Ayat
Terjemahan Per Kata
فَبِمَا
maka dengan
رَحۡمَةٖ
rahmat
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
لِنتَ
kamu berlaku lemah lembut
لَهُمۡۖ
bagi/terhadap mereka
وَلَوۡ
dan sekiranya
كُنتَ
kamu adalah
فَظًّا
bersikap keras
غَلِيظَ
kasar
ٱلۡقَلۡبِ
hati
لَٱنفَضُّواْ
tentu mereka akan menjauhkan diri
مِنۡ
dari
حَوۡلِكَۖ
sekelilingmu
فَٱعۡفُ
maka maafkanlah
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَٱسۡتَغۡفِرۡ
dan mohonkan ampun
لَهُمۡ
bagi mereka
وَشَاوِرۡهُمۡ
dan bermusyawarahlah dengan mereka
فِي
dalam
ٱلۡأَمۡرِۖ
urusan
فَإِذَا
maka apabila
عَزَمۡتَ
kamu membulatkan tekad
فَتَوَكَّلۡ
maka bertawakkallah
عَلَى
atas/kepada
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
orang-orang yang bertawakkal
فَبِمَا
maka dengan
رَحۡمَةٖ
rahmat
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
لِنتَ
kamu berlaku lemah lembut
لَهُمۡۖ
bagi/terhadap mereka
وَلَوۡ
dan sekiranya
كُنتَ
kamu adalah
فَظًّا
bersikap keras
غَلِيظَ
kasar
ٱلۡقَلۡبِ
hati
لَٱنفَضُّواْ
tentu mereka akan menjauhkan diri
مِنۡ
dari
حَوۡلِكَۖ
sekelilingmu
فَٱعۡفُ
maka maafkanlah
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَٱسۡتَغۡفِرۡ
dan mohonkan ampun
لَهُمۡ
bagi mereka
وَشَاوِرۡهُمۡ
dan bermusyawarahlah dengan mereka
فِي
dalam
ٱلۡأَمۡرِۖ
urusan
فَإِذَا
maka apabila
عَزَمۡتَ
kamu membulatkan tekad
فَتَوَكَّلۡ
maka bertawakkallah
عَلَى
atas/kepada
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
orang-orang yang bertawakkal
Terjemahan
Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.
Tafsir
(Maka berkat) ma merupakan tambahan (rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut) hai Muhammad (kepada mereka) sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak (dan sekiranya kamu bersikap keras) artinya akhlakmu jelek tidak terpuji (dan berhati kasar) hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka (tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka) atas kesalahan yang mereka perbuat (dan mintakanlah ampunan bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu hingga Kuampuni (serta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat atau buah pikiran mereka (mengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah ﷺ banyak bermusyawarah dengan mereka. (Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu (maka bertawakallah kepada Allah) artinya percayalah kepada-Nya. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal) kepada-Nya.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 159-164
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari mu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.
Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah yang dapat menolong kalian selain dari Allah setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.
Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.
Maka apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah neraka Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Ayat 159
Allah ﷻ berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin; yaitu Allah telah membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159)
Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159) Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap lemah lembut terhadap mereka. Huruf ma merupakan silah; orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian itu.” (An-Nisa: 155) Dapat pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dalam sedikit waktu.” (Al-Muminun: 40)
Demikian pula dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu mampu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Ali Imran: 159) Yakni karena rahmat dari Allah.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad ﷺ yang diutus oleh Allah, dengan menyandang akhlak ini. Makna ayat ini mirip dengan makna ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Rasyid Al-Harrani yang mengatakan bahwa Abu Umamah Al-Bahili pernah memegang tangannya, lalu bercerita bahwa Rasulullah ﷺ pernah memegang tangannya, kemudian bersabda: “Wahai Abu Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melembutkan hatinya.”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari kamu." (Ali Imran: 159)
Al-fazzu artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan:
"Lagi berhati kasar." (Ali Imran: 159)
Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka akan bubar darimu dan meninggalkan kamu. Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: "Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah ﷺ, bahwa beliau tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan."
Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail At-At-Tirmidzi mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ubaid, telah menceritakan ke-pada kami Ammar ibnu Abdur Rahman, dari Al-Mas'udi, dari Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar bersikap lemah lembut terhadap manusia sebagaimana Dia memerintahkan kepadaku untuk mengerjakan hal-hal yang fardu." Hadits ini berpredikat garib (aneh).
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
"Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)
Karena itulah Rasulullah ﷺ selalu bermusyawarah dengan mereka apabila menghadapi suatu masalah untuk menyenangkan hati mereka, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya. Seperti musyawarah yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar, sehubungan dengan hal mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik. Maka mereka mengatakan: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawa kami ke lautan, niscaya kami tempuh laut itu bersamamu; dan seandainya engkau membawa kami berjalan ke Barkil Gimad (ujung dunia), niscaya kami mau berjalan bersamamu. Dan kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa kepada Musa, 'Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini,' melainkan kami katakan, 'Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur'."
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi ﷺ berada di hadapan pasukan kaum muslim.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi ﷺ berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi ﷺ menuruti pendapat mereka.
Nabi ﷺ mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata, "Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah." Kemudian Nabi ﷺ memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.
Dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong), Nabi ﷺ bersabda: "Wahai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku tentang suatu kaum yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu keburukan pun pada diri keluargaku, lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, tiada yang aku ketahui (pada diri keluargaku) kecuali hanya kebaikan belaka. Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah.
Nabi ﷺ bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya. Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai apakah musyawarah bagi Nabi ﷺ merupakan hal yang wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja untuk menyenangkan hati mereka (para sahabatnya)? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: "Dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a. Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah ﷺ dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Bakar dan Umar: "Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu musyawarah, aku tidak akan berbeda pendapat denganmu."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Thalib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda: "Meminta pendapat dari ahlur rayi (orang yang mengambil keputusan berdasarkan dengan akal), kemudian mengikuti pendapat mereka."
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, dari Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: "Penasihat adalah orang yang dipercaya."
Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui hadits Abdul Malik dengan konteks yang lebih panjang daripada hadits di atas, dan dinilai hasan oleh Imam An-Nasai.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, dari Syarik, dari Al-A'masy, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Penasihat adalah orang yang dipercaya." Imam Ibnu Majah menyendiri dalam periwayatan hadits ini dengan sanad tersebut. Dia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah dan Ali ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila seseorang di antara kalian meminta nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah saudaranya itu memberikan nasihat (saran) kepadanya." Hadits ini pun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri.
Firman Allah ﷻ: "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159)
Yakni apabila engkau bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, dan kamu telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu bertawakal kepada Allah dalam urusan itu. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)
Ayat 160
Firman Allah ﷻ: “Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada orang yang mampu mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali Imran: 160)
Ayat ini seperti yang telah disebutkan di atas sama maknanya dengan firman-Nya:”Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 126)
Kemudian Allah ﷻ memerintahkan kepada mereka untuk bertawakal kepada-Nya melalui firman-Nya: “Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali Imran: 160)
Ayat 161
Firman Allah ﷻ: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang telah mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang nabi berbuat khianat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Musayyab ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Abi Ishaq Al-Fazzari, dari Sufyan ibnu Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka kehilangan sebuah qatifah (permadani) dalam Perang Badar, lalu mereka berkata, "Barangkali Rasulullah ﷺ telah mengambilnya." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan al-ghulul ialah khianat atau korupsi.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Khasif, telah menceritakan kepada kami Miqsam, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya berikut ini: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) diturunkan berkenaan dengan qatifah merah yang hilang dalam Perang Badar. Maka sebagian orang mengatakan bahwa barangkali Rasulullah ﷺ mengambilnya, hingga ramailah orang-orang membicarakan hal tersebut. Karena itu, Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.” (Ali Imran: 161)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi secara bersamaan dari Qutaibah, dari Abdul Wahid ibnu Ziyad dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Khasif, dari Miqsam, yakni secara mursal.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Amr ibnul Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang munafik menuduh Rasulullah ﷺ mengambil sesuatu yang hilang. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161)
Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur hal yang sama dengan hadits di atas dari Ibnu Abbas.
Ayat ini membersihkan diri Nabi ﷺ dari semua segi perbuatan khianat dalam menunaikan amanat dan pembagian ganimah serta urusan-urusan lainnya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Misalnya beliau memberikan bagian kepada sebagian pasukan, sedangkan sebagian lainnya tidak diberi bagian. Hal yang sama dikatakan pula oleh Adh-Dhahhak.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.” (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan khianat di sini menurutnya misalnya ialah beliau meninggalkan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikannya kepada umat.
Al-Hasan Al-Basri, Tawus, Mujahid, dan Adh-Dhahhak membacanya dengan memakai huruf ya yang di-dammah-kan, sehingga artinya menjadi seperti berikut: “Tidak mungkin seorang nabi dikhianati.”
Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam Perang Badar, yang saat itu sebagian dari sahabat ada yang berbuat korupsi dalam pembagian ghanimah. Ibnu Jarir meriwayatkan dari keduanya (Qatadah dan Ar-Rabi ibnu Anas). Ibnu Jarir meriwayatkan dari seorang di antara mereka, bahwa ia menafsirkan qiraat (bacaan) ini dengan pengertian dituduh berbuat khianat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (Ali Imran: 161)
Ungkapan ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang kuat; dan sunnah pun menyebutkan larangan melakukan hal tersebut dalam beraneka ragam hadits.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Zubair (yakni Ibnu Muhammad), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Khianat yang paling besar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang lelaki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta dari milik temannya. Jikalau ia mengambilnya, niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti.”
Hadits yang lain. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah dan Al-Haris ibnu Yazid, dari Abdur Rahman ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Mustaurid mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum mempunyai istri maka hendaklah ia segera kawin; atau belum mempunyai pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut, berarti dia adalah orang yang khianat (korupsi).” Demikian menurut lafal yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui jalur lain dan dengan konteks yang lain pula. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Jubair ibnu Nafir, dari Al-Mustaurid ibnu Syaddad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ”Barang siapa bekerja bagi (kepentingan) kita, hendaklah ia mencari istri; dan jika ia belum mempunyai pelayan, hendaklah ia mencari seorang pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah.”
Al-Mustaurid ibnu Syaddad mengatakan pula, sahabat Abu Bakar pernah mengatakan bahwa ia pernah mendapat berita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mengambil selain dari itu, berarti dia adalah orang yang korupsi atau pencuri.” Guru kami (Al-Hafidzh Al-Mazzi) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far ibnu Muhammad Al-Faryabi dari Musa ibnu Marwan; hanya ia menyebutkan dari Abdur Rahman ibnu Nafir, bukan ibnu Jubair; hal ini lebih mendekati kebenaran.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kambing yang mengembik, ia berseru, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad (tolonglah daku)." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, aku telah menyampaikan (risalahku) kepadamu." Dan sungguh aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul seekor unta yang bersuara; ia berkata, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang di hari kiamat seraya memikul seekor kuda yang meringkik; ia berkata, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad!" Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui seseorang di antara kalian datang pada hari kiamat seraya memikul suatu bagian berupa kulit, lalu ia berseru, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad." Maka kujawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolong dirimu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para pemilik kitab-kitab sunnah.
Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri yang pernah mendengar Urwah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Humaid As-Sa'idi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengangkat seorang lelaki dari kalangan Bani Azd yang dikenal dengan nama Ibnul Lutbiyyah sebagai amil (pemungut zakat). Lalu ia datang dan mengatakan, "Ini buat kalian, dan ini yang dihadiahkan kepadaku." Maka Rasulullah ﷺ berdiri di atas mimbarnya, lalu bersabda: “Apakah gerangan yang dilakukan oleh seorang amil yang telah kita kirimkan untuk menunaikan suatu tugas, lalu ia mengatakan, ‘Ini buat kalian, dan yang ini yang dihadiahkan kepadaku’? Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu menunggu apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mengambil sesuatu darinya melainkan ia datang di hari kiamat seraya memikulnya di atas pundaknya. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu mengeluarkan suaranya, atau berupa sapi, maka melenguh; atau berupa kambing, maka mengembik.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi hingga kami melihat kulit ketiaknya, lalu bersabda: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan.” sebanyak tiga kali.
Hisyam ibnu Urwah menambahkan dalam riwayatnya bahwa Abu Humaid mengatakan, "Saat itu aku melihat beliau dengan kedua mataku sendiri dan mendengar sabdanya dengan kedua telingaku. Tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit."
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui Sufyan ibnu Uyaynah. Pada lafal yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari disebutkan, "Dan tanyakanlah oleh kalian kepada Zaid ibnu Sabit."
Diriwayatkan pula melalui berbagai jalur oleh Az-Zuhri, dan melalui banyak jalur dari Hisyam ibnu Urwah, keduanya meriwayatkan hadits ini dari Urwah dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Abu Humaid, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Hadiah-hadiah yang diterima oleh para amil (petugas) adalah gulul (penggelapan).”
Hadits ini termasuk hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri, predikat sanadnya dha’if, seakan-akan hadits ini merupakan ringkasan dari sebelumnya.
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Isa At-At-Tirmidzi di dalam Kitabul Ahkam. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Daud ibnu Yazid Al-Audi, dari Al-Mugirah ibnu Syibl, dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan: Rasulullah ﷺ mengutusku ke negeri Yaman (untuk memungut zakat). Ketika aku telah berangkat, beliau ﷺ mengirimkan utusannya di belakangku. Maka aku kembali, dan beliau bersabda, "Tahukah kamu, mengapa aku memanggilmu kembali? Jangan sekali-kali kamu mengambil sesuatu tanpa seizinku, karena sesungguhnya hal itu adalah gulul. Barang siapa yang berkhianat (gulul) dalam urusan ini, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Karena hal inilah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah menuju tempat tugasmu."
Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya dari jalur ini. Dalam bab yang sama diriwayatkan pula dari Addi ibnu Umairah, Buraidah, Al-Mustaurid ibnu Syaddad, Abu Humaid, dan Ibnu Umar.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Abu Hayyan Yahya ibnu Sa'id At-Taimi, dari Abu Dzar'ah, dari Ibnu Umar. Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Hurairah, bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan perihal gulul yang dipandang oleh beliau sebagai suatu kesalahan besar dan merupakan perkara yang berat. Kemudian beliau bersabda: Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang di hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikul unta yang mengeluarkan suaranya. Lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak mempunyai suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan di atas pundaknya terpikulkan seekor kuda yang meringkik. Lalu ia berkata, "Ya Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku katakan, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu." Aku benar-benar akan menjumpai seseorang di antara kalian yang datang pada hari kiamat, sedangkan pada pundaknya terpikul sejumlah harta benda, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, tolonglah aku." Maka aku jawab, "Aku tidak memiliki suatu wewenang pun dari Allah untuk menolongmu, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu."
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Abu Hayyan dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail ibnu Abu Khalid, telah menceritakan kepadaku Qais, dari Addi ibnu Umairah Al-Kindi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai manusia, barang siapa di antara kalian yang menangani suatu pekerjaan untuk kami, lalu ia menyembunyikan dari kami sebatang jarum dan selebihnya dari pekerjaan itu, maka hal itu merupakan gulul (penggelapan) yang kelak di hari kiamat dia akan datang membawanya.” Maka berdirilah seorang lelaki yang hitam dari kalangan Anshar yang menurut Mujahid dia adalah Sa'd ibnu Ubadah, seakan-akan dia (perawi) melihatnya. Lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, terimalah dariku tugasmu." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah itu?" Si lelaki itu menjawab, "Aku pernah mendengarmu bersabda anu dan anu, dan sekarang aku akan mengatakannya, 'Barang siapa yang kami angkat menjadi amil untuk menangani suatu pekerjaan, hendaklah ia menyerahkan seluruh hasilnya, baik banyak maupun sedikit. Maka apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu, ia boleh menerimanya; dan apa yang tidak diberikan kepadanya dari hasil itu, hendaklah ia menahan dirinya'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Abu Ishaq Al-Fazzari, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Manbuz seorang lelaki dari keluarga Abu Rafi', dari Al-Fadl ibnu Abdullah ibnu Abu Rafi", dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ sehabis shalat Ashar adakalanya pergi menuju tempat Bani Abdul Asyhal, lalu beliau berbincang-bincang dengan mereka hingga waktu magrib tiba. Abu Rafi' mengatakan, ketika Rasulullah ﷺ sedang berjalan dengan langkah yang cepat untuk melakukan shalat Magrib, beliau me-makai jalan yang dilewati Baqi', lalu beliau bersabda, "Celakalah kamu, celakalah kamu," lalu beliau menempel pada bajuku hingga aku mundur, dan aku menduga yang beliau maksud diriku. Tetapi beliau bersabda, "Mengapa kamu?" Aku menjawab, "Apakah telah terjadi sesuatu pada dirimu, wahai Rasulullah?" Beliau bertanya, "Mengapa demikian?" Abu Rafi' berkata, "Sesungguhnya tadi engkau berkata kepadaku." Nabi ﷺ menjawab: “Tidak, tetapi ini adalah kuburan si Fulan. Dia pernah kutugaskan untuk memungut zakat di kalangan Bani Fulan, dan ternyata ia menggelapkan sebuah baju namirah; kini dirinya memakai baju yang serupa dari api neraka.” Hadits lain diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Salim Al-Kufi Al-Mafluj orang yang tsiqah, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Aswad, dari Al-Qasim ibnul Walid, dari Abu Sadiq, dari Rabi'ah ibnu Najiyah, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mencabut sehelai bulu dari punggung unta hasil ganimah, kemudian bersabda: “Tiada hak bagiku dalam harta ini kecuali seperti hak yang diperoleh seseorang di antara kalian. Waspadalah kalian terhadap gulul (pengkhianatan dalam harta rampasan perang), karena sesungguhnya gulul itu merupakan kehinaan bagi pelakunya kelak di hari kiamat. Tunaikanlah benang dan jarummu serta barang yang lebih besar dari itu, dan berjihadlah kalian di jalan Allah, baik terhadap kaum kerabat atau orang lain, baik sedang berada di tempat maupun berada dalam perjalanan. Karena sesungguhnya jihad itu merupakan salah satu di antara pintu-pintu surga. Sesungguhnya jihad itu, dengan melaluinya Allah benar-benar menyelamatkan (pelakunya) dari kesedihan dan kesusahan. Dan tegakkanlah hukuman-hukuman had Allah, baik terhadap kaum kerabat ataupun orang lain, dan jangan kalian mundur dalam berjuang membela agama Allah hanya karena celaan orang yang mencela.”
Sebagian dari hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dari Al-Mafluj dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:”Kembalikanlah benang dan jarum, karena sesungguhnya gulul itu merupakan keaiban, neraka, dan kemaluan bagi pelakunya kelak di hari kiamat.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Abul Jahm, dari Abu Mas'ud Al-Ansari yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutusnya sebagai amil zakat, kemudian beliau berpesan melalui sabdanya: “Berangkatlah engkau, wahai Abu Mas'ud. Semoga aku tidak menjumpai engkau di hari kiamat nanti datang, sedangkan di atas punggungmu terdapat seekor unta dari ternak unta zakat yang mengeluarkan suaranya hasil dari penggelapanmu.” Ibnu Mas'ud berkata, "Kalau demikian, aku tidak akan berangkat." Nabi ﷺ bersabda, "Kalau demikian maumu aku tidak memaksamu." Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Aban, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Sesungguhnya sebuah batu dilemparkan ke dalam neraka Jahanam, maka batu itu meluncur ke bawah selama tujuh puluh musim gugur (yakni tujuh puluh tahun), tetapi masih belum sampai ke dasarnya. Dan didatangkan harta yang digelapkan, lalu dilemparkan (ke neraka Jahanam) bersama batu itu. Kemudian dikatakan kepada yang menggelapkannya, "Ambillah harta itu." Itulah yang dimaksud di dalam firman-Nya: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.” (Ali Imran: 161)
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Sammak Al-Hanafi Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab bahwa setelah Perang Khaibar berhenti, ada segolongan sahabat yang datang menghadap Rasulullah ﷺ. Lalu mereka berkata, "Si Fulan mati syahid dan si Anu mati syahid," hingga sebutan mereka sampai kepada seorang lelaki yang dikatakan oleh mereka bahwa si Fulan mati syahid. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak demikian, sesungguhnya aku melihatnya berada di dalam neraka karena baju burdah atau baju aba'ah yang digelapkannya.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Pergilah kamu dan serukanlah kepada orang-orang bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin!” Umar ibnul Khattab melanjutkan kisahnya, "Maka aku pergi dan kuserukan (kepada mereka) bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Ikrimah ibnu Ammar dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Hadits lain diriwayatkan dari Umar Ibnu Jarir yang mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Musa ibnu Jubair pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnul Habbab Al-Ansari pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Unais pernah menceritakan kepadanya, bahwa pada suatu hari Abdullah Ibnu Unais dan Umar Ibnul Khattab mengenang kembali saat permulaan diwajibkan zakat. Lalu Umar berkata, "Tidakkah kamu pernah mendengar sabda Rasulullah ﷺ ketika menuturkan masalah gulul (pengkhianatan atau penggelapan) harta zakat, yaitu: 'Barang siapa yang menggelapkan seekor unta atau seekor kambing dari harta zakat, maka sesungguhnya kelak di hari kiamat ia bakal menggendongnya'?" Maka Abdullah ibnu Unais menjawab, "Memang aku pernah mendengarnya."
Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini melalui Amr ibnu Siwar, dari Abdullah ibnu Wahb dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengutus sahabat Sa'd ibnu Ubadah untuk memungut zakat. Untuk itu beliau ﷺ bersabda, "Wahai Sa'd, hati-hatilah kamu, jangan sampai kamu datang pada hari kiamat nanti dengan membawa seekor unta yang bersuara." Sa'd menjawab, "Aku tidak akan mengambilnya dan tidak akan mendatangkannya." Maka Nabi ﷺ tidak jadi mengutusnya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Ubaidillah, dari Nafi' dengan lafal yang serupa.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa ia berada di negeri Romawi bersama Maslamah ibnu Abdul Malik. Ketika Maslamah membuka barang-barang miliknya, maka ia menjumpai pada barangnya terdapat hasil gulul. Lalu Maslamah bertanya kepada Salim ibnu Abdullah mengenai hal tersebut. Kemudian Salim ibnu Abdullah mengatakan bahwa ayahnya telah menceritakan sebuah hadits kepadanya dari Umar ibnul Khattab bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang kalian jumpai pada barangnya hasil gulul, maka bakarlah barang itu.” Perawi menduga bahwa Umar ibnul Khattab mengatakan “pukullah dia oleh kalian.” Salim ibnu Abdullah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Maslamah mengeluarkan barang-barangnya di pasar, dan ia menemukan sebuah mushaf di dalamnya. Ketika ia menanyakan hal tersebut kepada Salim, maka Salim berkata, "Juallah mushaf itu dan sedekahkanlah hasilnya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ali ibnul Madini, Imam Abu Dawud, dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi.
Imam Abu Dawud menambahkan Abu Ishaq Al-Fazzari yang keduanya meriwayatkan hadits ini dari Abu Waqid Al-Laisi As-Sagir (yaitu Saleh ibnu Muhammad ibnu Zaidah) dengan lafal yang sama. Menurut penilaian Ali ibnul Madini dan Imam Al-Bukhari serta lain-lainnya, hadits ini munkar, yakni yang melalui riwayat Abi Waqid. Imam Daruqutni mengatakan bahwa hal ini memang shahih (benar) bila dikatakan sebagai fatwa Salim semata. Tetapi ada orang yang berpegang sesuai dengan pengertian hadits ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan teman-temannya yang mengikuti jejaknya.
Al-Umawi meriwayatkannya dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hukuman orang yang berbuat gulul, semua barang bawaannya dikeluarkan, kemudian dibakar berikut hasil gulul-nya. Da meriwayatkannya pula dari Mu'awiyah, dari Abu Ishaq, dari Usman ibnu ‘Atha’, dari ayahnya, dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang berbuat gulul semua barang bawaannya dikumpulkan, kemudian dibakar dan dihukum dera di bawah hukuman had budak, serta tidak boleh mendapat bagian (ganimah)nya.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan jumhur ulama; mereka mengatakan bahwa barang bawaan si pelaku gulul tidak dibakar, melainkan ia dikenai hukuman ta'zir yang sesuai.
Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa adakalanya Rasulullah ﷺ melarang menyalatkan jenazah orang yang berbuat gulul, tetapi harta benda miliknya tidak dibakar.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Jubair ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah diperintahkan agar semua mushaf dikumpulkan untuk diadakan perbaikan, lalu ibnu Mas'ud mengatakan: “Barang siapa di antara kalian yang mampu menggelapkan sebuah mushaf, hendaklah ia menggelapkannya. Karena sesungguhnya barang siapa yang menggelapkan sesuatu, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan membawanya.” Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan, "Aku telah membaca dari lisan Rasulullah ﷺ sebanyak tujuh puluh kali, maka apakah aku tega meninggalkan apa yang telah kuambil dari lisan Rasulullah ﷺ?"
Waki' meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Ibrahim, ketika diperintahkan agar semua mushaf dibakar, maka sahabat ibnu Mas'ud berkata, "Wahai manusia, gelapkanlah mushaf. Karena sesungguhnya barang siapa yang berbuat gulul, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan membawa barang yang digelapkannya. Sebaik-baik barang yang digelapkan ialah mushaf, kelak seseorang di antara kalian akan datang dengan membawanya di hari kiamat."
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila memperoleh ganimah, beliau memerintahkan kepada Bilal untuk menyerukan kepada orang-orang agar mengumpulkan semua ganimahnya, lalu beliau membagi lima harta rampasan tersebut, sesudah itu baru beliau membagi-bagikannya. Kemudian pada suatu hari datanglah seorang lelaki sesudah Bilal berseru (atas perintah Nabi ﷺ) seraya membawa seikat kain bulu, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, inilah yang kami peroleh dari ganimah." Nabi ﷺ bersabda, "Apakah engkau mendengar seruan Bilal?" Hal ini beliau katakan sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bertanya, "Apa yang menghambatmu untuk datang?" Lalu lelaki itu meminta maaf kepada Nabi ﷺ. Tetapi Nabi ﷺ bersabda: “Tidak, engkau akan datang di hari kiamat dengan membawanya. Maka aku tidak akan menerimanya darimu.”
Ayat 162
Firman Allah ﷻ: “Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah neraka Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Ali Imran: 162)
Maksudnya, tidak sama antara orang yang mengikuti keridaan Allah dengan mengerjakan syariat yang diperintahkan-Nya yang karena itu ia berhak mendapat rida Allah dan pahala-Nya yang berlimpah dan dilindungi dari siksaan-Nya dengan orang yang berhak mendapat murka Allah dan murka Allah selalu menyertainya hingga ia tidak dapat menghindar lagi dari murka-Nya, tempat baginya kelak di hari kiamat adalah neraka Jahanam, sedangkan neraka Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat ini mempunyai persamaan yang banyak di dalam Al-Qur'anul Karim, antara lain adalah firman-Nya:
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta.” (Ar-Ra'd: 19)
“Maka apakah orang yang kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga), lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi.”(Al-Qashash: 61) hingga akhir ayat.
Ayat 163
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” (Ali Imran: 163)
Al-Hasan Al-Basri dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah ahli kebaikan dan ahli keburukan mempunyai kedudukan yang bertingkat-tingkat.
Menurut Abu Ubaidah dan Al-Kisai, makna derajat ialah tempat-tempat tinggal, yakni tempat tinggal mereka berbeda-beda; begitu pula kedudukan mereka di dalam surga dan yang berada di dalam neraka. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An'am: 132)
Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan:
“Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Ali Imran: 163)
Dengan kata lain, Allah pasti akan memenuhi balasannya, Dia tidak akan berbuat zalim terhadap mereka barang satu kebaikan pun, dan Dia tidak akan menambahkan kepada mereka satu keburukan pun, melainkan Dia membalas masing-masing diri sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.
Ayat 164
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (Ali Imran: 164)
Yakni dari bangsa mereka sendiri agar mereka dapat berkomunikasi dengannya, bertanya kepadanya, duduk semajelis dengannya, dan menimba ilmu darinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan di amara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Rum: 21), hingga akhir ayat.
“Katakanlah, ‘Aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa’.” (Fussilat: 6), hingga akhir ayat.
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kalian, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (seperti manusia biasa) (Al-Furqan: 20)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian rasul-rasul dari golongan kalian sendiri.” (Al-An'am: 130)
Hal ini jelas lebih sangat diharapkan bila seorang rasul yang diutus kepada mereka berasal dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengannya dan merujuk kepadanya dalam memahami kalam Ilahi yang melewatinya.
Karena itulah maka dalam firman berikutnya disebutkan:
“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah.” (Ali Imran: 164)
Yang dimaksud ialah Al-Qur'an.
“Dan membersihkan (jiwa) mereka.” (Ali Imran: 164)
Yakni yang memerintahkan mereka kepada kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, agar jiwa mereka menjadi bersih dan suci dari kotoran dan najis yang dahulu di masa mereka musyrik dan Jahiliah selalu mereka lakukan.
“Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali Imran: 164) Yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
“Dan sesungguhnya sebelum itu.” (Ali Imran: 164)
Maksudnya, sebelum kedatangan Rasul ﷺ.
“Mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Yakni benar-benar dalam kesesatan dan kebodohan yang nyata. Hal ini tampak jelas bagi setiap orang.
Setelah memberi kaum mukmin tuntunan secara umum, Allah lalu memberi tuntunan secara khusus dengan menyebutkan karuniaNya kepada Nabi Muhammad. Maka berkat rahmat yang besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka yang melakukan pelanggaran dalam Perang Uhud. Sekiranya engkau bersikap keras, buruk perangai, dan berhati kasar, tidak toleran dan tidak peka terhadap kondisi dan situasi orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah, hapuslah kesalahan-kesalahan mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad untuk melaksanakan hasil musyawarah, maka bertawakallah kepada Allah, dan akuilah kelemahan dirimu di hadapan Allah setelah melakukan usaha secara maksimal. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal Ayat sebelumnya diakhiri dengan perintah bertawakal kepada Allah, satu-satunya penentu keberhasilan dan kegagalan. Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada siapa pun dan apa pun yang dapat mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu, tidak memberi pertolongan, maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu' Pasti tidak ada. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal, mengakui kelemahan diri di hadapan Allah setelah melakukan usaha secara maksimal.
Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam Perang Uhud sehingga menyebabkan kaum Muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad ﷺ bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
Di samping itu Nabi Muhammad ﷺ selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum Muslimin patuh melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad di jalan Allah dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum Muslimin selain Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN MENYESALI AJAL
Ayat 156
“‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadi sebagai orang-orang yang kafir, yang berkata kepada saudara-saudaranya, apabila mereka bepergian di bumi atau mereka jadi tentara, ‘Kalau mereka tinggal bersama kita, tentu mereka tidak mati atau tidak terbunuh.'"
Telah kita ketahui bahwa arti kufur ialah tidak mau menerima kenyataan kebenaran, walaupun orangnya masih mengakui Muslim. Maka, adalah orang-orang lemah iman mengucapkan kata yang hanya patut keluar dari mulut orang kafir atau munafik. Setelah mereka melihat kenyataan bahwa dalam Peperangan Uhud itu banyak orang yang tewas, ataupun dalam kejadian yang lain, misalnya ada orang yang mati dalam perantauan, dalam bepergian meninggalkan kampung halamannya sendiri— entah pergi berniaga atau pergi berperang— maka si lemah iman itu berkata, “Coba kalau dia tidak pergi meninggalkan kampung halaman, atau coba kalau mereka tidak pergi ke medan perang, tentu mereka tidak akan mati atau tidak akan terbunuh."
Perkataan seperti ini bukanlah kata yang patut keluar dari mulut Mukmin sejati. Orang Mukmin mesti mempunyai pegangan yang teguh tentang ajal. Sebagaimana disebutkan pada ayat 145 di atas, orang tidak akan mati kalau tidak dengan izin Allah dan ketentuan mati sudah tertulis, tidak akan berubah lagi. Kalau mati sudah terjadi, baik di dalam perjalanan maupun di medan perang, ataupun di mana saja, pastilah itu membaca ajal yang telah tertulis. Tidak boleh orang berkata, “Coba dia tidak merantau dan tetap saja di kampung, tentu tidak mati," atau, “Coba dia tidak pergi berperang, tetap saja dengan kita, tentu dia tidak akan terbunuh."
Kata-kata seperti ini adalah kata-kata yang mengandung kufur, tidak matang kepercayaan kepada Allah. Sebab itu, dalam sambungan ayat, Allah berfirman, “Karena Allah hendak menjadikan yang demikian suatu penyesalan di hati mereka." Atau suatu keluhan akibat iman yang kurang itu. Sebab, hal yang demikian akan selalu menjadi keluhan mereka dan menjadi penyakit. Sebab, pertahanan iman tidak ada.
“Padahal Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan!" Bukan manusia, bukan karena pergi merantau atau berperang, dan bukan karena tinggal di rumah. Datang kehendak Allah supaya manusia hidup, hiduplah dia di dunia ini, mau tidak mau. Datang kehendak Allah mesti mati, matilah dia, entah di medan perang, entah dalam pelayaran, entah di rumahnya sendiri di kasur yang empuk. Menyesali karena ada teman sahabat atau keluarga mati dalam perantauan atau mati dalam peperangan adalah karena melupakan mutlaknya hak Allah atas hamba-Nya. Hal yang sangat terlarang bagi Muslim.
“Dan Allah ada melihat yang kamu kerjakan,"
Sebab Allah selalu melihat apa yang kita kerjakan, hendaklah kita mati dalam hus-nul khatimah, yakni dalam penutupan yang baik. Mati di kampung halaman, mati dalam perantauan, ataupun mati di medan perang; hendaklah diisi dengan perbuatan yang di-ridhai Allah, yang timbul dari niat yang tutus dan ikhlas. Malahan mati terbunuh di medan perang, asal niatnya benar-benar jihad fi sabilillah, menjadilah matinya mati syahid. Bahkan mati dalam perantauan, jauh dari famili, tetapi dalam beriman, pun mendapat mati syahid juga, sebagai juga perempuan mati bungkus (sedang mengandung) Dan kalau mati sudah datang, tidak ada lagi yang patut disesali.
Ayat 157
“Sesungguhnya jika kamu terbunuh pada jalan Allah ataupun mati."
Yaitu Mujahidin yang mati dalam pertempuran di medan perang itu, atau mati bukan dalam pertempuran, melainkan mati dalam perantauan, atau mati bungkus (perempuan), atau mati dalam suatu kecelakaan pesawat terbang misalnya.
“Maka ampunan dan rahmat dari Allah, lebih baik dari yang mereka kumpulkan."
Ayat ini mengandung hasungan kepada Mukmin agar berusaha hingga mati mereka berharga, jangan mati konyol saja. Hendaklah hidup mempunyai tujuan. Dan tujuan itu ialah yang bermanfaat untuk mencapai keridhaan Allah serta berkhidmat kepada sesama manusia. Berjuanglah mencapai tujuan itu dan ridhaiah mati untuk itu.
Dalam ungkapan umum kita namai “membina tujuan hidup" dan dalam kata agama disebut Jihad fi sabilillah, yaitu berjuang bekerja keras dalam jalan Allah. Jalan Allah ialah kebenaran, berperang adalah satu macam saja dari jalan Allah. Seorang guru sekolah dasar mengajar murid-murid di kampung yang jauh, sampai anak-anak itu menjadi orang pandai, sampai jaya dalam gelanggang hidup, sedang guru itu masih tetap tinggal di kampung itu bertahun-tahun meneruskan tugasnya, itu pun salah satu macam sabilillah. Dan jika dia mati dalam pelaksanaan tugas itu, dia pun mendapat ampunan Allah atas kesalahannya, maklum dia hanya manusia. Dan dia pun mendapat rahmat; jasanya dihargai Allah dan dihargai masyarakat.
Periksalah diri sendiri, apa kesanggupan yang ada, gunakanlah kesanggupan itu untuk jihad fi sabilillah, atau untuk “membina tujuan hidup". Nilai hidup ditentukan oleh tujuannya. Maka, hidup yang seperti ini jauh lebih baik daripada yang mereka kumpulkan, yaitu mereka yang tujuan hidupnya hanya semata-mata mengumpulkan harta. Sedangkan mengumpul harta itu mesti mati juga, tetapi payah dia bertanggung jawab di hadapan Ilahi kelak.
Ayat 158
“Dan sesungguhnya jika kamu mati ataupun terbunuh, kepada Allah-lah kamu akan dikumpulkan."
Orang dapat mati di atas kasur seperti biasa atau mati di medan perang, karena berjuang menegakkan cita-cita, atau mati karena sakit, karena kecelakaan, atau beberapa tentara pergi bertempur (kapal yang mengangkut ten-tara itu hancur kena ranjau) Sebab-musabab orang mati bermacam-macam, tetapi putusnya nyawa hanya satu. Baik bangkai yang rusak yang dirobek-robek orang sebagaimana bangkai Sayyidina Hamzah, atau bangkai orang sakit tua, kalau sudah bangkai, ya tetap bangkai. Bangkai akan kembali ke tanah sebab asalnya dari tanah; maka nyawa pun kembali ke tempat yang ditentukan Allah. Dan kelak semua itu, bangkai dan nyawa dipertautkan kembali dan berkumpul ke hadapan mahkamah Allah. Di sanalah diperhitungkan, ke mana kamu tujukan hidup itu. Tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup, bukan berapa lama hidup yang terpakai.
Umur bukan hitungan tahun, hidup bukan bilangan masa.
Sehari hidup singa di rimba, seribu tahun hitungan domba.
(Syair Iqbal)
Singa di rimba hanya sekali hidup dan sekali mati. Akan tetapi, domba berkali-kali mati di dalam hidup, sebab selalu takut akan mati diterkam singa. Hari sehari bagi kehidupan singa dirasakan oleh domba seperti seribu tahun karena tiap saat tidak merasa aman di dalam hidup. Inilah yang dikatakan dengan mati ketakutan.
Inilah kesan tentang nilai hidup, dikorek dari penafsiran ayat yang pada mulanya terjadi karena banyak yang mati dalam Peperangan Uhud, tetapi akhirnya untuk menjadi pengajaran bagi segenap Muslim-Mukmin pengikut Nabi. Berilah olehmu sendiri harga hidupmu.
Kemudian, datanglah tuntunan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ tentang cara memimpin umat. Sebab, umat itu tidaklah sama matangnya, tidaklah semua seperti Imam Abu Bakar dan Umar. Ada manusia yang lemah, yang makanan hardik ataupun makanan bujuk.
Ayat 159
“Maka dengan rahmat dari Allah, engkau telah berlaku lemah lembut kepada mereka."
Di dalam ayat ini, bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umat-Nya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena loba akan harta itu, tetapi Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini, Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmat-Nya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang memengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Ini sesuai dengan pujian Allah di dalam firman yang lain yang terdapat pada ayat-ayat terakhir di dalam surah at-Taubah ayat 128.
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul, dari dirimu sendiri. Berat baginya apa yang kamu susahkan. Sangatlah inginnya akan kebaikan untuk kamu dan terhadap orang-orang yang beriman sangatlah beliau pengasih lagi penyayang." (at-Taubah: 128)
Di ujung ayat ini, Allah memberikan sanjungan tertinggi kepada Rasul-Nya; diberi dua gelar Rauf dan Rahim yang berarti sangat pengasih, penyantun dan penghiba, serta sangat penyayang. Kedua nama Rauf dan Rahim itu adalah sifat-sifat Allah, asma Allah, termasuk di dalam al-Asmaul Husna yang 99 banyaknya. Rahmat Allah yang telah diguligakan kepada dirinya telah beliau laksanakan dengan baik, sehingga telah menjadi sikap hidup dan perangainya sehingga Allah sendiri memberinya gelar dengan asma Allah. Di sinilah bertemu apa yang kerap kali dianjurkan oleh ahli-ahli tasawuf, yaitu supaya manusia berusaha membuat dirinya meniru sifat-sifat Allah yang patut ditiru. Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, bertemulah kata-kata Allah memuji Nabi-Nya dengan halus penuh hormat, bahwasanya sikap lemah lembut beliau terhadap umat yang bebal itu, lain tidak ialah karena rahmat Allah yang telah menjelma di dalam dirinya itu. Rahmat Allah yang telah jadi sifat Rahim.
Di pangkal ayat 128 surah at-Taubah itu bertemu pula kalimat min anfusikum yang berarti, bahwa Rasul itu bukanlah orang lain bagi kamu. Dia adalah dirimu, atau laksana dirimu. Bagi bangsa Arab yang didatangi, be-liau bukan orang lain, malahan belahan diri mereka. Bagi orang Quraisy beliau adalah saudara sedarah. Bagi orang Anshar, dia adalah anak (khal), sebab ibu Abdullah (nenek Nabi ﷺ) berasal dari Bani Najjar.
Dan bagi kita umat manusia seluruhnya, dia pun keturunan Adam sama dengan kita, bukan malaikat yang diutus dari langit dan bukan bangsa jin. Sebab, itulah maka beliau mengenal rasa sakit-senang kita dan terdapat al-Musyarakatil Wijdariyah kesamaan rasa dengan kita. Kalau terdapat kelemahan beliau tahu sebab-sebab kelemahan itu, lalu beliau tuntun kepada iman yang lebih kuat. Kalau hari ini bodoh, moga-moga tidak akan bodoh lagi setelah banyak pengalaman dan suka pula berguru.
Dengan sanjungan Allah yang demikian tinggi kepada Rasul-Nya—karena sikap lemah lembutnya itu—berartilah bahwa Allah senang sekali jika sikap itu diteruskan. Dengan ini Allah telah memberi petunjuk tentang ilmu memimpin. Sebab itu, selanjutnya Allah berfirman, “Karena sekiranya engkau bertindak kasar; berkeras-hati, niscaya berserak-seraklah mereka dari kelilingmu."
Pemimpin yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampiri. Orang akan menjauh satu demi satu sehingga dia “akan menggantang asap" sendirian. Kalau orang telah lari, janganlah orang itu disalahkan, melainkan selidikilah cacat pada diri sendiri.
Kepada beberapa antara kita umat Muhammad yang diberi pula tugas oleh Allah untuk mewarisi Nabi, melanjutkan pimpinan beliau, dengan ayat ini diberi pulalah tuntunan bahwasanya seorang pemimpin yang selalu hanyabersikapkasardanberkerashati, tidaklah akan jaya dalam memimpin. Memang seorang pemimpin wajib tegas mempertahankan pendirian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sehabis menandatangani perdamaian Hudaibiyah. Dengan keras dan tegas beliau memerintahkan Ali menuliskan apa yang beliau diktekan. Dan dengan keras pula beliau memerintahkan umatnya mencukur rambut, memotong dam (denda) dan menanggalkan pakaian ihram, karena tidak jadi naik haji tahun itu. Maka, sikap tegas dalam saat demikian, jauh bedanya dengan lemah lembut terhadap beberapa orang yang bersalah di Perang Uhud.
Sudah nyata, bahwa pada saat sebagaimana terjadi di Perang Uhud itu, beliau mendidik yang bodoh dan belum berpengalaman supaya lebih mengerti dan kejadian demikian jangan sampai berulang lagi. Akan tetapi, sikap tegas beliau di Hudaibiyah adalah sikap memimpin yang seratus persen merasa bertanggung jawab. Dan kepada orang-orang seperti Umar dan Ali yang kelihatan kecewa— sebab dorongan perasaan (sentimen) tidak jadi naik haji pada tahun itu—beliau wajib menunjukkan sikap tegas. Sebab, orang-orang yang meninggalkan tugas di Perang Uhud. Kemudian, belum sampai beberapa bulan, Umar sendiri meminta maaf kepada Rasul, karena telah dilihatnya betapa unggulnya Rasul dan jauh pandangannya. Sebab, orang musyrikinlah yang mula-mula meminta agar satu pasal dari perjanjian itu ditiadakan saja, yaitu memulangkan kembali pemuda Mekah yang menggabungkan diri ke Madinah, dicabut dengan persetujuan bersama. Sebab, yang rugi bukan kaum Muslimin tetapi orang Quraisy sendiri, sebagaimana yang akan kita tafsirkan panjang lebar, in syaa Allah, di dalam surah al-Fath kelak.
Kemudian, pada lanjutan ayat, sesudah Allah memuji sikap lemah lembut beliau dan menerangkan betapa bencana yang akan menimpa kalau beliau kasar dan berkeras hati, maka Allah memberikan tuntunan lagi kepada Rasul-Nya, supaya umat yang di kelilingnya itu selalu diajaknya bermusyawarah di dalam menghadapi soal-soal bersama.
Firman Allah selanjutnya, “Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun untuk mereka." Mereka itu memang telah bersalah, karena menyia-nyiakan perintah yang diberikan oleh Nabi kepadanya, sebab mereka tetah bersalah kepada Nabi sebagai pemimpinnya, hendaklah Nabi yang berjiwa besar itu memberi maaf. Dalam pada itu mereka dengan pelanggaran itu telah berdosa kepada Allah. Oleh sebab itu engkau sendirilah wahai utusan-Ku yang seharusnya memohonkan ampun Allah untuk mereka, niscaya Allah akan memberi ampun, sebab dosa mereka sangkut-bersangkut dengan dirimu. Selanjutnya, “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu." Dan inilah dia inti kepemimpinan.
SYURA SEBAGAI SENDI MASYARAKAT ISLAM
Secara de facto, masyarakat Muslimin Madinah telah tumbuh sebagai suatu kenyataan. Dan dengan sendirinya. Rasul utusan Allah telah menjadi kepala masyarakat itu, jadi panglima perang tertinggi. Yang menjadi Undang-Undang Dasar adalah Wahyu I lahi yang tidak boleh diganggu gugat, tetapi pelaksanaannya terserah kepada kebijaksanaan Rasul sebagai kepala dan pemimpin masyarakat.
Urusan telah beliau tegaskan pembagiannya, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syari'at, dan hukum dasar adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semua wajib tunduk. Akan tetapi, urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan hubungan-hubungan biasa antara manusia (human relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan)
Sebelum perintah kepada Nabi supaya melakukan musyawarah ini, sebenarnya Nabi pun telah berkali-kali melaksanakannya sebagai kebijaksanaan sendiri dalam menghadapi soal bersama.
Ketika akan menghadapi Peperangan Badar, beliau ajak bermusyawarah terlebih dahulu orang Muhajirin. Setelah semuanya bulat semufakat, beliau ajak pula orang Anshar. Setelah keduanya bulat pendapat, barulah perang beliau teruskan.
Setelah sampai di medan perang, timbul musyawarah. Sahabat-sahabat beliau telah mengerti bahwa dalam urusan yang mengenai agama semata, hendaklah patuh mutlak. Akan tetapi, dalam hal ini yang mereka ragu, apakah itu termasuk wahyu atau termasuk siasat perang semata-mata, mereka tanyakan kepada Rasul. Demikianlah yang dilakukan oleh al-Habbab bin al-Mundzir bin al-Jumawwah ketika angkatan perang disuruh berhenti oleh Rasul di tempat yang jauh dari air. Lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah! Ketika tempat ini engkau pilih, apakah dia sebagai perintah dari Allah, sehingga kami tidak boleh mendahuluinya atau membelakanginya, atau ini hanya semata-mata pendapat sendiri dalam rangka peperangan dan siasat?"
Rasul menjawab, “Cuma pendapat sendiri dalam rangka berperang dan siasat."
Al-Habbab menyambut lagi, “Kalau demikian, ya Rasulullah, tempat ini tidaklah layak. Marilah perintahkan orang semua, kita pindah ke tempat yang berdekatan dengan air, sebelum musuh itu datang sehingga kitalah yang menentukan."
Rasulullah menjawab, “Usulmu itu sangat tepat."
Lalu, beliau perintahkan segera menguasai tempat itu sebelum musuh mendudukinya.
Inilah hasil musyawarah dan hasil iman serta percaya kepada Rasul; bertanya lebih dahulu adakah mereka berhak mencampuri komando beliau dalam saat seperti demikian. Beliau pun menjawab pula dengan tegas dan jujur bahwa hal itu bukan wahyu, melainkan basil pertimbangan buah pikiran beliau sendiri yang kalau ternyata salah, boleh diganti dengan yang lain yang lebih baik.
Setelah habis Perang Badar dan terdapat 70 orang tawanan, beliau adakan pula terlebih dahulu musyawarah dengan yang patut-patut (Abu Bakar dan Umar) tentang sikap yang akan diambil terhadap orang-orang tawanan itu, dibebaskankah semuanya, atau dibunuh semuanya, atau diberi kesempatan menebus diri.
Kemudian, setelah akan menghadapi Perang Uhud, segeralah beliau panggil segenap pejuang berkumpul. Diajak bermusyawarah apakah musuh akan dinanti di dalam kota saja, atau akan dikeluari bersama dan bertempur di luar kota.
Beliau berpendapat dinanti saja dengan mempertahankan kota. Abdullah bin Ubay sependapat dengan beliau. Akan tetapi, suara yang terbanyak ialah supaya keluar dan bertempur di luar kota. Akhirnya suara terbanyak itulah yang ditetapkan dan beliau lekatkanlah pakaian perang beliau. Setelah ada yang ingin meninjau kembali usul mereka dan bertahan di dalam kota saja menuruti pikiran Rasul, beliau marah dan keluarlah perkataan beliau yang terkenal bahwa pantang bagi seorang Nabi menanggalkan pakaian perangnya kembali apabila telah lekat sebelum diberi ketentuan oleh Allah. Atau musuh dapat dihancurkan atau beliau yang tewas. Dan setelah selesai peperangan yang merugikan itu, sekali-kali tidak beliau menyatakan penyesalannya, bahwa jika pendapatnya yang dituruti niscaya tidak akan kalah. Yang beliau sesali ialah yang ditegur Allah dalam ayat-ayat pada surah Aali ‘imraan ini, sedang sebabnya hanyalah karena ada yang tidak patuh kepada disiplin.
Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini yang didahului pula oleh ayat 38 surah asy-Syuuraa, jelaslah bahwasywraataumusyawarah menjadi pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman atau ketika terancam bahaya.
Pada ayat 38 surah asy-Syura itu terang sekali bahwa musyawarah itu pasti timbul karena adanya jamaah. Tiap Muslim Mukmin selalu menyediakan diri untuk menjunjung tinggi panggilan Allah, lalu mereka mengerjakan shalat bersama-sama. Akan mengerjakan shalat saja sudah mulai ada musyawarah, yaitu memilih siapa yang akan menjadi imam jamaah dalam kalangan mereka. Dengan suburnya jamaah, timbullah usaha mengerjakan atau mengeluarkan harta untuk keperluan umum. Jika ayat perintah mengajak bermusyawarah itu baru turun sesudah Perang Uhud, sesungguhnya dasar musyawarah telah ditanamkan sejak dari mulai zaman Mekah sebab surah asy-Syura diturunkan di Mekah.
Waktu di Mekah, mereka masih golongan kecil, maka tumbuhlah syura secara kelompok kecil. Setelah pindah ke Madinah, telah tumbuh masyarakat Islam dalam jamaah besar, maka tumbuhlah musyawarah secara jamaah besar pula. Masyarakat yang masih terbatas di dalam kota Madinah bermusyawarah bersama di daiam Masjid Rasul. Setelah Islam meluas, Rasulullah mengangkat kepala-kepala perang tentaranya menaklukkan suatu negeri. Hendaklah kepala perang itu bermusyawarah lagi dengan orang-orang yang dianggapnya menjadi pembantu. Bahkan di dalam perjalanan musafir beberapa orang, Rasulullah menganjurkan, supaya rombongan perjalanan itu mengangkat seorang antara mereka menjadi amir atau ketua rombongan, untuk musyawarah juga. Dan setiap kabilah atau setiap desa mempunyai kepala kabilah atau kepala desa; dengan orang-orang yang terkemuka di desa itu, hendaklah yang dituakan itu mengadakan pula musyawarah antara mereka. Kemudian, setelah Rasul ﷺ wafat, khalifah-khalifah yang menggantikan beliau mengangkat amil atau wali di daerah-daerah atau wilayah yang besar sebagaimana Usaid bin Hudhair di Mekah, Mu'awiyah bin Abu Sufyan di Syam, dan Amr bin Ash di Mesir.
Mereka pun diwajibkan selalu menghidupkan sistem aturan musyawarah ini.
Pertumbuhan syura islami itu hampir sama jugalah dengan pertumbuhan demokrasi pada kota-kota Yunani purbakala. Demokrasi sudah ada sejak semula. Tiap kota mempunyai demokrasi sendiri dan semua orang berhak menghadiri pertemuan serta mengeluarkan pendapat. Kemudian, demokrasi itu pun boleh berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, ruang, dan waktu.
Rasulullah ﷺ tidaklah meninggalkan wasiat politik yang teperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun syura itu. Karena ilham Ilahi telah turun kepada beliau sewaktu beliau menggali parit pertahanan (khandaq) untuk menangkis serangan sekutu (al-Ahzaab) ke atas kota Madinah, yaitu ketika sekali beliau memukulkan linggisnya ke batu, terpancarlah api, lalu beliau mengucapkan Aflahu Akbar; sahabat-sahabat pun mengucap Allahu Akbar pula, demikian berturut-turut sampai tiga kali. Lalu beliau menceritakan kepada mereka bahwa ketika pukulan linggis pertama, terbayanglah satu istana putih di Yaman. Pada pukulan kedua, terbayang Baitul Maqdis, dan pada pukulan ketiga terbayanglah dinding tembok kota Konstantinopel.
Semuanya tanda bahwa sepeninggal beliau agama dan umat ini akan mengaliri segenap pelosok dunia. Maka, terserahlah bagaimana hendaknya teknik melancarkan syura itu menurut keadaan tempat dan keadaan zaman. Tidaklah Rasulullah mengikat kita dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai lagi dengan zaman yang selalu berkembang. Dalam hal ini dapatlah dipakai ijtihad bagaimana caranya. Bolehlah diadakan musyawarah bagaimana hendaknya bermusyawarah dan memungut suara serta mengambil keputusan yang di dalam bahasa sekarang, dengan prosedur sidang.
Untuk bahan pertimbangan dapatlah kita lihat bahwa Rasulullah ﷺ di dalam mengadakan syura itu memakai “menteri-menteri utama", yaitu Abu Bakar dan Umar dan menteri utama tingkat kedua, yaitu Utsman dan Ali. Kemudian, ada “menteri" yang berenam, yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Said bin al-Ash, serta terdapat pula orang yang dianggap menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar, seperti Sa'ad bin Ubadah, Sa'ad bin Mu'az, Ka'ab bin Malik, dan sebagainya. .
Apakah zaman sekarang ini kita akan mengadakan pemilihan umum dan Majelis Permusyawaratan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Pertimbangan Agung? Apakah kita akan mengadakan Dewan Senat? Apakah sebagai pelaksana tetap (eksekutif) kita akan mengadakan Dewan Menteri atau Kabinet? Atau apakah semuanya itu akan kita rombak dan dicarikan nama yang baru? Bukankah itu yang jadi soal; dan Al-Qur'an atau Hadits tidaklah mencampuri hal itu secara mendalam dan teperinci. Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat mesti selalu ada syura.
Masyarakat Islam, berdasarkan kepada yang tengah kita tafsirkan ini, didahului oleh ayat 38 surah asy-Syura itu telah menanamkan dasar (prinsip) bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarah. Demikian hendaknya sejak dari desa kecil, desa besar, kota ataupun negara, bahkan satu jamaah kecil pada satu lorong di tengah kota.
Sebab itu sangatlah jauh dari inti kehendak Islam suatu masyarakat yang hanya dipengaruhi oleh satu orang. Satu lurah yang laksana dewa dalam desanya, atau gubernur yang laksana raksasa dalam daerahnya, atau satu kepala yang memerintah dengan kehendak sendiri, dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang hanya mengiya-iyakan apa yang beliau kehendaki. Oleh sebab itu, sebagian besar ahli tarikh Islam sejak zaman dahulu sampai sekarang menyalahkan Mu'awiyah yang membekukan syura Islam untuk kepentingan dirinya sendiri untuk mendirikan dinasti keturunan Umayyah. Tabi'in yang besar, Hasan Bishri mengatakan bahwa susunan masyarakat Islam menjadi kucar-kacir dan hancur sejak Mu'awiyah mengambil alih kekuasaan dengan paksa. Dan ini telah mereka mulai sejak hidupnya Utsman bin Affan dengan rapat-rapat mengelilingi beliau, sehingga jalan pikiran beliau yang telah mulai tua dipengaruhi oleh pemuda-pemuda Bani Umayyah, sehingga sampai pemberontakan dan beliau mati teraniaya.
Sesudah Bani Umayyah jatuh, naiklah Bani Abbas. Oleh sebab pengaruh kebudayaan Iran, mulailah khalifah-khalifah dipandang sebagai lambang negara yang dikeramatkan; dan sejak dan abad ke abad mundurlah pokok syura Islam itu, sehingga ketika Madhat Pasya memperjuangkan agar negara Turki Osmani diberi Undang-Undang Dasar, dibentuk Majelis Syura (Parlemen) yang bertanggung jawab, maka dialah yang dituduh hendak mengubah-ubah agama. Dibuanglah dia ke Thaif dan dikirimlah orang oleh Sultan Abdulhamid pergi membunuhnya ke tempat pembuangannya itu, sebab Abdulhamid memandang bahwa kalau dia masih hidup juga, pengaruhnya hendak mendirikan Parlemen Pilihan rakyat itu akan timbul juga kembali. Akan tetapi, pada tahun 1908 tirani dan absolut despotis Abdulhamid dimakzulkan orang juga dari singgasana sebab orang ingin pemerintahan yang berdasarkan syura.
Dapatlah kita catat sebagai suatu sejarah yang nyata bahwasanya pelopor yang mengajak kaum Muslimin kembali kepada syura itu ialah ulama besar Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang terkenal Syekh Muhammad Abduh. Untuk itu, kedua beliau telah banyak memberikan pengorbanan.
Sekarang kita lanjutkan terusan ayat,
“Apabila telah bulat hatimu, maka tawakallah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat suka kepada orang-orang yang bertawakal."
Perhatikanlah kembali, di dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul ﷺ supaya mengajak orang-orang itu bermusyawarah. Wa syawirhum fil amri. Di sini jelas bahwa beliau adalah pemimpin, kepadanya datang perintah supaya mengambil prakarsa mengadakan musyawarah itu. Setelah semua pertimbangan beliau dengarkan dan pertukaran pikiran tentang mudharat dan manfaat sudah selesai, niscaya beliau sudah mempunyai pertimbangan dan penilaian. Setelah itu baru beliau mengambil keputusan. Suasana yang demikianlah yang di dalam bahasa Arab dan di dalam ayat ini dinamai azam; yang kita artikan ‘bulat hati' Sebab, “ya" atau “tidak". Sebab, ke-putusan terakhir itulah yang menentukan dan itulah tanggung jawab pemimpin. Pemimpin yang ragu-ragu mengambil keputusan adalah pemimpin yang gagal. Di sinilah Rasulullah diberi pimpinan bahwa kalau hati telah bulat, azam telah padat, hendaklah ambil keputusan dan bertawakallah kepada Allah. Tidak boleh ragu, tidak boleh bimbang, dan hendaklah menanggung segala risiko. Serta untuk lebih menguatkan hati yang telah berazam itu, hendaklah bertawakal kepada Allah. Artinya, bahwa perhitungan kita sebagai manusia sudah cukup dan kita pun percaya, bahwa di atas kekuatan dan ilmu manusia itu ada lagi kekuasaan tertinggi lagi mutlak dari Allah. Dialah yang sebenarnya menentukan.
Pada saat demikian, pemimpin memutuskan dan ahli syura semuanya patuh dan tunduk.
Ayat ini diamalkan oleh Rasul sebelum diturunkan. Di sini bertemu lagi kemuliaan Rasul di sisi Allah.
Beliau bermusyawarah terlebih dahulu, apakah musuh akan dinanti dengan bertahan dalam kota atau dinanti di luar kota. Beliau sendiri berpendapat, bertahan dalam kota atau dinanti. Akan tetapi, beliau kalah suara. Beliau tunduk kepada suara terbanyak sebab beliau yakin bahwa semangat pemuda-pemuda itu—meskipun pendapat mereka tidak sama dengan pendapat Rasul—jauh lebih dapat dipercaya daripada semangat Abdullah bin Ubay, meskipun Abdullah bin Ubay sependapat dengan beliau.
Maka datang rintangan pertama, yaitu pemuda-pemuda tadi banyak yang menyesal karena tidak menuruti pendapat Rasul, sedang beliau telah memakai pakaian perangnya. Di sini beliau menunjukkan kemarahan, karena sikap ragu-ragu pemuda-pemuda itu dalam menjunjung tinggi keputusan.
Kemudian, datang pula rintangan kedua, yaitu Abdullah bin Ubay dengan 300 orang pengikutnya mundur di tengah perjalanan. Namun beliau berjalan terus dengan membawa 700 orang yang setia. Sebab, beliau percaya bahwa yang 700 ini adalah orang-orang yang suka sehidup-semati dengan beliau. Beliau pun mempunyai keyakinan tebal bahwa dalam perang ini akan menang, asal saja strategi yang telah beliau atur dipatuhi.
Dan kemudian datanglah kekecewaan terakhir, yaitu antara pemanah penjaga lereng bukit ternyata melanggar disiplin, mereka tinggalkan pos mereka. Akan tetapi, dengan gagah perkasanya, bersama-sama dengan tentara yang masih setia beliau dapat memperbaiki keadaan, sehingga meskipun mulanya kaum Quraisy hampir saja bangga karena kemenangan, pulang dengan tidak puas hati. Beliau dapat membangunkan kembali disiplin dengan jiwanya yang besar dan sikapnya yang lemah lembut, sehingga sehari setelah sampai di Madinah dari Uhud yang kecewa itu, segenap Angkatan Perang Islam yang turut dalam Perang Uhud beliau kerahkan berangkat mengejar tentara Quraisy yang pulang itu, meskipun jumlah yang dikejar jauh lebih banyak, sedang Angkatan Perang Islam telah berkurang 70 orang. Bahkan yang melanggar disiplin di lereng Bukit Uhud itu pun dibawa serta.
Inti semuanya adalah dalam rangka selalu tawakal kepada Allah, setelah timbul kebulatan hati dan keputusan diambil. Apabila langkah telah diambil, pantangkan bermata ke belakang, pantangkan berbalik surut dan serahkan diri kepada Allah. Semua hal kita perhitungkan, tetapi dengan tawakal kita selalu ingat bahwa ada hal-hal yang terletak di luar perhitungan kita.
Maka orang-orang yang tetap bertawakal itu akan selalu dikasihi Allah. Yaitu tidaklah dia akan merasa kehilangan akal, jika ada sesuatu yang mengecewakan dan sekali-kali tidak pula dia akan bersombong diri ketika apa yang direncanakan itu sesuai dengan taufik Allah. Dan dengan sebab tawakal pula, maka hati akan selalu terbuka untuk memperbaiki mana yang kurang, menyempurnakan mana yang belum sempurna untuk zaman yang akan datang.
Di dalam susunan pengajian Ilmu Tasawuf, tawakal itu selalu mesti diiringi dengan syukur dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang didapat masih mengecewakan, dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sehingga hidayat-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.
Ini dijelaskan lagi oleh ayat selanjutnya,
Ayat 160
“Jika Allah hendak menolongmu, maka tidak siapa pun dapat mengalahkan kamu."
Kepada kita sudah diajarkan bahwasanya Yang Mahakuasa atas seluruh alam ini adalah Allah. Dia yang menguasai dan sebenar merajai langit dan bumi, laut dan darat, bahkan sampai kepada sungai-sungai yang mengalir. Kadang-kadang medan perang itu sendiri, letak bukit dan sungainya, hutan rimbanya, dan sawah-sawahnya, dengan tidak hasil usaha kita, telah disediakan Allah untuk menolong kita. Itu sebabnya di dalam perang dipentingkan benar menyelidiki medan. Kadang-kadang musim hujan, musim panas, dan seumpamanya pun turut menentukan kalah dan menangnya perang. Oleh sebab itu, komandan wajib— di samping mempelajari medan perang— mempelajari pula keadaan cuaca. Kalau Allah memberikan ilham kepada pimpinan dapat menilai medan dan cuaca itu saja, dialah yang akan lebih tahu, bahwa medan dan cuaca pun— yaitu pemberian Allah semata-mata—dapat jadi alat untuk menang. Dalam saat demikian siapakah yang akan dapat mengalahkan kita? Maka datang lagi lanjutan ayat,
“Dan jika Dia hendak mengalahkan kamu, siapakah lagi yang dapat menolongmu sesudah Dia."
Manusia wajib mempersiapkan segala alat yang ada padanya, baik dalam suasana perang maupun dalam suasana damai. Musuh-musuh pun akan bersedia pula. Akan tetapi, kalau Allah hendak mengalahkan, pasti akan terjadilah hal-hal yang di luar perhitungan manusia; dan tidak ada satu kekuatan yang dapat menyetop hal itu.
Napoleon menyerang Rusia dengan tentara besar, hampir satu juta (800.000) orang. Akan tetapi, dia telah pulang ke Perancis dengan kekalahan yang sangat besar pula, sampai tentaranya hancur lebur, tinggal 25.000 orang saja yang pulang. Apa sebab? Di Rusia dia dihancurkan oleh musim dingin, oleh salju yang tebal. Dan dia kecewa, karena segala rencana gagal belaka. Dia yakin pada mulanya bahwa Moskow akan dapat direbutnya dengan utuh. Akan tetapi, tentara Rusia terus mundur ke pedalaman dengan terlebih dahulu mengadakan bumi hangus. Setelah masuk ke Moskow, ternyata kotanya telah dibakar oleh orang Rusia sendiri dan tidak didapatinya jenderal yang akan menyerah. Sedang dia menunggu-nunggu, musim dingin telah datang. Dengan kecewa pulanglah dia.
Di tengah perjalanan gugurlah tentaranya seribu demi seribu karena kedinginan dan kekurangan makanan. Makanan yang akan diambil di perjalanan tidak ada lagi sebab telah dibakar oleh orang Rusia.
Kekalahan Napoleon di medan Perang Waterlo menghadapi Jenderal Wellington, ialah karena dalam penyerbuannya kepada musuh yang paling hebat—di bawah pimpinan Marsekal Ney—mereka tidak ingat akan adanya sebuah ngarai. Kuda-kuda yang kencang larinya dikerahkan laksana kencangnya angin menyerbu musuh. Rupanya semua tentara itu handam karam bertindih ke dalam jurang yang besar.
Kekalahan Hitler menyerang Rusia pun sama dengan kekalahan Napoleon.
Misal yang terdekat ialah kekalahan dan kehancuran kaum Komunis di Indonesia dalam usaha mereka merebut kuasa (kup) 30 September 1965. Mereka sudah yakin bahwa maksud mereka akan berhasil dan pastilah mereka menang. Sebab, sudah beberapa tahun mereka mempersiapkan dan memperpanas situasi. Dan kita, pihak lawannya pun sudah mulai ragu akan pertolongan Allah. Hanya tinggal saja lagi segolongan kecil orang Mukmin yang tetap beriman dan tawakal kepada Allah, meyakinkan bahwa satu waktu, Allah akan turun tangan, meskipun mereka sendiri tidak tahu lagi dari mana pertolongan Allah itu akan datang.
Akhirnya kaum Komunis bertindak, mereka membunuh enam orang jenderal.
Bujukan setan datang kepada mereka. Jenderal inilah bunuh dahulu, sebab yang lain sudah mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, karena mereka tidak mengenal tawakal kepada Allah dan maksud mereka memang semata-mata jahat, hanya sehari saja rencana mereka berjalan. Petang harinya keadaan sudah dapat dikuasai oleh Jenderal Soeharto dengan pertolongan Allah. Bagaimana kalau yang dibunuhnya terlebih dahulu bukan enam orang jenderal, melainkan 10.000 ulama? Bagaimana jadinya negeri ini kalau mereka berkuasa? Agama akan dihancurkan. Masjid dan gereja akan dijadikan kandang kuda.
Maka meluaplah kemarahan rakyat sebab kepala negara yang diharapkan akan mengutuk mereka, malahan membela mereka. Rakyat— terutama rakyat yang beriman kepada Allah— diberi Allah kekuatan menyerbu menyerang kaum tidak bertuhan itu, tidak dengan bedil dan meriam, melainkan dengan pisau dan golok. Lebih 500.000 orang yang mati di seluruh Indonesia. Dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membiarkan saja kejadian itu sebab mereka yang kena terlebih dahulu. Mereka yang dilukai dengan pembunuhan jenderal-jenderal mereka secara hina dan keji. Akhirnya, komunis kalah total!
Dalam ayat ini, Allah menantang: Siapa yang akan dapat menolong sesudah Allah?
Soekarno dengan segenap wibawa dan kekuasaan dan pengaruh yang ada padanya mencoba menolong komunis. Segala siasat tetap diaturnya. Akan tetapi, hasilnya bukanlah komunis saja yang hancur, bahkan kewi-bawaan Soekarno yang membelanya pun turut dihancurkan oleh Allah.
Bagaimana kita tidakkan percaya, bahwa Allah itu ada?
Beberapa kejadian di dunia ini memberi kita petunjuk bahwa percobaan manusia hendak menghalangi kekuasaan Allah senantiasa gagal.
Kemudian, datanglah penutup ayat,
“Dan kepada Allah-lah hendaknya bertawakal orang-orang yang beriman."
Sesudah pada ayat yang terdahulu Allah laksana mengulurkan tangan menyambut orang-orang yang bertawakal, dengan firman-Nya bahwa Dia amat suka kepada orang yang bertawakal, maka ujung ayat ini adalah anjuran kepada orang-orang yang beriman, agar mereka segera menyambut tangan itu.
Sebagaimana telah kita ketahui, bertawakal artinya ialah berserah diri. Tawakal adalah akibat yang wajar dari iman. Tidak mungkin ada orang yang mengaku beriman yang tidak bertawakal kepada Allah. Berserah diri lain artinya dengan berdiam diri. Tawakal hendaklah disertai ikhtiar.
Apabila Allah telah memberikan janji yang pasti bahwa jika Dia hendak menolongmu, tidak ada kekuatan lain yang dapat mengalahkanmu. Dan jika Dia hendak mengecewakan kamu, tidak ada sesudah Dia orang lain yang dapat membelamu. Orang yang beriman tidak akan bermenung berdiam diri, melainkan lekas-lekas mendekati Allah. Mendekati Ailah dengan aktif dengan mengerjakan ibadah, dengan memperdalam takwa, berarti akan selalu mengharapkan petunjuk-Nya, sehingga tidak mendapat jalan buntu.
Menambah pengetahuan dan menukuk ilmu pun termasuk dalam rangka tawakal. Karena dengan sebab ilmu, Allah akan membukakan rahasia-rahasia yang mulanya tidak kita ketahui. Di dalam menghadapi musuh yang hendak mengganggu kemerdekaan negara dan kelancaran agama kita, dalam rangka tawakal jugalah jika kita adakan persiapan dan kewaspadaan.
Jika kita jalankan perintah Allah yang tersebut dalam surah al-Anfaal ayat 60 yang memerintahkan agar kita mengadakan persiapan perang untuk menghadapi musuh yang hendak menyerang, dengan sepenuh tenaga yang ada pada kita, sampai di dalam ayat itu juga ditegaskan menyuruh membentuk cavalerie (pasukan berkuda) supaya musuh jangan lancang menyerang kita, bahkan mereka merasa takut, itu pun termasuk tawakal. Jika kita mempunyai kandang ayam, lalu kita kuncikan pintu kandang itu baik-baik senja hari supaya dia jangan dicuri musang malam hari, itu pun adalah dalam rangka tawakal. Sebaliknya, jika kita tidak mengadakan persiapan, atau kandang ayam tidak dikunci, sehingga musuh menyerbu atau musang menangkap ayam, tidaklah itu bernama tawakal kepada Allah, melainkan lalai atau alpa melaksanakan perintah Allah.
Sebab itu dapatlah dipahamkan bahwasanya orang yang beriman itu ialah yang berusaha sekuat tenaga melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Menumpahkan kesanggupan yang ada padanya, dan melaksanakan menurut yang dibimbing dan dipimpin Ailah. Lalu dia pun sadar bahwa dia manusia. Bahwa kuasa dan kekuatan yang lebih tinggi adalah pada Allah.
Dengan tawakal kita membuat satu rencana. Misalnya, satu pemerintahan membuka persawahan, memperbaiki penanaman padi, menyediakan pupuk dan memperhitungkan musim hujan dan menjaga erosi tanah, karena mengharap moga-moga hasil padi tahun ini naik daripada tahun-tahun yang lalu. Alangkah indahnya jika segala rencana ini diberi patri dengan tawakal. Karena di atas segala rencana, kita itu ada saja kemungkinan yang di luar batas kekuasaan kita. Misalnya musim panas terlebih lama dari biasa, atau musim hujan.
Jika musim panas terlalu lama, padi yang semula akan tumbuh subur, hangus karena panas. Dan jika hujan terlalu banyak turun, padi muda akan tenggelam dalam banjir. Dalam hal ini kita tawakal dan karena tawakal kita bersedia dengan iman yang kuat menghadapi segala kemungkinan, atau berusaha terus mencari jalan keluar dari aneka warna kesulitan itu.
Sebaliknya kalau tawakal tidak ada, hanya percaya kepada rencana sendiri, bila datang rintangan yang di luar kemampuan kita, kita pun menjadi kalang kabut.
Itulah sebabnya di dalam ayat ini ditegaskan bahwasanya kepada Allah sehendak-nyalah bertawakal orang-orang yang beriman. Ada pun orang yang tidak beriman, tidaklah mengenal tawakal. Orang seperti itu kalau mendapat suatu kegagalan biasanya menimpakan tanggung jawab kepada orang lain.