Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوۡ
atau
زِدۡ
lebih
عَلَيۡهِ
atasnya
وَرَتِّلِ
dan bacalah
ٱلۡقُرۡءَانَ
Al Qur'an
تَرۡتِيلًا
perlahan-lahan
أَوۡ
atau
زِدۡ
lebih
عَلَيۡهِ
atasnya
وَرَتِّلِ
dan bacalah
ٱلۡقُرۡءَانَ
Al Qur'an
تَرۡتِيلًا
perlahan-lahan
Terjemahan
atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Tafsir
(Atau lebih dari seperdua) hingga mencapai dua pertiganya; pengertian yang terkandung di dalam lafal au menunjukkan makna boleh memilih. (Dan bacalah Al-Qur'an itu) mantapkanlah bacaannya (dengan perlahan-lahan.).
Tafsir Surat Al-Muzzammil: 1-9
Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang menutupi dirinya di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan ibadah kepada Tuhannya dengan melakukan qiyamul lail, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (As-Sajdah: 16) Dan demikianlah Nabi ﷺ, beliau selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya seperti qiyamul lail.
Hal itu hukumnya wajib khusus bagi Nabi ﷺ seorang, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79) Dan dalam surat ini dijelaskan kadar waktu yang ia harus jalani untuk melakukan qiyamul lail (shalat sunat malam hari). Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: -2) Ibnu Abbas, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Wahai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Yakni wahai orang yang sedang tidur; menurut Qatadah, orang yang berselimut dengan pakaiannya. Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi ﷺ sedang menyelimuti dirinya dengan jubahnya. Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wahai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Wahai Muhammad, engkau selimuti Al-Qur'an." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (yaitu) seperduanya. (Al-Muzzammil: 3) Merupakan badal atau kata ganti dari al-lail (malam hari), yakni di tengah malamnya.
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua. (Al-Muzzammil: 3-4) Yaitu Kami perintahkan kamu untuk melakukan shalat di tengah malam, lebih sedikit atau kurang sedikit tidak mengapa bagimu dalam hal tersebut. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil: 4) Maksudnya, bacalah Al-Qur'an dengan tartil (perlahan-lahan) karena sesungguhnya bacaan seperti ini membantu untuk memahami dan merenungkan makna yang dibaca, dan memang demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ Sehingga Siti Aisyah mengatakan bahwa Nabi ﷺ bila membaca Al-Qur'an yaitu perlahan-lahan sehingga bacaan beliau terasa paling Iama dibandingkan dengan orang Lain. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan melalui sahabat Anas , bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ Maka ia menjawab, bahwa bacaan Al-Qur'an yang dilakukan oleh beliau panjang. Bila beliau membaca: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Fatihah: 1) Maka beliau memanjangkan bismillah, dan memanjangkan Ar-Rahman dan juga memanjangkan bacaan Ar-Rahim.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah , bahwa ia pernah ditanya tentang qiraat Rasulullah ﷺ Maka Ummu Salamah menjawab bahwa beliau membaca Al-Qur'an ayat demi ayat yang setiap ayatnya berhenti: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segalapuji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. (Al-Fatihah: 1-4) Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud serta Imam At-Tirmidzi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari ‘Ashim, dari Dzar, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an, "Bacalah dengan suara indah dan perlahan-lahan sebagaimana engkan membacanya dengan tartil sewaktu di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca!" Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dengan sanad yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini kalau tidak hasan, shahih. Dalam pembahasan yang terdahulu pada permulaan tafsir telah disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan anjuran membaca Al-Qur'an dengan bacaan tartil dan suara yang indah, seperti hadits berikut: Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian! Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Al-Qur'an. Dan Rasulullah ﷺ pernah bersabda setelah mendengar suara Abu Musa Al-Asy'ari membaca Al-Qur'an: Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara seruling keluarga Daud.
Maka Abu Musa menjawab, "Seandainya aku mengetahui bahwa engkau mendengarkan bacaanku, tentulah aku akan melagukannya dengan lagu yang terindah untukmu." Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia telah mengatakan, "Janganlah kamu membacanya dengan bacaan seperti menabur pasir, jangan pula membacanya dengan bacaan tergesa-gesa seperti membaca puisi (syair). Berhentilah pada hal-hal yang mengagumkan, dan gerakkanlah hati untuk meresapinya, dan janganlah tujuan seseorang dari kamu hanyalah akhir surat saja." Diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah; ia pernah mendengar Abu Wa-il mengatakan, bahwa seseorang datang kepada Ibnu Mas'ud, lalu berkata, "Tadi malam aku telah membaca surat Al-Mufassal (surat-surat yang pendek) dalam satu rakaat." Maka Ibnu Mas'ud menjawab, "Berarti bacaanmu seperti bacaan terhadap syair (tergesa-gesa). Sesungguhnya aku telah mengetahui surat-surat yang bacaannya digandengkan oleh Rasulullah ﷺ di antara surat-surat Al-Mufassal itu." Lalu Ibnu Mas'ud menyebutkan dua puluh surat dari surat Al-Mufassal, dua surat tiap rakaatnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al-Muzzammil: 5) Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berat pengamalannya. Menurut pendapat yang lain, berat saat diturunkannya karena keagungannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid ibnu Sabit-, bahwa pernah diturunkan wahyu kepada Rasulullah ﷺ, sedangkan paha Ibnu Mas'ud berada di bawah paha Rasulullah ﷺ Maka terasa tulang pahanya patah karena tertindih oleh Rasul ﷺ saking beratnya wahyu yang sedang turun kepadanya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amr ibnul Walid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau rasakan saat wahyu diturunkan kepadamu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Saya mendengar suara gemerincingnya lonceng, kemudian aku diam saat itu.
Dan tidak sekali-kali diturunkan wahyu kepadaku melainkan aku mengira bahwa nyawaku sedang dicabut. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Dan dalam permulaan kitab Shahih Bukhari disebutkan: ". dari Abdullah ibnu Yusuf, dari Malik, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah , bahwa Al-Haris ibnu Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Bagaimanakah caranya wahyu datang kepadamu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Terkadang datang seperti bunyi gemerincingnya lonceng, dan itu adalah wahyu yang paling berat bagiku; setelah wahyu selesai dariku, aku telah hafal semua apa yang disampaikannya.
Dan adakalanya Malaikat (Jibril) merupakan diri sebagai seorang laki-laki kepadaku, lalu berbicara kepadaku dan aku hafal semua apa yang disampaikannya. Siti Aisyah mengatakan, sesungguhnya ia menyaksikan wahyu sedang diturunkan kepada Nabi ﷺ di hari yang sangat dingin; setelah wahyu selesai darinya, kening Nabi ﷺ benar-benar bercucuran keringat. Demikianlah menurut lafal Imam Bukhari. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya wahyu benar-benar diturunkan kepada Rasulullah ﷺ saat beliau berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraan beliau mendekam dengan meletakkan bagian dalam lehernya ke tanah. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Nabi ﷺ apabila sedang menerima wahyu dan berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraannya berhenti dan mendekam, ia tidak dapat bergerak hingga wahyu selesai diturunkan.
Hadits ini berpredikat mursal. yang dimaksud dengan jiran ialah bagian dalam leher unta, artinya unta kendaraannya mendekam dan tidak dapat bergerak karena beratnya wahyu yang sedang diturunkan kepada beliau ﷺ Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa wahyu itu berat dari kedua sisinya, yakni sisi pengamalan dan saat menerimanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa wahyu itu terasa berat saat di dunia, sebagaimana terasa berat pula kelak di hari kiamat dalam timbangan amalnya.
Firman Allah Swt: Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6) Abu Ishaq telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa nasya-a artinya berdiri menurut bahasa Habsyah, yakni bangun tidur. Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair mengatakan bahwa malam hari seluruhnya dinamakan nasyi-ah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Dikatakan nasya-a apabila orang yang bersangkutan bangun di waktu sebagian malam hari. Menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, disebutkan sesudah waktu isya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Mijlaz, Qatadah, Salim, Abu Hazim, dan Muhammad ibnul Munkadir. Kesimpulan, nasyi-atul lail artinya bagian-bagian waktu dari malam hari, yang keseluruhannya dinamakan nasyi-ah, juga indentik dengan pengertian saat-saatnya.
Makna yang dimaksud ialah bahwa melakukan qiyamul lail atau shalat sunat di malam hari lebih khusyuk dan juga melakukan bacaan Al-Qur'an padanya lebih meresap di hati. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya: adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6) Yakni lebih berkesan dalam hati dalam menunaikan bacaan Al-Qur'an di saat itu dan lebih meresap dalam hati dalam memahami makna bacaannya ketimbang dalam shalat sunat siang hari.
Karena siang hari merupakan waktu beraktivitas bagi manusia, banyak suara gaduh dan kesibukan dalam mencari rezeki penghidupan. Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, bahwa Anas ibnu Malik membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "wa aswabu qila." Maka berkatalah seseorang Ielaki kepadanya, "Sesungguhnya kami biasa membacanya dengan wa aqwamu qila." Maka Anas menjawabnya, bahwa sesungguhnya aswabu, aqwamu, dan ahya-u serta lafal-lafal lainnya yang semakna artinya sama.
Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Ibnu Abbas, Ikrimah, dan ‘Atha’ ibnu Abu Muslim mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah waktu luang dan tidur. Abul Aliyah, Mujahid, Abu Malik, Adh-Dhahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan sabhan tawilan ialah waktu luang yang panjang. Qatadah mengatakan, artinya waktu luang dan waktu mencari rezeki dan bepergian.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Maksudnya, sunnah yang banyak. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Yakni bagi keperluan-keperluanmu, maka gunakanlah malam hari untuk agamamu. Ia mengatakan bahwa hal ini dikemukakan di saat shalat malam hari difardukan. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya, lalu Dia memberikan keringanan dengan menghapuskan sebagian besarnya. Lalu ia membaca firman-Nya: bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 2) Lalu membaca pula firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: karena itu bacalah apa yangmudah (bagimu) dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79) Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Dalil yang menguatkan pendapat Ibnu Zaid ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa'id alias Ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'id ibnu Hisyam, bahwa ia menceraikan istrinya, kemudian berangkat ke Madinah untuk menjual propertinya yang ada di Madinah, lalu menggunakannya untuk keperluan jihad dengan membeli perlengkapan dan senjata untuknya, kemudian ia berjihad melawan orang-orang Romawi hingga akhir hayatnya.
Kemudian ia bersua dengan sejumlah orang dari kaumnya yang menceritakan kepadanya bahwa pernah ada enam orang dari kalangan kaumnya mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut di masa Rasulullah ﷺ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Bukankah pada diriku terdapat suri teladan yang baik bagi kalian? Rasulullah ﷺ melarang mereka melakukan perceraian itu, maka Sa'id ibnu Hisyam menjadikan mereka (sebagian dari kaumnya yang ia jumpai) sebagai saksi saat ia merujuk kembali kepada istrinya. Setelah itu ia kembali kepada kami dan menceritakan kepada kami bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas untuk menanyakan kepadanya tentang shalat witir Rasulullah ﷺ Maka Ibnu Abbas berkata, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang penduduk bumi yang paling mengetahui tentang shalat witir yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ?" Sa'id ibnu Hisyam menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Datanglah kepada Aisyah, dan tanyakanlah kepadanya tentang hal itu, lalu kembalilah kepadaku dan ceritakanlah kepadaku tentang jawabannya kepadamu!" Sa'id ibnu Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menemui Hakim ibnu Aflah dan membawanya pergi ikut menghadap kepada Siti Aisyah.
Tetapi Hakim ibnu Aflah berkata, "Aku segan menghadapnya, karena sesungguhnya aku pernah melarangnya memberikan tanggapan terhadap kedua golongan itu dengan suatu tanggapan yang memihak, tetapi ia menolak dan tetap memberikan tanggapan dan reaksinya." Maka aku mendesaknya dengan kata-kata yang mengandung sumpah, akhirnya dia mau berangkat bersamaku. Dan kami masuk menemui Siti Aisyah, lalu ia berkata, "Engkau Hakim?" Ternyata dia mengenalnya dan Hakim menjawab, "Ya." Aisyah bertanya, "Siapakah orang yang bersamamu?" Hakim menjawab.Sa'id ibnu Hisyam." Aisyah bertanya, "Ibnu Hisyam yang mana?" Hakim menjawab, "Ibnu Amir." Lalu Siti Aisyah mendoakan rahmat buatnya dan berkata, "Sebaik-baik orang adalah Amir." Aku bertanya, "Wahai Ummul Muminin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah ﷺ" Aisyah baiik bertanya, "Bukankah kamu telah membaca Al-Qur'an?" Aku menjawab, "Benar." Maka Aisyah berkata bahwa akhlak Rasulullah ﷺ ialah Al-Qur'an.
Kemudian aku hampir saja bangkit untuk minta pamit darinya, tetapi tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menanyakan kepadanya tentang qiyam (shalat malam hari) yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ Maka aku bertanya, "Wahai Ummul Muminin, ceritakanlah kepadaku tentang qiyam yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ" Siti Aisyah balik bertanya, bahwa bukankah engkau telah membaca firman-Nya: Wahai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Aku menjawab, "Benar, aku telah membacanya." Siti Aisyah mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah telah memfardukan qiyamul lail melalui permulaan surat ini. Maka Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya melakukan qiyamul lail selama setahun penuh hingga telapak kaki mereka membengkak karena banyak mengerjakan shalat.
Dan Allah menahan penutup surat itu di langit selama dua belas bulan, kemudian setelah itu Allah menurunkannya sebagai keringanan buat mereka, sehingga jadilah qiyamul lail sebagai amal yang sunat yang sebelumnya difardukan. Dan aku hampir saja bangkit meminta pamit, kemudian terlintas lagi dalam pikiranku untuk menanyakan kepadanya tentang shalat witir yang dikerjakan oleh Rasulullah ﷺ Maka aku bertanya, "Wahai Ummul Muminin, ceritakanlah kepadaku tentang shalat witir Rasulullah ﷺ" Siti Aisyah menjawab, "Kami (istri-istri beliau ﷺ) selalu menyediakan untuk beliau siwak dan air wudunya, dan Allah membangunkannya di waktu yang dikehendaki-Nya dari tengah malam, lalu beliau bersiwak dan mengambil air wudunya.
Setelah itu beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, tanpa melakukan duduk kecuali pada rakaat yang kedelapannya. Dan di rakaat yang kedelapan beliau duduk berzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, lalu bangkit lagi tanpa salam, dan langsung mengerjakan rakaat yang kesembilannya. Setelah rakaat yang kesembilan, barulah beliau duduk dan berzikir kepada Allah semata serta berdoa kepada-Nya, lalu melakukan salam dengan suara yang dapat didengar oleh kami.
Sesudah itu beliau shalat dua rakaat lagi sambil duduk sesudah salamnya itu. Maka itulah sebelas rakaat yang dikerjakan oleh beliau ﷺ, wahai Anakku. Tetapi setelah usia Rasulullah ﷺ bertambah tua dan tubuhnya mulai gemuk, maka beliau mengerjakan witirnya tujuh rakaat, kemudian shalat dua rakaat lagi sambil duduk setelah salamnya. Maka itulah sembilan rakaat yang dikerjakannya, wahai Anakku. Dan Rasulullah ﷺ apabila mengerjakan suatu shalat, beliau suka mengerjakannya dengan tetap. Apabila beliau disibukkan karena tertidur atau sedang sakit hingga shalat malam hari tidak dikerjakannya di malam hari, maka beliau mengerjakannya di siang hari sebanyak dua belas rakaat.
Dan aku belum pernah melihat Nabi ﷺ mengkhatamkan Al-Qur'an seluruhnya dalam semalam hingga pagi harinya, dan tidak pula puasa sebulan penuh selain dalam bulan Ramadan." Lalu aku kembali kepada Ibnu Abbas dan kuceritakan kepadanya hadits yang diceritakan oleh Aisyah. Maka Ibnu Abbas berkata, "Dia benar, ketahuilah seandainya aku yang masuk menemuinya, tentulah aku akan menemuinya hingga dapat berbicara berhadap-hadapan dengannya." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara lengkap, dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah mengetengahkan hadits ini melalui Qatadah dengan lafal yang semisal.
Jalur lain dari Aisyah yang semakna dengan hadits ini. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah mencerita-kan kepada kami Zaid ibnul Habbab, dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran; keduanya meriwayatkan hadits ini, tetapi lafaznya dari Ibnu Waki', dari Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Tahla, dari Abu Saiamah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa aku pernah mempersiapkan tikar hamparan untuk tempat shalat Rasulullah ﷺ di malam hari. Orang-orang (para sahabat) mengintipnya dan mereka berkerumun mendengarkannya. Maka Nabi ﷺ Keluar seperti orang yang sedang marah, padahal beliau sayang kepada mereka. Beliau merasa khawatir bila qiyamul lail difardukan atas mereka, maka beliau bersabda: Wahai manusia, kerjakanlah dari amal-amal ibadah yang sesuai dengan kamampuan kalian.
Karena sesungguhnya Allah tidak pernah merasa bosan dalam memberi pahala, hingga kalian sendirilah yang bosan dalam beramal. Dan sebaik-baik amal ialah yang paling tetap pengamalannya. Dan turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. (Al-Muzzammil: 1-4) Hingga tersebutlah ada seseorang yang terpaksa mengikat dirinya dengan tambang, lalu bergantung padanya (agar tetap dalam keadaan bangun). Mereka jalani masa itu selama delapan bulan, maka Allah melihat keinginan mereka dalam meraih rida-Nya.
Akhirnya Allah mengasihani mereka dan mengembalikan mereka kepada shalat fardu saja serta tidak lagi mewajibkan qiyamul lail. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, tetapi dia orangnya daif. Hadits ini di dalam kitab shahih tidak menyebutkan adanya penurunan surat Al-Muzzammil. Konteks hadits ini memberikan pengertian bahwa surat ini seakan-akan diturunkan di Madinah, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Sesungguhnya surat ini tiada lain adalah surat Makkiyyah. Dan teks hadits yang menyebutkan bahwa jarak antara turunnya permulaan surat ini dan akhirnya memakan waktu delapan bulan. Ini berpredikat gharib (aneh), karena sesungguhnya menurut apa yang tertera di dalam hadits riwayat Imam Ahmad sebelum ini telah disebutkan jarak tenggangnya adalah satu tahun. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mis'ar, dari Sammak Al-Hanafi, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada permulaan turunnya awal surat Al-Muzzammil, para sahabat melakukan qiyamul lail yang lamanya sama dengan qiyamul lail mereka dalam bulan Ramadan.
Dan jarak tenggang waktu antara awal surat Al-Muzzammil sampai dengan ayat terakhirnya memakan waktu kurang lebih satu tahun. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah dengan sanad yang sama. Ats-Tsauri dan Muhammad ibnu Bisyr Al-Abdi telah meriwayatkan dari Mis'ar, dari Sammak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa jarak antara keduanya (permulaan surat dan akhirnya) adalah satu tahun.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas hal yang semisal. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Qa"is ibnu Wahb, dari Abu Abdur Rahman yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Mereka mengerjakan qiyamul lail selama satu tahun sehingga telapak kaki dan betis mereka bengkak, hingga turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20) Maka orang-orang pun (yakni para sahabat) merasa lega dengannya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri dan As-Suddi. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, te!ah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'id ibnu Hisyam yang mengatakan bahwa lalu ia bertanya kepada Aisyah, "Ceritakanlah kepadaku tentang qiyamul lail Rasulullah ﷺ" Siti Aisyah balik bertanya, "Bukankah engkau telah membaca firman-Nya: Wahai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Aku menjawab, "Benar, aku telah membacanya." Siti Aisyah berkata, "Itulah qiyamul lail yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, hingga telapak kaki mereka bengkak-bengkak (karena lamanya berdiri dalam shalat), sedangkan penutup surat ini ditahan di langit selama enam belas bulan, kemudian baru diturunkan sesudahnya." Ma'mar telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 2) Mereka melakukan qiyamul lail selama kurang lebih satu atau dua tahun hingga betis dan telapak kaki mereka bengkak-bengkak, lalu Allah menurunkan ayat yang meringankannya sesudah itu di akhir surat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, dari Ja'far, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kepada Nabi-Nya firman berikut: Wahai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Bahwa Nabi ﷺ mengerjakan perintah ini selama sepuluh tahun, yaitu qiyamul lail sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Dan tersebutlah bahwa segolongan dari para sahabat ada yang ikut melakukan qiyamul lail bersamanya. Maka sesudah masa sepuluh tahun Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: dan dirikanlah shalat. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah memberikan keringanan kepada mereka setelah sepuluh tahun. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadits ini dari ayahnya.
dari Amr ibnu Rafi', dari Ya'qub Al-Qummi dengan sanad yang sama. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. (Al-Muzzammil: 2-3) Maka hal ini memberatkan kaum mukmin, kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka dan mengasihi mereka. Untuk itu Allah menurunkan firman-Nya sesudah itu: Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang lain, mereka berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keluasan bagi mereka segala puji bagi Allah dan Dia tidak mempersulit mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Al-Muzzammil: 8) Yakhi perbanyaklah mengingat-Nya dan curahkanlah seluruh waktumu untuk beribadah kepada-Nya bila kamu telah selesai dari kesibukanmu dan menyelesaikan urusan duniawimu, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Al-Insyirah: 7) Yaitu apabila kamu telah selesai dari kesibukanmu, maka curahkanlah dirimu untuk mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya, agar kamu menjadi orang yang berlapang dada.
Ibnu Zaid telah mengatakan hal yang semakna atau mendekatinya. Ibnu Abbas, Mujahid, AbuSaleh, Atiyyah, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Al-Muzzammil: 8) Artinya, ikhlaslah kamu dalam beribadah kepada-Nya. Al-Hasan mengatakan bahwa bersungguh-sungguhlah kamu dan tekunkanlah dirimu dalam beribadah kepada-Nya. Ibnu Jarir mengatakan, bahwa dikatakan kepada seorang ahli ibadah bahwa dia adalah seorang yang mutabattil (tekun beribadah).
Termasuk ke dalam pengertian ini hadits yang melarang ber-taba'ttul, yakni menghabiskan seluruh usia untuk beribadah dan tidak mau kawin. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (Dialah) Tulian masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung. (Al-Muzzammil: 9) Yakni Dialah Yang Memiliki, Yang Mengatur semua yang di Masyriq dan yang di Magrib, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maka sebagaimana engkau esakan Dia dalam ibadah, esakanlah pula Dia dalam bertawakal, dan ambillah Dia sebagai Pelindung.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. (Hud: 123) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (Al-Fatihah: 5) Masih banyak ayat lain yang mengandung perintah mengesakan Allah dalam beribadah dan bertaat, serta berserah diri hanya kepada-Nya."
1-4. Di akhir surah al-Jinn dijelaskan tentang keagungan Al-Qur'an dan pemeliharaan Allah atas wahyu yang diturunkannya tersebut, sedangkan di awal surah ini berisi petunjuk kepada Nabi Muhammad untuk mempersiapkan diri menghadapi turunnya wahyu yang berat. Wahai orang yang berselimut, yaitu Nabi Muhammad! Bangunlah untuk mengerjakan salat dan bermunajat kepada Allah pada malam hari, kecuali sebagian kecil dari waktu malammu dapat digunakan untuk istirahat tidur, yaitu separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan dengan bacaan yang baik dan benar. 5. Mengapa Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk beribadah di waktu malam, alasannya disebut dalam ayat ini. Sesungguhnya Kami melalui malaikat Jibril akan menurunkan perkataan yang berat yaitu firman-firman Allah berupa Al-Qur'an kepadamu wahai Nabi Muhammad.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membaca Al-Qur'an secara seksama (tartil). Maksudnya ialah membaca Al-Qur'an dengan pelan-pelan, bacaan yang fasih, dan merasakan arti dan maksud dari ayat-ayat yang dibaca itu, sehingga berkesan di hati. Perintah ini dilaksanakan oleh Nabi ﷺ 'Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ membaca Al-Qur'an dengan tartil, sehingga surah yang dibacanya menjadi lebih lama dari ia membaca biasa.
Dalam hubungan ayat ini, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mugaffal, bahwa ia berkata:
Aku melihat Rasulullah ﷺ pada hari penaklukan kota Mekah, sedang menunggang unta beliau membaca Surah al-Fath di mana dalam bacaan itu beliau melakukan tarji' (bacaan lambat dengan mengulang-ulang). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin Mugaffal)
Pengarang buku Fathul Bayan berkata, "Yang dimaksud dengan tartil ialah kehadiran hati ketika membaca, bukan asal mengeluarkan bunyi dari tenggorokan dengan memoncong-moncongkan muka dan mulut dengan alunan lagu, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan pembaca-pembaca Al-Qur'an zaman sekarang. Membaca yang seperti itu adalah suatu bacaan yang dilakukan orang-orang yang tidak mengerti agama."
Membaca Al-Qur'an secara tartil mengandung hikmah, yaitu terbukanya kesempatan untuk memperhatikan isi ayat-ayat yang dibaca dan di waktu menyebut nama Allah, si pembaca akan merasakan kemahaagungan-Nya. Ketika tiba pada ayat yang mengandung janji, pembaca akan timbul harapan-harapan, demikian juga ketika membaca ayat ancaman, pembaca akan merasa cemas.
Sebaliknya membaca Al-Qur'an secara tergesa-gesa atau dengan lagu yang baik, tetapi tidak memahami artinya adalah suatu indikasi bahwa si pembaca tidak memperhatikan isi yang terkandung dalam ayat yang dibacanya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-MUZZAMMIL
(YANG BERSELIMUT)
SURAH KE-73, 20 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-20)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
ORANG YANG BERSELIMUT
Ayat 1
“Wahai orang yang berselimut."
Ucapan wahyu Allah terhadap Rasul-Nya yang membayangkan rasa kasih sayang yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau karena berat tanggung jawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
Ayat 2
“Bangunlah di malam hari."
Yaitu bangun buat mengerjakan shalat. Perintah Allah buat mengerjakan shalat selalu disebut dengan “Qiyam" dalam Al-Qur'an “kerjakanlah shalat". Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah shalat, atau mendirikan shalat, jelas bahwa shalat itu didirikan dengan sungguh-sungguh dan dengan kesadaran yang penuh.
“Kecuali sedikit."
Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit, namun yang terbanyak hendaklah untuk melakukan shalat.
Ayat 3
“Seperduanya."
Artinya, perdualah malam itu; yang seperdua gunakan untuk mendirikan shalat dan yang seperdua untuk istirahat;
“Atau kurangilah daripadanya sedikit."
Kalau dikurangi dari seperdua, jadilah dia dua pertiga untuk istirahat.
Ayat 4
“Atau tambah daripadanya."
Atau tambah dari seperdua malam, menjadi lebih banyak shalatnya dari tidurnya.
“Dan bacalah Al-Qur'an dengan perlahan-lahan."
Selain dari mengerjakan shalat malam itu, baik dua pertiga malam, atau separuh malam ataupun sepertiga malam, dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya, hendaklah pula Al-Qur'an yang telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit terbaca, asal isi kata-kata Al-Qur'an itu masuk benar ke dalam hatimu dan engkau pahamkan dengan mendalam.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Anas bin Malik, ada ditanyakan kepada Anas bagaimana cara Nabi ﷺ membaca Al-Qur'an. Lalu Anas memberikan keterangan bahwa Nabi bila membaca Al-Qur'an ialah dengan suara tenang panjang, tidak tergesa terburu. Anas membuat misal kalau Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Bismillah beliau baca dengan panjang, Arrahman dengan panjang dan Arrahim dengan panjang pula. Dan menurut riwayat lbnu Juraij yang diterima dari Ummi Salamah, istri Rasulullah, kalau beliau membaca surah al-Faatihah, tiap-tiap ayat itu beliau baca seayat demi seayat dengan terpisah. Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Beliau berhenti lalu beliau baca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, demikian pula seterusnya. Sebab itu tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa bersambung-sambung tiada perhentian (washal).
Itulah contoh teladan daripada Nabi ﷺ sendiri di dalam hal membaca Al-Qur'an. Malahan beliau anjurkan supaya dilagukan membacanya. Bahkan beliau suruh baca dengan perasaan sedih, seakan-akan hendak menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abu Musa al-Asy'ari ketika beliau dengar bagus bacaan Al-Qur'annya, beliau puji dan beliau katakan, “Suaramu laksana bacaan Mazmur Nabi Dawud." Karena Nabi Dawud terkenal keindahan suara beliau ketika munajat kepada Allah dengan Mazmurnya yang terkenal.
Abdullah bin Mas'ud, sahabat Rasulullah ﷺ, memberi ingat kalau membaca Al-Qur'an jangan tergesa-gesa, jangan terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan seperti mendendangkan syair. Kalau bertemu dengan keajaibannya berhentilah sejenak merenungkannya, dan gerakan hati untuk memerhatikannya.
Oleh sebab itu bertalilah rupanya di antara kedua ibadah ini, yaitu shalat malam dengan membaca Al-Qur'an dengan tartil. Dan itu pun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi jika bulan Ramadhan, di samping mengerjakan shalatul tail (shalat malam, tarawih) dianjurkan pula membaca Al-Qur'an dengan tartil, supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat kepada Allah, sehingga apa yang kita mohonkan kepada Allah akan mudah dikabulkan.
Apakah sebab dan apa gunanya ibadah shalat malam dan tartil Al-Qur'an? Jawabnya ialah ayat yang selanjutnya,
Ayat 5
“Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepada engkau perkataan yang berat."
Wahyu sungguh-sungguh adalah perkataan yang berat. Berat bagi ruhani dan berat bagi jasmani. Kedatangan Malaikat Jibril membawa wahyu itu bukanlah perkara yang enteng, bahkan memang berat.
Menurut satu hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Abdullah bin Amer pernah bertanya kepada Nabi bagaimana permulaan datangnya wahyu kepada beliau. Beliau jawab, “Mula-mula saya dengar sebagai bunyi lonceng, di waktu itu aku terdiam. Tiap-tiap wahyu turun, rasanya seperti akan matilah aku."
Harits bin Hisyam pun pernah menanyakan kepada beliau tentang turunnya wahyu. Beliau menjawab seperti itu juga, yaitu terdengar mulanya seperti bunyi lonceng, aku pun terpana ketika mendengar itu. Setelah itu mengertilah aku semua apa yang dikatakan malaikat itu. Kadang-kadang malaikat itu sendiri berkata kepadaku, lalu aku paham apa yang dikatakannya itu.
Aisyah mengatakan bahwa dia pernah melihat ketika suatu hari Rasulullah menerima wahyu, ketika itu hari sangat dingin. Namun keringat mengalir di dahi Rasulullah ﷺ.
Hisyam bin Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa kalau wahyu datang sedang Nabi berkendaraan, maka unta yang beliau kendarai itu tidak sanggup melangkahkan kakinya. Zaid bin Tsabit bercerita bahwa satu kali wahyu turun kepada Rasulullah, sedang kaki beliau ketika duduk bersila terletak di alas kaki Zaid. Kata Zaid di waktu itu dia merasakan sangat berat, sehingga dia tidak sanggup menggerakkan kakinya.
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengatakan bahwa wahyu itu berat dari dua pihak: berat bagi badan sebab malaikat sedang datang dan berat bagi jiwa karena berat tanggung jawabnya.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Berat wahyu itu di alam dunia ini dan berat pula di akhirat kelak pada timbangannya."
Ayat 6
“Sesungguhnya bangun malam itu adalah lebih mantap."
Karena di waktu malam gangguan sangat berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh pula kepada keheningan pikiran. Di dalam suatu Hadits Qudsi Allah berfirman, bahwa pada sepertiga malam Allah turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan hamba-Nya yang mengeluh, buat menerima tobat orang yang tobat dan permohonan maghfirah (ampunan) hamba-Nya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa hubungan kita dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli ilmu alam menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di waktu malam itu memperdekat hubungan. Memperdekat hati.
“Dan bacaan lebih berkesan."
Baik bacaan sedang shalat ataupun membaca Al-Qur'an dengan perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang lain yang sedang tidur.
Ayat 7
“Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari adalah musan-musan yang panjang."
Memang urusan pada siang hari selalu sibuk. Tiap-tiap manusia ada saja urusannya. Dalam ayat yang lain, sebagaimana tersebut kelak dalam surah an-Naba' ayat 11,
“Dan Kami jadikan siang hari itu untuk penghidupan."
Bercocok tanam, menggembala, menjadi nelayan, berniaga, berperang, berusaha yang lain, dalam segala bentuk kehidupan. Dan Allah pula yang menyuruh tiap-tiap orang berusaha di muka bumi di siang hari mencari rezeki yang halal. Maka waktu malam adalah waktu yang tenang dan lapang.
Ayat 8
“Dan sebutlah nama Tuhan engkau."
Wadzkur, artinya ialah sebut dan ingat. Diingat dalam hati lalu dibaca dengan lidah, setali lafazh dengan makna, sesuai yang lahir dengan yang batin. 99 nama Allah, yang bernama Asmaul Husna, yang berarti nama-nama yang indah. Sebutlah nama itu semuanya dengan mengingat artinya! Atau segala dzikir yang telah tertentu. Puncak dzikir ialah tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), tasbih (subhanallah), istighfar (astaghfirullah), hauqalah (laa haula walaa quwwata ilia billah), takbir (Allahu Akbar), dan sebagainya.
“Dan tunduklah kepadanya sebenar-benar tunduk."
Lakukan muraqabah, yang berarti mengintai waktu yang baik atau peluang untuk mengontakkan diri dengan Dia. Atau muhasabah yaitu memperhitungkan kebebalan dan kelalaian diri di samping nikmat yang begini besar dianugerahkan Allah.
Siapa yang wajib engkau sembah dan engkau tunduk kepadanya itu? Ialah
Ayat 9
“Tuhan dari masyriq dan maghrib."
Dia Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan perjalanan matahari dari sebelah Timur ke sebelah Barat, teratur jalannya, tidak pernah berkisar tempatnya, masa demi masa. “Tiada Tuhan metainkan Dia." Ke sanalah hidup ini ditujukan, daripada-Nyalah diambil kekuatan.
“Maka ambillah Dia jadi pelindung."
Dengan cara yang demikianlah jasmani dan ruhani engkau akan dapat kuat dan teguh melakukan tugas. Karena engkau tidak pernah jauh dari Allah.