Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
(Syu'aib) berkata
إِنِّيٓ
sesungguhnya aku
أُرِيدُ
aku bermaksud
أَنۡ
untuk
أُنكِحَكَ
aku menikahkan kamu
إِحۡدَى
salah seorang
ٱبۡنَتَيَّ
kedua anak perempuanku
هَٰتَيۡنِ
ini
عَلَىٰٓ
atas
أَن
bahwa
تَأۡجُرَنِي
kamu mengambil upah/bekerja padaku
ثَمَٰنِيَ
delapan
حِجَجٖۖ
tahun
فَإِنۡ
maka jika
أَتۡمَمۡتَ
kamu sempurnakan
عَشۡرٗا
sepuluh
فَمِنۡ
maka itu dari
عِندِكَۖ
sisimu/kemauanmu
وَمَآ
dan aku tidak
أُرِيدُ
bermaksud
أَنۡ
bahwa
أَشُقَّ
aku memberatkan
عَلَيۡكَۚ
atasmu
سَتَجِدُنِيٓ
kamu akan mendapatiku
إِن
jika
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
مِنَ
dari/termasuk
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh/baik
قَالَ
(Syu'aib) berkata
إِنِّيٓ
sesungguhnya aku
أُرِيدُ
aku bermaksud
أَنۡ
untuk
أُنكِحَكَ
aku menikahkan kamu
إِحۡدَى
salah seorang
ٱبۡنَتَيَّ
kedua anak perempuanku
هَٰتَيۡنِ
ini
عَلَىٰٓ
atas
أَن
bahwa
تَأۡجُرَنِي
kamu mengambil upah/bekerja padaku
ثَمَٰنِيَ
delapan
حِجَجٖۖ
tahun
فَإِنۡ
maka jika
أَتۡمَمۡتَ
kamu sempurnakan
عَشۡرٗا
sepuluh
فَمِنۡ
maka itu dari
عِندِكَۖ
sisimu/kemauanmu
وَمَآ
dan aku tidak
أُرِيدُ
bermaksud
أَنۡ
bahwa
أَشُقَّ
aku memberatkan
عَلَيۡكَۚ
atasmu
سَتَجِدُنِيٓ
kamu akan mendapatiku
إِن
jika
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
مِنَ
dari/termasuk
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh/baik
Terjemahan
Dia (ayah kedua perempuan itu) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya sepuluh tahun, itu adalah (suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Tafsir
(Berkatalah dia, "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini) yaitu yang paling besar atau yang paling kecil (atas dasar kamu bekerja denganku) yakni, menggembalakan kambingku (delapan tahun) selama delapan tahun (dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun) yakni, menggembalakan kambingku selama sepuluh tahun (maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu) kegenapan itu (maka aku tidak hendak memberati kamu) dengan mensyaratkan sepuluh tahun. (Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku) lafal Insya Allah di sini maksudnya untuk ber-tabarruk (termasuk orang-orang yang baik") yaitu orang-orang yang menepati janjinya.
Tafsir Surat Al-Qasas: 25-28
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan. Ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syuaib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Berkatalah dia (Syu'aib), "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun; dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. Dia (Musa) berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi, atas apa yang kita ucapkan.
Setelah kedua wanita itu pulang dengan cepat membawa ternak kambingnya, maka ayah mereka merasa heran karena keduanya kembali begitu cepat, lain dari biasanya. Lalu ayah mereka menanyakan apa yang dialami oleh keduanya, maka keduanya menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Musa a.s. terhadap keduanya. Kemudian ayah mereka mengutus salah seorang dari keduanya untuk memanggil Musa menghadap kepadanya.
Hal ini dikisahkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan. (Al-Qashash: 25) Yakni seperti jalannya perawan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar r.a. yang telah mengatakan bahwa wanita itu datang dengan menutupi wajahnya memakai lengan bajunya (sebagaimana layaknya seorang perawan). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun yang mengatakan, "Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa wanita itu datang berjalan kaki dengan kemalu-maluan seraya menutupkan kain bajunya ke wajahnya dengan sikap yang sopan dan tutur kata yang halus." Sanad riwayat ini sahih. Al-Jauhari mengatakan bahwa dikaitkan dengan lelaki artinya pemberani, dan dikaitkan dengan wanita artinya pemberani lagi ambisius, sedangkan dikaitkan dengan unta betina artinya yang kuat.
Ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." (Al-Qashash: 25) Undangan tersebut diungkapkannya dengan sopan dan tutur kata yang beretika. Ia tidak mengundangnya secara langsung agar tidak menimbulkan kecurigaan atau tanda tanya, bahkan ia mengatakan: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum ternak kami. (Al-Qashash-25) Yakni untuk memberimu imbalan atas jasamu memberi minum ternak kami. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya kisah (tentang dirinya). (Al-Qashash: 25) Musa mengisahkan kepadanya cerita tentang dirinya dan latar belakang yang menyebabkannya keluar meninggalkan negerinya.
Syuaib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu. (Al-Qashash: 25) Maksudnya, tenangkanlah dirimu dan bergembiralah, sesungguhnya engkau telah keluar dari wilayah kekuasaan mereka, maka tiada kekuasaan bagi mereka di negeri kami. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu. (Al-Qashash: 25) Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan bapak wanita itu. Banyak pendapat di kalangan mereka, antara lain ada yang mengatakan bahwa lelaki itu adalah Syu'aib a.s.
yang diutus oleh Allah kepada penduduk negeri Madyan. Pendapat inilah yang terkenal di kalangan kebanyakan ulama, dan dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Anas, telah sampai suatu berita kepadanya yang mengatakan bahwa lelaki yang didatangi oleh Musa lalu Musa menceritakan kisah perihal dirinya itu adalah Syu'aib.
Syu'aib menjawab: Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu. (Al-Qashash: 25) Imam Tabrani telah meriwayatkan melalui Salamah ibnu Sa'd Al-Gazi bahwa ia menjadi delegasi kaumnya menghadap kepada Rasulullah ﷺ Maka beliau ﷺ bersabda kepadanya: Selamat datang, kaum Syu'aib dan kaum dua saudara perempuan Musa, engkau telah mendapat petunjuk. Ulama lainnya mengatakan bahwa lelaki itu adalah keponakan Nabi Syu'aib. Menurut pendapat yang lainnya lagi, lelaki itu adalah orang mukmin dari kalangan kaumnya Nabi Syu'aib. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa Syu'aib a.s. hidup jauh sebelum masa Nabi Musa a.s.
dalam jangka masa yang cukup lama, karena disebutkan oleh firman-Nya bahwa Syu'aib berkata kepada kaumnya: sedangkan kaum Lut tidak (pula) jauh dari kamu. (Hud: 89) Dan binasanya kaum Lut terjadi di masa Nabi Ibrahim a.s. berdasarkan keterangan dari nas Al-Qur'an. Telah diketahui pula bahwa jarak antara masa Nabi Ibrahim dan Nabi Musa cukup jauh, lebih dari empat abad, sebagaimana yang telah disebutkan oleh banyak ulama.
Dan mengenai pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Syu'aib hidup dalam masa yang lama, tiada lain hanya Allah Yang Maha Mengetahui hanyalah untuk menghindari kemusykilan ini. Kemudian hal yang menguatkan bahwa lelaki itu bukanlah Syu'aib ialah seandainya dia adalah Syu'aib sudah dapat dipastikan Al-Qur'an akan menyebutkan namanya dengan jelas dalam kisah ini, dan ternyata kenyataannya tidak.
Sedangkan mengenai apa yang disebutkan dalam salah satu hadis yang menjelaskan bahwa nama lelaki itu adalah Syu'aib dalam kisah Musa, sanadnya tidak sahih seperti apa yang akan kami jelaskan, insya Allah. Kemudian menurut keterangan yang didapat di dalam kitab-kitab kaum Bani Israil, nama lelaki tersebut adalah Sairun; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan bahwa Sairun adalah keponakan Nabi Syu'aib a.s.
Telah diriwayatkan dari Abu Hamzah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang yang menyewa Nabi Musa a.s. untuk bekerja padanya bernama Yasra, penguasa negeri Madyan. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa masalah ini tidak dapat dipastikan kecuali berdasarkan hadis yang dapat dijadikan pegangan sebagai hujah dalam masalah ini. Firman Allah ﷻ: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Al-Qashash: 26) Yakni salah seorang anak perempuan lelaki itu mengajukan usul tersebut kepada ayahnya.
Wanita tersebut berjalan di belakang Musa a.s. Sesampainya di rumah, ia berkata kepada ayahnya: Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita). (Al-Qashash: 26) Untuk menggembalakan ternak kambing kita. Umar, Ibnu Abbas, Syuraih Al-Qadi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad ibnu Ishaq, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tatkala wanita itu mengatakan: karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Al-Qashash: 26) Maka ayahnya bertanya, "Apakah yang mendorongmu menilainya seperti itu?" Ia menjawab, "Sesungguhnya dia dapat mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali hanya oleh sepuluh orang laki-laki.
Dan sesungguhnya ketika aku berjalan bersamanya, aku berada di depannya, namun ia mengatakan kepadaku, "Berjalanlah kamu di belakangku. Jika aku salah jalan, beri tahulah aku dengan lemparan batu kerikil, agar aku mengetahui jalan mana yang harus kutempuh." Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa orang yang paling pandai dalam berfirasat ada tiga orang, yaitu: Abu Bakar ketika berfirasat terhadap Umar (sebagai penggantinya), teman Nabi Yusuf ketika mengatakan (kepada istrinya), "Hormatilah kedudukannya"; dan teman wanita Nabi Musa ketika berkata: Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Al-Qashash: 26) Ayah wanita itu mengatakan: Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini. (Al-Qashash: 27) Musa a.s.
diminta oleh lelaki tua itu untuk menggembalakan ternak kambingnya. Sebagai balasannya, ia akan mengawinkan Musa dengan salah seorang anak perempuannya. Syu'aib Al-Jiba'i mengatakan bahwa nama kedua wanita itu adalah Safuriya dan Layya. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, nama keduanya ialah Safuriya dan Syarafa yang juga disebut Layya. Murid-murid Imam Abu Hanifah menyimpulkan dalil dari ayat ini untuk menunjukkan keabsahan transaksi jual beli yang penjualnya mengatakan kepada pembelinya, "Aku jual kepadamu salah seorang dari kedua budak ini dengan harga seratus." Lalu pihak pembeli menjawab, "Saya beli." Transaksi jual beli seperti ini sah.
Firman Allah ﷻ: atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun; dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. (Al-Qashash: 27) Yakni dengan syarat bahwa kamu gembalakan ternak kambingku selama delapan tahun. Dan jika kamu menambah dua tahun lagi secara sukarela, maka itu adalah kebaikanmu. Tetapi jika tidak, maka delapan tahun sudah cukup. maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. (Al-Qashash: 27) Maksudnya, aku tidak akan memberatimu, tidak akan mengganggumu, serta tidak pula mendebatmu sesudah itu.
Mazhab Imam Auza'i menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa bila seseorang berkata, "Aku jual barang ini kepadamu seharga sepuluh dinar kontan atau dua puluh dinar secara kredit," transaksi tersebut sah dan pihak pembeli boleh memilih salah satu dari kedua alternatif tersebut, hukumnya sah (halal). Akan tetapi, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud menyanggah mazhab ini, yaitu hadis yang mengatakan: Barang siapa yang melakukan dua harga dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus mengambil harga yang paling rendah atau riba (bila mengambil yang tertinggi).
Mengenai pengambilan dalil dari ayat ini dan hadis di atas yang menyanggahnya, pembahasannya memerlukan keterangan panjang dan lebar, tetapi bukan dalam kitab tafsir ini tempatnya. Namun, murid-murid Imam Ahmad dan para pengikutnya mengambil dalil dari ayat ini yang menunjukkan keabsahan mengupah orang sewaan dengan imbalan berupa makanan dan sandang. Mereka memperkuatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya, yaitu dalam Bab "Menyewa Orang Upahan dengan Imbalan Berupa Makanan." Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musaffa, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, dari Maslamah ibnu Ali, dari Sa'id ibnu Abu Ayyub, dari Al-Haris ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabbah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Atabah ibnul Munzir As-Sulami menceritakan, "Ketika kami berada di rumah Rasulullah ﷺ yang saat itu beliau sedang membaca surat Ta Sin Mim (surat Al-Qashash), dan ketika bacaan beliau ﷺ sampai di kisah Musa, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya Musa menjual jasanya selama delapan atau sepuluh tahun dengan imbalan pemeliharaan kemaluannya (kawin) dan kebutuhan makannya'.
Hadis bila ditinjau dari segi jalurnya berpredikat lemah, karena Maslamah ibnu Ali Al-Khusyani Ad-Dimasyqi Al-Balati orangnya daif dalam periwayatan hadis menurut para imam ahli hadis. Namun, hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain, hanya masih disangsikan pula kesahihannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Lahi'ah, dari Al-Haris ibnu Yazid Al-Hadrami, dari Ali ibnu Rabbah Al-Lakhami yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Atabah ibnul Munzir As-Sulami (sahabat Rasulullah ﷺ) menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Musa a.s.
menjual jasanya dengan imbalan pemeliharaan kemaluannya (kawin) dan kebutuhan makannya. Firman Allah Swt, yang menceritakan ucapan Musa a.s.: Dia (Musa) berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan. (Al-Qashash: 28) Sesungguhnya Musa berkata kepada mertuanya, "Urusan ini sesuai dengan apa yang telah engkau katakan bahwa engkau mempekerjakanku selama delapan tahun, jika aku menyelesaikan kontrakku selama sepuluh tahun maka tambahan (lebihan tahun) itu dariku secara sukarela.
Dan manakala aku menyelesaikan yang mana saja di antara kedua masa yang terpendek, berarti aku telah memenuhi janjiku dan bebas dari keterikatan." Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku. (Al-Qashash: 28) Yakni tiada beban lagi atas diriku, sekalipun masa yang sempurna adalah yang lebih utama karena berdasarkan dalil lain yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya.
Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya. (Al-Baqarah; 203) Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada Hamzah ibnu Amr Al-Aslami yang banyak puasanya, yang saat itu ia menanyakan kepada Rasulullah ﷺ tentang berpuasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab: Jika kamu suka puasa, boleh puasa; dan jika kamu suka berbuka, boleh berbuka. Padahal telah dimaklumi bahwa mengerjakan puasa lebih dikuatkan berdasarkan dalil dari hadis lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh Nabi Musa a.s. dengan jawabannya itu tiada lain berniat akan menyempurnakan masa yang paling sempurna di antara kedua masa tersebut.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Syuja', dari Salim Al-Aftas, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah ditanya oleh seorang Yahudi Hirah, "Manakah di antara kedua masa itu yang diselesaikan oleh Musa?" Aku menjawab, "Tidak tahu", hingga aku mendatangi orang Arab yang paling alim, dialah Ibnu Abbas r.a. Lalu aku bertanya kepadanya mengenai masalah ini, maka ia menjawab, "Sesungguhnya Musa menunaikan masa yang paling sempurna di antara kedua masa itu, karena sesungguhnya utusan Allah itu apabila berkata pasti menunaikannya." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hakim ibnu Jubair dan lain-lainnya dari Sa'id ibnu Jubair.
Di dalam hadis Futun disebutkan melalui riwayat Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa orang yang menanyai pertanyaan tersebut adalah seorang lelaki beragama Nasrani. Akan tetapi, riwayat yang pertama lebih mendekati kebenaran. Telah diriwayatkan melalui hadis Ibnu Abbas secara marfu' oleh Ibnu Jarir. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yahya ibnu Abu Ya'qub, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku pernah bertanya kepada Jibril, "Manakah di antara kedua masa itu yang diselesaikan oleh Musa? Jibril menjawab, "Yang paling lengkap dan yang paling sempurna.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula hadis ini dari ayahnya, dari Al-Humaidi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yahya ibnu Abu Ya'qub yang seusia denganku atau lebih muda dariku. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengetengahkan hadis ini. Tetapi di dalam sanadnya terdapat nama yang terbalik, dan Ibrahim orangnya tidak dikenal. Al-Bazzar meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Aban Al-Qurasyi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibrahim ibnu Ayun, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ' lalu disebutkan hal yang semisal, kemudian ia mengatakan, "Kami tidak mengenal hadis ini di-marfu '-kan oleh Ibnu Abbas, melainkan hanya melalui jalur ini." ".
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dibacakan kepada Yunus ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Haris, dari Yahya ibnu Maimun Al-Hadrami, dari Yusuf ibnu Tairih, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya, "Manakah di antara kedua masa yang ditunaikan oleh Musa?" Beliau ﷺ menjawab, "Saya tidak mengetahui." Lalu Rasulullah ﷺ menanyakannya kepada Jibril, dan Jibril menjawab, "Saya tidak mengetahui." Maka Jibril menanyakannya kepada malaikat yang ada di atasnya, dan ternyata ia pun menjawab, "Saya tidak mengetahui." Kemudian malaikat itu menanyakannya kepada Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahaagung. Maka Allah ﷻ menjawab, "Musa menunaikan masa yang paling baik dan paling lama," atau paling bersih dari kedua masa itu. Hadis ini berpredikat mursal, dan diriwayatkan pula secara mursal melalui jalur lain.
Sunaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan, Mujahid pernah mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah bertanya kepada Jibril, "Manakah di antara kedua masa itu yang ditunaikan oleh Musa?" Jibril menjawab, "Aku akan menanyakannya kepada Israfil." Dan Israfil menjawab, "Aku akan menanyakannya kepada Allah ﷻ" Maka Israfil menanyakannya kepada Allah ﷻ dan Allah ﷻ menjawab, "Masa yang paling baik dan paling sempurna di antara keduanya." Jalur lain secara mursal pula disebutkan oleh Ibnu Jarir: bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya, "Manakah di antara kedua masa itu yang ditunaikan oleh Musa?" Rasulullah ﷺ menjawab: Masa yang paling sempurna dan paling lengkap di antara kedua masa itu. Jalur-jalur periwayatan ini satu sama lainnya saling memperkuat, kemudian telah diriwayatkan pula hadis ini secara marfu' melalui Abu Zar r.a. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidillah Yahya ibnu Muhammad ibnus Sakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Uwaiz ibnu Abu Imran Al-Juni, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar r.a., bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang masa yang ditunaikan oleh Musa a.s.
di antara kedua masa itu. Maka beliau ﷺ menjawab: Masa yang paling sempurna dan paling baik di antara kedua masa itu selanjutnya Nabi ﷺ bersabda dan jika kamu ditanya, "Manakah di antara kedua wanita itu yang dinikahi oleh Musa? Maka jawablah, "Yang paling muda di antara keduanya. Selanjutnya Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui sanad yang meriwayatkan hadis ini melalui Abu Zar kecuali sanad ini." Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Uwaiz ibnu Abu Imran, tetapi dia orangnya daif. Telah diriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Atabah ibnul Munzir dengan tambahan yang garib (aneh) sekali.
". ". Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab As-Sijistani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabbah Al-Lakhami yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Atabah ibnul Munzir mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai masa yang ditunaikan oleh Nabi Musa dari kedua masa itu," maka beliau menjawab: "Masa yang paling baik dan paling sempurna dari keduanya.
Kemudian Nabi ﷺ melanjutkan, "Sesungguhnya Musa a.s. ketika hendak berpisah dengan Syu'aib a.s. menyuruh istrinya untuk meminta kepada ayahnya sejumlah ternak untuk bekal penghidupannya. Maka Syu'aib memberinya anak-anak ternaknya yang dilahirkan pada tahun itu yang bulunya berbeda dengan induknya. Maka tiada seekor kambing pun yang berlalu melainkan Musa memukulnya dengan tongkatnya, ternyata semua ternak kambing itu beranak dua atau tiga ekor tiap kambingnya yang semua warnanya berbeda dengan induknya. Tiap-tiap kambing yang beranak teteknya tidak deras air susunya, tidak panjang teteknya, tidak besar dan hanya sedang saja." Rasulullah ﷺ bersabda: Apabila kalian menaklukkan negeri Syam, maka sesungguhnya kalian masih menjumpai sisa-sisa dari ternak kambing itu yang dikenal dengan nama kambing samiri.
Demikianlah menurut apa yang telah diketengahkan oleh Al-Bazzar. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dengan teks yang lebih panjang daripada hadis ini. Untuk itu ia mengatakan: () -: telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Lahi'ah dan telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Lahi'ah, dari Al-Haris ibnu Yazid Al-Hadrami, dari Ali ibnu Rabbah Al-Lakhami yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Atabah ibnul Munzir As-Sulami (sahabat Rasulullah ﷺ) menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Sesungguhnya Musa menjual jasanya dengan imbalan dikawinkan dan dipenuhi kebutuhan pangannya." Ketika Rasulullah ﷺ melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Musa menunaikan masa perjanjiannya, ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, manakah di antara kedua masa yang ditunaikannya?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Masa yang paling baik dan yang paling sempurna dari keduanya.
Ketika Musa hendak berpisah dengan Syu'aib, ia menyuruh istrinya untuk meminta ternak kambing dari ayahnya buat bekal penghidupannya. Maka Syu'aib memberinya anak-anak kambing yang dilahirkan di tahun itu dalam warna yang berbeda dengan induknya. Ternak kambing Nabi Syu'aib semuanya berbulu hitam lagi bagus, maka Musa a.s. mengambil tongkatnya, lalu membacakan basmalah pada ujungnya, kemudian tongkat itu ia celupkan ke dalam mata air tempat meminumkan ternak kambingnya.
Setelah itu ia giring ternak kambing Nabi Syu'aib ke sumber air itu untuk diberi minum dari air sumber tersebut yang telah dibacai olehnya. Sedangkan Musa berdiri di tepi telaga itu, dan tiada seekor kambing pun yang usai dari minum melainkan ia pukul lambungnya dengan tongkatnya. Maka ternak kambing itu mengandung dan membesar teteknya, lalu melahirkan yang semuanya berwarna berbeda dengan induknya kecuali hanya satu dua ekor saja.
Nabi ﷺ bersabda: Apabila kalian menaklukkan negeri Syam, maka kalian akan menjumpai sisa-sisa ternak kambing tersebut yang dikenal dengan kambing samiri. Telah menceritakan pula kepada kami Abu Zar'ah, bahwa telah menceritakan kepada kami Safwan yang mengatakan, ia pernah mendengar Al-Walid bercerita, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Lahi'ah tentang makna fasyusy. Maka ia menjawab, "Kambing betina yang teteknya besar dan memancarkan air susunya dengan deras.'" Ketika ditanya tentang dabub, ia menjawab, "Kambing betina yang panjang teteknya hingga seakan-akan menyeretnya." Ia bertanya kepada Ibnu Lahi'ah tentang makna 'azuz, Ibnu Lahi'ah menjawab bahwa 'azuz adalah kambing betina yang kecil pancaran air susunya.
Ia bertanya tentang makna tsaul, maka Ibnu Lahi'ah menjawab, "Ia adalah kambing betina yang teteknya sangat kecil hingga yang kelihatan hanyalah putingnya saja." Ia bertanya kepada Ibnu Lahi'ah mengenai makna kamisyah, maka Ibnu Lahi'ah menjawab, "Ia adalah kambing betina yang teteknya kecil, tidak sampai sebesar kepalan tangan." Sumber riwayat ini berasal dari Abdullah ibnu Lahi'ah Al-Masri yang hafalannya buruk, dan kami khawatir bila ke-marfu'-an riwayat ini keliru, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan perkataan Anas ibnu Malik secara mauquf yang sebagian darinya mirip dengan riwayat di atas dengan sanad yang jayyid. Untuk itu ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa setelah Nabi Musa a.s. menyelesaikan masa yang telah disepakati bersama temannya, maka temannya mengatakan kepadanya, "Setiap kambing yang melahirkan anak yang berbeda warna bulunya, maka itu adalah untukmu." Maka Musa sengaja mengangkat tambang-tambang (tali timba) yang ada di atas sumur itu.
Ketika melihat tambang-tambangnya telah dilepas, semua ternak kambing itu terkejut, lalu mengelilingi sumur itu mondar-mandir sehingga semua yang hamil melahirkan anaknya dengan warna yang berbeda dengan induknya, terkecuali hanya seekor kambing betina, sehingga Musa membawa pergi anak-anak ternak kambing yang lahir di tahun itu."
Sang ayah memahami kekaguman anak perempuannya terhadap Musa dan memang orang seperti Musalah yang didambakan setiap perempuan untuk menjadi suami. Dengan tanpa segan dia berkata, "sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini yang telah engkau lihat dan kenal sejak di tempat sumber air. Pernikahan itu dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan yang delapan tahun itu menjadi sepuluh tahun secara sukarela maka itu adalah suatu kebaikan darimu, bukan sebuah kewajiban yang mengikat, dan kendati itu adalah usulan dariku tetapi ketahuilah bahwa aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Aku akan selalu berusaha menjadi orang yang menepati janji. lnsya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik. "28. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Musa menerima usulan tersebut, dan dia berkata, "Itu adalah perjanjian yang adil antara aku dan engkau. Adapun alternatif waktu yang engkau berikan, aku belum bisa memastikannya sekarang, tetapi pada prinsipnya yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka setelah itu tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi. Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan. ".
Dengan segera orang tua itu mengajak Musa berbincang. Dengan terus terang dia mengatakan keinginannya untuk mengawinkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai mahar perkawinan ini, Musa harus bekerja menggembalakan kambing selama delapan tahun, kalau Musa menyanggupi bekerja sepuluh tahun maka itu lebih baik. Ini adalah tawaran yang amat simpatik dan amat melegakan hati Musa, sebagai seorang pelarian yang ingin menghindarkan diri dari maut, seorang yang belum yakin akan masa depannya, apakah ia akan terlunta-lunta di negeri orang, karena tidak tentu arah yang akan ditujunya. Apalagi yang lebih berharga dan lebih membahagiakan dari tawaran itu? Tanpa ragu-ragu Musa telah menetapkan dalam hatinya untuk menerima tawaran tersebut.
Para ulama mengambil dalil dengan ayat ini bahwa seorang bapak boleh meminta seorang laki-laki untuk menjadi suami putrinya. Hal ini banyak terjadi di masa Rasulullah saw, bahkan ada di antara wanita yang menawarkan dirinya supaya dikawini oleh Rasulullah ﷺ atau supaya beliau mengawinkan mereka dengan siapa yang diinginkannya.
Umar pernah menawarkan anaknya Hafsah (yang sudah janda) kepada Abu Bakar tetapi Abu Bakar hanya diam. Kemudian ditawarkan kepada 'Utsman, tetapi 'Utsman meminta maaf karena keberatan. Hal ini diberitahukan Abu Bakar kepada Nabi. Beliau pun menenteramkan hatinya dengan mengatakan, "Semoga Allah akan memberikan kepada Hafsah orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan 'Utsman." Kemudian Hafsah dikawini oleh Rasulullah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Membuang Diri Ke Madyan
Dengan perkataan orang Qubthi yang nyaris diserangnya itu, yang mengatakan bahwa dengan sikapnya hendak menyerang dia, berarti Musa hendak bersikap JABBAR, mencapai keinginannya dengan kekerasan, kalau perlu dengan memukul atau membunuh. Bukan sebagai sikap seorang yang hendak memperbaiki yang salah. Dan dikatakannya pula bahwa kemarin engkau telah membunuh orang, sekarang aku pula yang hendak engkau bunuh, rupanya soal kematian kemarin itu telah tersiar luas dalam kota. Ini telah terbukti lagi dengan ayat yang sesudahnya.
Ayat 20
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota tergesa-gesa." (pangkal ayat 20). Besar kemungkinan bahwa orang ini datang seketika itu juga, atau di hari itu juga. Dia datang kepada Musa membawa khabar berita dengan tergesa-gesa, karena amat pentingnya: “Berkata dia: “Hai Musa! Sesungguhnya pegawai-pegawai tinggi negara sedang berunding membicarakan engkau, karena hendak membunuh engkau." Mungkin yang menjadi pembicaraan ialah pembunuhan yang terjadi kemarin. Musa telah berani membunuh seorang dari kaum Qubthi. artinya keluarga terdekat dari istana, dari kaum Firaun sendiri. Mungkin inilah dia anak yang diisyaratkan oleh tukang tenung selama ini, hendak meruntuhkan kekuasaan Raja. Ini adalah makar! Ini adalah suatu sikap yang berbahaya! Musa telah menunjukkan sikap, yaitu membela Bani Israil. Padahal selama ini hidupnya dibesarkan, diasuh dan dididik oleh istana. Dalam perundingan itu tersebutlah bahwa sebelum bahaya ini meluas, segera saja Musa dibunuh! Supaya gerakan Bani Israil menentang kaum Qubthi atau kaum Raja habis sebelum menjalar dan membesar! Ini didengar oleh laki-laki itu. Laki-laki yang rupanya ada rasa kasih-sayang, rasa simpati kepada Musa, segera dia cari Musa sebelum orang bertindak. Itu sebab dia berjalan tergesa-gesa. Supaya dia terlebih dahulu sampai kepada Musa memberitahu, dan Musa segera berangkat sebelum dia ditangkap atau dibunuh langsung."Sebab itu keluarlah engkau/" Yaitu keluarlah engkau dari negeri ini, segera lari! “Sesungguhnya aku adalah tetmasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada engkau." (ujung ayat 20).
Nampaknya di ujung ayat ini bahwasanya terdapat orang-orang yang jujur memberitahu segera kepada Musa supaya lekas berangkat, demi untuk keselamatan dirinya. Orang seperti inilah yang banyak pertolongannya kepada Musa, baik sebelum dia berangkat atau sesudah dia kembali kelak. Surat 40, yang bernama Surat “al-Mu'min" atau Surat “Ghafir" menunjukkan lagi orang yang demikian. Mereka dekat kepada Fir'aun, tetapi mereka beriman kepada seruan Musa. Dalam pengakuannya bahwa dia adalah seorang di antara orang-orang yang memberi nasihat, dapatlah kita maklumi bahwa orang seperti ini bukan seorang. Kata Nashi-hin adalah kata jama', menunjukkan banyak. Dan kata Nashi-hin yang berarti nasihat sudah mengandung sekali arti nasihat jujur. Karena pada pokoknya tidaklah ada nasihat yang tidak jujur.
Ayat 21
“Maka keluarlah dia dari kota itu dalam keadaan takut sambil mengintip-intip" (pangkal ayat 21). Sifat takut Nabi Musa yang ada pada waktu itu, bukanlah berarti karena pengecut. Ketakutan di sini ialah takut tertangkap, yang kalau tertangkap niscaya akan gagal maksudnya yang lebih besar dan jauh. Kalau kita ambil misal ketakutan Musa di sini ialah laksana ketakutan tentara Republik Indonesia ketika telah diserang Belanda besar-besaran dengan persenjataan sangat lengkap. Oleh karena perjuangan waktu itu bukan semata-mata untuk berkelahi dan untuk menunjukkan kegagahan dan berani mati, tentara Republik Indonesia mundur ke hutan. Kalau dia tangkis berhadapan di waktu itu, pastilah musnah tentara Indonesia karena persenjataan yang tidak seimbang. Dan kalau telah musnah, berhentilah perjuangan di waktu itu.
Demikian jugalah adanya ketika tentara Islam pergi ke Mu'tah, yang bilangannya hanya 3,000 orang, berhadapan dengan tentara Romawi yang hampir 100,000 orang banyaknya. Pemimpin-pemimpin Perang Islam sejak dari Ja'far bin Abu Thalib, sampai kepada Zaid bin Haristah dan sampai kepada Abdullah bin Rawahah tewas satu demi satu sebagai Pahlawan Islam yang gagah berani, dan nyarislah lumat 3,000 tentara Islam itu dihancurkan oleh tentara 100,000. Tetapi setelah diganti dengan Panglima yang bukan saja gagah perkasa, tetapi juga ahli siasat perang, yaitu Khalid bin Walid, selamatlah tentara yang 3,000 itu pulang kembali ke Madinah. Penduduk Madinah yang tidak ikut perang, yang hanya memberi penilaian dari jauh menuduh mundurnya 3,000 tentara di bawah pimpinan Khalid adalah karena kurang berani. Tetapi setelah Khalid datang melapor kepada Nabi, di saat itu juga Nabi s.a.w. memberinya gelar “Pedang Allah!"
Dalam ketakutan akan tertangkap itu niscaya dia mengintip-intip ke kiri dan ke kanan, melihat-lihat kalau-kalau ada mata-mata Fir'aun yang mengikutinya dari belakang. Lalu “Dia berkata: “Ya Tuhan! Selamatkanlah aku daripada kaum yang zalim itu." (ujung ayat 21). Ujung ayat ini memberikan petunjuk kepada-kii i bahwa selama dalam lari sambil bersembunyi itu Musa sekali-kali tidak lupa memohonkan perlindungan Tuhan, agar dalam perjalanan selamatlah dia, jangan ada aral melintang. Dan telah terasa dalam bunyi doa itu bahwa Musa telah yakin benar bahwa yang beliau hadapi ini benar-benarlah kaum yang zalim Dan yakinlah dia bahwa kalau dia tidak segera berangkat tidaklah dia akan merasakan aman tenteram di bawah kekuasaan pemerintah Fir'aun yang zalim itu.
Ayat 22
Dalam perjalanan itu sudah dapat dia menentukan arah tujuan perjalanan, yaitu ke sebelah utara. Ke negeri yang bernama Madyan."Dan tatkala dia menghadapkan tujuannya arah ke Madyan, dia berdoa pula: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memimpinku kepada jalan yang benar." (ayat 22).
Dalam perjalanan seorang diri, jadi orang buangan yang kalau dapat ditangkap tidak ada ampunnya lagi. Menuju Madyan, negeri yang terletak di sebelah Selatan dari negeri Syam dan di sebelah Utara dari negeri Hejaz. Melalui padang-padang pasir yang luas. Jarang sekali ada manusia, kecuali barangkali Badwi-badwi berpindah-pindah mencari rumput dan air, berhari-hari lamanya.
Niscaya di waktu itulah dia mulai merasakan lebih mendalam perbedaan hidupnya beberapa hari saja sebelum ini, dengan yang sekarang. Coba kalau tidak ada satu perasaan kesadaran melihat kaumnya yang tertindas, Bani Israil yang malang, niscaya dia akan enak-enak saja tinggal dalam istana menjadi anak angkat Sang Raja. Maka di saat-saat itulah Musa dapat membandingkan di antara hidup menjadi anak emas istana, diikat oleh berbagai macam tradisi, etiket dan protokol yang tidak boleh dilanggar. Hidup dengan serba-serbi kemewahan, namun di kiri-kanan penuh dengan rasa tak senang, yang dinamai “bisik-desus" istana, fitnah-memfitnahkan di antara orang besar sesama orang besar. Mana yang kuat mengambil muka, dialah yang lekas naik. Mana yang tidak pandai menyesuaikan diri, lekaslah terpencil. Sudah lama nampaknya rasa “tidak puas" bersarang dalam hati Musa. Apatah lagi karena di luar istana dia pun tidak terpisah dari kaumnya. Sebab itu maka meskipun pada lahirnya dia kelihatan senang mesra, pada batin adalah dia seorang yang tidak bebas lagi, tidak merasa senang lagi. Sudah mulai dia merasakan bahwa istana itu bagi dirinya sendrii adalah penjara, atau kurungan.
Sekarang dia telah keluar dari sana, berjalan seorang diri di tanah padang belantara, padang pasir yang Allahu Rabbi terik panasnya, di kiri-kanan adalah gunung-gunung batu granit yang menimbulkan angin panas yang bernama samun. Tetapi hatinya mantap buat meneruskan perjalanan. Betapa tidak? Bukankah pulang artinya maut, dan meneruskan perjalanan belum tentu hilang, asal saja membulatkan hati bertawakkal kepada Tuhan, itu sebab dia berdoa dengan penuh harapan: “Mudah-mudahan Tuhanku senantiasa memimpinku kepada jalan yang benar."
Ayat 23
“Dan tatkala dia sampai ke telaga air di Madyan itu." (pangkal ayat 23). Rupanya dalam pengembaraan seorang diri itu, akhirnya sampailah dia ke pinggir kota Madyan yang jadi tujuannya itu. Di sana rupanya ada sebuah sumur atau telaga, yang dari sana penduduk kota itu mengambil air buat minuman kambing ternak mereka, atau minuman buat mereka sendiri. Sampai zaman sekarang pun masih kita dapati apa yang disebut Wadi atau disebut dalam bahasa orang Eropa Oase, atau lembah di padang yang ada telaga, karena ada lekukan bukit yang menyebabkan air hujan dapat tergenang dalam tanah di sana. “Didapatinya di sana segolongan dari manusia sedang memberi minum (ternak)."
Dapatlah kita gambarkan bagaimana perasaan sepi dalam perjalanan seorang diri dalam keadaan serba kekurangan makanan dan kehausan karena terik panas. Tentu lekas kelihatan kalau ada sumur atau telaga. Dan tentu hilanglah rasa sepi melihat orang banyak berkerumun Yaitu orang-orang yang sedang menggembalakan kambing ternak mereka dan memberi minuman ternak itu di telaga tersebut. Tentu Musa tambah mendekat."Dan didapatinya di belakang orang-orang itu dua perempuan sedang memagar-magari (temak mereka)."
Kelihatan oleh Musa orang banyak itu berganti-ganti memberi minum kambing ternak mereka yang banyak. Kambing temak di masa itu adalah kekayaan sejati pada bangsa-bangsa sebelah sana. Bahkan sampai sekarang ini pun kita lihat Badwi di padang pasir dengan megahnya mengiringkan binatang ternaknya. Musa melihat orang-orang itu satu demi satu, ganti-berganti menghalaukan ternaknya ke tepi telaga tersebut buat minum sepuas-puasnya. Kononnya sumur itu mempunyai tutup! Kalau telah selesai memberi minum, telaganya ditutup kembali. Di antara orang sebanyak itu ada terdapat dua orang anak perempuan menggembalakan kambingnya pula. Ketika kambing orang-orang itu tengah diberi minum, kedua perempuan itu tidak boleh membawa kambing-kambingnya ke dekat situ. Supaya mereka keduanya jangan sampai dimarahi atau dipukuli, karena lemahnya, mereka jagalah kambing-kambing mereka supaya jangan mendekat seketika mereka itu memberi minum kambing mereka.
Diceriterakan oleh Abu Bakar bin Abu Syaibah, diterima riwayat ini dari Ubaidillah, dia menerima dari Israil, dia ini menerima dari Abu lshaq, dia ini menerimanya pula dari Abu Maimun al-Audi, dia ini menerimanya langsung dari Umar bin al-Khathab: “Setelah Musa sampai ke telaga di negeri Madyan itu, dia dapati banyak orang sedang memberi minum ternaknya. Telaga itu ditutup dengan batu berat. Kalau sudah selesai kambing-kambing mereka minum, telaga itu mereka tutup kembali. Batu penutup itu sangat berat, Di-angkat oleh sekurangnya sepuluh orang baru terangkat. Lalu kelihatan oleh Musa dua orang perempuan sedang menghalau-halau kambingnya ke pinggir sumur, menjilat-jilat sisa air yang tinggal kalau masih ada. Maka bertanyalah Musa: “Apa kesulitan kalian berdua ini?" Lalu kedua anak perempuan itu men-ceriterakan nasib mereka. Maka dengan serta-merta Musa menyangkat batu penutup itu seorang dirinya dan terangkat. Disuruhnya halaukan kambing itu semua dan minum sepuas-puasnya sampai kenyang." Ini bunyi sebuah riwayat. Isnadnya shahih.
Sambungan ayat: “Lalu Musa berkata: “Apakah hal kamu berdua ini?" Mengapa kamu hanya memagar-magari kambing kamu? Tidak ada yang berani membawa kambingnya tampil ke muka, ke dekat sumur? “Maka keduanya menjawab: “Tidaklah dapat kami memberi minum temak kami sebelum selesai gembala-gembala yang banyak itu." Demikianlah sebagai tersebut pada Hadis dari Saiyidina Umar bin al-Khathab di atas. Kalau sudah selesai kambing mereka minum, sumur mereka tutup dengan batu yang tidak terangkat kalau kurang dari sepuluh orang. Sesudah itu mereka pergi. Tinggallah anak-anak perempuan itu memberi minum kambing mereka dari sisa-sisa air di tepi sumur yang hanya dijilat-jilat. Begitulah nasib mereka tiap hari. Dan kata mereka selanjutnya pula: “Sedang ayah kami adalah seorang tua yang telah lanjut l usia." (ujung ayat 23). Beliau tidak ada daya lagi dan kami tidak mempunyai saudara laki-laki yang akan melaksanakan pekerjaan berat ini.
Ayat 24
“Maka diberinya minumlah untuk (ternak) keduanya." (pangkal ayat 24).
Diangkatnya batu penutup sumur itu sekali angkat, sebagai tersebut dalam riwayat Saiyidina Umar bin al-Khathab di atas, disuruhnya halau kambing itu ke tepi sumur dan minum semua sepuas-puasnya: “Kemudian itu dia pun kembali pergi berteduh." Menurut suatu riwayat dari Abdullah bin Mas'ud tempat berteduh itu adalah satu pohon kayu yang rindang, yang di zaman Abdullah bin Mas'ud sendiri didapatinya masih ada. Dia kembali berteduh ke bawah pohon kayu itu, yang sejak waktu itu diberi orang nama “Pohon kayu Musa"."Lalu dia berkata: “Ya Tuhan! Sesungguhnya aku ini sangatlah memerlukan anugerah 1 kebajikan dari Engkau." (ujung ayat 24).
Menurut suatu riwayat pula dari Abdullah bin Abbas, bahwa selama dalam j perjalanan itu Musa tidaklah membawa persediaan makanan, karena dia me-j nirtggalkan Mesir dengan terburu-buru setelah dapat nasihat dari orang yang j jujur itu. Sebab itu maka dalam perjalanan yang dimakannya hanyalah sayur-sayur lunak kalau bertemu di tengah jalan dan menimba air sumur untuk diminum kalau bertemu sumur. Sebab itu di waktu dia sampai di pinggir negeri Madyan dan bernaung di pohon kayu dan melihat air telaga yang jernih dan sejuk bertambah terasalah lapar perutnya, dan mulailah pula terasa lelah badan karena penatnya berjalan. Waktu itulah sambil berteduh dia memohonkan kepada Tuhan, bahwa oleh karena dia sudah sangat melarat, sengsara dan lapar, sudilah kiranya Tuhan memberinya anugerah kebajikan. Anugerah kebajikan apalah itu, Tuhan yang Maha Tahu. Dengan susun kata permohonan demikian, dia masih menunjukkan budipekerti yang halus, bukan mendesak-desak mengatakan dirinya telah sangat lapar.
Ayat 25
“Lalu datanglah kepadanya salah seorang dari kedua anak perempuan itu." (pangkal ayat 25). Yakni, setelah selesai minum kambing ternak mereka, anak-anak perempuan itu pun pulanglah kembali ke rumahnya. Tentu agak tercenyang juga ayah mereka karena lebih cepat kedua puterinya pulang daripada biasa. Tentu dengan gembira pula kedua anak perempuan itu menceriterakan kepada ayahnya tentang seorang anak muda yang menolong mereka, yang berteduh di bawah pohon kayu yang rindang sekarang ini, setelah selesai menolong mereka. Pastilah kedua anak perempuan itu banyak memuji anak muda itu. Setelah mendengar berita yang dibawa kedua anak perempuannya itu, dengan gembiranya pula orang tua itu mengutus kembali salah seorang puterinya itu menjemput anak muda yang mereka katakan itu. Supaya dia segera dipersilakan pulang agar bertemu dengan beliau. Lalu datanglah seorang dari kedua anak perempuan itu “berjalan dengan malu-malu." Sebab nyata bahwa Musa seorang yang masih muda remaja dan nampaknya dia pun masih gadis. Dalam sebuah riwayat dari Saiyidina Umar juga, gadis-gadis itu berjalan agak menekur kemalu-maluan dan menyampaikan undangan ayahnya agar sudi datang bertemu dengan beliau dengan sikap yang sopan-santun: “Seraya berkata: “Sesungguhnya ayahku mengundang engkau, karena hendak membalas jasamu memberi minuman untuk kami." Artinya sangatlah beliau bergembira dan berterimakasih atas budi baik engkau itu, dan inginlah beliau hendak berjumpa muka dengan engkau, karena beliau hendak menyampaikan sendiri balas jasa itu.
Undangan itu disambut baik oleh Musa. Lalu bersama-sama dengan anak perempuan itu Musa menemui orang tua tersebut."Maka setelah dia datang (kepada orang tua itu) dan diceriterakan kepadanya kisah mengenai dirinya itu," sejak dalam asuhan Fir'aun sampai kepada kezaliman kaum Qubthi kepada Bani lsrail, sampai kepada tangannya terlanjur membunuh orang dan dia tengah dikejar-kejar karena hendak dibunuh sehingga terpaksa melarikan diri ke negeri Madyan ini, dan semuanya didengar dengan penuh perhatian oleh orang tua itu: “Berkatalah (orang tua itu): “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (ujung ayat 25).
Jangan khuatir lagi! Ini adalah negeri Madyan. Negeri ini tidak lagi dalam wilayah kekuasaan Fir'aun Mesir, tanahnya pun sudah lain. Tangan kekuasaan mereka tidaklah akan sampai ke mari. Sebab itu bertenanglah engkau dalam negeri ini.
Siapakah orang tua itu?
Ahli tafsir berbeda-beda pendapat tentang diri “Orang tua" ini. Banyak ahli tafsir menyatakan bahwa orang itu ialah Nabi Syu'aib sendiri. Al-Imam Hasan al-Bishri termasuk yang berpendapat bahwa orang tua itu ialah Nabi Syu'aib. ibnu Abi Hatim meriwayatkan suatu riwayat dari Imam Malik bin Anas, memang Nabi Syu'aiblah orang tua itu. Tetapi yang lain menafsirkan bahwa “orang tua" itu bukan Syu'aib, melainkan anak saudara dari Nabi Syu'aib (kemenakan beliau). Dan ada pula penafsir mengatakan orang tua itu ialah salah seorang Mu'min pengikut Syu'aib. Tetapi dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya bahwa jarak masa antara Musa dengan Syu'aib adalah terlalu jauh. Sebab di dalam Surat 11, Hud, ayat 89 seketika Syu'aib memberi nasihat kepada kaumnya menyuruh mereka sadar akan kesalahan mereka selama ini, beliau menyuruh ambil i'tibar dengan ummat terdahulu yang telah dihukum dan dikutuk Tuhan, sejak dari Kaum Luth, Kaum Nuh dan Kaum Shalih: “Dan
Kaum Luth tidaklah jauh dari kamu," kata beliau. Artinya bahwa kaum Luth itu masih belum lama jaraknya dengan kaum Nabi Syu'aib. Sedang Luth adalah sezaman dengan Nabi Ibrahim dengan keterangan dari aI-Qur'an sendiri. Maka jarak di antara Nabi Musa dengan Nabi Ibrahim adalah sekira empatratus tahun. Dan kata Ibnu Katsir selanjutnya, bahwa kalau memang “orang tua" itu Nabi Syu'aib sendiri, niscaya disebutkan agak sedikit di dalam al-Qur'an.
Memang ada beberapa Hadis menyatakan bahwa orang tua itu adalah Nabi Syu'aib, tetapi Ibnu Katsir menjelaskan pula bahwa isnad dari Hadis-hadis itu tidak ada yang shahih isnadnya.
Penafsir kita sekarang, yatiu Sayid Quthub yang terkenal dalam “Fi Zhilalil Qur'an" pun menegaskan kembali pendapatnya (Zhilal jilid VI, Juzu' 20, hal, 56). Kata beliau: Sebab beliau sudah “orang tua" niscaya kehidupan Syu'aib ketika itu ialah selepas hukum Tuhan kepada kaumnya yang tidak beriman, dan tinggal orang-orang yang beriman saja. Maka tidaklah layak bagi orang-orang Mu'min pilihan, yang telah terlepas dari saringan hukum Tuhan akan membiarkan anak-anak gadis dari Nabi mereka pergi menggembalakan kambing, lalu sumur mereka tutup dengan batu besar dan anak-anak gadis itu tidak boleh mendekat ketika mereka memberi minum. Sepuluh tahun Musa tinggal, niscaya akan terdengar suara nubuwwat dalam hubungan orang berdua itu, kalau memang orang tua itu Nabi. Isyarat itu tidak ada samasekali!
Ayat 26
“Berkata salah seorang dari kedua anak perempuan itu." (pangkal ayat 26). Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya, bahwa anak perempuan yang berkata itu ialah yang disuruh ayahnya menjemput Musa tadi: “Ya Ayah! Mintalah dia menerima upah."Artinya, tentu saja sesudah selesai makan dan minum dan sesudah Musa sebagai tetamu beristirahat, anak perempuan itu mengusulkan kepada ayahnya agar tetamu yang telah diketahui keadaannya itu, yang nampaknya datang melindungkan diri karena nyawanya terancam di negerinya sendiri, agar ditawari pekerjaan, yaitu menerima upah dari ayahnya. Pekerjaan yang akan diupahkan kepadanya ialah menggembalakan temak mereka itu, supaya terpelihara dengan baik, jangan tergenjet selama ini juga, karena yang menggembalakannya hanya anak perempuan. Anak perempuan itu menyambung usul kepada ayahnya: “Sesungguhnya orang yang paling baik untuk ayah beri upah ialah orang yang kuat dan dipercaya." (ujung ayat 26). Sedang kedua sifat ini ada pada pemuda yang melindungkan diri ini.
Menurut satu riwayat dari Sayidina Umar, Ibnu Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah dan Muhammad bin Ishaq dan beberapa perawi yang lain, ayah tua itu lalu bertanya kepada anak perempuannya itu, di mana dia tahu bahwa pemuda itu ada mempunyai kedua sifat penting itu. Anak perempuan itu menjawab bahwa tutup sumur yang hanya dapat diangkat oleh sekurangnya sepuluh orang, dapat diangkatnya sendiri. Kedua sikapnya yang sangat sopan ketika dia dijemput oleh anak perempuan itu karena suruhan ayahnya. Tidak ada nampak pada wajah atau sinar matanya tanda nafsu serakahnya melihat wajah perempuan. Dan katanya pula seketika dia diajak pulang itu, mula-mula anak perempuan itu berjalan di muka dan Musa mengiring di belakang. Tetapi di tengah jalan, lantaran kerasnya angin, tersimbah bahagian betis yang tak patut dilihat. Lalu dia berjalan mendahului dan si gadis berjalan di belakang. Disuruhnya saja memberi isyarat ke mana jalan selanjutnya. Dengan demikian nyatalah selain dari mempunyai kekuatan luarbiasa, dia pun dapat pula dipercaya.
Usul anaknya itu diterima oleh orang tua tersebut. Lalu tidak berapa lama kemudian Musa diajak bicara lagi oleh orang tua itu:
Ayat 27
“Berkata dia: “Sesungguhnya aku ingin hendak mengawinkan engkau dengan salah seorang anak perempuan ini." (pangkal ayat 27). Tidaklah jelas sejak semula, yang manakah di antara kedua anak perempuan itu yang disebutkan oleh orang tua itu, sebagaimana tidak disebut yang mana yang disuruhnya menjemput ke tempat Musa berlindung dahulu, yang besarkah atau yang kecilkah. Tidak disebutkan juga yang mana yang mengusulkan kepada ayahnya supaya Musa diupah menggembalakan kambing mereka, yang besarkah atau yang kecilkah. Ini pun demikian pula, tidak dikatakan yang besarkah atau yang kecilkah. Atau lain yang menjemput dahulu, lain pula yang punya usul dan lain pula yang dikawinkan. Karena maksud al-Qur'an bukan menentukan yang mana orangnya, karena itu tidak penting. Yang penting ialah bahwa Musa kawin dengan salah seorang dari kedua anak perempuan orang tua Madyan itu."Atas (janji) engkau bekerja delapan tahun dan jika engkau senang sampai sepuluh tahun, itu adalah terbit dari sisi engkau sendiri."Tegasnya ialah bahwa engkau aku nikahkah dengan salah seorang anakku ini, maharnya atau mas kawinnya bukanlah hartabenda melainkan tenaga engkau sendiri. Yaitu menggembalakan ternak kami delapan tahun sekurang-kurangnya. Tetapi kalau engkau hendak cukupkan sepuluh tahun dari kesukaanmu sendiri, saya akan senang sekali menerimanya."Dan tidaklah aku hendak memberati engkau."
Janji pembayaran mas-kawin dengan cara bilangan tahun ini sungguh bijaksana sekali. Sebab Musa adalah seorang yang tengah membuang diri ke Madyan. Kalau dia segera pulang ke Mesir jiwanya dalam bahaya. Kalau dia berdiam di Madyan sekian tahun, moga-moga ada perubahan-perubahan yang akan terjadi di Mesir dalam tahun-tahun yang dia lalui itu. Kalau terjadi perubahan dalam delapan tahun, dia boleh segera pulang. Kalau belum, dia boleh melanjutkan menggembala ternak dua tahun lagi. Lalu kata orang tua itu iagi, “Dan tidaklah aku hendak memberati engkau." Artinya moga-moga pekerjaan ini menyenangkan hatimu dan jangan engkau bimbang dengan daku, sebab aku majikan atau “induk semang"."Akan engkau dapati aku -insya Allah — termasuk orang yang baik-baik jua." (ujung ayat 27).
Ayat 28
“Dia berkata," (Musa menjawab), ‘Yang demikian itu adalah di antara aku dengan engkau." (pangkal ayat 28). Artinya bahwa Musa setuju dengan perjanjian yang dikemukakan oleh mertuanya tersebut. Dengan persetujuan itu terjadilah AQAD-NIKAH, yakni ijab dan qabul."Yang mana pun di antara kedua janji itu yang akan kupenuhi, maka tidaklah akan memberati atas diriku." Kalau hanya delapan tahun kesanggupanku, lepas jugalah hutangku, dan jika tidak aku cukupkan sepuluh tahun, mertua tidak akan kecil hati."Dan Allah adalah Saksi atas apa yang kita perkatakan ini." (ujung ayat 28).
Sejak itu berubah pulalah hidupnya, menjadi perubahan yang ketiga. Mulai menegakkan rumahtangga memikul tanggungjawab sebagai suami dan memikul tanggungjawab sebagai seorang yang menerima upah. Mulanya anak angkat istana yang dikasihi, setelah itu jadi orang pelarian yang sedang dikejar-kejar, sekarang berubah menjadi penggembala dan penerima upah, tinggal di negeri yang jauh, menambah pengalaman hidup yang serba pahit. Dalam mengiringkan kambing-kambing ternak di padang pasir yang luas, melihat patuhnya kambing dihalau mulailah Musa memikirkan zaman depan yang jauh, yang tengah dihadapi.