim itu adalah tali berjalin tiga. Pertama kepercayaan akan keesaan Tuhan, menjadi Ummat Tauhid yang sejati. Kalimat Tauhid membentuk satu pandangan yang luas, yaitu bahwa seluruh makhluk Allah ini, terutama sesama manusia adalah bersama diberi hak hidup oleh Tuhan di dalam dunia. Kita tidak berhak mencabut nyawa sesama manusia, kita tidak berhak membunuh. Baik membunuh orang lain ataupun membunuh diri sendiri. Karena membunuh artinya ialah merampas hak hidup satu nyawa.
Maka dirumuskanlah oleh ahli-ahli penyelidik agama tentang maksud yang sebenarnya dari satu masyarakat Islam. Hukum Islam berdiri ialah guna memelihara hartabenda, nyawa dan masyarakat. Seorang hanya boleh dibunuh atas keputusan Hakim, atas suatu kesalahan yang patut dibayarnya dengan nyawanya. Itulah yang disebut Hukum Qishash. Dan karena bertemu kegagalan di dalam hidup, seseorang tidak boleh membunuh dirinya. Di dalam Hadis-hadis Nabi diberikan penjelasan bahwa seorang yang mati karena mem-bunuh dirinya, tidak boleh diselenggarakan jenazahnya menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Islam.
Seorang Hamba Allah sejati pun tidak melakukan zina. Zina adalah perhubungan setubuh yang di luar nikah, atau yang tidak sah nikah. Karena maksud kedatangan agama adalah guna mengatur keturunan. Kelahiran ke dunia adalah menurut pendaftaran yang sah. Jelas hendaknya bahwa si anu adalah anak si fulan. Perhubungan kelamin laki-laki dengan perempuan adalah termasuk keperluan hidup dan hajatnya. Agama mengatur hubungan kelamin itu dengan nikah-kawin dan ditentukan pula perkawinan yang terlarang, yaitu dengan yang disebut mahram, sebagai tersebut di Surat 4 ali imran ayat 23-24.
Maka di dalam ayat 68 dan 69 dijelaskanlah bahwasanya orang yang memperserikatkan Tuhan dengan yang lain, atau menyeru pula akan Tuhan selain Allah dan membunuh sesama manusia termasuk diri sendiri dan berzina, adalah orang-orang itu akan bertemu dengan hukuman. AL-Qur'an menentukan hukuman bagi si pembunuh sesama manusia, jiwa bayar dengan jiwa. Al-Qur'an pun menegaskan hukum bagi pezina, karena orang berzina adalah mengacau-baiaukan masyarakat. Orang yang kedapatan berzina akan dihukum, sebagaimana dahulu telah dijelaskan perincian hukuman ini dalam Surat an-Nur. Surat al-Furqan diturunkan di Makkah. Dosa zina diterangkan sebagai dosa jiwa. Setelah di Madinah berdiri masyarakat Islam, bagi zina diadakan hukuman badan. Setelah mereka menerima hukumannya yang setimpal di dunia ini, setelah mereka mati akan mendapat siksa berlipat-ganda lagi dan ditimpa pula oleh kehinaan.
Ayat 70 dan 71 menjelaskan bahwa pintu taubat senantiasa terbuka. Betapa pun kerasnya Hukum Tuhan, namun pintu taubat selalu dibukakan. Di samping kekerasan HukumNya, Tuhan pun adalah mengampun dan pengasih.
TAUBAT adalah kesadaran diri atas kesalahan yang pernah dibuat. Dalam sudut hati sanubari manusia tersimpanlah suatu perasaan yang murni, kesadaran bahwa yang salah tetaplah salah. Manusia berjuang dengan hawa-nafsunya sendiri untuk menegakkan kebenaran. Dia harus berjuang dengan hawanafsu itu. Bertambah keras cita menegakkan yang benar bertambah keras pula rayuan nafsu buat melanggar suara kebenaran itu. Tetapi selalulah timbul sesal apabila telah terlanjur menuruti hawanafsu. Hati sanubari senantiasa meratap, memekik, menjerit ingin lepas dari belenggu hawanafsu. Pada saat yang demikian perjuangan batin itu maha hebat. Manusia jijik dengan kesalahannya sendiri. Di saat yang demikian berkehendaklah kepada suatu IRADAH, kemauan yang keras sebagai waja. Di hadapannya terbuka satu pintu, yaitu pintu taubat. Tuhan memberi kesempatan, memanggil, supaya dia lekas keluar dari kesulitan itu. Kekuatan iradahnya menyebabkan dia taubat. Arti taubat ialah kembali kepada jalan yang benar.
Dilepaskan diri dari belenggu hawanafsu itu dan dengan kemauan yang keras, dia masuk ke dalam pintu taubat itu dan dia tidak menolehkan mukanya lagi kepada jalan raya kesalahan yang selama ini telah ditempuhnya. Dia sekarang benar-benar merasai kebebasan jiwa karena lepas dari belenggu. Dia sekarang menempuh hidup yang baru. Maka di dalam ayat 70 itu dijelaskan bahwa taubat yang berjaya ialah taubat yang dituruti oleh amalan yang shalih. Sebab yang taubat itu ialah hati sanubari, bukan semata-mata taubat di mulut. Taubat ialah keinsafan, bukan permainan. Maka akibat atau konsekwensi dari taubat ialah “mengamalkan amal yang shalih", artinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Pertukaran haluan hidup daripada kejahatan kepada menuruti suara batin yang mumi adalah kemenangan batin yang tiada taranya. Selama diri bergelimang dalam dosa, selama itu pula batin tertekan dan hidup jadi gelisah. Kadang-kadang meremuk-redamkan jiwa sendiri.
Dan bukan sedikit telah terjadi, bahwasanya dosa yang mengyanggu jiwa, menyebabkan jiwa menjadi sakit, dan sakit jiwa mempengaruhi pula kepada jasmani. Itulah neraka dalam hidup. Itulah yang disebut di ujung ayat 68: “Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu akan berjumpalah dia dengan dosa." Dan itulah neraka dalam hidup.
Maka dapatlah difahami satu ceritera yang dahulu pernah kita terangkan panjang lebar dalam Surat an-Nur, bahwasanya seorang yang terperosok berbuat zina pernah datang sendiri kepada Rasulullah s. a.w. mengakui perbuatannya dan minta dihukum. Meskipun dia tahu bahwa hukum zina adalah rajam (ditimpuk dengan batu sampai mati), jiwanya merasa puas menerima hukuman itu. Apalah artinya siksa badan, dibandingkan dengan kepuasan jiwa? Karena dosa rasa tertebus?
Maka taubat kepada Allah hendaklah dituruti langsung oleh amal, oleh kerja dan usaha, Sisa umur digunakan untuk beramal, agar sakit derita jiwa karena tekanan dosa yang telah lalu dapat diobati atau dilupakan Di situlah terdapat isi-mengisi di antara batin dengan anggota. Batin bertambah insaf dan sadar, lantaran itu atnal pun bertambah banyak. Bertambah banyaknya amal menambah kepuasan jiwa.
“Bagi mereka nikmat Allah, karena hasil usaha mereka sendiri."
Maka orang-orang yang demikian' beransurlah merasai nikmat hidup baru.
“Akan diganti Allah amal-amal yang buruk selama ini dengan berbagai ragam kebajikan."
Kadang-kadang pun terdapatlah orang yang dahulunya durjana, seakan-akan kebenaran tidak akan masuk ke dalam hatinya, lalu dia bertaubat. Setelah dia taubat, dia mendapat kemajuan besar dalam perkembangan jiwa iman. Maka berkatalah setengah ahli Tashawuf, bahwasanya orang yang menyesali din karena pernah berdosa, kadang-kadang lebih suci hati dan lebih murni amalnya daripada orang yang berbangga karena merasa diri tidak pernah berdosa.
Diulang Tuhan sekali lagi dalam ayat 71, bahwasanya orang yang bertaubat disertai amalan shalih. Tuhan memberikan taubat untuknya sebenar-benarnya taubat.
Setelah itu datanglah ayat 72, sebagai lanjutan penegasan dari sifat-sifat ‘Ibadur Rahman itu. Yaitu orang yang tidak suka memberikan kesaksian palsu. Atau mengarang-ngarangkan ceritera dusta untuk menjahannamkan orang lain. Dan mereka itu, apabila berjalan di hadapan orang yang sedang bercakap mengkosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, perkataan-perkataan yang tidak bertanggungjawab, dia pun berialu saja dari tempat itu dengan baik. Dia menjaga agar dirinya jangan masuk terikat ke dalam suasana yang tidak berfaedah. Usia manusia adalah terlalu singkat untuk dibuang-buang bagi pekerjaan yang tidak berfaedah. Dia keluar dari tempat itu dengan sikap yang mulia dan tahu harga diri, sehingga sikapnya yang demikian meninggalkan kesan yang baik mendidik orang-orang yang bercakap kosong itu.
“Laghwi" dalam bahasa Arab ialah omong kosong, cakap tak tentu ujung pangkal, sehingga menjatuhkan martabat budi pekerti yang melakukannya. Inilah yang disebut oleh orang Deli “membual", oleh orang Jakarta “ngobrol" dan oleh orang Padang “ma-hota", atau oleh daerah lain disebut juga “memburas".
Pertama melakukan kesaksian dusta, kedua obrolan yang tidak tentu ujung pangkal, amatlah membahayakan dan menjatuhkan mutu masyarakat. Karena kesaksian dusta di muka Hakim, seorang jujur tak bersalah bisa teraniaya, terhukum dalam hal yang bukan salahnya. Dan bisa pula membebaskan orang yang memang jahat dari ancaman hukuman. Kesaksian dusta di muka hakim adalah termasuk dosa besar yang payah dimaafkan.
Kata-kata yang “laghivi" cakap kosong, omong kosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, tidaklah layak menjadi perbuatan daripada ‘Ibadur Rahman. Seorang hamba Tuhan Pemurah mempunyai disiplin diri yang teguh. Lebih baik berdiam diri daripada bercakap yang tidak ada harganya. Kalau hendak bercakap juga, isilah lidah dengan zikir, menyebut dan mengingat nama Allah.
Selanjutnya dalam ayat 73 diterangkan lagi sifat ‘Ibadur Rahman itu, ialah apabila mereka mendengar orang menyebut ayat-ayat Tuhan, tidaklah mereka bersikap acuh tak acuh seakan-akan tuli ataupun buta.
Sebenarnya kata kebenaran adalah ayat dari Tuhan. Apabila orang menyebut kebenaran, meskipun dia tidak hafal ayat al-Qur'annya ataupun Hadisnya, maka seorang Hamba dari Tuhan Pemurah akan mendengarkannya dengan penuh minat; tidak dia akan menulikan telinganya dan tidak dia akan membutakan matanya. Seorang yang beriman mempertimbangkan nilai kata yang benar dan mentaatinya, sebab Kebenaran adalah suara Tuhan. Apatah lagi kalau bunyi ayat dari al-Qur'an telah didengar. Hidupnya telah ditentukan buat menjunjung tinggi Kalimat Ilahi. Betapa dia akan menulikan telinga dan membutakan matanya?
Cahaya kebenaran bukan saja memasuki jendela hatinya. Dia belum merasa cukup kalau sekiranya ahli rumahnya, anaknya dan isterinya belum merasai kehidupan yang demikian pula Oleh sebab itu tersebutlah pada ayat 74 bahwa ‘Ibadur Rahman itu senantiasa bermohon kepada Tuhannya agar isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat jerih pelerai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapa pun shalih dan hidup beragama bagi seseorang ayah, belumlah dia akan merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya. Seorang suami pun demikian pula. Betapa pun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dari isteri, hati suami pun akan luka juga. Keseimbangan kemudi dalam rumahtangga adalah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup Muslim adalah hidup Jamaah, bukan hidup yang nafsi-nafsi.
Di dalam Hadis Rasulullah s.a.w. ada dikatakan:
“Dunia ini adalah perhiasan hidup, dan sebaik-baik perhiasan dunia itu ialah isteri yang shalih."
Berjuta milyar uang pun, berumah, bergedung indah, bermobil kendaraan model tahun terakhir, segala yang dikehendaki dapat saja karena kekayaan, semuanya itu tidak ada artinya kalau isteri tidak setia. Kalau dalam rumahtangga si suami hendak ke hilir dan si isteri hendak ke hulu. Akhirnya akan pecah juga rumahtangga yang demikian, atau menjadi neraka kehidupan sampai salah seorang menutup mata.
Apatah lagi anak. Semua kita yang beranak berketurunan merasai sendiri bahwa inti kekayaan ialah putera-putera yang berbakti, putera-putera yang berhasil dalam hidupnya. Putera berbakti adalah obat hati di waktu tenaga telah lemah.
Apakah hasil itu? Dia berilmu dan dia beriman, dia beragama dan dia pun dapat menempuh hidup dalam segala kesulitannya, dan setelah dia besar dewasa dapat tegak sendiri dalam rumahtangganya Inilah anak yang akan menyambung keturunan. Dan inilah bahagia yang tidak habis-habisnya. Si ayah akan tenang menutup mata jika ajal sampai.
Sebagai penutup dari doa itu, dia memohon lagi kepada Allah agar dia dijadikan Imam daripada orang-orang yang bertakwa. Setelah berdoa kepada Allah agar isteri dan anak menjadi buah hati, permainan mata karena takwa kepada Allah, maka ayah atau suami sebagai penangungjawab menuntun isteri dan anak menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri agar menjadi Imam, berjalan di muka sekali menuntun mereka menuju Jalan Allah.
Doa seorang Mu'min tiadalah boleh tanggung-tanggung. Dalam rumah-tangga hendaklah menjadi Imam, menjadi ikutan. Alangkah janggalnya kalau seorang suami atau seorang ayah menganjurkan anak dan isteri menjadi orang-orang yang berbakti kepada Tuhan, kalau dia sendiri tidak dapat dijadikan ikutan?
Itulah dia — “‘Ibadur Rahman" -orang-orang yang' telah menyediakan jiwa raganya menjadi Hamba Allah dan bangga dengan perhambaan itu.
Mukanya selalu tenang dan sikapnya lemah-lembut. Mudah dalam pergaulan, tidak bosan meladeni orang yang bodoh. Bangun beribadat tengah malam, mendekatkan jiwanya dengan Tuhan. Menjauhi kejahatan karena insaf akan azab api neraka.
Tengah malam dia bangun bermunajat, bertahajjud dan memohon ampun kepada Ilahi, terdengar azan Subuh dia pun segera bersembahyang Subuh, kalau dapat hendaklah berjamaah. Tidak dia menyangkat diri karena barangkali “kelasnya" dalam masyarakat duniawi terpandang tinggi. Dia menyebarkan senyum dan sikap sopan kepada sesama manusia. Selesai sembahyang, dia pun berjalan di atas bumi Allah mencari rezeki yang telah disediakan Tuhan karena diusahakan. Dan apabila rezeki itu telah dapat, dinafkahkannya dengan baik. Tidak dia royal dan ceroboh dan tidak pula dia bakhil dan kikir. Dan bukanlah mereka, karena sangat tekunnya sembahyang malam, tak kuat lagi berusaha siang harinya.
Teguh tauhidnya sehingga tidak ada tempatnya takut dan bertawakkal, kecuali kepada Allah, tidak dia memuja kepada Tuhan yang lain, karena memang tidak ada Tuhan yang lain. Hanya Allah. Tidak membunuh bahkan tidak pemah berniat jahat kepada sesamanya manusia, suci bersih kelaminnya daripada perzinaan, dan tidak naik saksi dusta, tidak suka mencampuri omong kosong dan dia pun tekun mendengar kebenaran. Bukan dirinya dan badannya sendiri saja yang difikirkannya, bahkan isteri dan anak-anaknya pun, diberinya contoh teladan sebagai Muslim yang baik.
Ayat 75
“Mereka itulah yang akan diberi ganjaran tempat yang mulia karena sabarnya, dan dia akan disambut di tempat itu dengan penuh kehormatan dan salam bahagia." (ayat 75).
Cobalah perhatikan inti ayat 75 itu. Mereka akan diberi ganjaran tempat yang mulia, bilik atau kamar yang indah permai, ruangan yang istimewa dalam syurga karena kesabaran mereka.
Mengapa tersebut kesabaran? Sebab masing-masing orang yang berjalan menegakkan Kebenaran, menyusun kekuatan diri dan melatih batin menjadi ‘Ibadur Rahman, Hamba Allah Tuhan Pemurah, akan merasai bahwasanya menyusun program apa yang harus ditempuh adalah mudah, tetapi menjalankannya amatlah sukar. Setiap segi tanda hidup ini seorang yang beriman itu meminta percobaan, meminta pengorbanan dan kadang-kadang meminta aliran darah dan airmata.
Kesabaran berjuang menegakkan keperibadian sebagai Muslim, sebagai hamba Allah yang sadar, menyebabkan kebahagiaan jiwa, karena mendapat syurga jannatun na'im, tempat tinggal yang tenteram, kediaman yang senang dan tenang; disambut oleh Malaikat-malaikat Tuhan dengan ucapan Tahiyyat (selamat) dan Salam bahagia.
Akhimya, sebagai penutup Surat Al-Furqan ini, Tuhan dengan perantaraan RasulNya menyuruh sampaikan kepada orang-orang yang selama ini lalai dan lengah, yang belum juga mendapat peyangan hidup, belum juga melatih diri,
“Katakanlah olehmu. Tuhanku tidak akan memperhatikan kamu kalau tidaklah karena doa atau ibadat kamu. Kamu telah mendustakan. Oleh sebab itu maka siksaan Tuhan atas dirimu adalah hal yang pasti."
Tuhan telah menunjukkan jalan yang harus ditempuh oleh orang yang telah insaf akan kurnia, Rahman dan Rahim Ilahi. Orang-orang yang dapat menuruti garis yang telah ditentukan Tuhan itu patutlah merasa bahagia karena dia telah diberi peyangan hidup, diberi penjelasan ke mana dia harus menuju. Orang lain yang masih kafir dan ragu ada juga mempunyai keinginan mendapat hidup bahagia, mendapat syurga yang dijanjikan. Tetapi dalam penutup Surat ini sudah diberikan kata tegas, bahwa selama kamu masih menyembah kepada yang selain Allah, selama kamu masih mempersekutukannya dengan yang lain, selama kamu masih mendustakan seruan-seruan yang dibawa oleh Utusan Allah janganlah kamu harap nasibmu akan berubah. Jalan yang salah itu pasti berujungkan azab dan siksa.
Pasti kamu menderita kesengsaraan jiwa di dunia dan neraka jahannam di akhirat.
Pintu taubat masfh terbuka: Masuklah ke dalam pintu itu kalau kamu mau. Tetapi kalau kamu masih menuruti jalan yang salah, azab siksa adalah pasti. (Lizaman). Yang harus menentukan bukan orang lain, tetapi engkau sendiri.
Maka bagi orang yang telah mendalam perasaan cintanya kepada Tuhan dirasainyalah satu kebanggaan jiwa yang amat tinggi apabila dia membaca ayat-ayat ‘ibadur Rahman dalam Surat al-Furqan ini, atau dalam Surat yang lain yang mengandung panggilan Tuhan kepada hambaNya: “Ya Tbadi", wahai HambaKu. Pernahlah seorang hamba Allah yang saking sangat terharunya membaca “Ya ‘Ibadi", atau ‘Ibadur Rahman, keluar ilham syairnya demikian bunyinya:
Satu hal yang amat menambah banggaku dan megahku, sehingga serasa berpijak kakiku di atas Bintang Timur.
Ialah Engkau masukkan daku dalam daftar “Hai HambaKu".
Dan Engkau telah jadikan Ahmad menjadi Nabiku.
Akan terasa pulalah oleh kita nikmat menjadi Hamba Tuhan apabila syarat-syarat dan latihan hidup yang telah digariskan dalam ayat-ayat ‘iBADUR RAHMAN dapat kita kerjakan, setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. Itulah yang menentukan nilai peribadi kita sebagai Muslim.
Ayat ‘lbadur Rahman itulah cita (ideAl seorang Mu'min!
Selesai Penafsiran Surat al-Furqan
Pada pagi hari Jum'at
9 Rabi'u) Akhir 1383
30 Agustus 1963