Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
(Khaidir) berkata
فَإِنِ
maka jika
ٱتَّبَعۡتَنِي
kamu mengikuti aku
فَلَا
maka janganlah
تَسۡـَٔلۡنِي
kamu menanyakan kepadaku
عَن
dari
شَيۡءٍ
sesuatu
حَتَّىٰٓ
sehingga
أُحۡدِثَ
aku ceritakan
لَكَ
kepadamu
مِنۡهُ
daripadanya
ذِكۡرٗا
pelajaran
قَالَ
(Khaidir) berkata
فَإِنِ
maka jika
ٱتَّبَعۡتَنِي
kamu mengikuti aku
فَلَا
maka janganlah
تَسۡـَٔلۡنِي
kamu menanyakan kepadaku
عَن
dari
شَيۡءٍ
sesuatu
حَتَّىٰٓ
sehingga
أُحۡدِثَ
aku ceritakan
لَكَ
kepadamu
مِنۡهُ
daripadanya
ذِكۡرٗا
pelajaran
Terjemahan
Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang apa pun sampai aku menerangkannya kepadamu.”
Tafsir
(Dia mengatakan, "Jika kamu ingin mengikuti saya, maka janganlah kamu menanyakan kepada saya) Dalam satu qiraat dibaca dengan Lam berbaris fatah dan Nun bertasydid (tentang sesuatu) yang kamu ingkari menurut pengetahuanmu dan bersabarlah kamu jangan menanyakannya kepadaku (sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu)" hingga aku menuturkan perihalnya kepadamu berikut sebab musababnya. Lalu Nabi Musa menerima syarat itu, yaitu memelihara etika dan sopan santun murid terhadap gurunya.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 66-70
Musa berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu sanggup sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun." Dia berkata, "Jika kamu mau mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang hal apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Allah ﷻ menceritakan tentang perkataan Musa a.s. kepada lelaki yang alim itu yakni Khidir yang telah diberikan kekhususan oleh Allah dengan suatu ilmu yang tidak diketahui oleh Musa. Sebagaimana Allah telah memberi kepada Musa suatu ilmu yang tidak diberikan-Nya kepada Khidir. Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu?" (Al-Kahfi: 66) Pertanyaan Musa mengandung nada meminta dengan cara halus, bukan membebani atau memaksa. Memang harus demikianlah etika seorang murid kepada gurunya dalam berbicara.
Firman Allah ﷻ: Bolehkah aku mengikutimu? (Al-Kahfi: 66) Maksudnya, bolehkah aku menemanimu dan mendampingimu. "Supaya kamu dapat mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu." (Al-Kahfi: 66) Yakni suatu ilmu yang pernah diajarkan oleh Allah kepadamu agar aku dapat menjadikannya sebagai pelitaku dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 67) Artinya, kamu tidak akan kuat menemaniku karena kamu akan melihat dariku berbagai macam perbuatan yang bertentangan dengan syariatmu. Sesungguhnya aku mempunyai suatu ilmu dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepadamu. Sedangkan kamu pun mempunyai suatu ilmu dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepadaku. Masing-masing dari kita mendapat tugas menangani perintah-perintah dari Allah secara tersendiri yang berbeda satu sama lainnya. Dan kamu tidak akan kuat mengikutiku.
"Dan bagaimana kamu sanggup sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (Al-Kahfi: 68) Aku tahu bahwa kamu akan mengingkari hal-hal yang kamu dimaafkan untuk tidak mengikutinya, tetapi aku tidak akan menceritakan hikmah dan maslahat hakiki yang telah diperlihatkan kepadaku, sedangkan kamu tidak mengetahuinya.
Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar." (Al-Kahfi: 69) terhadap apa yang aku lihat dari urusan-urusanmu itu.
"Dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun." (Al-Kahfi: 69) Maksudnya, aku tidak akan memprotesmu dalam urusan apapun; dan pada saat itu Khidir memberikan syarat kepada Musa, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: "Dia berkata, ‘Jika kamu mau mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun’." (Al-Kahfi: 70) Yakni memulai menanyakannya. "Sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70) Yaitu aku sendirilah yang akan menjelaskannya kepadamu, sebelum itu kamu tidak boleh mengajukan suatu pertanyaan pun kepadaku.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Musa a.s. bertanya kepada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, hamba-hamba-Mu yang manakah yang paling Engkau sukai?" Allah ﷻ menjawab, "Orang yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak pernah melupakan Aku." Musa bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling adil?" Allah menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman, "Orang yang rajin menimba ilmu dari orang lain dengan tujuan untuk mencari suatu kalimat yang dapat memberikan petunjuk ke jalan hidayah untuk dirinya, atau menyelamatkan dirinya dari kebinasaan." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada seseorang yang lebih alim daripada aku?" Allah berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya, "Siapakah dia?" Allah berfirman, "Dialah Khidir." Musa bertanya, "Di manakah saya dapat menemuinya?" Allah berfirman, "Di pantai di dekat sebuah batu besar tempat kamu akan kehilangan ikan disitu." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Musa berangkat mencarinya; dan kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu besar itu.
Ia bertemu dengan Khidir, masing-masing dari keduanya mengucapkan salam kepada yang lainnya. Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka menemanimu." Khidir menjawab, "Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku." Musa berkata, "Tidak begitu, saya sanggup." Khidir berkata, "Jika kamu mau menemaniku maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang hal apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa Musa berangkat menempuh jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua buah laut; tiada suatu tempat pun yang airnya lebih banyak daripada tempat itu.
Kemudian Allah mengirimkan seekor burung pipit, lalu burung pipit itu menyambar seteguk air dengan paruhnya. Khidir berkata kepada Musa, "Berapa banyakkah air yang disambar oleh burung pipit ini menurutmu?" Musa menjawab, "Sangat sedikit." Khidir berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung pipit itu dari laut ini." Sebelum peristiwa ini pernah terbesit di dalam hati Musa bahwa tiada seorang pun yang lebih alim darinya; atau Musa pernah mengatakan demikian. Karena itulah maka Allah memerintahkan kepadanya untuk menemui Khidir.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya ini tentang pelubangan perahu, pembunuhan terhadap seorang anak muda, dan perbaikan dinding yang akan runtuh, serta takwil dari semua perbuatan tersebut.
Nabi Khidr memperkenankan permintaan Nabi Musa, tetapi dengan sebuah syarat. Dia berkata, Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun yang aku lakukan walaupun engkau tidak mengerti atau tidak menyetujuinya, sampai
aku menerangkannya kepadamu bagaimana sebenarnya peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan yang diberitahukan Allah kepadaku. Maka berjalanlah keduanya menelusuri pantai, hingga ketika keduanya
menjumpai sebuah perahu yang sedang berlayar, keduanya menaiki perahu, lalu sampai di tengah laut, dia, yakni Nabi Khidr, melubanginya.
Dia, yakni Nabi Musa, tidak sabar ketika melihat Nabi Khidr melubangi
perahu itu dan tidak dapat menyetujuinya, maka ia berkata, Mengapa
engkau melubangi perahu itu, sungguh perbuatan itu sangat berbahaya. Apakah engkau bermaksud untuk menenggelamkan penumpangnya' Sungguh, aku bersumpah, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar,
yang tidak dapat dibenarkan menurut syariat.
Dalam ayat ini, Khidir dapat menerima Musa a.s. dengan pesan, "Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku (Khidir) maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya."
Nabi Musa mau menerima syarat itu, memang sebenarnya sikap Nabi Musa yang demikian itu merupakan sopan-santun orang yang terpelajar terhadap cendekiawan, sikap sopan-santun murid dengan gurunya atau sikap pengikut dengan yang diikutinya. Kadang-kadang rahasia guru atau orang yang diikuti belum tentu dipahami oleh murid atau pengikutnya ketika itu juga, tetapi baru dapat dipahami kelak di kemudian hari.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NABI MUSA PERGI BERGURU (II)
Setelah Nabi Musa dengan anak muda pengiringnya, Yusya bin Nun, sampai kembali di tempat ikan asin itu meluncur masuk laut tadi,
Ayat 65
“Maka mereka dapatilah seorang hamba di antara hamba Kami, yang Kami telah berikan kepadanya lahmat daii sisi Kami."
Bertemu seorang di antara banyak hamba Allah yang dianugerahi rahmat. Dan rahmat paling tinggi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah rahmat ma'rifat, yaitu kenal akan Allah, dekat dengan Allah, sehingga hidup mereka berbeda dengan orang lain. Sedangkan iman dan takwa kepada Allah saja sudahlah menjadi Rahmat abadi bagi seorang hamba Allah, kononlah kalau diberi pula dia ilmu yang langsung diterima dari Allah, yang dijelaskan di sini.
“Dan telah Kami ajankan kepadanya ilmu yang langsung dari Kami."
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) dari pengaruh hawa nafsu dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni laksana kaca, maka timbullah nur dalam dirinya dan menerima dia akan nur dari luar; itulah yang disebut Nurun ‘ala nuriril Maka bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabin. Kalau telah sampai pada maqam yang demikian, mudahlah dia menerima langsung ilmu dari Ilahi. Baik berupa wahyu serupa yang diterima nabi dan rasul, atau berupa ilham yang tertinggi martabatnya, yang diterima oleh orang yang saleh.
Dan orang yang telah mencapai martabat yang demikian itu dapat segera dikenal oleh orang yang telah sama berpengalaman dengan dia, walaupun baru sekali bertemu. Sebab sinar dari Nur sama sumber asal tempat datangnya.
Oleh sebab itu baru saja melihat orang itu yang pertama kali, Musa telah tahu bahwa itulah orang yang disuruh Allah dia mencarinya. Tidaklah kita heran jika langsung sekali Musa menegurnya dengan penuh hormat, “Berkata Musa kepadanya,
Ayat 66
“Bolehkah aku mengikut engkau, “Dengan (syanat) engkau ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan kepada engkau, sampai aku mengerti."
Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga menunjukkan bahwa Musa telah menyediakan diri menjadi murid dan mengakui di hadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti. Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai seorang murid yang setia.
Ayat 67
“Dia menjawab."
Siapakah dia itu? Beberapa hadits yang diriwayatkan daripada Nabi ﷺ telah menyebutkan nama guru itu, dan ahli-ahli tafsir yang terbanyak telah membawakan riwayat hadits itu pula. Nama guru itu ialah Khidir.
Khidir itu bahasa Arab yang berarti hijau! Nanti setelah selesai menafsirkan tiap-tiap ayat soal-jawab di antara guru dan murid ini, akan kita uraikan riwayat-riwayat tentang Khidir ini.
Begitu banyak tafsir yang kita baca, yang lama dan yang baru, maka bagian terbesar dari mufassirin itu mesti membawakan tentang Khidir, guru Nabi Musa ini. Ada yang menyebutkan dia adalah nabi, dan ada pula yang menyebutkan bahwa dia adalah wali-yullah, bahkan ada pula yang menyelip-kan bahwa dia itu adalah jin. Tetapi penafsir zaman sekarang, Sayyid Quthub, syahid fi sabilillah, pengarang Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur'an tidak ada menyebut-nyebut Khidir ketika menafsirkan ayat-ayat ini. Dia hanya menyebut al Abdus Saleh (hamba Allah yang saleh) saja. Dia berpendirian demikian, sebab di dalam ayat-ayat itu sendiri tidak pernah tersebut nama Khidir. Jalan cerita penuh dengan misterius atau rahasia dari ilmu Allah, sampai satu di antaranya ikan yang telah mati dan diasin atau dipanggang bisa melompat saja masuk laut dan hilang tak tentu ke mana perginya. Oleh sebab itu maka Sayyid Quthub merasa adalah lebih baik cerita itu dibiarkan dalam kegaibannya, dan jangan ditambah-tambah lagi dengan cerita-cerita lain, yang kadang-kadang telah tercampur-aduk dengan dongeng atau israiliyat yang akal waras tidak dapat mempertanggungjawabkan.
Sekarang Musa telah berjumpa dengan guru yang dicarinya dan telah menyatakan kesediaannya belajar. Tetapi apa sambutan guru?
Ayat 67
“Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup" jika engkau hendak menyenahkan dini menjadi munidku dan benjolan, “bersama aku" dan mengikuti aku ke mana aku pe'igi, tidaklah engkau “akan bensaban."
Dengan perkataan seperti ini si guru pun tampaknya dalam mula pertemuan telah me-ngenal akan jiwa muridnya itu. Teropong dari ilmul iadunni, ilmu yang langsung diterimanya dari Allah, firasat dari orang yang beriman, telah menyebabkan guru mengenal muridnya pada pertemuan yang pertama. Dan kita yang telah banyak membaca kisah Nabi Musa di dalam Al-Qur'an pun telah mengetahui pula, bahwa Nabi Musa itu mempunyai sikap jiwa yang lekas meluap, atau spontan. Sebab itu sang guru telah menyatakan dari permulaan bahwa si murid tidak akan sabar menurut-kan dia.
Guru itu menjelaskan lagi, sebagai sindiran halus atas sikap jiwa murid yang baru dikenalnya itu, dengan katanya,
Ayat 68
“Dan betapa engkau akan dapat sabar atas perkara yang belum cukup pengetahuanmu tentang hal itu?"
Dengan secara halus tabiat pengeras Musa selama ini telah mendapat teguran yang pertama. Namun Nur nubuwwat yang telah memancar dari dalam Ruhari Musa pun tidaklah hendak mundur karena teguran yang demikian. Bahkan beliau berjanji bahwa beliau akan sabar. Beliau akan dapat menahan diri menerima bimbingan dari guru.
Dia berkata,
Ayat 69
“Akan engkau dapati aku, insyaa Allah, seorang yang sabar."
Menunjukkan bahwa Nabi Musa telah mengaku akan patuh. Tetapi sebagaimana seorang manusia yang juga akan kelemahan dirinya dan kebesaran Tuhannya, dialasnya kata dengan in syaa Allah! Dan sesudah berjanji akan sabar ditambahinya lagi: janji se
orang murid di hadapan seorang guru yang mursyid.
“Dan tidaklah aku akan mendurhaka kepada engkau dalam hal apa jua pun."
Aku akan patuh, segala yang diajarkan akan kusimakkan baik-baik, bahkan segala yang guru perintahkan selama aku belajar tidaklah akan aku bantah atau aku durhakai.
Kata-kata ini adalah teladan yang baik bagi seorang murid di dalam mengkhidmati gurunya. Ahli-ahli tasawuf pun mengambil sikap Nabi Musa terhadap kepada guru ini untuk jadi teladan khidmat murid kepada guru. Sehingga apa pun sikap guru itu, walaupun belum dapat dipahamkan, bersabarlah menunggu. Karena kadang-kadang rahasianya akan didapat kemudian.
Setelah menerima janji yang demikian dari Musa, tenanglah hati sang guru menerima muridnya. Lalu,
Ayat 70
“Dia berkata, “Jika engkau mengikut aku, maka janganlah engkau tanyakan kepadaku suatu hal sebelum aku ceritakan kepada engkau duduk soalnya."
Dan syarat yang dikemukakan gurunya ini pun rupanya disanggupi oleh Musa. Dengan demikian terdapatlah persetujuan kedua belah pihak, guru dan murid dan sejak saat itu Musa telah menjadi murid guru itu, atau Khidir, dan mereka telah berjalan bersama.
Si pengiring, Yusya bin Nun tiada tersebut lagi. Memang biasanya bilamana orang-orang penting telah bertemu, pengiring menyisih ke tepi atau tidak penting diperkatakan lagi.
Ayat 71
“Maka benjolanlah keduanya."
Tampaklah dalam jalan cerita ini bahwa Musa bersama dengan gurunya telah melanjutkan perjalanan."Sehingga apabila keduanya sudah naik ke sebuah perahu, dilubanginya (perahu) itu."
Mulailah Musa menyaksikan lautan dan akan pergi ke seberang sana, lalu menumpang pada sebuah perahu, tetapi sebelum sampai ke tempat yang dituju dibuatnya satu lubang pada perahu itu sehingga air bisa saja menggoroh masuk, yang niscaya akan membawa perahu kaam. Lupalah Musa akan janjinya tidak akan bertanya kalau melihat suatu yang ganjil. Bawaan dirinya yang asli keluar lagi dengan tidak disadarinya. Lalu “dia bertanya, “Apakah sebab engkau lubangi dia yang akan menyebabkan tenggelamnya penumpang-pe-numpangnya?" Artinya, bukankah dengan pelubangan itu berarti engkau hendak menyebabkan penumpangnya tenggelam semua? Termasuk engkau dan aku?
Menembus sebuah perahu sedang berlayar, bagaimana jua pun adalah satu perbuatan yang tidak dapat dimengerti. Meskipun dia telah berjanji tidak akan bertanya, terdorong juga dia bertanya dan langsung ditanyakan apa yang terasa di hatinya, dengan tidak ada te-deng aling-aling dengan tidak ada kesabaran.
“Sesungguhnya engkau telah berbuat suatu perbuatan yang sangat salah."
Apa yang dialami Musa dialami juga oleh kebanyakan manusia. Seorang yang telah ber-janji, baik dengan sesamanya manusia, ataupun dengan Allah sendiri, akan sabar jika ditimpa cobaan, misalnya kematian orang yang sangat dicintai, malahan telah berkali-kali memberi fatwa sabar kepada orang lain; namun dia sadari atau tidak, dan kebanyakannya tidak disadari, dia akan terguncang juga jika orang yang sangat dicintainya meninggal dunia. Karena pertimbangan akal yang jernih tidaklah selalu sama dengan gejala perasaan ketika menghadapi kenyataan.
Maka menyambutlah gurunya itu tenang,
Ayat 72
“Dia berkata, Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa tidaklah engkau akan sanggup bersabar bila menyertaiku."
Baru saja itu, baru itu yang pertama kali engkau melihatyangganjil pada pemandanganmu engkau sudah tidak sabar. Bukankah telah aku katakan sejak semula bahwa engkau tidak akan sabar menurutkan daku. Sekarang hal itu sudah terbukti.
Maka insaflah Musa akan dirinya, meskipun hati kecilnya belum merasa puas.
Ayat 73
“Dia berkata, “Janganlah engkau salahkan daku karena kelupaanku itu."
Di sini Musa mengakui terus terang bahwa dia lupa. Dia lupa akan janjinya. Karena baru sekali ini dia melihat hal sedahsyat itu. Disangkanya tidak akan sampai demikian. Oleh karena itu satu kelupaan dia pun memohon maaf. Dan berkata,
“Dan janganlah engkau bebani aku karena kesalahanku ini dengan suatu kesukaran."
Artinya, bahwa aku mengakui kesalahanku ini. Sebabnya hanyalah karena lupa semata-mata. Aku meminta maaf. Jangan engkau segera murka kepadaku, sehingga aku tidak boleh lagi mengikuti engkau dalam perjalanan. Karena kalau demikian halnya, beratlah rasanya bebanku. Syukurlah rasanya bagiku. Sebab aku tidak dapat lagi meneruskan menuntut ilmu.