Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
يَرۡفَعُ
meninggikan
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
ٱلۡقَوَاعِدَ
dasar-dasar
مِنَ
dari
ٱلۡبَيۡتِ
rumah/Baitullah
وَإِسۡمَٰعِيلُ
dan Ismail
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
تَقَبَّلۡ
terimalah
مِنَّآۖ
daripada kami
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
وَإِذۡ
dan ketika
يَرۡفَعُ
meninggikan
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
ٱلۡقَوَاعِدَ
dasar-dasar
مِنَ
dari
ٱلۡبَيۡتِ
rumah/Baitullah
وَإِسۡمَٰعِيلُ
dan Ismail
رَبَّنَا
ya Tuhan kami
تَقَبَّلۡ
terimalah
مِنَّآۖ
daripada kami
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلسَّمِيعُ
Maha Mendengar
ٱلۡعَلِيمُ
Maha Mengetahui
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Dan) ingatlah (ketika Ibrahim meninggikan sendi-sendi) dasar-dasar atau dinding-dinding (Baitullah) maksudnya membinanya yang dapat dipahami dari kata 'meninggikan' tadi (beserta Ismail) `athaf atau dihubungkan kepada Ibrahim sambil keduanya berdoa, ("Ya Tuhan kami! Terimalah dari kami) amal kami membina ini, (sesungguhnya Engkau Maha Mendengar) akan permohonan kami (lagi Maha Mengetahui) akan perbuatan kami.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 126-128
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud."
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian:" Allah berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali."
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
Ayat 125
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail” (Al-Baqarah: 125). Allah memerintahkan kepada keduanya untuk menyucikan Baitullah dari kotoran dan najis, dan agar Baitullah jangan terkena sesuatu pun dari hal tersebut.
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada ‘Atha’, "Apakah yang dimaksud dengan lafal al-'ahdu dalam ayat ini?" ‘Atha’ menjawab, "Yang dimaksud adalah perintah Allah."
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim" (Al-Baqarah: 125). Makna yang dimaksud ialah, "Telah Kami perintahkan kepadanya." Demikian menurut Abdur Rahman. Makna lahiriah lafal ini di-muta'addi-kan kepada huruf ila, mengingat makna yang dimaksud ialah telah Kami dahulukan dan telah Kami wahyukan.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Bersihkanlah rumahKu ini untuk orang-orang yang tawaf, yang itikaf” (Al-Baqarah: 125). Yang dimaksud dengan dibersihkan ialah dibersihkan dari berhala-berhala.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf” (Al-Baqarah: 125). Sesungguhnya perintah membersihkan Baitullah ini ialah membersihkannya dari berhala-berhala, perbuatan cabul (tawaf dengan telanjang), perkataan dusta, dan kotoran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, ‘Atha’, dan Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya: "Bersihkanlah rumahKu oleh kamu berdua" (Al-Baqarah: 125). Yakni dari kemusyrikan, dengan kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah).
Lafal taifin artinya orang-orang yang tawaf. Tawaf di Baitullah merupakan hal yang sudah dikenal. Dari Sa'id ibnu Jubair, disebutkan bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Lit taifin." Yang dimaksud ialah orang yang datang kepada Baitullah dari negeri lain, sedangkan yang dimaksud dengan al-'akifin ialah orang-orang yang mukim (penduduk asli). Hal yang sama dikatakan pula dari Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan lafal al-'akifin dengan makna penduduk asli yang mukim padanya; begitu pula apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Yahya Al-Qattan meriwayatkan dari Abdul Malik (yakni Ibnu Abu Sulaiman), dari ‘Atha’ sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Al-'akifin" bahwa al-'akifin ialah orang yang datang dari pelbagai kota, lalu bermukim di Baitullah. ‘Atha’ mengatakan kepada kami, sedangkan kami tinggal bersebelahan dengan Baitullah, "Kalian adalah orang-orang yang i'tikaf." Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila seseorang duduk padanya, maka dia termasuk orang-orang yang i'tikaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Sabit yang mengatakan bahwa kami pernah berkata kepada Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, "Aku harus berbicara kepada Amir agar dia mengizinkan aku melarang orang-orang yang tidur di dalam Masjidil Haram, karena sesungguhnya mereka mempunyai jinabah dan berhadas." Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair menjawab, "Jangan kamu lakukan itu, karena sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya mengenai mereka (yang tidur di dalam Masjidil Haram). Ia menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang sedang ber-i'tikaf’." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Ibnu Umar sering tidur di dalam Masjid Rasul (di Madinah) ketika ia masih jejaka.
Mengenai firman-Nya: “Orang-orang yang rukuk dan orang-orang yang sujud” (Al-Baqarah: 125). Maka Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sedang salat, maka dia termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud." Hal yang sama dikatakan pula oleh ‘Atha’ dan Qatadah.
Kemudian ibnu Jarir menilai lemah kedua hadis tersebut karena masing-masing dari kedua hadis tersebut mengandung orang-orang yang dha’if; dan kenyataannya memang seperti apa yang dikatakan oleh ibnu Jarir, yaitu kedua hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan. Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini ialah "Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan rumahKu bagi orang-orang yang tawaf".
Perintah menyucikan Baitullah yang ditujukan kepada keduanya ialah agar menyucikannya dari berhala-berhala dan dari penyembahan kepada berhala-berhala di dalamnya, juga menyucikannya dari segala kemusyrikan. Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan hipotesisnya. Untuk itu dia mengatakan, jika timbul pertanyaan "Apakah sebelum Nabi Ibrahim membangun Ka'bah, di dalam Ka'bah terdapat sesuatu dari hal tersebut yang Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memberantasnya?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan dua alasan berikut.
Pertama, Allah memerintahkan keduanya (Ibrahim dan Ismail) untuk menyucikan Baitullah dari penyembahan segala macam berhala dan patung-patung, yang hal ini dilakukan di masa silam di zaman Nabi Nuh a.s. agar hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang sesudah zaman keduanya; mengingat Allah ﷻ telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang imam yang diikuti. Seperti apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Bersihkanlah rumahKu olehmu berdua” (Al-Baqarah: 125). Yakni dari segala macam berhala yang disembah dan diagungkan oleh orang-orang musyrik di masa lalu.
Menurut kami, jawaban ini menyimpulkan bahwa dahulu di masa sebelum Nabi Ibrahim a.s. dilakukan penyembahan terhadap berhala di tempat tersebut. Tetapi hal ini memerlukan bukti berupa dalil dari orang yang ma'sum, yaitu dari Nabi ﷺ.
Kedua, Allah memerintahkan keduanya ikhlas dalam membangunnya karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Maka keduanya membangunnya seraya menyucikannya dari kemusyrikan dan keraguan, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh” (At-Taubah: 109). Demikian pula dalam firman-Nya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumahKu’." (Al-Baqarah: 125). Artinya, bangunlah rumahKu oleh kamu berdua dalam keadaan bersih dan suci dari kemusyrikan dan keraguan. Seperti apa yang dikatakan oleh As-Suddi, makna an-tahhira baitiya ialah bangunlah oleh kamu berdua rumah-Ku ini buat orang-orang yang tawaf.
Kesimpulan dari jawaban di atas ialah bahwa Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. membangun Ka'bah atas nama-Nya semata tiada sekutu bagi-Nya buat orang-orang yang tawaf dan i'tikaf serta orang-orang yang mengerjakan salat di dalamnya dari kalangan orang-orang yang rukuk dan sujud, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud" (Al-Hajj: 26). Juga beberapa ayat berikutnya.
Fuqaha (para ahli fiqih) berbeda pendapat mengenai masalah manakah yang lebih afdal antara salat di Baitullah dan tawaf. Imam Malik rahimahullah mengatakan, tawaf di Baitullah bagi penduduk kota-kota besar adalah lebih utama. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa shalat lebih afdal secara mutlak. Alasan masing-masing dari kedua pendapat ini disebutkan secara rinci di dalam pembahasan hukum-hukum. Maksud dan tujuan perintah tersebut adalah untuk membalas perbuatan orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah di rumah-Nya yang dibangun atas dasar menyembah-Nya semata dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kemudian selain itu mereka menghalang-halangi kaum mukmin yang memilikinya, tidak boleh memasukinya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih” (Al-Hajj: 25). Kemudian Allah ﷻ menyebutkan, sesungguhnya Baitullah itu hanya dibangun bagi orang yang menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, baik dengan cara tawaf ataupun salat.
Selanjutnya di dalam surat Al-Hajj disebutkan ketiga bagian dari salat, yaitu berdirinya, rukuknya, dan sujudnya, tetapi tidak disebutkan al-'akifin karena telah disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu: “baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir” (Al-Hajj: 25). Sedangkan di dalam ayat ini (Al-Hajj: 25) tidak disebutkan rukuk, sujud, dan qiyam (berdiri), tetapi hanya disebutkan taifin dan 'akifin, karena sesungguhnya telah diketahui bahwa tiada rukuk dan tiada sujud melainkan sesudah qiyam (berdiri).
Di dalam ayat ini terkandung pula bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau berhaji kepadanya dari kalangan ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sesungguhnya mereka mengakui keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka pun mengetahui bahwa rumah itu (Baitullah) dibangun untuk tawaf dalam ibadah haji dan umrah serta ibadah lainnya; juga untuk itikaf serta melakukan salat padanya, sedangkan mereka tidak mengerjakan sesuatu pun dari hal tersebut.
Mana mungkin mereka dinamakan sebagai orang-orang yang menganut agama Nabi Ibrahim, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakan apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim? Sesungguhnya Nabi Musa ibnu Imran serta nabi-nabi lainnya telah melakukan haji ke Baitullah, seperti yang telah diberitakan oleh orang yang dima'sum yang tidak sekali-kali berbicara dari dirinya sendiri melainkan hanya semata-mata wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dengan demikian, berarti makna ayat adalah seperti berikut Wa'ahidna ila Ibrahima, Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail melalui wahyu kami, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Dengan kata lain, bersihkanlah rumah-Ku dari kemusyrikan dan keraguan, dan bangunlah rumah-Ku dengan ikhlas karena Allah, yang kelak akan menjadi tempat bagi orang-orang yang i'tikaf, yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud.
Pengertian menyucikan masjid diambil dari ayat ini dan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan sore” (An-Nur: 36). Sedangkan dalil dari sunnah banyak hadis yang memerintahkan membersihkan masjid-masjid dan memberinya wewangian serta lain-lainnya, seperti membersihkannya dari kotoran dan najis-najis serta hal-hal yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun hanya untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.”
Sesungguhnya kami menghimpun pembahasan ini dalam sebuah kitab tersendiri secara rinci. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mula-mula membangun Ka'bah. Menurut suatu pendapat, yang mula-mula membangun Ka'bah adalah para malaikat. Hal ini diriwayatkan melalui Abu Ja'far Al-Baqir, yaitu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain; Imam Qurtubi menyebutkannya dan mengetengahkan riwayat tersebut, tetapi di dalamnya terkandung garabah (keanehan).
Menurut pendapat yang lain, orang yang mula-mula membangun Ka'bah adalah Nabi Adam a.s.. Demikianlah menurut riwayat Abdur Razzaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ dan Sa'id ibnul Musayyab serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa Nabi Adam-lah yang mula-mula membangunnya dari lima buah gunung, yaitu dari Gunung Hira, Gunung Tursina, Gunung Tur Zaitan, Gunung Libanon, dan Gunung Al-Judi. Akan tetapi, riwayat ini gharib (aneh) sekali.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka'b Al-Ahbar dan Qatadah, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa orang yang mula-mula membangunnya ialah Nabi Syis a.s..
Kebanyakan orang-orang yang mengetengahkan riwayat masalah ini mengambil sumber dari kitab-kitab kaum ahli kitab. Hal tersebut merupakan suatu topik yang tidak boleh dibenarkan, tidak boleh didustakan, tidak boleh pula dijadikan sebagai pegangan jika hanya berlandaskan ia semata. Jika ada hadis sahih yang menceritakan hal tersebut, maka dengan senang hati harus diterima.
Ayat 126
Firman Allahﷻ: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian" (Al-Baqarah: 126).
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan dan mengamankan Baitullah, dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya. Karena itu, tidak boleh diburu binatang buruannya dan tidak boleh ditebang pepohonannya.” Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar dengan lafal yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Amr ibnu Naqid, yang kedua-duanya menerimanya dari Abu Ahmad Az-Zubairi, dari Sufyan Ats-Tsauri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Abus Sa-ib yang kedua-duanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim Ar-Razi, keduanya mengatakan bahwa kami pernah mendengar Asy'as, dari Nafi dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim adalah hamba dan kekasih Allah, dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Mekah kota suci, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah kota yang suci di antara kedua batasnya, yakni semua pepohonannya dan semua binatang buruannya. Tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk tujuan perang, dan tidak boleh menebang sebuah pohon pun darinya kecuali untuk makanan unta.” Akan tetapi, jalur periwayatan ini garibah (aneh) karena tidak dijumpai dalam salah satu kitab pun dari Kutubus Sittah.
Asal hadis berada di kitab Sahih Muslim, dari jalur yang lain melalui sahabat Abu Hurairah yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang (penduduk Madinah) apabila musim buah kurma tiba, mereka memberikan yang mula-mula mereka petik kepada Rasulullah ﷺ. Dan ketika Rasulullah ﷺ menerimanya, maka beliau berdoa, "Ya Allah, berkatilah bagi kami dalam buah kurma kami, berkatilah bagi kami dalam kota Madinah kami, berkatilah bagi kami dalam ukuran sa' kami, dan berkatilah bagi kami dalam ukuran mud kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba, kekasih, dan Nabi-Mu; dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Nabi-Mu. Dia telah berdoa untuk Mekah, dan sesungguhnya aku sekarang berdoa memohon kepada-Mu untuk kota Madinah ini dengan doa yang serupa dengan apa yang pernah didoakan olehnya (Ibrahim) buat Mekah, dan hal yang serupa semoga pula disertakan bersamanya." Kemudian Nabi ﷺmemanggil anak yang paling kecil baginya, lalu memberikan buah kurma itu kepadanya.
Menurut lafal yang lain disebutkan (sebagai tambahannya): "berkah di samping berkah, kemudian beliau memberikannya kepada anak yang paling kecil di antara anak-anak yang hadir. Demikianlah menurut lafal Imam Muslim.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Mudar, dari Ibnul Had, dari Abu Bakar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Usman, dari Rafi' ibnu Khadij yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah di antara kedua batasnya sebagai kota yang suci.” Hadits ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini dari Qutaibah, dari Bakr ibnu Mudar dengan lafal yang sama dengan lafal Imam Muslim.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari Anas ibnu Malik yang menceritakan hadits berikut: : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Talhah, "Carikanlah buatku seorang pelayan laki-laki dari kalangan anak-anak kalian yang akan kujadikan sebagai pembantuku." Lalu Abu Talhah berangkat dengan memboncengku di belakang (menuju kepada Rasulullah ﷺ). Maka aku melayani Rasulullah ﷺ, Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, apabila Rasulullah ﷺ turun istirahat. Dan Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, setelah itu beliau datang; dan ketika tampak Bukit Uhud, maka beliau bersabda: “Bukit ini (penghuninya) mencintaiku dan aku mencintainya.” Ketika hampir tiba di Madinah, beliau berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan apa yang ada di antara kedua bukit kota Madinah ini sebagai kota yang suci, sebagaimana Ibrahim telah menjadikan suci kota Mekah. Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mud dan sa' mereka.”
Menurut lafal yang lain dalam kitab Shahihain disebutkan seperti berikut: “Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mereka, dan berkatilah mereka dalam takaran sa' mereka, dan berkati pula mereka dalam takaran mud mereka.” Imam Al-Bukhari menambahkan, "Yakni penduduk Madinah."
Disebutkan pula oleh keduanya (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, semoga Engkau menjadikan di Madinah ini keberkahan dua kali lipat dari apa yang telah Engkau jadikan buat Mekah.”
Dari Abdullah ibnu Zaid ibnu ‘Ashim , dari Nabi ﷺ, disebutkan seperti berikut: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagaimana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran mud dan sa'-nya sebagaimana Ibrahim telah mendoakan untuk Mekah.” Hadits ini dan lafaznya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya berbunyi seperti berikut, bahwa Rasulullah ﷺ berdoa: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagaimana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran sa' dan mud-nya sebanyak dua kali lipat dari apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim untuk Mekah.”
Dan Abu Sa'id telah menceritakan dari Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan kota Mekah, maka dia menjadikannya sebagai tanah suci. Dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya sebagai tanah suci agar tidak dialirkan darah padanya, tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk berperang, tidak boleh memotong sebuah pohon pun darinya kecuali hanya untuk makanan ternak. Ya Allah, berkatilah bagi kami kota Madinah kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran sa' kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran mud kami. Ya Allah, jadikanlah bersama keberkatan ini dua kali lipat keberkatan.” Hadits ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Hadis-hadis yang menerangkan tentang keharaman (kesucian) kota Madinah cukup banyak jumlahnya. Kami mengutarakan sebagiannya saja yang ada kaitannya dengan pengharaman Nabi Ibrahim a.s. terhadap kota suci Mekah, mengingat pembahasan ini ada munasabah kaitannya dengan tafsir ayat yang sedang kita bahas.
Hadis-hadis tersebut dijadikan pegangan oleh orang yang mengatakan bahwa pengharaman kota Mekah hanya dilakukan oleh lisan Nabi Ibrahim a.s.. Akan tetapi, pendapat yang lain mengatakan ‘sesungguhnya kota Mekah itu telah haram (suci) sejak bumi diciptakan’; pendapat yang terakhir ini lebih jelas dan lebih kuat. Banyak hadis lainnya yang menerangkan bahwa Allah ﷻ telah mengharamkan kota Mekah sebelum langit dan bumi diciptakan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda pada hari kemenangan atas kota Mekah: “Sesungguhnya negeri ini (Mekah) telah diharamkan (dijadikan suci) oleh Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya negeri ini tidak dihalalkan peperangan di dalamnya oleh seorang pun sebelumku, tidak dihalalkan olehku kecuali sesaat dari siang hari. Maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diburu, barang temuannya tidak boleh diambil kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut.” Maka Al-Abbas bertanya, "Wahai Rasulullah, terkecuali izkhir, karena sesungguhnya kayu izkhir dipergunakan untuk pandai besi mereka dan untuk (atap) rumah-rumah mereka." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Terkecuali izkhir." Demikianlah menurut lafal Imam Muslim. Imam Al-Bukhari serta Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang mirip melalui Abu Hurairah.
Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Aban ibnu Saleh telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar hal yang semisal dari Nabi ﷺ." Riwayat inilah yang dinilai mu'allaq (terhapus sanadnya) oleh Imam Al-Bukhari. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Abdullah ibnu Majah dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ berkhutbah pada hari kemenangan atas kota Mekah. Beliau ﷺ bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mengharamkan (menyucikan) Mekah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Maka kota Mekah tetap haram hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, dan binatang buruannya tidak boleh diburu, serta barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya. Al-Abbas berkata, "Terkecuali izkhir, karena sesungguhnya izkhir buat rumah-rumah dan keperluan kuburan." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Terkecuali izkhir."
Dari Abu Syuraih Al-Adawi, disebutkan bahwa ia pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id ketika Amr ibnu Sa'id sedang melantik utusan-utusannya untuk ke Mekah, "Izinkanlah bagiku, wahai Amir, untuk mengemukakan kepadamu suatu ucapan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ ketika keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah. Aku mendengarnya langsung dengan kedua telingaku ini dan menghafalnya, lalu aku melihat dengan kedua mata kepalaku ketika beliau mengatakannya. Sesungguhnya beliau pada permulaannya memuji dan menyanjung Allah ﷻ. Kemudian beliau ﷺbersabda: "Sesungguhnya Mekah telah diharamkan oleh Allah, dan bukan diharamkan oleh manusia. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah padanya, dan menebang salah satu dari pepohonannya. Jika ada seseorang mengatakan mengapa diberikan rukhsah kepada Rasulullah ﷺ untuk melakukan peperangan di dalamnya. Maka katakanlah bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan kepada Rasul-Nya dan tidak memberikan izin kepada kalian. Sesungguhnya yang diizinkan kepadaku untuk melakukan peperangan di dalamnya hanyalah sesaat dari siang hari. Adapun sekarang, kota Mekah telah kembali menjadi haram seperti keharamannya kemarin. Maka hendaklah orang yang menyaksikan maklumat ini menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir." Kemudian dikatakan kepada Abu Syuraih, "Apakah yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu Syuraih menjawab, "Aku lebih mengetahui hal tersebut daripada kamu, wahai Abu Syuraih: 'Sesungguhnya tanah haram (suci) itu tidak memberikan perlindungan kepada orang yang durhaka, tidak pula orang yang lari karena telah membunuh, dan tidak pula yang lari sehabis menimbulkan kerusakan'." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Apa yang disebutkan di atas adalah berdasarkan lafal Imam Muslim. Apabila hal ini telah diketahui, maka tidak ada pertentangan di antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ telah mengharamkan kota Mekah sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim-lah yang mengharamkannya. Karena sesungguhnya Nabi Ibrahim-lah yang menyampaikan dari Allah hukum yang dikehendaki-Nya terhadap kota Mekah dan pengharaman Allah terhadapnya. Mekah masih tetap dalam keadaan haram (suci) menurut Allah sebelum Nabi Ibrahim mengadakan bangunan Baitullah padanya.
Keadaannya sama dengan masalah Rasulullah ﷺ. Sejak dahulu beliau tercatat sebagai pemungkas para nabi di sisi Allah, sedangkan Adam saat itu masih berupa tanah liat. Akan tetapi, sekalipun demikian Nabi Ibrahim a.s.. berdoa: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka.” (Al-Baqarah: 129). Allah memperkenankan doanya sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh ilmu-Nya di zaman azali. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang permulaan kejadianmu." Maka Nabi ﷺ menjawab: “(Aku adalah) doa bapakku Nabi Ibrahim a.s. dan berita gembira Isa ibnu Maryam, dan ibuku telah melihat seakan-akan keluar dari tubuhnya nur yang cahayanya menerangi gedung-gedung negeri Syam.”
Pertanyaan ini menyatakan, "Ceritakanlah kepada kami tentang permulaan munculnya kejadianmu," seperti yang akan diterangkan nanti dalam waktu dekat, insya Allah. Masalah keunggulan kota Mekah atas kota Madinah dari segi keutamaan, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama atau kota Madinah atas kota Mekah, seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan para pengikutnya akan diketengahkan dalam pembahasan lain berikut dalil-dalilnya, insya Allah.
Firman Allah ﷻ menyitir doa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil: ”Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman” (Al-Baqarah: 126). Yakni aman dari rasa takut, penduduknya tidak boleh ditakut-takuti. Allah ﷻ telah melakukan hal tersebut, baik secara syari' ataupun secara takdir, seperti firman Allahﷻ: “Barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia.” (Ali Imran: 97). “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok” (Al-'Ankabut: 67). Masih banyak ayat lainnya yang semakna.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan hadis-hadis yang mengharamkan melakukan peperangan di Tanah Suci. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadis oleh Jabir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seseorang membawa senjata di Mekah.”
Imam Muslim mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman” (Al-Baqarah: 126). Maksudnya, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman sentosa. Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim sebelum dia membangun Ka'bah.
Di dalam surat Ibrahim disebutkan: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman" (Ibrahim: 35). Penempatan doa ini dalam surat Ibrahim sangat sesuai, hanya Allah Yang Maha Mengetahui karena seakan-akan Ibrahim a.s. memanjatkan doanya sekali lagi sesudah membangun rumah itu (Ka'bah) dan para penduduknya telah menetap padanya. Hal ini terjadi sesudah kelahiran Nabi Ishaq, putra bungsu Nabi Ibrahim; jarak umur Ishaq dengan Ismail adalah tiga belas tahun.
Karena itulah dalam akhir doanya Nabi Ibrahim mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa” (Ibrahim: 39). “Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: ‘Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali’.” (Al-Baqarah: 126).
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Allah berfirman, ‘Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali’.” (Al-Baqarah: 126). Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa bagian ayat ini merupakan firman Allah ﷻ Pendapat ini juga dikatakan oleh Mujahid dan Ikrimah, dan inilah yang dinilai benar oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan yang lainnya mengatakan, bagian ayat ini merupakan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim a.s., seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa bagian ayat ini merupakan doa Nabi Ibrahim. Ia memohon kepada Allah, 'Barang siapa yang kafir, berikanlah kepadanya kesenangan sementara saja'." Abu Ja'far meriwayatkan dari Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara” (Al-Baqarah: 126). Artinya, barang siapa yang kafir, Aku beri juga dia rezeki, tetapi sedikit (yakni sementara, hanya selama di dunia saja). “Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali” (Al-Baqarah: 126).
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, setelah Nabi Ibrahim menolak mendoakan orang yang Allah enggan menjadikannya berhak menerima pengakuan dari-Nya, demi taat dan cintanya kepada Allah, demi menjauhkan diri dari orang yang menentang perintah Allah, sekalipun orang tersebut masih dari kalangan keturunannya; yaitu di saat Ibrahim a.s. mengetahui bahwa akan ada di antara keturunannya orang yang zalim yang tidak berhak mendapat janji (perintah) Allah, hal ini diketahuinya melalui pemberitahuan dari Allah kepada dirinya, maka Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun” (Al-Baqarah: 126). Dengan kata lain, sesungguhnya Aku akan memberi rezeki kepada orang yang bertakwa, juga kepada orang yang durhaka; tetapi kepada orang yang durhaka Aku hanya memberinya kesenangan sementara.
Hatim ibnu Ismail meriwayatkan dari Humaid Al-Kharrat, dari Ammar Az-Zahabi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian” (Al-Baqarah: 126). Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya Nabi Ibrahim dalam doanya hanya membatasi buat orang-orang mukmin saja, bukan untuk semua orang. Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Kepada orang kafir pun Aku beri mereka rezeki sebagaimana Aku berikan rezeki kepada orang-orang mukmin. Apakah Aku ciptakan mereka, lalu Aku tidak berikan rezeki kepada mereka? Aku hanya memberikan kesenangan sementara saja kepada mereka, kemudian Aku paksa mereka menerima azab neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya yang lain, yaitu: “Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi” (Al-Isra: 20).
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula hadis ini. Hal yang mirip diriwayatkan pula dari Ikrimah dan Mujahid.
Makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 126) serupa dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Bagi mereka) kesenangan sementara di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang berat, disebabkan kekafiran mereka” (Yunus: 69-70).
“Dan barang siapa kafir, maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kamilah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras” (Luqman: 23-24).
“Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Az-Zukhruf: 33-35).
Adapun firman Allah ﷻ: “Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (Al-Baqarah: 126). Yakni setelah Aku berikan kepadanya kesenangan duniawi dan keluasan naungannya, maka Aku kembalikan dia kepada siksa neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali itu adalah neraka.
Dengan kata lain, Allah sengaja menangguhkan mereka, setelah itu barulah Allah mengazab mereka dengan azab Yang Maha Perkasa lagi Mahakuasa. Ayat ini maknanya serupa dengan firman Allah ﷻ: “Dan betapa banyak kota yang Aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Ku-lah kembalinya (segala sesuatu)” (Al-Hajj: 48).
Di dalam hadis Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) disebutkan: “Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang menyakitkan pendengarannya; sesungguhnya mereka menganggap Allah beranak, tetapi Allah tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.”
Di dalam satu hadis sahih disebutkan pula: “Sesungguhnya Allah benar-benar memberi tangguh orang yang zalim, dan apabila Allah mengazabnya, niscaya Allah tidak akan membiarkannya lolos (dari azab-Nya). Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: ‘Dan begitulah azab Tuhanmu manakala Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras’.” (Hud: 102).
Sebagian ulama membaca ayat ini (Al-Baqarah: 126) dengan bacaan berikut: “Qala wa man kafara fa-amli'hu qalilan” (Dan barang siapa yang kafir, maka berilah dia kesenangan sementara), hingga akhir ayat. Dia menganggapnya sebagai kelanjutan dari doa Nabi Ibrahim. Tetapi bacaan ini syazzah (tidak memenuhi salah satu kriteria atau lebih dari kriteria-kriteria keabsahan Qira’at yang ditetapkan ulama), yakni berbeda dengan qiraat sab'ah; lagi pula susunan konteks bertentangan dengan maknanya. Karena sesungguhnya damir yang terkandung di dalam lafal qala kembali kepada Allah ﷻ menurut bacaan jumhur ulama, dan konteks ayat memang menunjukkan pengertian ini. Akan tetapi, menurut qiraat yang syazzah tadi berarti damir yang terkandung di dalam lafal qala kembali kepada Ibrahim, dan ini jelas bertentangan dengan konteks kalimat.
Ayat 127
Firman Allah ﷻ: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkan kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang" (Al-Baqarah: 127-128).
Al-qawa'id adalah bentuk jamak dari lafal qa'idah, artinya tiang atau fondasi. Allah berfirman, "Wahai Muhammad, ceritakanlah kepada kaummu kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah dan meninggikan fondasi yang dilakukan oleh keduanya, seraya keduanya berdoa, 'Ya Tuhan kami, terimalah dari kami amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'." Al-Qurthubi dan lain-lainnya meriwayatkan melalui Ubay dan Ibnu Mas'ud bahwa keduanya membaca ayat ini: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’." (Al-Baqarah: 127) Yakni dengan menambahkan lafal yaqulani sebelum rabbana taqabbal minna.
Menurut kami, bacaan tersebut tersimpul dari doa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sesudah itu, yakni firman-Nya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau” (Al-Baqarah: 128) hingga akhir ayat. Keduanya sedang melakukan amal saleh seraya memohon kepada Allah, semoga Allah menerima amalan keduanya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Muhammad ibnu Ya-zid ibnu Khunais Al-Makki, dari Wahib ibnul Ward, bahwa ia membaca firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami)’. (Al-Baqarah: 127). Kemudian Wahib ibnul Ward menangis dan mengatakan, ‘Wahai kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, engkau sedang meninggikan dasar-dasar Baitullah, tetapi engkau merasa takut bila amalanmu tidak diterima’."
Makna ayat ini serupal dengan yang disebutkan oleh Allah ﷻ tentang keadaan orang-orang mukmin yang benar-benar ikhlas, melalui firman-Nya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan” (Al-Muminun: 60). Maksudnya, mereka memberikan apa yang telah mereka berikan berupa sedekah-sedekah, berbagai macam nafkah, dan amal taqarrub (kurban-kurban). “Sedangkan hati mereka dalam keadaan takut” (Al-Muminun: 60). Yakni takut amalan mereka tidak diterima oleh Allah ﷻ, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih dari Siti Aisyah , dari Rasulullah ﷺ yang akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa orang yang meninggikan dasar-dasar bangunan Baitullah adalah Nabi Ibrahim, sedangkan orang yang berdoanya adalah Nabi Ismail. Akan tetapi, pendapat yang benar mengatakan bahwa keduanya sama-sama membina dasar-dasar Baitullah dan berdoa, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Dalam bab ini Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang akan kami ketengahkan kemudian, setelah itu kami ikutkan pembahasan atsar-atsar yang berkaitan dengannya.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub As-Sukhtiyani dan Kasir ibnu Kasir ibnul Muttalib ibnu Abu Wida'ah salah seorang dari keduanya memberikan tambahan atas yang lain, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan kisah berikut:
Wanita yang mula-mula memakai mintaq (ikat pinggang atau kemben) di zaman dahulu adalah ibu Nabi Ismail. Ia sengaja memakai kemben untuk menghapus jejak kehamilannya dari Siti Sarah (isteri Nabi Ibrahim a.s. yang belum juga punya anak). Kemudian Nabi Ibrahim membawanya pergi bersama anaknya Ismail (yang baru lahir), sedangkan ibunya menyusuinya. Lalu Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah, yaitu di bawah sebuah pohon besar di atas Zamzam, bagian dari masjid yang paling tinggi. Saat itu di Mekah masih belum ada seorang manusia pun, tiada pula setetes air.
Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di tempat itu dan meletakkan di dekat keduanya sebuah kantong besar yang berisikan buah kurma dan sebuah wadah yang berisikan air minum. Kemudian Nabi Ibrahim pulang kembali (ke negerinya). Maka ibu Nabi Ismail mengikutinya dan bertanya, "Wahai Ibrahim, ke manakah engkau akan pergi, tegakah engkau meninggalkan kami di lembah yang tandus dan tak ada seorang pun ini?" Ibu Nabi Ismail mengucapkan kata-kata ini berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak sekali pun berpaling kepadanya.
Maka ibu Nabi Ismail bertanya, "Apakah Allah telah memerintahkan kamu melakukan hal ini?" Nabi Ibrahim baru menjawab, 'Ya." Ibu Nabi Ismail berkata, "Kalau demikian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami." Lalu ibu Nabi Ismail kembali (kepada anaknya), sedangkan Nabi Ibrahim berangkat meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah celah (lereng bukit) hingga mereka tidak melihatnya, maka ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, kemudian memanjatkan doanya seraya mengangkat kedua tangannya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati” (Ibrahim: 37) sampai dengan firman-Nya: “mudah-mudahan mereka bersyukur” (Ibrahim: 37).
Ibu Ismail menyusui anaknya dan minum dari bekal air tersebut. Lama-kelamaan habislah bekal air yang ada di dalam wadahnya itu, maka ibu Ismail merasa kehausan, begitu pula dengan Ismail. Ibu Ismail memandang bayinya yang menangis sambil meronta-ronta, lalu ia berangkat karena tidak tega memandang anaknya yang sedang kehausan. Ia mendatangi Bukit Safa yang merupakan bukit terdekat yang ada di sebelahnya. Lalu ia berdiri di atasnya, kemudian menghadapkan dirinya ke arah lembah seraya memandang ke sekitarnya, barangkali ia dapat menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak melihat seorang manusia pun di sana.
Kemudian ia turun dari Bukit Safa. Ketika sampai di lembah bawah, ia mengangkat (menyingsingkan) baju kurungnya dan berlari kecil seperti berlarinya orang yang kepayahan hingga lembah itu terlewati olehnya, lalu ia sampai di Marwah. Lalu ia berdiri di atas Marwah, kemudian menghadap ke arah lembah seraya memandang ke sekelilingnya, barangkali ia menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak melihat seorang manusia pun. Hal ini dilakukannya sebanyak tujuh kali.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Karena itu, maka manusia melakukan sa'i di antara keduanya (Safa dan Marwah).”
Ketika ibu Ismail sampai di puncak Bukit Marwah, ia mendengar suatu suara, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tenanglah!" Kemudian ia memasang pendengarannya baik-baik, dan ternyata ia mendengar adanya suara, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sesungguhnya aku telah mendengar sesuatu, niscaya di sisimu (Ismail) ada seorang penolong." Ternyata dia bertemu dengan malaikat di sumur Zamzam, malaikat itu sedang menggali tanah dengan kakinya atau dengan sayapnya hingga muncul air. Maka ibu Ismail membuat kolam dan mengisyaratkan dengan tangannya, lalu ia menciduk air itu dengan kedua tangannya untuk ia masukkan ke dalam wadah air minumnya, sedangkan sumur Zamzam terus memancarkan air setelah ibu Ismail selesai menciduknya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Semoga Allah merahmati ibu Ismail. Sekiranya dia membiarkan Zamzam atau tidak menciduk sebagian dari airnya, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir.”
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail minum air Zamzam dan menyusui anaknya. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Janganlah kamu takut disia-siakan, karena sesungguhnya di sini terdapat sebuah rumah milik Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan penduduk rumah ini."
Tersebutlah bahwa rumah itu (Baitullah) masih berupa tanah yang menonjol ke atas mirip dengan gundukan tanah (bukit kecil); bila datang banjir, maka air mengalir ke sebelah kanan dan kirinya. Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian, hingga lewat kepada mereka serombongan orang dari kabilah Jurhum atau salah satu keluarga dari kabilah Jurhum yang datang kepadanya melalui jalur Bukit Kida.
Mereka turun istirahat di bagian bawah Mekah, lalu mereka melihat ada burung-burung terbang berkeliling (di suatu tempat), maka mereka berkata, "Sesungguhnya burung-burung ini pasti mengitari sumber air. Akan tetapi di lembah ini biasanya tidak ada air." Lalu mereka mengirimkan seorang atau dua orang pelari mereka, dan ternyata mereka menemukan air. Kemudian pelari itu kembali dan menceritakan kepada rombongannya bahwa di tempat tersebut memang ada air. Lalu rombongan mereka menuju ke sana.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa ketika itu ibu Ismail berada di dekat sumur Zamzam. Mereka berkata, "Apakah engkau mengizinkan kami untuk turun istirahat di tempatmu ini?" Ibu Ismail menjawab, "Ya, tetapi tidak ada hak bagi kalian terhadap air kami ini." Mereka menjawab, "Ya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: Maka dengan kedatangan mereka ibu Ismail merasa terhibur, karena memang dia memerlukan teman. Mereka tinggal di Mekah dan mengirimkan utusannya kepada keluarga mereka (di tempat asalnya), lalu mereka datang dan tinggal bersama ibu Ismail dan rombongan pertama mereka.
Ketika di Mekah telah berpenghuni beberapa ahli bait dari kalangan mereka (orang-orang Jurhum), sedangkan pemuda itu (Ismail) telah dewasa dan belajar bahasa Arab dari mereka, ternyata pribadi Ismail memikat mereka di saat dewasanya. Setelah usia Ismail cukup matang untuk kawin, lalu mereka mengawinkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Tidak lama kemudian ibu Ismail wafat. Setelah Ismail kawin, Nabi Ibrahim datang menjenguk keluarga yang ditinggalkannya, tetapi ternyata ia tidak menjumpai Ismail.
Lalu ia menanyakannya kepada istrinya, maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Kemudian Nabi Ibrahim bertanya kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan buruk, hidup kami susah dan keras." Ternyata ia mengemukakan keluhannya kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menjawab, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengganti kusen pintunya."
Lalu Ismail datang dengan penampakan seakan-akan sedang merindukan sesuatu. Ia berkata, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepadaku seorang tua yang ciri-cirinya anu dan anu, lalu ia menanyakan kepadaku tentang keadaanmu. maka aku ceritakan segalanya kepadanya. Ia menanyakan kepadaku tentang penghidupan kita. Maka aku katakan kepadanya bahwa kita hidup sengsara dan keras." Ismail bertanya, "Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia berpesan kepadaku untuk menyampaikan salamnya kepadamu, dan mengatakan hendaknya engkau mengganti kusen pintumu." Ismail menjawab, "Dia adalah ayahku, dan sesungguhnya dia memerintahkan kepadaku agar menceraikanmu. Karena itu, kembalilah kamu kepada keluargamu."
Ismail menceraikannya dan kawin lagi dengan perempuan lain dari kalangan mereka. Setelah selang beberapa masa yang dikehendaki oleh Allah, Nabi Ibrahim tidak menjenguk mereka. Kemudian dia datang lagi kepada mereka, tetapi dia tidak menemukan Ismail, lalu ia masuk menemui istri Ismail dan menanyakan kepadanya tentang Ismail. Maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Nabi Ibrahim bertanya, "Bagaimanakah keadaan kalian?" Nabi Ibrahim menanyakan kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Maka istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan baik-baik saja dan dalam kemudahan hidup," hal ini dikatakannya seraya memuji Allah ﷻ. Nabi Ibrahim bertanya, "Apakah makanan pokok kalian?" Istri Ismail menjawab, "Daging." Ibrahim a.s.bertanya, "Apakah minum kalian?" Istri Ismail menjawab, "Air." Nabi Ibrahim a.s.berdoa, "Ya Allah, berkatilah daging dan air bagi mereka."
Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada biji-bijian bagi mereka di masa itu. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian, niscaya Nabi Ibrahim mendoakannya pula buat mereka.” Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa daging dan air tersebut bila dijadikan sebagai makanan pokok oleh seseorang di luar kota Mekah maka keduanya tidak akan cocok baginya.
Nabi Ibrahim berkata, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengukuhkan kusen pintunya." Ketika Ismail datang dan bertanya, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepada kami seorang syaikh yang penampilannya baik," istri Ismail memuji syaikh tersebut. Ia melanjutkan kata-katanya, "Lalu ia menanyakan kepadaku tentang engkau, maka aku ceritakan kepadanya; dan ia bertanya kepadaku tentang penghidupan kita, maka kujawab bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja." Ismail bertanya, "Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia menyampaikan salamnya kepadamu, dan memerintahkan kepadamu agar mengukuhkan kusen pintumu." Ismail berkata, "Dia adalah ayahku dan kusen pintu tersebut adalah kamu sendiri. Dia memerintahkan kepadaku agar mengambil engkau menjadi istriku selamanya."
Setelah selang beberapa lama yang dikehendaki oleh Allah ﷻ, maka datanglah Ibrahim a.s.; saat itu Nabi Ismail sedang membuat anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat sumur Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia segera bangkit menyambutnya dan keduanya melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya dan seorang anak kepada ayahnya (bila lama tak bertemu, lalu berjumpa).
Kemudian Nabi Ibrahim berkata, "Wahai Ismail, sesungguhnya Allah telah memerintahkan sesuatu kepadaku." Ismail menjawab, "Apakah perintah Tuhanmu itu?" Nabi Ibrahim balik bertanya, "Maukah engkau membantuku?" Ismail menjawab, "Dengan senang hati aku akan membantu ayah." Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku membangun sebuah rumah (Baitullah) di sini," seraya mengisyaratkan kepada sebuah gundukan tanah tinggi yang lebih tinggi daripada tanah yang ada di sekitarnya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa pada saat itu juga keduanya mulai meninggikan dasar-dasar Baitullah; Nabi Ismail yang mendatangkan batu-batuan, sedangkan Nabi Ibrahim yang membangunnya. Ketika bangunan mulai tinggi, Ismail datang membawa batu ini (maqam Ibrahim), lalu meletakkannya untuk menjadikannya sebagai tangga Nabi Ibrahim selama membangun. Maka Nabi Ibrahim berdiri di atasnya sambil membangun, sedangkan Nabi Ismail terus menyuplai batu-batunya seraya keduanya mengucapkan doa berikut, yang disitir oleh firman-Nya: “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 127).
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terus membangun Ka'bah hingga berputar merampungkan sekelilingnya sambil mengucapkan doa: “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 127).
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Abdu Ibnu Humaid, dari Abdur Razzaq dengan lafal yang sama dan cukup panjang. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari Abu Abdullah, yaitu Muhammad ibnu Hammad At-Ath-Thabarani dan Ibnu Jarir, dari Ahmad ibnu Sabit Ar-Razi, keduanya meriwayatkan hadis ini dari Abdur Razzaq, tetapi dengan lafal yang singkat.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Azraqi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, dari Abdul Malik ibnu Juraij, dari Kasir ibnu Kasir yang menceritakan bahwa pada suatu malam ia pernah bersama Usman ibnu Abu Sulaiman dan Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain berada di antara sekumpulan orang-orang yang dihadiri oleh Sa'id ibnu Jubair di bagian masjid yang paling tinggi.
Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Bertanyalah kalian kepadaku sebelum kalian tidak melihatku lagi." Lalu mereka menanyakan kepadanya tentang kisah maqam Ibrahim, maka Sa'id ibnu Jubair tampil menceritakan kepada mereka sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, kemudian ia menceritakan hadis ini dengan panjang lebar.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Amir (yakni Abdul Malik ibnu Amr), telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Katsir ibnu Katsir, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan kisah berikut:
Setelah terjadi perselisihan antara Nabi Ibrahim dan isterinya (Siti Sarah), ia berangkat membawa Ismail dan ibunya dengan bekal sekendi air minum. Maka ibu Ismail minum dari air kendi tersebut, lalu air susunya mengalir dan ia susukan kepada bayinya (Ismail), hingga sampailah Ibrahim di Mekah. Ia menempatkan keduanya di bawah sebuah pohon, kemudian Ibrahim kembali kepada keluarganya (di Syam). Tetapi ibu Ismail mengikutinya; hingga ketika keduanya sampai di Bukit Kida, ibu Ismail memanggil Ibrahim dari belakang, "Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau menyerahkan (menitipkan) kami?" Ibrahim menjawab, "Kutitipkan kalian kepada Allah." Ibu Ismail menjawab, "Aku rela dengan Allah."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail kembali dan minum air dari kendi itu, lalu air susunya ia berikan kepada si bayi.
Setelah persediaan air habis, ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat-lihat keadaan, barangkali aku dapat menemukan seseorang." Maka ia pergi dan naik ke Bukit Safa, lalu melayangkan pandangannya, tetapi ia tidak melihat seorang manusia pun. Setelah sampai di lembah, maka ia berlari kecil hingga sampai ke Bukit Marwah; ia lakukan hal ini berkali-kali hingga tujuh kali.
Kemudian ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sebaiknya aku pergi untuk menengok apa yang dilakukan oleh bayiku." Lalu ia pergi dan melihat bayinya, tetapi ternyata si bayi masih tetap dalam keadaan seperti semula, seakan-akan seperti orang yang sedang menghadapi kematian. Jiwanya tidak tenang, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sekiranya aku pergi lagi untuk melihat-lihat, barangkali saja aku dapat menemukan seorang manusia." Lalu ia pergi dan naik ke Bukit Safa; kemudian ia melayangkan pandangannya ke semua arah, tetapi ternyata ia tidak menemukan seorang manusia pun, hingga ia lakukan hal itu sebanyak tujuh kali.
Kemudian ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat keadaan bayiku, apa yang sedang dialaminya." Tiba-tiba ia mendengar suara, lalu ia berseru, "Tolong, sekiranya engkau mempunyai kebaikan." Ternyata ia bertemu dengan Malaikat Jibril a.s. yang sedang menancapkan tumitnya ke tanah. Maka keluarlah air, hingga ibu Ismail kagum melihatnya, lalu ia menggalinya (dengan kedua tangannya).
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi ﷺ bersabda: Seandainya dia (ibu Ismail) membiarkannya, niscaya airnya akan keluar dengan sendirinya. Lalu ia minum air sumur itu dan menyusukan air susunya kepada anaknya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lewat serombongan orang dari kabilah Jurhum di perut lembah (Mekah). Mereka terkejut melihat rombongan burung-burung yang terbang berkeliling pada sesuatu, seakan-akan mereka tidak mempercayainya. Mereka berkata, “Burung-burung ini pasti terbang di atas air." Lalu mereka mengirimkan utusannya untuk melihat keadaan, dan ternyata utusan itu benar-benar melihat air. Lalu utusan itu kembali kepada rombongannya dan menceritakan apa yang telah mereka saksikan.
Mereka datang kepada ibu Ismail dan berkata, "Wahai ibu Ismail, sudikah engkau mengizinkan kami untuk tinggal bersama engkau?" Setelah putranya dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari kalangan mereka, timbul di dalam hati Nabi Ibrahim suatu niat. Maka ia berkata kepada isterinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk peninggalanku (di Mekah)." Ibrahim a.s. tiba dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Ibrahim a.s. berkata, "Katakanlah kepadanya agar dia mengubah tangga pintu rumahnya." Ketika istri Ismail menceritakan hal tersebut kepada Ismail, maka Ismail berkata, "Engkaulah yang dimaksud dengan tangga pintu rumah, maka kembalilah kamu kepada keluargamu." Kemudian timbul niat lagi pada diri Nabi Ibrahim, lalu ia berkata (kepada isterinya), "Sesungguhnya aku akan menjenguk peninggalanku." Ia datang, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Istri Ismail berkata pula, "Sudikah engkau istirahat untuk makan dan minum?" Ibrahim bertanya, "Apakah makanan dan minuman kalian?" Ia menjawab, "Makanan kami adalah daging, dan minuman kami adalah air." Ibrahim a.s.berdoa, "Ya Allah, berkatilah mereka dalam makanan dan minuman mereka."
Maka Abul Qasim (yakni Nabiﷺ) bersabda, "Itu suatu berkah berkat doa Ibrahim."
Kemudian timbul lagi niat pada diri Nabi Ibrahim, maka ia berkata kepada isterinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk peninggalanku." Lalu ia datang dan menjumpai Ismail berada di dekat sumur Zamzam sedang memperbaiki anak panahnya. Ibrahim berkata, "Wahai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan aku agar membangun rumah-Nya di tempat ini." Ismail menjawab, "Taatilah Tuhanmu." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Dia telah memerintahkan kepadaku agar engkau membantuku dalam pelaksanaannya." Ismail menjawab, "Kalau demikian, aku akan melakukannya."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Ibrahim bangkit, lalu mulai membangun, sedangkan Ismail menyediakan batu-batunya. Sambil bekerja, keduanya mengatakan: “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 127).
Ketika bangunan makin tinggi dan Nabi Ibrahim yang sudah berusia lanjut itu merasa lemah untuk mengangkat batu-batuan, maka ia berdiri di atas batu maqam, sedangkan Ismail memberikan batu-batu itu kepadanya. Keduanya bekerja sambil mengucapkan doa berikut: “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 127).
Demikianlah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari melalui dua jalur di dalam Kitabul Anbiya. Akan tetapi, yang mengherankan ialah Al-Hafidzh Abu Abdullah Al-Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya dari Abul Abbas Al-Asam, dari Muhammad ibnu Sinan Al-Qazzaz, dari Abu Ali alias Ubaidillah ibnu Abdul Majid Al-Hanafi, dari Ibrahim ibnu Nafi' dengan lafal yang sama. Ia mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut Imam Hakim.
Padahal Imam Al-Bukhari mengetengahkannya seperti yang Anda lihat sendiri melalui hadis Ibrahim ibnu Nafi', tetapi di dalam hadis ini seakan-akan terjadi peringkasan, mengingat di dalamnya tidak disebutkan tentang penyembelihan. Disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa kedua tanduk domba yang disembelihnya itu digantungkan di Ka'bah. Disebutkan pula bahwa Nabi Ibrahim berkunjung kepada keluarganya di Mekah dengan memakai kendaraan buraq yang kecepatannya seperti kilatan sinar. Setelah usai dari kunjungannya, ia kembali lagi ke Baitul Maqdis. Di dalam riwayat hadis ini disebutkan nama-nama tempat yang sudah tiada, diketengahkan oleh Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ.
Sehubungan dengan hadis ini telah disebutkan dari Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib hal-hal yang sebagiannya berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Jarir. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar dan Muhammad ibnul Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib, dari Ali ibnu Abu Thalib yang menceritakan kisah berikut:
Ketika Ibrahim diperintahkan membangun Baitullah, ia berangkat bersama Ismail dan Hajar. Sesampainya di Mekah, ia melihat gumpalan awan berupa seperti kepala manusia di angkasa yang letaknya tepat di atas tempat Baitullah (Ka'bah), lalu awan itu berkata, "Wahai Ibrahim, bangunlah di bawah naunganku ini," atau awan tersebut mengatakan, "Sebesar diriku, jangan lebih, jangan pula kurang." Setelah selesai membangun, Ibrahim berangkat dan meninggalkan Ismail serta Hajar. Maka Hajar berkata kepada Ibrahim, "Kepada siapakah engkau menyerahkan kami (menitipkan kami)?" Ibrahim menjawab, "Kepada Allah." Hajar menjawab, "Berangkatlah, sesungguhnya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami." Ismail pun merasa sangat haus, lalu Hajar naik ke atas Bukit Safa dan memandang ke sekelilingnya, ternyata ia tidak melihat sesuatu pun (yang dapat membantunya).
Ia terus berjalan hingga sampai di Bukit Marwah, tetapi ia tidak juga melihat sesuatu pun. Lalu ia kembali lagi ke Bukit Safa dan melihat-lihat lagi, tetapi ia tidak melihat sesuatu pun. Ia lakukan demikian sebanyak tujuh kali. Akhirnya ia berkata, "Aduhai Ismail anakku, kiranya aku bakal tidak akan melihatmu lagi karena engkau akan mati." Ia datang kepada Ismail yang saat itu sedang mengamuk seraya menangis karena kehausan.
Maka Hajar dipanggil oleh Malaikat Jibril, "Siapakah kamu?" Hajar menjawab, "Aku Hajar, ibu dari anak Ibrahim ini." Jibril bertanya, "Kepada siapakah kamu berdua diserahkan?" Hajar menjawab, "Dia menyerahkan kami kepada Allah." Jibril berkata, "Dia menyerahkan kalian kepada Tuhan Yang Maha Mencukupi." Kemudian Jibril mengorek tanah dengan jarinya, maka keluarlah air darinya dengan berlimpah. Lalu Hajar membendung air itu, dan Jibril berkata, "Biarkanlah air ini, karena sesungguhnya air ini berlimpah!"
Di dalam riwayat ini dapat disimpulkan bahwa Ibrahim membangun Baitullah sebelum meninggalkan keduanya (Hajar dan anaknya).
Tetapi bisa juga diinterpretasikan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim hanyalah semata-mata membangun batasan-batasannya. Dengan kata lain, pada awalnya Ibrahim hanya membuat patok-patoknya saja, bukan membangunnya sampai tinggi; menunggu Ismail besar, lalu keduanya akan membangunnya bersama-sama, seperti apa yang disebutkan di dalam firman-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa Hannad ibnus Sirri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, pernah ada seorang lelaki menghadap kepada Ali , lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku kisah Baitullah, apakah Baitullah merupakan rumah (rumah ibadah) yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?" Ali menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula dibangun dalam keberkatan, padanya terdapat maqam Ibrahim; dan barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. Jika kamu suka, maka akan kuceritakan kepadamu bagaimana asal mula pembangunannya."
Sahabat Ali melanjutkan kisahnya, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Ibrahim, "Bangunkanlah sebuah rumah di bumi untuk-Ku!" Tetapi Ibrahim mendapat kesulitan besar untuk merealisasikannya. Lalu Allah mengirimkan sakinah, yaitu angin yang berputar. Angin ini mempunyai dua kepala (putaran); yang satu mengikuti yang lainnya, hingga sampailah keduanya di Mekah. Ketika sampai di Mekah, angin tersebut membentuk lingkaran di tempat Baitullah seperti lingkaran sebuah perisai.
Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk membangun Baitullah di tempat angin sakinah itu berhenti. Ibrahim membangun Baitullah hingga yang tertinggal hanyalah sebuah batu, lalu si pemuda (Ismail) pergi mencari sesuatu dan Ibrahim berkata kepada anaknya itu, "Carikanlah sebuah batu seperti apa yang aku perintahkan." Ismail berangkat untuk mencarikan sebuah batu bagi Ibrahim, lalu ia datang membawa batu tersebut, tetapi ia menjumpai Hajar Aswad telah terpasang di tempat tersebut.
Maka ia bertanya, "Wahai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Batu ini didatangkan kepadaku oleh seseorang yang tidak mengandalkan peran sertamu." Malaikat Jibril a.s. mendatangkan batu itu dari langit, lalu Ibrahim menyempurnakan bangunannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah mencerita
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah, yakni Kakbah yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam, bersama putranya, Ismail, seraya berdoa, Ya Tuhan kami, terima lah amal saleh dan permohonan dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar permohonan hamba-hamba-Mu, Maha Mengetahui keadaan mereka. Ibrahim dan Ismail melanjutkan doanya, Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri dan tunduk kepada-Mu, dan jadikanlah juga anak cucu kami menjadi umat yang berserah diri dengan penuh keimanan kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara, yakni manasik dan tempat-tempat melakukan ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat yang begitu banyak, Maha Penyayang dengan kasih sayang yang amat luas.
Orang-orang Arab diingatkan bahwa yang membangun Baitullah itu adalah nenek moyang mereka yang bernama Ibrahim dan putranya Ismail. Ibrahim adalah nenek moyang orang-orang Arab melalui putranya Ismail. Sedangkan orang Israil melalui putranya Ishak. Seluruh orang Arab mengikuti agama Ibrahim.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang membangun Baitullah ialah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Tujuannya adalah untuk beribadah kepada Allah bukan untuk yang lain, sebagai peringatan bagi dirinya, yang akan diingat-ingat oleh anak cucunya di kemudian hari. Bahan-bahan untuk membangun Ka'bah itu adalah benda-benda biasa sama dengan benda-benda yang lain, dan bukan benda yang sengaja diturunkan Allah dari langit. Semua riwayat yang menerangkan Ka'bah secara berlebih-lebihan, adalah riwayat yang tidak benar, diduga berasal dari Isra'i1iyat. ) Mengenai al-hajar al-Aswad ) 'Umar bin al-Khatthab r.a. berkata pada waktu ia telah menciumnya:
"Dari Umar semoga Allah meridainya, bahwa dia telah mencium Hajarul Aswad dan berkata: "Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau batu yang tidak dapat memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Kalau aku tidak melihat Rasulullah ﷺ mencium engkau, tentu aku tidak akan mencium engkau." (Muttafaq 'Alaih)
Menurut riwayat ad-Daraqutni, Rasulullah ﷺ pernah menyatakan sebelum mencium Hajar Aswad bahwa itu adalah batu biasa. Demikian pula halnya Abu Bakar r.a., dan sahabat-sahabat yang lain. Dari riwayat-riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hajar Aswad adalah batu biasa saja. Perintah menciumnya berhubungan dengan ibadah, seperti perintah salat menghadap ke Ka'bah, perintah melempar jamrah di waktu melaksanakan ibadah haji dan sebagainya. Semuanya dilaksanakan semata-mata melaksanakan perintah Allah.
Setelah Ibrahim dan Ismail selesai meletakkan fondasi Ka'bah, mereka berdua berdoa: "Terimalah dari kami", (maksudnya ialah terimalah amal kami sebagai amal yang saleh, ridailah dan berilah pahala ...) "Allah Maha Mendengar" (maksudnya: Allah Maha Mendengar doa kami), dan "Allah Maha Mengetahui" (maksudnya: Allah Maha Mengetahui niat-niat dan maksud kami membangun dan mendirikan Ka'bah ini).
Dari ayat di atas dapat diambil hukum bahwa sunah hukumnya berdoa dan menyerahkan semua amal kita kepada Allah apabila telah selesai mengerjakannya. Dengan penyerahan itu berarti tugas seorang hamba ialah mengerjakan amal-amal yang saleh karena Allah, dan Allah-lah yang berhak menilai amal itu dan memberinya pahala sesuai dengan penilaian-Nya.
Dari ayat di atas juga dapat dimengerti bahwa Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s., berdoa kepada Allah setelah selesai mengerjakan amal yang saleh dengan niat dan maksud perbuatan itu semata-mata dilakukan dan dikerjakan karena Allah. Karena sifat dan bentuk perbuatan yang dikerjakannya itu diyakini sesuai dengan perintah Allah, maka ayah dan anak itu yakin pula bahwa amalnya itu pasti diterima Allah. Hal ini berarti bahwa segala macam doa yang dipanjatkan kepada Allah yang sifat, bentuk dan tujuannya sama dengan yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. dengan putranya, pasti diterima Allah pula dan pasti diberi pahala yang baik dari sisi-Nya.
Pada ayat berikutnya (128) Ibrahim a.s. melanjutkan doanya, agar keturunannya menjadi umat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Di dalam perkataan "Muslim" (tunduk patuh) terkandung pengertian bahwa umat yang dimaksud Ibrahim a.s. itu mempunyai sifat-sifat:
1. Memurnikan kepercayaan hanya kepada Allah. Hati seorang Muslim hanya mempercayai bahwa yang berhak disembah dan dimohonkan pertolongan hanya Allah Yang Maha Esa. Kepercayaan ini bertolak dari kesadaran Muslim bahwa dirinya berada di bawah pengawasan dan kekuasaan Allah. Allah saja yang dapat memberi keputusan atas dirinya.
2. Semua perbuatan, kepatuhan dan ketundukan, dilakukan hanya karena dan kepada Allah saja, bukan karena menurut hawa nafsu, bukan karena ingin dipuji dan dipandang baik oleh orang, bukan karena pangkat dan jabatan, dan bukan pula karena keuntungan duniawi.
Bila kepercayaan dan ketundukan itu tidak murni kepada Allah, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung bagi mereka. Allah berfirman:
Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? (al-Furqan/25:43)
Allah membiarkan sesat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan mengunci mati hatinya, karena Allah mengetahui bahwa mereka tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya. Allah berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? ?. (al-Jasiyah/45:23)
Pada ayat 124 yang lalu, Ibrahim a.s. berdoa agar keturunannya dijadi-kan imam, Allah menjawab, "Keturunan Ibrahim yang zalim tidak termasuk di dalam doa itu." Karena itu pada ayat 128 ini Ibrahim a.s. mendoakan agar sebagian keluarganya dijadikan orang yang tunduk patuh kepada Allah.
Dalam hubungan ayat di atas terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud dengan keturunannya itu ialah Ismail a.s. dan keturunannya yang akan ditinggalkan di Mekah, sedang ia sendiri kembali ke Syam. Keturunan Ismail a.s. inilah yang menghuni Mekah dan sekitarnya, termasuk Nabi Muhammad ﷺ Inilah yang dimaksud dengan firman Allah.
?. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini? (al-hajj/22:78)
Ibrahim dan Ismail memohon kepada Allah agar ditunjukkan cara-cara mengerjakan segala macam ibadah dalam rangka menunaikan ibadah, tempat wuquf, tawaf, sa'i, dan sebagainya, sehingga dia dan anak cucunya dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan Allah.
Di dalam ayat ini, Ibrahim a.s. memohon kepada Allah agar diterima tobatnya, padahal Ibrahim adalah seorang nabi dan rasul, demikian pula putranya. Semua nabi dan rasul dipelihara Allah dari segala macam dosa (ma'sum). Karena itu maksud dari doa Ibrahim dan putranya ialah:
1. Ibrahim a.s. dan putranya Ismail a.s. memohon kepada Allah agar diampuni segala kesalahan yang tidak disengaja, yang tidak diketahui dan yang dilakukannya tanpa kehendaknya sendiri.
2. Sebagai petunjuk bagi keturunan dan pengikutnya di kemudian hari, agar selalu menyucikan diri dari segala macam dosa dengan bertobat kepada Allah, dan menjaga kesucian tempat mengerjakan ibadah haji.
"Allah Maha Penerima tobat" ialah Allah sendirilah yang menerima tobat hamba-hamba-Nya, tidak ada yang lain. Dia selalu menerima tobat hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertobat serta memberi taufik agar selalu mengerjakan amal-amal yang saleh. "Allah Maha Penyayang" ialah Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang bertobat dengan menghapus dosa dan azab dari mereka.
Selanjutnya Ibrahim a.s. berdoa agar Allah mengangkat seorang rasul dari keturunannya yang memurnikan ketaatan kepada-Nya, untuk memberi berita gembira, memberi petunjuk dan memberi peringatan. Allah ﷻ mengabulkan doa Nabi Ibrahim dengan mengangkat dari keturunannya nabi-nabi dan rasul termasuk Nabi Muhammad saw, nabi yang terakhir. Rasulullah ﷺ bersabda:
Aku adalah doa Ibrahim dan yang diberitakan sebagai berita gembira oleh Isa. (Riwayat Ahmad).
Sifat dari rasul-rasul yang didoakan Ibrahim a.s. ialah:
1. Membacakan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan kepada mereka, agar ayat-ayat itu menjadi pelajaran dan petunjuk bagi umat mereka. Ayat-ayat itu mengandung ajaran tentang keesaan Allah, adanya hari kebangkitan dan hari pembalasan, adanya pahala bagi orang yang beramal saleh dan siksaan bagi orang yang ingkar, petunjuk ke jalan yang baik, dan sebagainya.
2. Mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Al-Kitab ialah Al-Qur'an. Al-Hikmah ialah mengetahui rahasia-rahasia, faedah-faedah, hukum-hukum syariat, serta maksud dan tujuan diutusnya para rasul, yaitu agar menjadi contoh yang baik bagi mereka sehingga mereka dapat menempuh jalan yang lurus.
3. "Menyucikan mereka" ialah menyucikan diri dan jiwa mereka dari segala macam kesyirikan, kekufuran, kejahatan, budi pekerti yang tidak baik, sifat suka merusak masyarakat dan sebagainya.
Ibrahim a.s. menutup doanya dengan memuji Tuhannya, yaitu dengan menyebut sifat-sifat-Nya, Yang Mahaperkasa, dan Yang Mahabijaksana. "Mahaperkasa" ialah yang tidak seorang pun dapat membantah perkataan-Nya, dan tidak seorang pun dapat mencegah perbuatan-Nya. "Maha-bijaksana" ialah Yang Maha Menciptakan segala sesuatu dan penggunaan-nya sesuai dengan sifat, guna dan faedahnya.
Dari doa Nabi Ibrahim ini dapat dipahami bahwa ia memohonkan agar keturunannya diberi taufik dan hidayah, sehingga dapat melaksanakan dan mengembangkan agama Allah, membina peradaban umat manusia dan mengembangkan ilmu pengetahuan menurut yang diridai Allah.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERJUANGAN NABI IBRAHIM
Setelah menyampaikan peringatan-peringatan yang semacam itu banyaknya, terlebih dikhususkan kepada Bani Israil, yang diharapkan moga-moga ada perhatian mereka menerima ajaran kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ, di samping pengharapan kepada kaum musyrikin Arab sendiri, tetapi tidak juga lepas pertaliannya dengan Bani Israil, maka dengan ayat yang akan datang ini, di antara Bani Isma'il (Arab) diper-temukan dengan Bani Israil pada pokok asal, yaitu Nabi Ibrahim. Sebab orang Arab sendiri, terutama Arab Adnan atau Arab Musta'ribah, mengakui dan membanggakan bahwa mereka adalah keturunan Ibrahim dan Isma'il diikuti oleh Arab yang lain (Qahthan).
Ayat 124
“Dan (Ingatlah) tatkala telah diuji Ibrahim oleh Tuhan-Nya dengan berapa kalimat."
Dengan ini, diperingatkan kembali siapa Ibrahim, yang dibanggakan oleh kedua suku bangsa Bani Israil dan Bani Isma'il sebagai nenek moyang mereka. Itulah seorang besar yang telah lulus dari berbagai ujian. Allah telah mengujinya dengan beberapa kalimat, artinya beberapa ketentuan dari Allah. Dia telah diuji ketika menentang orang negerinya dan ayahnya sendiri yang menyembah berhala. Dia telah diuji sampai dibakar orang. Dia telah diuji, apakah kampung halaman yang lebih dikasihinya atau keyakinannya?
Dia telah tinggalkan kampong halaman karena menegakkan keyakinan. Dia telah diuji karena sampai tua tidak beroleh putra. Dan setelah dia tua mendapatkan putra yang diharapkan, maka diuji pula, disuruh me-nyembelih putranya yang dicintainya itu. Dan berbagai ujian yang lain."Maka telah dipenuhinya semuanya" Artinya, telah dipenuhinya sekalian ujian itu, telah dilaluinya dengan selamat dan jaya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, “Kalimat-kalimat yang diujikan kepadanya itu dan telah dipenuhinya semuanya. Dia telah memisahkan dari kaumnya karena Allah memerintahkannya memisahkan diri. Perdebatannya dengan Raja Nambrudz tentang kekuasaan Allah meng-hidupkan dan mematikan. Kesabaran hatinya tatkala dia dilemparkan ke dalam api bernyala, tidak lain karena mempertahankan pendiriannya tentang keesaan Allah. Setelah itu, dia hijrah dari kampung halamannya karena Allah yang menyuruh. Ujian Allah kepadanya ketika dia didatangi tetamu (ketika tetamu itu singgah kepadanya dalam perjalanan membawa adzab kepada kaum Luth) dan ujian kepadanya dengan menyuruh menyembelih putranya."
Di dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Humaid, Ibnu |arir, dan Ibnu Abi Hatim dari al-Hasan, dia berkata, “Ibrahim telah diuji dengan kelap-kelipnya bintang, dia pun lulus. Dia diuji dengan bulan, dia pun lulus. Kemudian diuji dengan matahari, itu pun dia lulus. Diuji dengan hijrah, dia pun lulus. Diuji pula dengan menyuruh menyembelih anak kandungnya sendiri, itu pun dia lulus. Padahal waktu itu usianya telah delapan puluh tahun."
Setelah dilaluinya segala ujian itu dan dipenuhinya dengan sebaik-baiknya, “Dia pun berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan engkau imam bagi manusia!"
Di sini, kita mendapat suatu pelajaran yang dalam sekali tentang jabatan yang begitu mulia yang dianugerahkan Allah kepada seorang di antara rasul-Nya. Setelah beliau lulus dalam berbagai ujian yang berat itu dan diatasinya segala ujian itu dengan jaya, barulah Allah memberikan jabatan kepadanya, yaitu menjadi imam bagi manusia. Imam ialah orang yang diikut, orang yang menjadi pelopor, yang patut ditiru diteladari, baik berkenaan dengan agama, ibadah, maupun akhlak.
Setelah jabatan imam itu diberikan Allah, Ibrahim pun mengemukakan permohonan, “Dan juga dari antara anak-cucuku." Sebagai seorang ayah atau nenek yang besar yang bercita-cita jauh, Ibrahim memohonkan supaya jabatan imam itu pun diberikan pula kepada orang-orang yang dipilih Allah dari kalangan anak-cucunya. Moga-moga timbullah kiranya orang-orang yang akan menyambung usahanya. Permohonan itu disambut oleh Allah,
“Tidaklah akan mencapai perjanjian-Ku itu kepada orag-orang yang zalim."
Permohonannya dikabulkan Allah bahwasanya dalam kalangan anak-cucu keturunannya memang akan ada yang dijadikan Imam pula, sebagai pelanjut dari usahanya. Akan ada imam, tetapi janji itu tidak akan berlaku pada anak-cucunya yang zalim. Keutamaan budi, ketinggian agama, dan ibadah bukanlah didapat karena keturunan. Yang akan naik hanyalah orang yang sanggup menghadapi ujian, sebagaimana Ibrahim juga. Ibrahim telah memenuhi segala ujian dengan selamat; baru setelah itu diangkat menjadi imam. Bagaimana anak-cucunya akan langsung saja menjadi imam kalau mereka tidak lulus dalam ujian atau zalim di dalam hidup. Imam yang dimaksud di sini adalah imamat agama, bukan kerajaan dan bukan dinasti yang dapat diturunkan kepada anak. Sebab itu, keturunan Ibrahim tidaklah boleh membanggakan diri karena mereka keturunan imam besar. Malahan kalau mereka zalim, bukanlah kemuliaan yang didapat lantaran mereka keturunan Ibrahim, melainkan berlipat gandalah dosa yang akan mereka pikul, kalau mereka yang terlebih dahulu melanggar apa yang dianjurkan oleh amanah nenek moyangnya.
Keturunan Ibrahim terbagi dua, yaitu Bani Isma'il dan Bani Israil. Pada kedua cabang turunan ini, terdapAllah beberapa orang imam ikutan orang banyak. Terakhir sekali Muhammad ﷺ, imam dunia dari keturunan Isma'il.
Ayat 125
“Dan (Ingatlah) tatkala telah Kami jadikan rumah itu tempat berhimpun bagi manusia."
Di dalam ayat ini disuruh mengingat kembali bahwasanya Allah Ta'aala telah menyuruhkan kepada Ibrahim menjadikan berjadikan rumah itu, yaitu Ka'bah atau Masjidil Haram, menjadi tempat berhimpun manusia, yaitu tempat beribadah dari seluruh manusia yang telah memercayai keesaan Allah, supaya mereka dapat berkumpul ke sana mengerjakan haji setiap tahun, sebagaimana yang dijelaskan pula di dalam surah al-Hajj, “Dan (tempat) aman." Sekalian dari tempat berkumpul seluruh manusia mengerjakan ibadah, tempat itu pun dijadikan tempat yang aman sentosa. “Dan jadikanlah sebagian dari makam Ibrahim menjadi tempat shalat Di sini tersebutlah pula suatu tanda sejarah yang amat penting, yaitu Makam (Maqam) Ibrahim. Banyaklah bertemu hadits-hadits dan riwayat tentang Makam Ibrahim itu. Di dalam hadits-hadits yang shahih ada tersebut yang menunjukkan bahwa Makam Ibrahim, yang berarti tempat berdiri Ibrahim, ialah sebuah batu tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika beliau membangun Ka'bah. Bilamana bertambah tinggi dinding Ka'bah itu, datanglah Isma'il putranya mengantarkan batu-batu bangunan ke tangan beliau dan naiklah pula Isma'il ke atas batu itu. Demikian riwayat Bukhari. Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, dahulu batu Makam Ibrahim itu termasuk menjadi dinding Ka'bah. Menurut suatu riwayat dari al-Baihaqi dari Abdul Razzaq, Umar bin Khaththablah yang membawa batu itu dari Ka'bah dan membinanya di tempat tersendiri. Menurut Ibnu Abi Hatim dari hadits Jabir, ketika Rasulullah ﷺ mengerjakan haji dan thawaf, di antara yang mengiringkan beliau ialah Umar bin Khaththab. Sesampai di makam itu, beliau bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Makam Ibrahim?" Rasulullah menjawab, ‘Ya!" Menurut hadits yang dirawikan oleh Muslim, setelah selesai beliau thawaf, lalu beliau shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim itu.
Menurut suatu riwayat lagi dari tabi'in yang terkenal, Mujahid, yang dikatakan Makam Ibrahim itu ialah seluruh pekarangan Masjidil Haram itu. Maka terIngatlah kita tentang usaha Raja Saud dari Saudi Arabia pada tahun 1958 merombak dan memperbesar Masjidil Haram, yang menurut bentuk maketnya yang baru, terpaksa letak Makam Ibrahim digeser, tetapi ulama-ulama Mekah tidak mau Makam Ibrahim digeser. Rupanya pihak Kerajaan berpegang kepada pendapat Mujahid dan ulama-ulama mempertahankan tradisi. Di dalam rangka memperluas tempat thawaf mengelilingi Ka'bah, pada bulan Rajab 1387 (1967 Masehi), Raja Faisal Ibnu Abdil Aziz telah merombak bangunan yang melingkungi makam yang lama lalu menggantinya dengan satu bangunan kecil memakai keranda tembaga. Di dalamnya beliau lingkungi dengan keranda kaca (kaca pembesar) sehingga batu makam itu telah jelas kelihatan. Di zaman raja-raja yang dahulu, rupanya di bekas jejak kaki Nabi Ibrahim tempat beliau berdiri itu telah diberi pertanda dengan perak sehingga bekas telapak kaki itu lebih jelas kelihatan.
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Isma'il supaya mereka berdua membersihkan rumah-Ku itu untuk orang-orang berthawaf dan orang-orang yang iktikaf dan orang-orang yang ruku' serta sujud."
Pertama sekali, bersihkan rumah-Ku. Tuhan menyebut rumah itu sebagai rumah-Ku sehingga dia pun disebut Baitullah, rumah Allah, untuk mengangkat kehormatan rumah itu. Dia wajib bersih daripada persembahan yang selain Allah. Ketika Ibrahim telah meninggalkan negeri Babil dan Mesir serta tempat-tempat yang lain, sudah terang beliau menolak tegas segala persembahan kepada berhala. Maka di tanah yang telah diamankan ini, di sana rumah Allah telah berdiri, hendaklah dia bersih dari berhala. Ini diingatkan kembali kepada bangsa Arab sebab mereka telah tersesat menyembah berhala. Rumah itu mesti dibersihkan dari syirik dan perbuatan yang tidak patut sehingga tetaplah dia untuk orang yang thawaf, yaitu mengelilingi Ka'bah itu tujuh kali, dengan mengambil jalan kanan, serta untuk orang yang iktikaf, artinya orang yang duduk bermenung tafakur mengingat Allah di dalam masjid itu. Juga untuk mereka mengerjakan ruku' dan sujud, yaitu mengerjakan shalat.
Dengan demikian, bertambah jelaslah bahwa Ibrahim yang dibantu oleh putranya Isma'il telah diperintahkan Allah menjadikan tanah itu menjadi Tanah Haram.
Ayat 126
“Dan (Ingatlah) tatkala bericala Ibrahim, ‘Ya, Tuhanku! Jadikanlah negeri ini negeri yang aman."
Dimohonkanlah oleh Ibrahim, hendaknya negeri itu tetap aman sentosa selama-lamanya sehingga tenteramlah jiwa orang-orang yang melakukan ibadah berthawaf dan beriktikaf, shalat dengan ruku' dan sujudnya, menurut peraturan shalat yang ada pada masa itu."Dan karuniakanlah pada penduduknya dari berbagai buah-buahanOleh karena wadi (lembah) itu amat kering, tidak ada sesuatu yang dapat tumbuh di dalamnya, dimohonkan pula oleh Nabi Ibrahim agar penduduk lembah itu jangan sampai kekurangan makanan, supaya hati mereka pun tidak bosan tinggal di sana menjaga peribadahan yang suci mulia itu. Akan tetapi. Nabi Ibrahim memberi alasan permohonannya, “Yaitu barangsiapa yang beriman di antara mereka itu kepada Allah dan Hari Kemudian." Sebagai seorang hamba Allah yang patuh, Nabi Ibrahim memohonkan agar yang diberi makanan cukup dan buah-buahan yang segar ialah yang beriman kepada Allah saja. Namun, Allah telah menjawab, “Dan orang-orang yang kafir pun, akan Aku beri kesenangan untuk dia sementara." Dengan penjawaban ini Allah telah memberikan penjelasan bahwasanya dalam soal makanan atau buah-buahan, Allah akan berlaku adil juga. Semuanya akan diberi makanan, semuanya akan diberi buah-buahan, baik mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maupun mereka kufur. Oleh sebab itu, dalam urusan dunia ini, orang beriman dan orang kafir akan sama-sama diberi makan. Beratus tahun Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il wafat, telah banyak penduduk di dalam lembah Mekah itu yang menyembah berhala, namun makanan dan buah-buahan mereka dapat juga. Sebab, demikianlah keadilan Allah dalam kehidupan dunia ini,
“Kemudian akan Kami Unikkan dia kepada siksaan neraka (yaitu) seburuk-buruk tujuan."
Di dunia mendapat bagian yang sama di antara Mukmin dan kafir. Malahan kadang-kadang rezeki yang diberikan kepada kafir lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang yang beriman. Tetapi banyak atau sedikit pemberian Allah di atas dunia ini, dalam soal kebendaan belumlah boleh dijadikan ukuran. Nanti di akhirat baru akan diperhitungkan di antara iman dan kufur. Yang kufur kepada Allah, habislah reaksinya sehingga hidup ini saja. Ujian akan diadakan lagi di akhirat. Betapapun kaya raya banyaknya tanam-tanaman, buah-buahan di dunia ini, tidak akan ada lagi setelah gerbang maut dimasuki. Orang yang kaya kebendaan, tetapi miskin jiwa, gersang dan sunyi daripada iman, adalah neraka yang menjadi tempatnya.
Semuanya itu disuruh-ingatkan kembali kepada kaum musyrikin Arab supaya mereka kenangkan bahwasanya kedudukan yang aman sentosa di negeri Mekah itu adalah atas kehendak dari karunia Allah, yang disuruh laksanakan kepada kedua rasul-Nya, Ibrahim dan isma'il,yaitu nenek moyang mereka. Negeri itu telah mereka dapati aman, buah-buahan dan sayur-sayuran diangkut orang dari negeri-negeri di luar Mekah, dari Thaif ataupun lembah-lembah yang lain. Diperingatkan kepada mereka asal mula segala kejadian itu, yaitu supaya mereka menyembah Allah Yang Maha Esa, bersih dari berhala dan segala macam kemusyrikan. Mereka akan dapati sentosa, makmur dan subur, tempat kediaman mereka menjadi pusat peribadatan seluruh manusia sejak zaman purbakala, telah beratus beribu tahun.
Lalu, diperingatkan lagi tentang asal-usul berdirinya Ka'bah itu,
Ayat 127
“Dan Ingatlah tatkala Ibrahim mengangkat sendi-sendi dari rumah itu, dan Isma'il."
Di sini diperingatkan kembali bahwa lbrahimlah, dibantu oleh putranya Isma'il, yang mengangkat sendi-sendi rumah itu, yaitu Ka'bah. Sendi-sendi atau batu pertama, Ibrahim sendiri yang meletakkannya. Kemudian ber-angsur-angsur sehingga menjadi dinding. Sebab itu, disebut beliau mengangkatnya seterusnya membangun sampai tinggi.
Di dalam kitab-kitab tafsir, macam-macamlah ditulis tentang bagaimana caranya sendi-sendi itu dibangun dan dari batu-batu mana diambil serta diangkut. Ibnu Katsir menulis di dalam tafsirnya, demikian juga Ibnu Jarir. Dengan mengingatkan ini, terkenanglah hendaknya mereka kembali bahwa nenek moyang mereka Nabi Ibrahim, dibantu oleh putranya Isma'il, bukan saja meramaikan dan mengamankan negeri itu atas perintah Allah, bahkan lebih dari itu, merekalah yang memulai membangun rumah yang pertama di tempat itu, yaitu rumah yang pertama ditentukan buat tempat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Demi setelah selesai ibrahim dibantu oleh Isma'il mendirikan rumah itu, mereka pun bermunajat kepada Allah,
“Ya, Tahan kami. Terimalah daripada kami!' Artinya bahwa pekerjaan yang Engkau perintahkan kepada kami berdua, ayah dan anak, mendirikan Ka'bah sudah selesai. Sudilah kiranya menerima pekerjaan itu."Sesung-guhnya, Engkau adalah Maha Mendengar," akan segala pemohonan kami dan doa kami.
“Maha Mengetahui."
Yaitu, Maha Mengetahui jika terdapat kekurangan di dalam pekerjaan kami ini, Engkaulah yang lebih tahu.
Setelah dengan segenap kerendahan hati, kedua makhluk bapak dan anak itu, Ibrahim dan Isma'il, yang telah menjadi manusia terpilih di sisi Allah, memohonkan supaya amalan mereka diterima oleh Allah, mereka teruskanlah munajat itu. Si ayah yang berdoa dan si anak mengaminkan.
Ayat 128
“Ya, Tuhan kami! Jadikanlah kami keduanya ini orang-orang yang berserah diri kepada Engkau."
Setelah rumah atau Ka'bah itu selesai mereka dirikan, mereka berdua pulalah orang yang pertama sekali menyatakan bahwa mereka keduanya: muslimaini laka ‘muslimin kami keduanya kepada Engkau'! Yang berpokok kepada kata-kata Islam yang berarti berserah diri. Berjanjilah keduanya bahwa rumah yang suci itu hanyalah untuk beribadah dari pada orang-orang yang berserah diri kepada Allah, tidak bercampur dengan penyerahan diri kepada yang lain.
“Dan dari keturunan-keturunan kami pun (hendaknya) menjadi orang-orang yang berserah diri kepada Engkau." Bukan saja Ibrahim mengharapkan agar penyerahan dirinya dan putranya Isma'il kepada Allah agar diterima Allah. Bahkan dia pun memohonkan kepada Allah agar anak-cucu dan keturunannya yang datang di belakang pun menjadi orang-orang yang berserah diri, menjadi orang-orang yang Muslim atau Islam, Sehingga cocoklah dan sesuailah hendaknya langkah dan sikap hidup anak-cucu keturunannya dengan dasar pertama ketika rumah itu didirikan,
“Dan tunjukkan kiranya kepada kami cara-cara kami beribadah" Cara-cara kami beribadah, kita artikan dari manasikana."
Setelah Ibrahim dan membawa juga nama putranya lsma'il mengakui bahwa Allah-lah tempat mereka berserah diri serta telah bulat hati mereka kepada Allah, tidak bercampur dengan yang lain, dan diharapkannya pula kepada Allah agar anak-cucu keturunannya yang tinggal di sekeliling rumah itu semuanya mewarisi keislaman itu pula, barulah Ibrahim memohonkan kepada Allah agar ditunjuki bagaimana caranya beribadah, yang disebut juga manasik. Manasik bisa diartikan umum untuk seluruh ibadah dan bisa pula dikhususkan untuk seluruh upacara ibadah haji.
“Dan ampunilah kiranya kami, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
Kita sudah maklum bahwasanya Rasul Allah adalah ma'shum, suci dari dosa, terutama dosa yang besar. Tetapi orang-orang yang telah mencapai derajat iman yang sempurna sebagai Ibrahim dan Isma'il, tidaklah berbangga dengan anugerah Allah kepada mereka dengan ma'shum itu.
Nabi Ibrahim memohonkan tobat untuk dirinya dan untuk anaknya ini adalah suatu teladan bagi kita agar selalu ingat dan memohonkan ampun kepada Allah. Makna yang asal daripada tobat ialah kembali. Kita bertobat kepada Allah. Dan Allah mengabulkan permohonan kita dengan memakai perkataan ‘ala, yang berarti ke atas. Bertambah suci manusia, bertambah pula mereka merasa kekurangan.
Ayat 129
“Ya, Tuhan kami! Bangkitkanlah di antara Mereka itu seorang rasul dari Mereka sendiri."
Di dalam beberapa ayat disebut bahwa salah satu bawaan budi Nabi Ibrahim itu ialah awwaah, artinya penghiba, amat halus perasaan, tidak tega hati. Dan perasaan beliau yang halus itu terdapat di dalam nama beliau sendiri, yaitu Ibrahim.
Maka ayah yang penyayang ini tidaklah merasa puas dengan menyatakan menyerahkan dirinya bersama putranya Isma'il saja kepada Allah, menjadi muslimaini laka (berdua menyerahkan diri kepada Engkau), malahan mohonkannya pula anak-cucunya sehingga tetaplah terpelihara Rumah Allah atau Ka'bah itu, jangan sampai menjadi rumah-rumah tempat berhala. Tetapi ayah yang penyayang itu rupanya amat jauh pandangannya ke zaman depan, berkat berkat tuntunan Allah. Tidak puas hanya memohon anak-cucunya menjadi Islam semua, bahkan beliau memohonkan pula agar di antara anak dan cucunya itu di kemudian hari dibangkitkan seorang yang menjadi rasul Allah, “yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau' yaitu perintah-perintah Ilahi untuk memupuk dasar yang telah ditinggalkan oleh beliau di dalam mengakui keesaan Allah.
“Dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmat." Kitab ialah kumpulan daripada wahyu-wahyu yang diturunkan Ilahi, yang bernama Al-Qur'an itu, sedangkan hikmat ialah kebijaksanaan di dalam cara menjalankan perintah, baik di dalam perkataan maupun perbuatan atau sikap hidup Nabi itu sendiri, yang akan dijadikan contoh dan teladan bagi umatnya."Dan yang akan membersihkan mereka" Baik ayat-ayat maupun kitab itu, ataupun hikmat kebijaksanaan yang dibawakan oleh Rasul itu adalah maksudnya membersihkan mereka seluruhnya. Bersih daripada kepercayaan yang karut-marut, syirik dan menyembah berhala, dan bersih pula kehidupan sehari-hari daripada rasa benci, dengki, dan khianat. Yuzakkihim, untuk membersihkan mereka pada ruhani dan jasmani. Sehingga dapat memperbedakan mana kepercayaan yang kotor dengan yang bersih. Kebersihan itulah yang akan membuka akal dan budi sehingga selamat dalam kehidupan.
“Sesungguhnya, Engkau adalah Mahagagah, lagi Mahabijaksana."
Kepada Allah yang satu di antara sifat-Nya ialah Aziz, yaitu Mahagagah, Ibrahim telah menggantungkan pengharapan kepada Allah di dalam sifat kegagahan-Nya itu bahwa meskipun betapa besarnya rintangan dan halangan akan bertemu di dalam perjalanan sejarah, namun kehendak Allah mesti terjadi. Tetapi di samping sifat gagah perkasa itu, Allah pun mempunyai sifat bijaksana, yaitu bahwa kehendak-Nya mesti berlaku, tetapi menurut arah jalan yang masuk di akal dan mengagumkan.