Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلرِّجَالُ
kaum laki-laki
قَوَّـٰمُونَ
pemimpin/lebih kuat
عَلَى
atas/bagi
ٱلنِّسَآءِ
kaum wanita
بِمَا
dengan sebab
فَضَّلَ
telah melebihkan
ٱللَّهُ
Allah
بَعۡضَهُمۡ
sebagian mereka
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖ
sebagian yang lain
وَبِمَآ
dan dengan sebab
أَنفَقُواْ
mereka menafkahkan
مِنۡ
dari
أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
harta mereka
فَٱلصَّـٰلِحَٰتُ
maka wanita-wanita yang saleh
قَٰنِتَٰتٌ
yang taat
حَٰفِظَٰتٞ
yang menjaga diri
لِّلۡغَيۡبِ
di waktu gaib/tidak hadir
بِمَا
dengan sebab
حَفِظَ
menjaga/memelihara
ٱللَّهُۚ
Allah
وَٱلَّـٰتِي
dan wanita-wanita yang
تَخَافُونَ
kamu khawatirkan
نُشُوزَهُنَّ
'nusyuz'nya/kedurhakaannya
فَعِظُوهُنَّ
maka nasehati mereka
وَٱهۡجُرُوهُنَّ
dan pindahkan/pisahkan mereka
فِي
pada
ٱلۡمَضَاجِعِ
tempat tidur
وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
dan pukullah mereka
فَإِنۡ
maka jika
أَطَعۡنَكُمۡ
mereka mentaatimu
فَلَا
maka janganlah
تَبۡغُواْ
kamu mencari-cari
عَلَيۡهِنَّ
atas/terhadap mereka
سَبِيلًاۗ
jalan (untuk menyusahkan)
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيّٗا
Maha Tinggi
كَبِيرٗا
Maha Besar
ٱلرِّجَالُ
kaum laki-laki
قَوَّـٰمُونَ
pemimpin/lebih kuat
عَلَى
atas/bagi
ٱلنِّسَآءِ
kaum wanita
بِمَا
dengan sebab
فَضَّلَ
telah melebihkan
ٱللَّهُ
Allah
بَعۡضَهُمۡ
sebagian mereka
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖ
sebagian yang lain
وَبِمَآ
dan dengan sebab
أَنفَقُواْ
mereka menafkahkan
مِنۡ
dari
أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
harta mereka
فَٱلصَّـٰلِحَٰتُ
maka wanita-wanita yang saleh
قَٰنِتَٰتٌ
yang taat
حَٰفِظَٰتٞ
yang menjaga diri
لِّلۡغَيۡبِ
di waktu gaib/tidak hadir
بِمَا
dengan sebab
حَفِظَ
menjaga/memelihara
ٱللَّهُۚ
Allah
وَٱلَّـٰتِي
dan wanita-wanita yang
تَخَافُونَ
kamu khawatirkan
نُشُوزَهُنَّ
'nusyuz'nya/kedurhakaannya
فَعِظُوهُنَّ
maka nasehati mereka
وَٱهۡجُرُوهُنَّ
dan pindahkan/pisahkan mereka
فِي
pada
ٱلۡمَضَاجِعِ
tempat tidur
وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
dan pukullah mereka
فَإِنۡ
maka jika
أَطَعۡنَكُمۡ
mereka mentaatimu
فَلَا
maka janganlah
تَبۡغُواْ
kamu mencari-cari
عَلَيۡهِنَّ
atas/terhadap mereka
سَبِيلًاۗ
jalan (untuk menyusahkan)
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيّٗا
Maha Tinggi
كَبِيرٗا
Maha Besar
Terjemahan
Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Tafsir
(Kaum lelaki menjadi pemimpin) artinya mempunyai kekuasaan (terhadap kaum wanita) dan berkewajiban mendidik dan membimbing mereka (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas lainnya) yaitu kekuasaan dan sebagainya (dan juga karena mereka telah menafkahkan) atas mereka (harta mereka. Maka wanita-wanita yang saleh ialah yang taat) kepada suami mereka (lagi memelihara diri di balik belakang)) artinya menjaga kehormatan mereka dan lain-lain sepeninggal suami (karena Allah telah memelihara mereka) sebagaimana dipesankan-Nya kepada pihak suami itu. (Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyus) artinya pembangkangan mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya (maka nasihatilah mereka itu) dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah (dan berpisahlah dengan mereka di atas tempat tidur) maksudnya memisahkan kamu tidur ke ranjang lain jika mereka memperlihatkan pembangkangan (dan pukullah mereka) yakni pukullah yang tidak melukai jika mereka masih belum sadar (kemudian jika mereka telah menaatimu) mengenai apa yang kamu kehendaki (maka janganlah kamu mencari gara-gara atas mereka) maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul mereka secara aniaya. (Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar) karena itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari harta mereka. Karena itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di belakang suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz (sikap durhaka)nya, maka kalian nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Firman Allah ﷻ: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.
“Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa: 34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.” Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.
“Dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya.” (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Suddi, dan Adh-Dhahhak.
Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi ﷺ mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Balaslah!" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).
Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadits ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Suddi. Semuanya itu diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Mardawaih menyandarkan hadits ini ke jalur yang lain. Dia mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah ﷺ seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita mahramnya.
Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Dia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki perkara yang lain.” Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Suddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari harta mereka.” (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.
Firman Allah ﷻ yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah ﷻ yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.
“Lagi memelihara diri di belakang suaminya.” (An-Nisa: 34)
Menurut As-Suddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat bersama isterinya.
Firman Allah ﷻ: “Oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa: 34)
Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu.” Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya:”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa: 34), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu Dawud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafal yang serupa.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang wanita itu apabila mengerjakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadan, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai’." Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf.
Firman Allah ﷻ: “Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuz (sikap durhaka)nya.” (An-Nisa: 34)
Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya. An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah ﷺ sehubungan dengan hal ini telah bersabda: “Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadap dirinya.”
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.” Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut: “Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.”
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka.” (An-Nisa: 34) Adapun firman Allah ﷻ: “Dan pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka.” (An-Nisa: 34) Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami memalingkan punggungnya dari dia. Hal yang sama dikatakan pula oleh tidak hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Suddi, Adh-Dhahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dari tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Kab, Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.
Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka.”
Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.
Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?" Nabi ﷺ menjawab: “Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajahnya dan jangan memjelek-jelekkannya, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.”
Firman Allah ﷻ: “Dan pukullah mereka.” (An-Nisa: 34) Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda dalam haji wada'-nya: “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang patut.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukai. Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas. Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dan janganlah kamu mematahkan satu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.
Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka datanglah Umar kepada Rasulullah ﷺ dan mengatakan, "Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah ﷺ memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah ﷺ mengadukan perihal suami mereka. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.” Hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Dawud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari Al-Asyas ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar, lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Wahai Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari Rasulullah ﷺ yaitu: “Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir”.’ Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadits Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa: 34)
Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku zalim terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat zalim terhadap istrinya.
Masih dalam kaitan larangan agar tidak berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang Allah berikan kepada siapa pun, laki-laki maupun perempuan, ayat ini membicarakan secara lebih konkret fungsi dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan. Laki-laki atau suami itu adalah pelindung bagi perempuan atau istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka, laki-laki, atas sebagian yang lain, perempuan, dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami secara khusus, telah memberikan nafkah apakah itu dalam bentuk mahar ataupun serta biaya hidup rumah tangga sehari-hari dari hartanya sendiri. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suami tidak ada di rumah atau tidak bersama mereka, karena Allah telah menjaga diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuz (durhaka terhadap suami), seperti meninggalkan rumah tanpa restu suami, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka dengan lemah lembut dan pada saat yang tepat, tidak pada sembarang waktu, dan bila nasihat belum bisa mengubah perilaku mereka yang buruk itu, tinggalkanlah mereka di tempat tidur dengan cara pisah ranjang, dan bila tidak berubah juga, kalau perlu pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan tetapi memberi kesan kemarahan. Tetapi jika mereka sudah menaatimu, tidak lagi berlaku nusyuz, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya dengan mencerca dan mencaci maki mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Maha-besarBila upaya yang diajarkan pada ayat-ayat sebelumnya tidak dapat meredakan sengketa yang dialami oleh sebuah rumah tangga, maka lakukanlah tuntunan yang diberikan oleh ayat ini. Dan jika kamu khawatir akan terjadi syiqa'q atau persengketaan yang kemungkinan besar membawa perceraian antara keduanya, maka kirimlah kepada suami istri yang bersengketa itu seorang juru damai yang bijaksana dan dihormati dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai yang juga bijaksana dan dihormati dari keluarga perempuan. Jika keduanya, baik suami istri, maupun juru damai itu, bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik jalan keluar kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahamengetahui atas segala sesuatu, lagi Maha teliti.
Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.
Menurut riwayat Hasan al-Bashri:
"Seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah saw, bahwa suaminya telah memukulnya. Rasulullah ﷺ bersabda, "Ia akan dikenakan hukum kisas. Maka Allah menurunkan ayat Ar-Rijalu qawwamuna 'ala an-nisa?" (Riwayat al-hasan al-Bashri dari Muqatil).
Diriwayatkan pula bahwa perempuan itu kembali ke rumahnya dan suaminya tidak mendapat hukuman kisas sebagai balasan terhadap tindakannya, karena ayat ini membolehkan memukul istri yang tidak taat kepada suaminya, dengan tujuan mendidik dan mengingatkannya.
Yang dimaksud dengan istri yang saleh dalam ayat ini ialah istri yang disifatkan dalam sabda Rasulullah saw:
"Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia memelihara hartamu dan menjaga dirinya." (Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Inilah yang dinamakan istri yang saleh, sedang yang selalu membangkang, yaitu meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami untuk hal-hal yang tidak penting, dinamakan istri yang nusyuz (yang tidak taat).
Bagaimana seharusnya suami berlaku terhadap istri yang tidak taat kepadanya (nusyuz), yaitu menasihatinya dengan baik. Kalau nasihat itu tidak berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan kalau tidak berubah juga, barulah memukulnya dengan pukulan yang enteng yang tidak mengenai muka dan tidak meninggalkan bekas.
Setelah itu para suami diberi peringatan, bila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. karena Allah Maha Mengetahui dan Mahabesar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
LAKI-LAKI ADALAH PEMIMPIN
Ayat 34
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, Utusan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas yang sebagian."
Di sini mulailah diterangkan apakah sebab yang terpenting, maka dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, dan mengapa maka laki-laki yang membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istrinya dengan baik. Mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil? Sedangkan perempuan tidak? Ayat inilah yang memberikan jawabannya. Sebab laki-lakilah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan. Meskipun beristri empat adalah satu kerepotan, tetapi umumnya laki-laki lebih dapat mengendalikan empat istri, daripada misalnya seorang istri bersuami empat orang. Terang dia tidak akan dapat mengendalikan keempat laki-laki itu. Malahan perempuanlah yang akan sengsara jika misalnya dia diizinkan bersuami empat
Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidak pun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan sebab tidaksesuai dengan kenyataan hidup manusia. Laki-laki memimpin perempuan, bukan saja pada manusia bahkan pada binatang. Para rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mengiringkannya. Kera dan beruk di hutan pun mengangkat pemimpin, beruk tua jantan. Diterangkan sebab yang pertama di dalam ayat ialah lantaran Allah telah melebihkan sebagian mereka, yaitu mereka laki-laki atas yang sebagian, yaitu perempuan. Lebih dalam tenaga, lebih dalam kecerdasan, sebab itu lebih pula dalam tanggung jawab. Misalnya berdiri rumah tangga, ada bapak, ada istri, dan ada anak, dengan sendirinya— meskipun tidak disuruh—laki-lakilah, yaitu si bapak yang menjadi pimpinan. Seibarat batang tubuh manusia, ada kepala, ada tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting, tetapi yang kepala tetap kepala.
Kepala tidak dapat tegak ke atas, kalau kaki lumpuh atau tangan patah. Tidaklah tangan mengomel mengapa dia jadi tangan dan kaki mengapa terletak di bawah. Atau ibarat kapal berlayar mempunyai nakhoda (kapten kapal) dan juru batu (masinis) Kedudukan masinis sangat penting, kalau dia tak ada, kapal tidak dapat berlayar. Tetapi masinis tetap mengetahui bahwa kepala tertinggi adalah nakhoda. Maka di dalam ayat ini diterangkanlah kenyataan itu, mau atau tidak mau, laki-lakilah pemimpin perempuan. Mungkin sekali-sekali kedapatan laki-laki tolol dan perempuan cerdik, sehingga terbalik, perempuan yang memimpin. “Yang jarang terjadi adalah seumpama tidak ada". Tidak ada dalam dunia orang yang menjadikan hal yang jarang terjadi menjadi pokok dan dalil hukum. Sebab yang kedua disebutkan lagi, “Dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka." Artinya, perwilahan atas harta benda pun adalah tanggung jawab laki-laki. Dalam bersuami istri, dimisalkan harta benda mereka berdua yang punya, yang dinamai oleh adat orang Minangkabau harato suarang namun hak terakhir di dalam menentukan tetap pada laki-laki.
Hal ini boleh kita katakan naluri atau insting dari orang perempuan. Walaupun dalam rumah tangga orang yang masih belum beradab, primitif, atau orang kampung, atau orang modern sekalipun, tinggal di kota, siang malam membicarakan hak-hak kaum perempuan. Sedang bertengkar-tengkar di dalam rumah memperkatakan hak dan kewajiban, tiba-tiba datang orang jahat hendak merampok rumah itu. Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu yang bersiap menghadapi musuh itu ialah laki-laki dan yang disuruh oleh laki-laki bersembunyi ialah istri dan anak-anaknya. Dan kalau ada anak laki-laki yang besar-besar, diperintah mereka oleh ayahnya sama bertahan dengan dia.
Agama Islam mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada istri yang akan dikawini. Mahar adalah seakan-akan mengandung undang-undang yang tidak tertulis tentang tanggung jawab, bahwa mulai mahar dibayar, si istri menyerahkan pimpinan atas dirinya kepada suaminya. Bangsa-bangsa Barat mempunyai adat bahwa perempuanlah yang membayar mahar kepada laki-laki. Yang juga mengandung undang-undang yang tidak tertulis, bahwa mulai laki-laki menerima mahar istrinya itu, menjadi kewajibanlah bagi dia membela dan memimpin istri itu sebab mulai saat itulah dia telah lepas dari tanggung jawab ayah bundanya.
Betapa pun modern rumah tangga, ke-putusan terakhir tetap pada laki-laki. Di dalam rumah tidak mungkin ada dua kekuasaan yang sama hak dan sama kewajiban, mesti ada pimpinan. Pimpinan itu, menurut kejadian jasmani dan ruhani manusia, tidak lain adalah laki-laki. Bertambah kecerdasan pikiran manusia, bertambah dia menyetujui hal ini. Maka atas dasar demikianlah tegak hukum agama sehingga perkabaran bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan saja kabar dan berita kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah irama hidup. Maka ayat berkata selanjutnya tentang watak perempuan yang dipimpin oleh laki-laki itu, “Maka perempuan yang baik-baik ialah yang taat." Yaitu taat kepada Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri, bertanggung jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami, dan pendidikan anak-anak. “Yang memelihara hal ihwal yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah."
Artinya bahwasanya tiap-tiap persuami-istrian, pasti ada rahasia kamar yang mesti ditutup terus, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian termasuklah dalam rangka sopan santun seorang istri. Sebab itu dikatakan dengan cara yang dipeliharakan Allah. Sehingga telah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh Allah menjadi sopan santun dari seluruh manusia, walaupun yang belum disinggung oleh agama, merahasiakan alat kelamin sebab ilham dari Allah. Demikian pula hendaknya perempuan memelihara rahasia itu. Entah apa senda gurau dengan suami, jangan orang lain diberi tahu.
Oleh ulama-ulama diperluas lagi, bukan saja menyimpan rahasia hubungan suami istri di dalam bilik peraduan, bahkan juga kekayaan dan kesanggupan suami dalam memberikan nafkah harta benda, hendaklah dirahasiakan juga. Jangan dikeluhkan kepada orang lain jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan atau istri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki dengan lancar dan berbahagialah pergaulan mereka. Tetapi di samping yang baik, tentu ada juga yang buruk. Yaitu istri yang membuat pusing suami,
NUSYUZ
Berkatalah lanjutan ayat tentang perempuan kalau terjadi sebaliknya. “Dan perempuan yang kamu takut kedurhakaan mereka." Yang terkenal di dalam bahasa aslinya dengan nu-syuz, tidak patuh dan tidak taat, baik kepada Allah maupun suami sebagai pimpinan mereka, terhadap istri yang begini, tempuhlah tiga cara, “Maka ajarilah mereka." Beri mereka petunjuk dan pengajaran, tunjuk ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka atas kesalahannya. Suami yang baik akan dapat menentukan dan memilih kata-kata dan sikap yang layak untuk mengajari istri. Kadang-kadang ada istri yang tinggi hati, sombong. Karena hidupnya biasa senang dengan orang tuanya, lalu dipandang enteng suaminya. Diberi hadiah sebuah barang misalnya, dipandang enteng saja hadiah itu, dan dikatakannya bahwa pemberian ayah ibunya dahulu lebih mahal daripada itu. Sampai pernah dia berkata, “Aku tidak biasa memakai kain sekasar itu!" Maka suami hendaklah mengajarinya dan menyadarkannya, bahwasa-nya setelah bersuami, halus ataupun kasar, terimalah dengan baik. Karena apabila seorang telah bersuami, apabila bercerai dengan suaminya, jika dia pulang kembali ke dalam tanggungan ibu bapaknya, tidaklah lagi akan seperti sewaktu dia masih gadis. Dan beberapa misal yang lain, yang si suami untuk memberi pengajaran itu tidak boleh bosan, tetapi jangan nyinyir. Karena mendirikan dan menegakkan ketenteraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun.
Si suami hendaklah menunjukkan pimpinan yang tegas dan bijaksana. Tetapi ada lagi cara yang kedua, yang bagi setengah perempuan lebih pahit dari diajari dengan mulut, “Dan memisahlah dari mereka pada tempat-tempat tidur." Ada zaman-zamannya bagi seorang perempuan adalah satu hukuman yang mengibakan hati, kalau si suami menunjukkan marah dengan memisah tidur. Memang kalau pergaulan telah berpuluh tahun, “hukuman" pisah tempat tidur tidak demikian besar artinya, sebab sudah biasa juga suami istri yang telah banyak anak dan bercucu, sebab telah tua-tua berpisah tempat tidur. Tetapi di waktu masih muda, memisah tempat tidur karena menunjukkan hati tidak senang termasuk pukulan yang agak keras bagi seorang istri.
Dan perempuan kadang-kadang merasa dirinya cantik benar, dibuat-buatnya perangai untuk menguji atau untuk merekan perasaan suaminya. Kadang-kadang kalau si laki-laki tidak insaf atas tugasnya sebagai pemimpin, datanglah dia mengaki, “menyembah" kepada istrinya karena ingin bercumbu-cumbuan. Tetapi laki-laki yang tahu harga diri berbuat sebaliknya dari itu. Melihat istri yang telah mulai nusyuz, dialah yang pindah ke kamar lain untuk tidur sendiri. Kerap kali si istri menjadi hilang kesombongannya karena pengajaran yang demikian. Dia akan bertanya dalam hatinya, apa benar salah saya maka suami saya memisah tidur?
Ibnu Abbas terang-terang saja menafsirkan, berpisah seketiduran maksudnya ialah jangan dia disetubuhi, jangan tidur di dekatnya, atau belakangi dia sedang setempat tidur.
Dan berkata dia di dalam kesempatan yang lain, dikuatkan oleh as-Suddi dan adh-Dhahhak dan Ikrimah, jangan diajak bercakap dan jangan pula ditegur!
Satu hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud
“Dari Mu'awiyah bin Haidah al-Qusyairi, bahwa dia pernah bertanya kepada beliau, ‘Ya Rasul Allah. Apakah, hak istri seorang kami atas suami-nya?' (Artinya apakah kewajiban kami sebagai suami terhadap istri kamil-penafsir)' Beliau jawab, ‘Jika engkau makan dia pun hendaklah diberi makan. Jika engkau membuat pakaian, dia pun hendaklah diberi pakaian. Dan kalau memukul, jangan mukanya dipukul dan jangan dikatakan dia buruk (jelek)'" (HR Abu Dawud)
Tetapi ada lagi perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih kasar. Maka dipakailah jalan yang ketiga, “Dan pukullah mereka." Tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan yang sudah memang patut dipukul!
Ada kaum perempuan terpelajar yang mengukur seluruh perempuan dengan dirinya sendiri, menyanggah keras adanya kebolehan seperti ini terhadap kaum ibu yang lemah! Dia agaknya tidak sadar bahwa memang ada perempuan yang memang pukul yang hanya dapat memperbaiki kedurhakaannya. Memang ada perempuan yang ingin hendak menginjak kepala suaminya, menghina, mencarut, memaki, ribut, membuat malu dengan tetangga. Di dalam kitab-kitab fiqih, para ulama memberi juga petunjuk cara memukul itu, yaitu supaya jangan memukul mukanya, jangan pada bagian badannya yang akan merusak, serupa juga dengan memukul anak.
Sebagaimana juga keizinan yang diberikan Allah kepada seorang suami beristri sampai empat dengan syarat adil, dan di ujung ayat dianjurkan lebih baik istri satu orang saja supaya aman dari tanggung jawab yang berat, maka dalam hal keizinan untuk memukul ini, oleh beberapa hadits didapati kesimpulan bahwa sikap memukul hanyalah kalau sudah terpaksa sangat.
Menurut riwayat, awal mula ayat mengizinkan memukul itu ialah bahwa ada seorang sahabat Rasulullah, yang termasuk salah seorang guru (naqib) mengajarkan agama kepada kaum Anshar, namanya Sa'ad bin Rabi' bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair. Satu ketika, Habibah menyanggah (nusyuz) kepada suaminya, Sa'ad. Lalu Sa'ad menempeleng muka istrinya. Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah ﷺ ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya, “Diseketidurinya anakku, lalu ditempelengnya." Serta-merta Rasulullah menjawab, “Biar dia ambil balas (qisas?)"
Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman.
Tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi. Rasulullah berkata, “Kembali! Kembali! Ini Jibril datang!" Maka turunlah ayat ini (membolehkan memukul) Maka berkatalah Rasulullah ﷺ “Kemauan kita lain, kemauan Allah lain, maka kemauan Allah-lahyang lebih baik."
Ada riwayat lain bahwa nama perempuan itu ialah Khaulah binti Muhammad bin Salamah.
Apabila diperhatikan jalan riwayat itu nyata benar bahwa Rasulullah sendiri secara pribadi tidaklah menyukai memukul istri, bahkan disuruhnya istri membalas. Itu dapat dimaklumi karena beliau sendiri yang beristri sampai sembilan orang, tidaklah pernah, walaupun menjentik salah seorang istri beliau. Tetapi setelah ayat turun, beliau taat akan ketentuan Allah sehingga beliau berkata, “Kehendak kita lain, kehendak Allah lain, kehendak Allah-lah yang baik."
Menunjukkan bahwa satu-satu waktu, memang ada istri yang makanan pukul. Maka orang yang berbudi tinggi, khusus Nabi Muhammad ﷺ dan manusia-manusia budiman tentu tidak akan melakukannya. Tetapi memang sewaktu-waktu di dalam rumah tangga, ada terdapat istri yang mesti dipukul. Ini pun adalah rahasia rumah tangga yang oleh orang lain tidak perlu dicampuri.
Tepat sekali sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari riwayat Abdullah bin Zam'ah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apakah (patut) seorang kamu memukuli istri, sebagaimana memukuli budak, kemudian di malam harinya dia disetubuhi pula." (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abdurrazak pun hampir serupa pula bunyinya.
Dengan hadits ini, laki-laki yang suka memukuli istrinya, seakan-akan dipandangnya istrinya sebagai budak atau hamba sahaya, adalah laki-laki yang kasar budi. Padahal istri bukan budak, bukan barang benda, tetapi ma-nusia dan teman hidup. Maka setelah memerhatikan sabda Rasulullah ini, sudah bertambah jelaslah apa maksud pukul. Sudah bertambah jelas pula apa maksud keterangan Ibnu Abbas, pukul dengan sikat gigi atau pukul dengan tongkat kecil. Bukan sebagaimana memukul budak. Amat hinalah engkau, pagi-pagi engkau pukul, engkau sepak terjangi dia laksana seorang budak, malam hari engkau datang lagi kepadanya minta dibawa tidur!
Dalam hal ini bertemu pula sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Baihaqi, diriwayatkan dari Ummi Kultsum binti ash-Shiddiq (saudara perempuan dari Aisyah), bahkan memukul istri hanya dibolehkan oleh Nabi kalau amat terpaksa. Dalam hal sangat terpaksa itu, yang pernah juga kejadian, ada yang menyampaikannya kepada Rasulullah, maka bersabdalah Rasulululah,
“Orang baik-baik di antara kamu, niscaya tidak akan memukul istrinya." (HR al-Baihaqi)
Pendeknya, peraturan Allah itulah yang baik. Ada keizinan memukul kalau sudah sangat perlu, tetapi orang baik-baik berbudi tinggi, akan berupaya supaya memukul dapat dielakkan. Dan tidaklah benar sama sekali kalau memukul sama sekali tidak diizinkan, kalau laki-laki telah diakui Allah sebagai pemimpin.
Sebagaimana sikap Nabi itu sendiri, beliau kurang senang jika ada orang mempergunakan kesempatan memukul itu. Beliau sendiri tidak pernah memukul istri-istrinya. Maka pihak perempuan pun niscaya wajib pula berusahalah dengan budi bahasanya agar kalau suaminya mengajarinya, janganlah sampai dengan pukul.
Ibnu Abbas memberikan tafsir, “Pukullah, tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita." Atha berkata, “Pukullah dengan sikat gigi (siwak)!"
Lalu ulama-ulama fiqih menjelaskan, “Jangan sampai melukai, jangan sampai patah tulang, jangan berkesan, dan jauhi memukul muka karena mukalah kumpulan segala kecantikan. Dan hendaklah berpisah-pisah pukulan itu, jangan hanya di satu tempat supaya jangan menyakitkan benar." Bahkan ada pula ahli fiqih berkata, “Pukul saja dengan tangan yang diselubungi sapu tangan, jangan dengan cambuk dan jangan dengan tongkat."
Ar-Razi menjelaskan pula dalam tafsirnya bahwa melakukan itu hendaklah cara bertingkat. Mulanya diajari baik-baik, tingkat kedua barulah memisah tidur, dan tingkat ketiga barulah pukul. Tidak boleh dimulai dengan memukul terlebih dahulu.
Dengan mengemukakan segala hadits yang bersangkut dengan ini dan penafsiran sahabat Rasulullah, terutama Ibnu Abbas dan sikap fuqaha, sudah terang bahwa hanya perempuan yang sangat karengkang (keras kepala) yang akan sampai kena pukul, dan hanya laki-laki yang kasar budi yang akan mempermudah-mudah memukul atau “lancang tangan".
Seorang teman saya di waktu mudanya bercerita bahwa karena terlalu marah pernah menyepakkan istrinya pada lututnya sehingga istrinya sangat kesakitan. Bekas sepaknya meninggalkan kesan hijau pada tulang lutut istrinya berhari-hari lamanya. Dia sangat menyesal atas perbuatannya itu sampai bertahun-tahun lamanya. Apatah lagi setelah dibacanya hadits Nabi tadi, “Orang baik-baik di antara kamu tidaklah akan memukul istrinya."
Kemudian datanglah lanjutan ayat, “Tetapi jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu cari-cari jalan buat menyusahkan mereka."
Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada tuannya. Taat ialah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu akan tenggang-menenggang, dan juga tahu akan harga dirinya. Kepada istri yang sudah semacam itu keadaannya, janganlah cari-cari fasal. Berlakulah hormat-menghormati dalam rumah tangga. Karena kalau istri sudah demikian baiknya, lalu laki-laki cari fasal saja membuat gaduh, jangan disesalkan kalau dia melawan. Janganlah suatu kesalahan yang terjadi ditimpakan saja kepada istri karena meskipun dia perempuan, dia juga manusia yang patut dihormati. Keadaan dirimu sendiri pun sebagai laki-laki akan canggung kalau-kalau dia tidak ada.
Imam Ghazalididalam kitab Ihya Ulumiddin memberikan nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggungkan perangai-perangai istrinya. Sebab tiap-tiap perempuan, tegasnya tiap-tiap manusia, ada saja segi kelemahannya. Bahkan engkau laki-laki pun mempunyai segi kelemahan, yang kesabaran istrimu pulalah yang akan mengekalkan rumah tangga.
Di akhir ayat Allah memperingatkan,
“Sesungguhnya Allah, adalah Mahatinggi, lagi Mahabesar."
Ujung ayat menyebut nama Allah yang Mahatinggi dan Mahabesar ini adalah pengebat dan kunci dari hak yang telah diberikan Allah di atas tadi, yaitu bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Mentang-mentang kamu telah diberi Allah kelebihan menjadi pemimpin, jangan kamu berlaku meninggikan diri dan menyombong, takabur dan membesarkan diri terhadap istrimu, berbuat sewenang-wenang, menyalahgunakan kekuasaan. Mulut kasar, mengata-ngatai atau menyebut jasa, atau main terjang main tempeleng.
Kamu mesti ingat, kalau kamu telah berlaku demikian terhadap istrimu, Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar akan tetap memberikan perlindungan-Nya kepada makhluk yang lemah. Seorang yang zalim pasti dapat pembalasan!
Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwasanya jenis kaum perempuan yang lemah adalah salah satu isi dari khutbah Nabi Muhammad ﷺ yang terakhir di waktu Haji Wada' Ketika itulah beliau berkata antara lain,
“Takutlah kamu sekalian kepada Allah berkenaan dengan perempuan; sesungguhnya dia adalah teman hidup sejati di sisi kamu."
Dan perempuan pulalah pesan dan petaruhnya yang terakhir seketika beliau akan meninggal dunia. Ada dua pesan beliau waktu akan meninggal dunia, yang sangat diper-ingatkannya. Pertama, shalat di awal waktu dan kedua, perempuan. Aku takut, kata beliau bahwa kedua soal inilah yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.
SYIQAQ
Ayat 35
“Dan jika kamu takut perselisihan di antara mereka berdua, maka hendaklah kamu utus seorang hakam dari ahlinya (si laki-laki) dan seorang hakam dari ahlinya (si perempuan)."
Meskipun pada ayat 34 di atas sudah dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing bahwa si laki-laki sebagai pemimpin bagi istrinya dan si perempuan hendaklah taat, kadang kalanya tidak juga dapat dielakkan perselisihan, yang kerap kali menyebabkan pergaulan menjadi retak. Sebab yang menimbulkan perselisihan mesti salah satu dari dua atau sekali keduanya. Atau si suami zalim dalam melakukan pimpinan. Atau si perempuan durhaka dari pimpinan (nusyuz) Atau karena si laki-laki bertambah zalim, maka si perempuan bertambah nusyuz; dan si perempuan bertambah nusyuz, maka si laki-laki pun bertambah zalim.
Kalau ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan yang lain. Si suami mengatakan istrinya sangat nusyuz sebab itu dia berhak menghukum, bahkan tidak wajib nafkah. Si istri mengadu, mengatakan bahwa suaminya tidak mempedulikan dia lagi, tidak ada nafkah lahir dan batin, jadi si suami zalim. Keduanya telah mempertahankan pendirian masing-masing. Tidak ada perdamaian lagi sehingga syiqaq telah tumbuh.
Arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Padahal belum cerai. Kalau orang lain (tangan ketiga) tidak campur, hal ini bisa berlarut-larut. Maka datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua pihak, atau masyarakatsekitarnya,sekampungsehalaman, atau pemerintah—sebab pemerintahan yang memegang tampuk masyarakat—supaya segera mencampuri hal itu. Datanglah perintah Allah: Maka utuslah seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan. Hakam yang pokok artinya sama dengan Hakim. Hakam ialah penyelidik duduk perkara yang sebenarnya sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Kedua hakam itu diutus oleh kedua masyarakat kaum Muslimin atau keluarga terdekat kedua belah pihak. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan saksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan saksama pula. Setelah lengkap diketahui, mereka bertemu kembali, lalu sopl itu dikaji dengan kepala dingin. “Jika keduanya mau akan perdamaian, niscaya akan diberi taufik oleh Allah di antara mereka keduanya."
Perdamaian atau ishlah, itulah hendaknya yang menjadi kedua hakam. Asal kedua-duanya benar-benar mau ishlah, niscaya Allah akan memberik taufik, yakni akan dapat persetujuan paham di antara mereka berdua, apakah yang ishlah di antara kedua suami istri yang berselisih ini? Adakah ishlah itu dengan mendamaikan mereka kembali sehingga segala perselisihan hilang dan mereka hidup rukun karena apa yang disukai atau apa yang menjadi keberatan kedua pihak sudah sama-sama diketahui? Atau apakah akan lebih timbul perdamaian, surut semula sebagai Muslim sesama Muslim dengan bercerai saja? Karena kalau diteruskan akan lebih besar bahayanya karena memang tidak ada kecocokan lagi? Kalau benar-benar kedua hakam ini mendapat kesimpulan bahwa ishlah hanya didapat dengan bercerai, itu pun mesti mereka katakan dengan terus terang.
Perceraian dengan damai tersebut juga kelak pada ayat 130.
Menurut riwayat Imam Syafi'i di dalam al-Umm, al-Baihaqi di dalam as-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu dari Ubaidah al-Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib (moga-moga Allah memuliakan wajahnya) dan bersama dengan mereka turut pula segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami istri itu. Maka Ali memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam itu, ‘Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki, kalau pada pandangan kamu berdua masih dapat orang-orang ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka!"
Mendengar itu berkatalah si perempuan, “Hamba tunduk kepada Kitab Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah, “Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!"
Ali menjawab, “Kalau begitu, engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."
Demikianlah penetapan dari Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjadi khalifah.
Serupa dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas, “Ayat ini ialah mengenai laki-laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. Allah menyuruh utus seorang laki-laki yang saleh dari ahli si laki-laki dan seorang laki-laki yang saleh dari ahli si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya ditarik dari dia dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima waris." Demikian Ibnu Abbas.
Dalam kedua pendapat dari dua orang sahabat Rasulullah ﷺ yang besar ini— Ali dan Ibnu Abbas—tampak bahwa kedua hakam mempunyai hak penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan, kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama madzhab banyak yang membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak menceraikan.
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Telah sependapat para ulama bahwa kedua hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara suami istri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan."
Ibrahim an-Nakha'i berkata, “Jika kedua hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan talak satu, atau talak dua, atau talak tiga, boleh saja."
Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik. Tetapi Hasan Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin Aslam. Itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Dawud az-Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik oleh Allah. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul kembali, bukan bercerai.
Tetapi golongan pertama yang mengatakan apa yang diputuskan oleh kedua hakam akan berlaku—baik berkumpul kembali maupun bercerai—ialah karena mengutus kedua hakam adalah perintah wajib kepada keluarga kedua pihak. Keputusan hukum dari kedua hakam sudah barang tentu tidak selalu akan disukai saja oleh yang diberi hukum. Untuk menghilangkan keraguan, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah memberi syarat supaya kedua suami istri yang berselisih itu benar-benar menyerahkan kekuasaan mengambil apa saja keputusan kepada kedua hakam itu, dan mereka akan taat menerimanya. Sebab Sayyidina Ali belum mau melepaskan laki-laki yang tidak mau menyerah kalau mau diceraikan itu sebelum dia menyerahkan keputusan kepada hakam sepenuhnya.
Setelah pada suatu hari penulis tafsir ini bertanya kepada guru dan ayahnya tentang adanya hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan kalau terjadi syiqaq, beliau telah menyatakan bahwa inilah langkah yang sebaik-baik dan seaman-amannya kalau terjadi syiqaq. Kata beliau bahwa di dalam kitab-kitab fiqih telah banyak diperbincangkan tentang fasakh nikah dan hak hakim buat menfaraq (memisahkan) di antara kedua suami istri. Tetapi ahli-ahli fiqih pun banyak sekali menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Beliau menyebut pengalamannya tentang fasakh nikah si Kani yang pada tahun dua puluhan menjadi perbincangan agak hebat di alam Minangkabau. Beliau telah berani mem-fasakhkan nikah si Kani dengan suaminya. Karena suaminya itu ternyata tidak sanggup memberikan nafkah kepada si Kani dengan secukupnya.
Pada suatu hari seorang perempuan bernama si Kani datang mengadukan nasibnya kepada beliau sebagai seorang ulama besar tempat orang mengadu dan meminta hukum. Bahwasanya sudah sekian lama dia kawin de-ngan suaminya ternyata suaminya itu tidak sanggup memberinya nafkah dengan sepatutnya sehingga kehidupannya sangat melarat Perempuan itu berkata pula bahwa jika pergaulan suami istri mereka teruskan juga, kemelaratanlah yang akan menimpa mereka kedua belah pihak untuk selama hidup.
Lalu ayahku bertanya, “Apakah engkau benci atau suka kepada suamimu itu?"
Si Kani menjawab, “Aku tetap suka kepadanya."
Kemudian diadakanlah penyelidikan tentang kehidupan si suami. Memang ada alasan buat menetapkan bahwa si suami memang tidak sanggup meneruskan pergaulan ini walaupun keduanya suka sama suka. Lalu beliau mengambil keputusan, sesudah mengadakan beberapa penyelidikan, bahwa nikah si Kani di/osaWikan. Artinya mereka dipisahkan, diceraikan dengan keputusan beliau sendiri.
Wibawa beliau dalam agama di Minangkabau pada waktu itu menyebabkan tidak ada bantahan yang tegas dari ulama-ulama yang lain. Pihak laki-laki akhirnya mengadu kepada Adviseur voor Inlandsche Zaken di Betawi. Ketika itu Kepala Kantor Inlandsche Zaken ialah Dr. Hazen, seorang Orientalis Belanda yang terkenal. Terjadilah surat-menyurat di antara ayahku dengan Dr. Hazen dan akhirnya Dr. Hazen tidak dapat membantah keputusan itu, walaupun Dr. Hazen telah meminta nasihat pula kepada ulama-ulama lain di Jawa pada waktu itu.
Ayahku, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, telah mengambil dasar keputusan ini dari hadits Rasulullah ﷺ,
“Jungan ada yang memberi mudharat dan jangan ada kemudharatan."
Kemudian ayahku memberi ingat kepada kami, murid-muridnya, di antaranya ialah pamanku, Syekh Yusuh Amrullah, yang menjadi qadhi di dalam negeri kami, Sungai Batang, 50 tahun lamanya, bahwa jalan fasakh yang telah beliau tempuh itu bukanlah jalan yang mudah. Banyak belat-belitnya. “Misalnya," kata beliau, “Kalau sekiranya mulai ditanya, sukakah engkau kepada suamimu itu atau tidak? Lalu dia menjawab dia benci atau dia tidak suka kepada suaminya itu, sukar untuk di/osok/ikan. Karena perempuan itu bisa dihukum nuzyuz, durhaka. Sebab orang yang benci kepada suaminya dengan tidak ada alasan, tiadalah wajib suaminya itu memberinya nafkah, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin."
Sehingga perempuan itu bisa tinggal “tergantung tidak bertali". Tetapi kalau dia menjawab bahwa dia tetap suka kepada suaminya, cuma dia tidak sanggup membayar nafkah, barulah ada jalan buat fasakh. Tetapi hendaklah diselidiki benar-benar lebih dahulu berapa patutnya nafkah perempuan itu dan berapa pula kesanggupan si laki-laki. Kalau teryata sesudah diselidiki memang si laki-laki tidak sanggup memberikan yang patut, barulah hakim boleh memutuskan fasakh karena pergaulan tidak dapat diteruskan.
Kemudian ayahku berkata bahwasanya jalan yang sebaik-baiknya ditempuh ialah memutuskan dan mengutus hakam dari keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Hendaklah kedua belah pihak menyerahkan keputusan perkara ini kepada kedua hakam itu. Beliau tampaknya menganut pendapat golongan yang mengatakan bahwa keputusan hakam terus berlaku, walaupun mengumpulkan kedua suami istri itu kembali ataupun menceraikan.
Dahulu hakim-hakim agama belum berani mengambil tindakan ini. Mereka masih saja berpegangkepada pendapat fiqih ulama-ulama mutaakhkhirin Syafi'iyah yang menyatakan bahwa perempuan yang nusyuz tidak wajib diberi nafkah. Maka banyaklah perempuan yang hidup terkatung-katung; bersuami tetapi tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. Apabila dia mengadu kepada hakim agama, dialah yang disalahkan karena dia nusyuz, tidak taat kepada suami. Akhirnya berkali-kali kejadian seorang perempuan masuk ke masjid ketika orang akan Jum'at atau sehabis Jum'at mengatakan bahwa mulai hari itu dia tidak lagi bertuhan kepada Allah dan bernabi kepada Muhammad. Dia telah murtad dari Islam. Karena ada orang yang mengajarkan kepadanya bahwa apabila seseorang perempuan telah murtad dengan sendirinya putuslah nikahnya dengan suaminya.
Inilah suatu kekacauan pikiran yang tumbuh karena hakim-hakim agama berpaham terlalu sempit, hanya taqlid kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan tidak ada kesanggupan memikirkan inti sari ajaran agama dan tidak mengerti maksud hadits Nabi yang kita salinkan tadi, bahwa maksud segala hukum agama bukanlah memberi mudharat dan ke-mudharatan.
Alhamdulillah sekarang berpikir tentang agama kian lama kian maju sehingga hukum zalim dituduh nusyuz kepada perempuan sudah jarang terdengar. Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama. Sekarang mengutus hakam karena syiqaq telah menjadi hal biasa.
Untuk membebaskan perempuan dari siksaan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sejak tahun 1916 di nagari Sungai Batang dan Tanjung Sani (Minangkabau), atas anjuran ayahku telah diadakan satu Shighat Ta'liq Thalaq yang akan menolong bagi kaum perempuan. Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,
“Jika istriku bernama si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp2.50,— (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama si Anu itu satu kali."
Dengan ta'liq semacam ini, terbukalah pintu luas bagi si istri, kalau tidak suka boleh mengadu kepada qadhi. Kalau qadhi menerima pengaduan itu dan perempuan itu membayar uang khulu', dengan sendirinya talak satu jatuh. Tidak usah pusing-pusing, tidak usah memperkatakan bernafkah atau tidak, atau gaib dari rumah tiga bulan, jalan laut enam bulan, dan sebagainya. Asal tidak suka boleh mengadu kepada hakim. Diterima oleh hakim, cerai jatuh dengan sendirinya.
Sejak itu tidak pernah lagi terdengar hal nusyuz, hal fasakh, hal murtad, dan sebagainya itu. Inilah salah satu ketangkasan paham guru saya dan ayah saya.
Sejak itu negeri-negeri yang lain di Minangkabau meniru cara Shighat Ta'liq yang ringkas itu. Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri. Sebagai akibatnya pula, perempuan yang tahu malu jaranglah yang melakukan kesempatan yang diberikan ini. Apatah lagi seorang qadhi yang berpengetahuan luas terlebih dahulu memberi nasihat dan menyelidiki sebab dan musabab sehingga bukan jarang kejadian seorang perempuan yang telah mendatangi qadhi dengan uang seringgit pulang saja dengan “tangan kosong" karena telah dapat nasihat dari qadhi. Dan telah menjadi pendapat umum di kampung kami bahwa perempuan yang “minta ta'liq—talak" itu mendapat nama yang kurang baik di kampung.
Dan mengutus hakam ketiga ditakuti timbulnya syiqaq suami istri itu tidaklah keluar dari garis madzhab Syafi'i sebagai suatu madzhab yang mempunyai penganut terbanyak dalam negeri kita ini, asal orang kembali kepada pendiri madzhab yang sebenarnya, bukan terikat dengan taqlid kepada ulama yang jauh berabad-abad sesudah Syafi'i. Karena salah seorang ulama madzhab yang menyokong pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas, sebagai dua ulama sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam hukum, adalah Imam Syafi'i sendiri, sebagai tersebut di dalam kitabnya al-Umm.
Sebagai penutup dari ayat syiqaq Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi sangat Mengerti."
Artinya, bahwasanya Allah Maha Mengetahui dan sangat mengerti gerak-gerik kedua hakam. Apakah mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, yaitu perbaikan dan perdamaian. Asal mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, akan terdapatlah persetujuan di antara mereka keduanya. Keduanya akan sama-sama mendapat taufik dari Allah, artinya sesuai keputusan mereka berdua dengan yang diridhai oleh Allah. Itu sebabnya Sayyidina Abdullah (Ibnu Abbas) di dalam menafsirkan ini memberi pensyaratan hendaklah kedua hakam itu orang yang saleh. Sebab orang yang saleh itu niscaya jujur di dalam mencari kebenaran. Sesudah menyelidiki dan mengkaji fakta (kenyataan) dari kedua belah pihak, mereka bisa sepakat mendamaikan kedua orang suami istri ini kembali. Yang kusut diselesaikan dan yang keruh dijernihkan. Jika ternyata bahwa penyelesaiannya hanya akan didapat dengan perceraian, mereka akan bersesuaian paham menceraikannya.
Oleh sebab Allah Maha Mengetahui dan Mahamengerti, hendaklah kedua hakam itu berhati-hati benar menjalankan tugas dan jangan mengkhianati kepercayaan yang ditimpakan orang kepada mereka.