Ayat
Terjemahan Per Kata
سَيَقُولُ
akan berkata
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang bodoh
مِنَ
dari/diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
مَا
apakah
وَلَّىٰهُمۡ
memalingkan mereka
عَن
dari
قِبۡلَتِهِمُ
kiblat mereka
ٱلَّتِي
yang
كَانُواْ
adalah mereka
عَلَيۡهَاۚ
atasnya/kepadanya
قُل
katakanlah
لِّلَّهِ
milik Allah
ٱلۡمَشۡرِقُ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ
dan barat
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
مَن
orang/siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
إِلَىٰ
kepada
صِرَٰطٖ
jalan
مُّسۡتَقِيمٖ
lurus
سَيَقُولُ
akan berkata
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang bodoh
مِنَ
dari/diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
مَا
apakah
وَلَّىٰهُمۡ
memalingkan mereka
عَن
dari
قِبۡلَتِهِمُ
kiblat mereka
ٱلَّتِي
yang
كَانُواْ
adalah mereka
عَلَيۡهَاۚ
atasnya/kepadanya
قُل
katakanlah
لِّلَّهِ
milik Allah
ٱلۡمَشۡرِقُ
timur
وَٱلۡمَغۡرِبُۚ
dan barat
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
مَن
orang/siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
إِلَىٰ
kepada
صِرَٰطٖ
jalan
مُّسۡتَقِيمٖ
lurus
Terjemahan
Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Milik Allahlah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk).”
Tafsir
(Orang-orang yang bodoh, kurang akalnya, di antara manusia) yakni orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin akan mengatakan, (Apakah yang memalingkan mereka) yakni Nabi ﷺ dan kaum mukminin (dari kiblat mereka yang mereka pakai selama ini) maksudnya yang mereka tuju di waktu salat, yaitu Baitulmakdis. Menggunakan 'sin' yang menunjukkan masa depan, merupakan pemberitaan tentang peristiwa gaib. (Katakanlah, "Milik Allahlah timur dan barat) maksudnya semua arah atau mata angin adalah milik Allah belaka, sehingga jika Dia menyuruh kita menghadap ke arah mana saja, maka tak ada yang akan menentang-Nya. (Dia memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya) sesuai dengan petunjuk-Nya (ke jalan yang lurus") yakni agama Islam. Termasuk dalam golongan itu ialah kamu sendiri dan sebagai buktinya ialah:.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 142-143
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Ayat 142
Menurut Az-Zajjaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab.
Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi.
Sedangkan menurut As-Suddi, mereka adalah orang-orang munafik.
Akan tetapi, makna ayat ini bersifat umum mencakup mereka semua.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadits berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra, bahwa Rasulullah ﷺ shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka'bah. Mula-mula shalat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah shalat Asar, dan ikut shalat bersamanya suatu kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang shalat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan shalat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah shalat bersama Nabi ﷺ menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." Maka jamaah tersebut memutar tubuh mereka yang sedang shalat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama shalat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak tahu apa yang harus kami katakan tentang mereka. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Imam Al-Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadits ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadits berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah ﷺ shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah: 144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat (Ka'bah), dan bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia; mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: ‘Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?” (Al-Baqarah: 142) Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata.” (Al-Baqarah: 142), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau ﷺ lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka'bah, maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah: 144); Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi ﷺ menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh firman-Nya: “Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?” (Al-Baqarah: 142) Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam shalatnya). Maka orang-orang Yahudi gembira melihatnya, dan Rasulullah ﷺ menghadap kepadanya selama belasan bulan, padahal di dalam hati beliau ﷺ sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim. Karena itu beliau ﷺ selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Palingkanlah mukamu ke arahnya.”(Al-Baqarah: 144) Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” (Al-Baqarah: 142) Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Banyak hadits yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah ﷺ menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau ﷺ ketika di Mekah selalu shalat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di hadapannya ada Ka'bah; sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Yerussalem). Ketika beliau ﷺ hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun (menggabungkan) kedua kiblat itu; maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur'an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya. Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi ﷺ sendiri. Yang dimaksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau ﷺ tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi ﷺ selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah ﷻ memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka'bah adalah shalat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab Shahihain melalui hadits Al-Barra Akan tetapi, di dalam kitab Imam An-Nasai melalui riwayat Abu Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa shalat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah shalat zuhur.
Abu Sa'id ibnul Ma'la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula shalat menghadap ke arah Ka'bah. Tidak hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau ﷺ shalat dua rakaat dalam shalat zuhur, turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang shalat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain. Di dalam hadits Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam shalat zuhur. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah ada berita itu, maka kaum laki-laki berpindah mengambil tempat kaum wanita dan kaum wanita berpindah mengambil tempat kaum laki-laki." Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.
Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada shalat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang melakukan shalat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah menerima wahyu tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka'bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah Ka'bah.
Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi shalat Asar, Magrib, dan Isya. Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" (Al-Baqarah: 142)
Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu'. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat." (Al-Baqarah: 142) Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. “Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115)
Adapun firman-Nya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah.” (Al-Baqarah: 177) Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebajikan bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah.
Karena itu ke mana pun kita disuruh menghadap, maka kita harus menghadap ke sana. Taat yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya. Allah ﷻ mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka'bah yang dibangun atas nama Allah ﷻ semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Ka'bah merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah ﷻ, Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu ‘Ashim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: “Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya; dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.”
Ayat 143
Firman Allah ﷻ: “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143)
Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah kiblat Ibrahim a.s. dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian." Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya.
Rasulullah ﷺ seorang yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke dalam pengertian ini salatul wusta, shalat yang paling utama, yaitu shalat Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab shahih dan lain-lainnya. Allah ﷻ menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ) merupakan umat yang terbaik; Allah ﷻ telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama ini suatu kesempitan. (maka ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam Al-Qur'an ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (Al-Hajj: 78) .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi', dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, "Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?" Nuh menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, "Apakah dia telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Maka mereka menjawab, "Kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami." Lalu ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang bersaksi untukmu?" Nuh menjawab, "Muhammad dan umatnya." Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil.
Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian.” Hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai. Dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, "Apakah nabi ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Mereka menjawab, "Tidak." Maka dikatakan kepada si nabi, "Apakah kamu telah menyampaikan(nya) kepada mereka?" Nabi menjawab, "Ya." Lalu dikatakan kepadanya, "Siapakah yang menjadi saksimu?" Nabi menjawab, "Muhammad dan umatnya." Lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya dan dikatakan kepada mereka, "Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?" Mereka menjawab, "Ya." Dan ditanyakan pula, "Bagaimana kalian dapat mengetahuinya?" Mereka menjawab, "Telah datang kepada kami Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya." Yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" (Al-Baqarah: 143).
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil.” (Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadits kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa yang ada pada Ibnu Mardawaih melalui hadits Mus'ab ibnu Sabit, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ menghadiri penyelenggaraan suatu jenazah di kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah ﷺ. Maka sebagian dari mereka mengatakan, "Demi Allah, wahai Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah diri (muslim)," dan mereka memujinya dengan pujian yang baik.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?" Maka laki-laki itu menjawab, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Kemudian Rasulullah ﷺ menghadiri pula penyelenggaraan jenazah lain di kalangan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah ﷺ. Maka sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, "Wahai Rasulullah, dia adalah seburuk-buruk manusia, jahat lagi kejam." Lalu mereka membicarakannya dengan pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada sebagian mereka, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?" Jawabnya, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Mus'ab ibnu Sabit berkata, "Pada saat itu Muhammad ibnu Ka'b mengatakan kepada kami, 'Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ itu,' kemudian ia membacakan firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143).
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadits berikut: Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia.
Lalu aku duduk di sebelah Khalifah Umar, maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, "Hal itu pasti baginya." Kemudian lewat pula suatu iringan jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah yang buruk. Maka Umar berkata, "Hal itu pasti baginya." Abul Aswad bertanya, "Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?" Umar mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu sabdanya: “Siapa pun orang muslim yang jenazahnya dipersaksikan oleh empat orang dengan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga.” Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau tiga orang?" Beliau ﷺ menjawab, "Ya, tiga orang juga." Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau oleh dua orang?" Beliau ﷺ menjawab, "Ya, dua orang juga." Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu orang.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Daud ibnul Furat dengan lafal yang sama.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda ketika di Al-Banawah: Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan orang-orang yang jahat dari kalian. Mereka bertanya, "Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Dengan melalui pujian yang baik dan sebutan yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar serta Syuraih, dari Nafi', dari Ibnu Umar dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. (Al-Baqarah: 143) Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Kami pada mulanya mensyariatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke Ka'bah. Hal ini tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan sesungguhnya dari orang-orang yang mengikutimu, taat kepadamu, dan menghadap bersamamu ke mana yang kamu hadapi." dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143) Maksudnya, murtad dari agamanya.
“Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat.” (Al-Baqarah: 143) Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah serta merasa yakin dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang didatangkan beliau hanyalah kebenaran semata yang tidak diragukan lagi. Allah ﷻ berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia memutuskan hukum menurut kehendak-Nya, Dia berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, dan me-nasakh apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah hikmah yang sempurna dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara keseluruhan.
Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman, di dalam hati mereka keyakinan dan kepercayaan bertambah kuat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).”(At-Taubah: 124-125)
“Katakanlah, Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka." (Fushshilat: 44)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
Karena itu, terbuktilah bahwa orang-orang yang teguh dalam membenarkan Rasulullah ﷺ dan tetap mengikutinya dalam hal tersebut serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah ﷻ kepadanya tanpa bimbang dan tanpa ragu barang sedikit pun, mereka adalah para sahabat yang terhormat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang mendapat predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan orang-orang Anshar, yaitu mereka yang shalat ke dua kiblat.
Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang mengerjakan shalat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi ﷺ sebuah ayat yang memerintahkan kepada Nabi ﷺ agar menghadap ke arah Ka'bah, maka menghadaplah kalian ke Ka'bah." Maka mereka pun menghadapkan dirinya ke Ka'bah.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim melalui jalur yang lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri.
Di dalam riwayat Imam At-Tirmidzi disebutkan bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka berputar, sedangkan mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka'bah. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Hammad ibnu Salimah, dari Sabit, dari Anas dengan lafal yang mirip.
Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap perintah-perintah Allah ﷻ. Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya kepada mereka (para sahabat) semua.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143) Yakni shalat kalian yang telah kalian lakukan dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka'bah. Dengan kata lain, Allah ﷻ tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu ada di sisi-Nya.
Di dalam kitab shahih disebutkan melalui Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Barra yang menceritakan: Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka?" Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya, "Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah: 143).
Hadits diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Ibnu Abbas, dan Imam At-Tirmidzi menilainya shahih.
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143) Yaitu iman kalian kepada kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan kalian kepada Nabi kalian serta mengikutinya menghadap ke arah kiblat yang lain (Ka'bah). Dengan kata lain, Allah pasti akan memberi kalian pahala keduanya, “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143) Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad ﷺ dan berpalinglah kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap, “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Di dalam kitab shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya, sedangkan dia terus berputar ke sana kemari mencari bayinya. Setelah wanita itu menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Bagaimanakah menurut pendapat kalian, akankah wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu untuk tidak melemparkannya?" Mereka menjawab, "Tentu tidak, wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ bersabda, "Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."
Setelah pada ayat yang lalu diceritakan perilaku kaum Yahudi secara umum, pada ayat ini Allah menjelaskan sikap mereka dan juga orang musyrik terkait persoalan khusus, yaitu pengalihan kiblat salat dari Baitulmakdis di Palestina ke Kakbah di Mekah. Pada saat Nabi berhijrah ke Madinah, beliau dan para sahabatnya selama 16 sampai 17 bulan melaksanakan salat menghadap ke Baitulmakdis. Pada Rajab tahun ke-2 Hijriah, Allah memerintahkan Nabi untuk menghadap ke Masjidilharam di Mekah. Tentang hal ini Allah berfirman sebagai berikut. Orang-orang yang kurang akal di antara manusia, yakni sebagian orang Yahudi dan kelompok lain, akan mengolok-olok Nabi dan kaum mukmin dengan berkata, Apakah yang memalingkan mereka, yakni kaum muslim, dari kiblat yang dahulu mereka berkiblat kepadanya' Pemberitahuan awal ini dilakukan agar Nabi dan orang-orang Islam tidak kaget jika hal itu tejadi. Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menjawab mereka. Katakanlah, wahai Rasul, Milik Allah-lah timur dan barat. Allah berhak untuk menyuruh hamba-Nya menghadap ke arah mana saja, apakah ke arah timur atau barat, karena semua arah adalah milik Allah. Mereka yang beriman dengan benar akan mengikuti seluruh perintah Allah. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Allah. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Allah yang paling mengetahui siapa yang pantas untuk mendapat petunjuk itu.
Jika Allah menjadikan Kakbah sebagai kiblat yang paling utama karena dibangun oleh bapak para nabi, yaitu Nabi Ibrahim, maka demikian pula Kami telah menjadikan kamu, umat Islam, umat pertengahan, yaitu umat terbaik yang pernah ada di bumi ini. Umat yang terbaik sangatlah pantas menjadi saksi. Tujuannya adalah agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia, yaitu ketika nanti pada hari Kiamat jika ada dari mereka yang mengingkari bahwa rasul-rasul mereka telah menyampaikan pesan-pesan Allah atau adanya penyimpangan pada ajaran mereka. Di samping itu, juga agar Rasul, Muhammad, menjadi saksi atas perbuatan kamu yaitu dengan memberikan petunjuk dan arahan-arahannya ketika masih hidup serta jalan kehidupannya juga petunjuknya ketika sudah meninggal. Allah kemudian menjelaskan tujuan pengalihan kiblat, yaitu menguji keimanan seseorang. Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Bagi mereka yang tetap istikamah dengan keimanannya, mereka akan mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik dalam pengalihan kiblat atau lainnya. Sebaliknya, bagi yang lain, mereka akan menolak dan enggan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Ihwal pemindahan kiblat memang mengundang persoalan bagi sebagian kelompok. Oleh karena itu, pemindahan kiblat itu sangat berat kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Sebagian kelompok menganggap persoalan kiblat adalah termasuk ajaran yang sudah baku, tidak bisa diubah lagi, seperti halnya tauhid. Namun, sebagian lagi, yaitu orang-orang yang istikamah dalam beriman, menganggap bahwa persoalan ini termasuk kebijakan Allah yang bisa saja berubah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
.
Ayat ini diturunkan di Medinah berkenaan dengan perpindahan kiblat kaum Muslimin dari Baitulmakdis (Masjidilaqsa) ke Baitullah (Masjidilharam). Nabi Muhammad ﷺ serta kaum Muslimin ketika masih berada di Mekah melaksanakan salat menghadap Baitulmakdis, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya; tetapi beliau mempunyai keinginan dan harapan agar kiblat tersebut pindah ke Ka'bah yang berada di Masjidilharam di Mekah. Sebab itu, beliau berusaha menghimpun kedua kiblat dengan cara menghadap ke Ka'bah dan Baitulmakdis sekaligus, dengan mengerjakan salat di sebelah selatan Ka'bah menghadap ke utara, karena Baitulmakdis juga terletak di utara.
Setelah beliau hijrah ke Medinah tentu tidak mungkin lagi untuk berbuat demikian, karena Ka'bah tidak terletak di utara kota Medinah, tidak lagi dalam satu arah dengan Baitulmakdis. Dengan demikian beliau setelah berada di Medinah hanya menghadap Baitulmakdis ketika salat. Hal itu berlangsung selama 16 bulan, dan beliau berdoa agar Allah menetapkan Ka'bah menjadi kiblat, sebagai pengganti Baitulmakdis. Beliau menengadahkan wajahnya ke langit, menantikan wahyu dari Allah ﷻ dengan penuh harapan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sebagai salah seorang hamba Allah yang berbudi luhur dan berserah diri kepada-Nya. Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini yang memerintahkan perpindahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka'bah. Ayat ini diturunkan pada bulan Rajab tahun kedua Hijri. Ayat ini sekaligus merupakan jawaban terhadap ejekan kaum musyrikin dan keingkaran orang-orang Yahudi serta kaum munafik atas perpindahan kiblat tersebut.
Orang yang mengingkari dan mengejek perpindahan kiblat, oleh ayat ini dinamakan sebagai "orang yang kurang akal" (sufaha'/pandir). Mereka mencela padahal tidak mengetahui persoalan-persoalan yang pokok dalam masalah perpindahan kiblat itu. Mereka tidak menyadari, bahwa arah yang empat, yaitu timur, barat, utara dan selatan, semuanya adalah kepunyaan Allah swt, tidak ada keistimewaan yang satu terhadap yang lain. Dengan demikian, apabila Allah memerintahkan hamba-Nya menghadap ke satu arah dalam salat, maka hal ini bukanlah disebabkan karena arah tersebut lebih mulia dari yang lain, melainkan semata-mata untuk menguji kepatuhan mereka kepada perintah dan peraturan-Nya.
Kaum Yahudi, orang musyrik dan orang munafik yang mengingkari perpindahan kiblat tersebut, oleh Tuhan disebut sebagai "orang yang kurang akal" (pandir). Mereka menanyakan alasan perpindahan itu. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan Allah untuk memberikan jawaban kepada kami dengan mengatakan bahwa semua arah kepunyaan Allah. Apabila Dia menentukan kiblat bagi kaum Muslimin, maka hal itu adalah untuk mempersatukan mereka dalam beribadah. Hanya saja orang yang kurang akal telah menjadikan batu-batu dan bangunan-bangunan tersebut sebagai pokok agama. Padahal, kelebihan dan keutamaan sesuatu arah bukanlah karena zatnya sendiri, melainkan karena ia telah dipilih dan ditentukan Allah ﷻ
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Maka siapa saja yang patuh dan menaati perintah Allah tentulah akan memperoleh petunjuk-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebaliknya orang yang ingkar dan kufur terhadap agama-Nya tentulah tidak akan memperoleh petunjuk atau hidayah-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JUZ 2
Ayat 142
“Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu, ‘Apakah yang mematingkan Mereka itu dari kiblat Merekayang telah ada Mereka padanya?'"
Setelah Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah, kiblat yang beliau hadapi ialah Baitul Maqdis. Setelah enam belas atau tujuh belas bulan, lalu dipalingkan kiblat itu ke Ka'bah. Di dalam ayat ini telah diperingatkan kepada Rasulullah ﷺ bahwa sebelum kiblat itu beralih, orang-orang yang bodoh di kalangan manusia itu akan men-jadikannya percakapan yang ribut, mengapa dialihkan kiblatnya, padahal selama ini dia berkiblat ke Baitul Maqdis. Di dalam ayat ini disebut sufahaau, sebagai kata jamak dari safih, yaitu orang-orang bodoh yang berpikiran dangkal, yang bercakap asal bercakap saja, tetapi tidak sanggup mempertanggungjawabkan apa yang diucapkannya. Mereka bercakap hanya asal keluar saja. Ada yang berkata bahwa peralihan kiblat ini ialah karena Muhammad itu berpikir kurang matang, sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap kemari. Dan, ada pula yang berkata bahwa Muhammad hendak mengajak manusia kembali kepada agama nenek moyangnya, sebab di waktu itu, di Ka'bah masih didapati berhala-berhala. Semuanya ini adalah lidah yang tidak bertulang. Maka, di dalam ayat ini Nabi diberi peringatan bahwa sebagaimana sudah terbiasa, apabila seorang rasul atau pemimpin membuat suatu perubahan baru, sudah pasti akan ada ribut-ribut. Meski demikian, ribut-ribut hanya akan datang dari orang-orang bodoh, orang yang tidak bertanggung jawab, baik penduduk Madinah yang memang munafik maupun orang Yahudi yang berkeliaran di Madinah yang tidak merasa senang hati, karena dengan peralihan kiblat dari Baitul Maqdis itu, kemegahan mereka akan runtuh. Sebab, menurut mereka, sumber agama Yahudi itu adalah Baitul Maqdis dan di Baitul Maqdis pula timbul nabi-nabi dan rasul-rasul dari Bani Israii. Dengan demikian, orang dapat mengambil kesan bahwa ajaran Nabi Muhammad itu hanylah tiruan atau jiplakan dari agama mereka saja. Kepada Nabi Muhammad diperingatkan bahwa kata-kata dari orang-orang yang bodoh itu tidak perlu diacuhkan. Yang akan diberi penerangan bukanlah si bodoh dan dungu atau bebal, melainkan orang yang berpikir waras. Sebab itu, berfirman Allah dalam lanjutan ayat itu, “Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah timur dan barat."‘ Artinya, bahwasanya di sisi Tuhan, baik barat maupun timur, baik utara maupun selatan, adalah sama saja. Segala penjuru dunia ini Allah yang empunya. Jika di waktu yang sudah-sudah orang berkiblat ke Baitul Maqdis, bukanlah berarti bahwasanya Allah Ta'ala bertempat di Baitul Maqdis dan jika kemudian dialihkan ke Ka'bah, bukan pula berarti Allah bertempat di Ka'bah atau telah berpindah ke sana. Soal peralihan tempat bukanlah soal penempatan Allah di salah satu tempat,
“Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendakii, kepada jalan yang lurus."
Ayat ini memberi kejelasan bahwa soal beralih atau tetapnya kiblat bukanlah berarti karena tempat itu yang kita sembah. Timur dan barat, utara dan selatan, dan penjuru yang mana pun adalah kepunyaan Allah.
Di antara Baitul Maqdis dan Baitullah al-Haram di Mekah tidak ada perbedaan pada sisi Allah. Keduanya sama-sama terdiri atas batu dan kapur yang diambil dari bumi Allah. Tujuan yang terutama adalah tujuan hati, yaitu memohonkan petunjuk jalan yang lurus kepada Allah, yang Allah bersedia memberikannya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dengan keterangan ini, dijelaskan duduk soal yang bisa mengacaukan pikiran karena kacau balau dari cara berpikir orang-orang yang bodoh. Tegasnya, meskipun tetap menghadap ke Baitul Maqdis ataupun telah beralih kepada Ka'bah, tetapi kalau hati tidak jujur, kalau langkah yang ditempuh di dalam hidup adalah langkah curang, beralih atau tidak beralih kiblat tidaklah akan membawa perubahan bagi jiwa.
Oleh sebab itu, percakapan dari orang-orang yang bodoh janganlah sampai membawa orang-orang yang berakal cerdas terpesona dari maksud agama yang bermula. Jangan sampai orang yang berakal pikiran cerdas me-ninggalkan pokok (prinsip) karena terbawa oleh aliran yang kacau dari orang bodoh lalu bertengkar pada soal ranting (detail).
Untuk itu, dijelaskan lagi bagaimana kedudukan umat Muhammad di dalam menegakkan jalan lurus yang dikehendaki itu. Berkatalah ayat selanjutnya,
Ayat 143
“Dan demikianlah!, telah Kami jadikan kamu suatu umat yang di tengah."
Dan, ada dua umat yang datang sebelum umat Muhammad, yaitu umat Yahudi dan umat Nasrani. Terkenallah di dalam riwayat perjalanan umat-umat itu bahwasanya umat Yahudi terlalu condong kepada dunia, kepada benda dan harta, sehingga di dalam catatan kitab suci mereka sendiri kurang sekali diceritakan dari hal soal akhirat. Lantaran itulah, sampai ada di antara mereka yang berkata bahwa kalau mereka masuk neraka kelak, hanyalah beberapa hari saja, tidak akan lama.
Sebaliknya, itu adalah ajaran Nasrani yang lebih mementingkan akhirat saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sampai mendirikan biara-biara tempat bertapa dan menganjurkan pendeta-pendeta supaya tidak kawin. Akan tetapi, kehidupan ruhani yang sangat mendalam ini akhirnya hanya dapat dituruti oleh golongan yang terbatas ataupun dilanggar oleh yang telah menempuhnya sebab berlawanan dengan tabiat kejadian manusia, terutama setelah agama ini dipeluk oleh bangsa Romawi dan diakui menjadi agama kerajaan.
Maka, sekarang datanglah ayat ini memperingatkan kembali umat Muhammad bahwa mereka adalah suatu umat yang di tengah, menempuh jalan lurus; bukan terpaku kepada dunia sehingga diperhamba oleh benda dan materi walaupun dengan demikian akan mengisap darah sesama manusia. Bukan pula hanya semata-mata mementingkan ruhani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh kita masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua jalan hidup itu. Di dalam ibadah shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya itu; shalat dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku' dan sujud, tetapi semuanya itu hendaklah dengan hati yang khusyu.
Ini menunjukkan jalan tengah di antara tiga agama yang serumpun.
Maka, berkata ayat selanjutnya, “Supaya kamu menjadi saksi-saksi alas manusia!'
Umat Muhammad sebagai umat yang jalan tengah, akan menjadi saksi atas umat nabi-nabi yang lain tentang kebenaran risalah rasul-rasul yang telah disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Dan, berkata lanjutan ayat, “Dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas kamu!" Rasul itu adalah Nabi Muhammad ﷺ yang menjadi saksi pula di hadapan Allah kelak, sudahkah mereka menjalankan tugasnya se bagai umat yang menempuh jalan tengah, adakah kamu jalankan tugas kamu itu dengan baik, ataukah kamu campur adukkan sajakah di antara yang hak dan yang batil sebab sifat tengahmu itu telah hilang.
Setelah itu, sebagai lanjutan dari ayat, Allah terangkanlah tentang maksud peralihan kiblat di dalam membangun ummatan wasathan, “Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya," yaitu kiblat ke Baitul Maqdis yang satu tahun setengah lamanya Rasul berkiblat ke sana lalu dialihkan kepada Ka'bah yang ada di Mekah, “Melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumitnya."
Kiblat yang asal adalah Ka'bah juga. Ayat-ayat yang terdahulu dari ini telah menerangkan panjang lebar bahwa Ka'bah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim, jauh lebih tua dari Baitul Maqdis. Karena kiblat dikembalikan kepada asalnya maka orang Yahudi selama satu setengah tahun bermegah dan merasa bangga sebab hal itu mereka pandang adalah kemenangan mereka. Dengan peralihan kiblat terbuktilah mana orang yang bertahan pada ujung, yang selama ini menunjukkan suka kepada Rasul lantaran kiblat menuju tempat yang disukainya, yaitu orang Yahudi. Setelah kiblat beralih, dia menunjukkan tantangan. Demikian pula kaum munafik, yang selalu mencari-cari saja soal-soal yang akan mereka timpakan kesalahannya kepada Rasul, “Dan meruanglah berat kecuali atas orang yang diberi petunjuk oleh Allah."
Orang yang imannya ragu-ragu dan imannya tidak mendalam merasa berat atas terjadinya peralihan kiblat itu. Dirawikan oleh Ibnu jarir dari Ibnu Juraij bahwa beliau ini berkata, “Bahwasanya orang-orang yang baru masuk Islam, setelah kiblat dialihkan, ada yang kembali jadi kafir. Mereka berkata, ‘Apa ini? Sebentar ke sana, sebentar ke situ.'" Menurut suatu riwayat dari Imam Ahmad, Abdullah bin Humaid, Tirmidzi, Ibnu Hibban, ath-Thabrani, dan al-Hakim dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Tatkala Rasulullah ﷺ mengalihkan kiblat itu ada beberapa orang yang bertanya kepada beliau, ‘Ya, Rasulullah. Sekarang kiblat telah beralih. Bagaimana jadinya dengan orang-orang yang telah mati, sedang di kala hidupnya mereka shalat berkiblat ke Baitul Maqdis?'
Untuk menjawab pertanyaan itu datanglah lanjutan ayat, ‘Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu!" Artinya, orang-orang yang mati sebelum kiblat beralih, mereka itu beramal karena imannya juga. Amal mereka itu yang timbul dari iman itu tidaklah akan disia-siakan oleh Allah. Ketaatan mereka dan ibadah mereka yang khusyu diterima juga oleh Allah dengan sebaik-baik penerimaan.
“.Sesungguhnya, Allah terhadap manusia adalah penyantun dan penyayang."
(ujung ayat 143)