Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَعِدُّواْ
dan siapkanlah
لَهُم
untuk mereka
مَّا
apa
ٱسۡتَطَعۡتُم
kamu sanggupi
مِّن
dari
قُوَّةٖ
kekuatan
وَمِن
dan dari
رِّبَاطِ
ditambat
ٱلۡخَيۡلِ
kuda
تُرۡهِبُونَ
kamu menakutkan/menggetarkan
بِهِۦ
dengannya
عَدُوَّ
musuh
ٱللَّهِ
Allah
وَعَدُوَّكُمۡ
dan musuh kalian
وَءَاخَرِينَ
dan orang-orang lain
مِن
dari
دُونِهِمۡ
selain mereka
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَهُمُ
kamu mereka
ٱللَّهُ
Allah
يَعۡلَمُهُمۡۚ
mengetahui mereka
وَمَا
dan apa yang
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
يُوَفَّ
dicukupkan
إِلَيۡكُمۡ
kepadamu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تُظۡلَمُونَ
dianiaya
وَأَعِدُّواْ
dan siapkanlah
لَهُم
untuk mereka
مَّا
apa
ٱسۡتَطَعۡتُم
kamu sanggupi
مِّن
dari
قُوَّةٖ
kekuatan
وَمِن
dan dari
رِّبَاطِ
ditambat
ٱلۡخَيۡلِ
kuda
تُرۡهِبُونَ
kamu menakutkan/menggetarkan
بِهِۦ
dengannya
عَدُوَّ
musuh
ٱللَّهِ
Allah
وَعَدُوَّكُمۡ
dan musuh kalian
وَءَاخَرِينَ
dan orang-orang lain
مِن
dari
دُونِهِمۡ
selain mereka
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَهُمُ
kamu mereka
ٱللَّهُ
Allah
يَعۡلَمُهُمۡۚ
mengetahui mereka
وَمَا
dan apa yang
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
يُوَفَّ
dicukupkan
إِلَيۡكُمۡ
kepadamu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
لَا
tidak
تُظۡلَمُونَ
dianiaya
Terjemahan
Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu, berupa kekuatan (yang kamu miliki) dan pasukan berkuda. Dengannya (persiapan itu) kamu membuat gentar musuh Allah, musuh kamu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, (tetapi) Allah mengetahuinya. Apa pun yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas secara penuh kepadamu, sedangkan kamu tidak akan dizalimi.
Tafsir
(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka) untuk memerangi mereka (kekuatan apa saja yang kalian sanggupi) Rasulullah ﷺ menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kekuatan adalah ar-ramyu atau pasukan pemanah. Demikianlah menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (dan dari kuda-kuda yang ditambat) lafal ribath berbentuk mashdar, artinya kuda-kuda yang sengaja disediakan untuk berperang di jalan Allah (untuk membuat takut) kalian membuat gentar (dengan adanya persiapan itu musuh Allah dan musuh kalian) artinya orang-orang kafir Mekah (dan orang-orang yang selain mereka) terdiri dari orang-orang munafik atau orang-orang Yahudi (yang kalian tidak mengetahuinya sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalaskan kepada kalian dengan balasan yang cukup) yakni pahalanya (dan kalian tidak akan dianiaya) tidak akan dikurangi sedikit pun dari pahala kalian.
Tafsir Surat Al-Anfal: 59-60
Dan janganlah orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah).
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian infakkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dizalimi (dirugikan).
Ayat 59
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya: “Janganlah kamu mengira.” (Al-Anfal: 59) Artinya, janganlah kamu mengira, wahai Muhammad (dalam hal ini Imam Ibnu Katsir memakai qiraat yang membaca ayat ini dengan bacaan la tahsabanna dengan memakai ta harap dimaklumi. Pent)
“Orang-orang kafir itu dapat lolos.” (Al-Anfal: 59)
Yakni luput dari Kami, dan Kami tidak dapat menangkap mereka; sebaliknya bahkan mereka berada di bawah tekanan kekuasaan Kami dan berada di dalam genggaman kehendak Kami; mereka sama sekali tidak dapat mengalahkan Kami.
Perihalnya semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain melalui firman-Nya: “Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu menyangka bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka sangkakan itu.” (Al-Ankabut: 4) Maksudnya, teramat buruk apa yang mereka duga itu.
Sama pula pengertiannya dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang kafir itu dapat melemahkan Allah (dari mengazab mereka) di bumi ini sedangkan tempat kembali mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan sungguh amat jeleklah tempat kembali itu.” (An-Nur: 57)
Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Janganlah sekali-kali kamu terpesona oleh keleluasaan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam, dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali Imran:196-197)
Kemudian Allah ﷻ memerintahkan untuk mempersiapkan peralatan senjata untuk berperang dengan orang-orang musyrik, sesuai dengan kemampuan yang ada. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
Ayat 60
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi.” (Al-Anfal: 60)
Yakni dengan segenap kemampuan yang kalian miliki, berupa kekuatan dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang. (Al-Anfal: 60)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Haris, dari Abu Ali Sumamah ibnu Syafi (saudara lelaki Uqbah ibnu Amir). Ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda di atas mimbarnya: "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada pasukan pemanah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada pasukan pemanah.”
Imam Muslim meriwayatkannya dari Harun ibnu Ma'ruf, Imam Abu Daud dari Sa'id ibnu Mansur, sedangkan Ibnu Majah dari Yunus ibnu Abdul A'la. Ketiga-tiganya (yakni Harun, Sa'id, dan Yunus) dari Abdullah ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Hadits ini mempunyai jalur-jalur lain dari Uqbah ibnu Amir, yang antara lain ialah yang diriwayatkan oleh Hakim Tirmidzi melalui hadits Saleh ibnu Kaisan, dari seorang lelaki yang menerimanya dari Saleh Ibnu Kaisan.
Imam Ahmad dan para pemilik kitab Sunnah telah meriwayatkan dari Saleh ibnu Kaisan yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Lemparlah panah kalian dan naikilah kendaraan kalian, tetapi melempar (membidikkan) panah kalian adalah lebih baik daripada kalian menaiki kendaraan.”
Imam Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Abu Saleh As-Samman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kuda itu mempunyai tiga fungsi; bagi seseorang berfungsi mendatangkan pahala, bagi yang lainnya berfungsi menjadi penutup bagi dirinya, dan bagi yang lainnya lagi berakibat mendatangkan dosa baginya.
Adapun kuda yang dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya ialah bila pemiliknya menambatkannya untuk persiapan berjuang di jalan Allah. Jika kuda itu berada lama di kandangnya atau di tempat penggembalaannya, maka segala sesuatu yang dimakannya dalam kandang dan tempat penggembalaannya itu selama ia berada di sana merupakan pahala-pahala kebaikan bagi pemiliknya. Dan seandainya kuda itu terlepas dari kandangnya, lalu berlari-lari berputar-putar sekali putar atau dua kali putar, maka semua jejak kakinya dan kotoran yang dikeluarkannya merupakan pahala-pahala kebaikan bagi pemiliknya. Dan seandainya kuda itu melewati sebuah sungai, lalu minum airnya, sedangkan pemiliknya tidak mau memberinya minum, maka hal itu merupakan pahala-pahala kebaikan bagi pemiliknya. Semuanya itu mendatangkan pahala bagi pemiliknya.
Dan seorang lelaki yang menambatkannya untuk keperluan mencari kecukupan (nafkah) dan memelihara harga diri (agar tidak meminta-minta), tanpa melupakan hak Allah yang ada pada leher dan punggungnya, maka hal itu merupakan penutup bagi (keperluannya).
Dan seorang lelaki yang menambatkannya untuk kebanggaan, pamer, dan kesombongan, maka kuda itu mendatangkan dosa bagi pemiliknya.
Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai keledai, maka beliau ﷺ bersabda: “Tidak ada sesuatu pun yang diturunkan kepadaku mengenainya kecuali ayat yang bermakna menyeluruh lagi menyendiri ini, yaitu firman-Nya, ‘Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (sesuatu yang paling kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula’.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Hadits riwayat Imam Bukhari, dan teks hadits ini berdasarkan yang ada padanya; begitu pula Imam Muslim, ia telah meriwayatkannya; kedua-duanya melalui hadits Malik.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ar-Rakin ibnur Rabi', dari Al-Qasim ibnu Hissan, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Kuda itu ada tiga macam, yaitu kuda bagi Tuhan Yang Maha Pemurah, kuda bagi setan, dan kuda bagi manusia.
Adapun kuda yang bagi Tuhan Yang Maha Pemurah ialah kuda yang ditambatkan untuk persiapan berjihad di jalan Allah, makanannya, kotorannya, dan air seninya dan disebutkan pula hal lainnya menurut apa yang dikehendaki Allah.
Adapun kuda yang bagi setan adalah kuda yang dipakai oleh pemiliknya untuk berjudi dan taruhan.
Dan kuda yang bagi manusia ialah kuda yang oleh pemiliknya untuk mencari nafkah bagi pemiliknya maka kuda itu merupakan penutup bagi pemiliknya dari kefakiran.”
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa memanah lebih baik daripada berkuda. Sedangkan menurut Imam Malik, berkuda lebih baik daripada memanah. Tetapi pendapat jumhur ulama (pendapat pertama) lebih kuat karena ada hadits yang mendukungnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajaj dan Hisyam. Mereka berdua mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, dari Ibnu Syamamah bahwa Mu'awiyah ibnu Khadij berjumpa dengan Abu Dzar yang sedang berdiri di dekat seekor kuda miliknya. Lalu Muawiyah bertanya kepadanya, “Apakah yang diderita oleh kudamu ini?" Abu Dzar menjawab, “Sesungguhnya aku menduga bahwa kuda ini telah diperkenankan doanya." Mu'awiyah bertanya, "Apakah binatang itu dapat berdoa?" Abu Dzar menjawab, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak ada seekor kuda pun melainkan berdoa di setiap waktu sahur,yang bunyinya seperti berikut: ‘Ya Allah, Engkau telah menyerahkan diriku untuk melayani seorang di antara hamba-hamba-Mu, dan Engkau menjadikan rezekiku ada di tangannya, maka jadikanlah aku sesuatu yang lebih disukai olehnya daripada keluarganya, harta bendanya, dan anaknya'.”
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Said, dari Abdul Hamid ibnu Abu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, dari Suwaid ibnu Qais, dari Mu'awiyah ibnu Khadij, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya tidak ada seekor kuda Arab pun melainkan diizinkan baginya di setiap fajar untuk mengucapkan doa-doa, yaitu: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau serahkan diriku untuk melayani seseorang dari kalangan Bani Adam yang Engkau kehendaki untuk aku layani, maka jadikanlah diriku sesuatu yang lebih disukainya daripada keluarganya dan harta bendanya atau sebagai milik dan harta benda yang paling disukainya’.”
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yahya Al-Qattar dengan lafal yang sama.
Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Al-Mufim ibnul Miqdam As-San'ani, dari Al-Hasan ibnu Abul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan kepada Ibnul Hanzaliyah (yakni Sahlan) bahwa dia telah menceritakan kepada kami suatu hadits yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Kuda itu diikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya sampai hari kiamat, pemiliknya sangat memperhatikannya. Barang siapa yang menambatkan seekor kuda untuk berjihad di jalan Allah, maka nafkah yang diberikan kepada kudanya itu sama halnya dengan seseorang yang mengulurkan tangannya memberi sedekah tanpa henti-hentinya.”
Hadits-hadits yang menceritakan keutamaan menambatkan kuda untuk berjihad di jalan Allah cukup banyak. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan melalui Urwah ibnu Abul Ja'd Al-Bariqi, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kuda itu terikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya sampai hari kiamat, yaitu pahala dan ganimah.”
Firman Allah ﷻ: “(Yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (Al-Anfal: 60) Yakni untuk membuat gentar orang-orang kafir yang menjadi musuh Allah dan musuh kalian.
“Dan orang-orang selain mereka.” (Al-Anfal: 60)
Menurut Mujahid makna yang dimaksud ialah orang-orang Bani Quraizah, sedangkan menurut As-Suddi ialah orang-orang Persia.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, Ibnu Yaman mengatakan bahwa mereka adalah setan-setan yang berada di dalam rumah-rumah; dan telah disebutkan oleh sebuah hadits hal yang semakna dengan pendapat ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Atabah (yakni Ahmad ibnul Faraj Al-Himsi), telah menceritakan kepada kami Abu Haiwah (yakni Syuraih ibnu Yazin Al-Muqri), telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sinan, dari Ibnu Garib (yakni Yazid ibnu Abdullah ibnu Garib), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya.” (Al-An'am: 60) Bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah makhluk jin.
Imam Ath-Thabarani meriwayatkannya dari Ibrahim ibnu Dahim, dari ayahnya (yaitu Muhammad ibnu Syu'aib), dari Sinan ibnu Sa'id ibnu Sinan, dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Garib dengan lafal yang sama.
Ditambahkan pula bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak akan diganggu setan suatu rumah yang di dalamnya terdapat seekor kuda yang dipelihara." Hadits ini munkar, sanad dan matannya tidak shahih.
Muqatil ibnu Hayyyan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik. Pendapat ini lebih mendekati kebenaran dan diperkuat dengan adanya firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekeliling kalian itu ada orang-orang munafik, dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, Kami yang mengetahui mereka.” (At-Taubah: 101)
Adapun firman Allah ﷻ: “Apa saja yang kalian infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepada kalian, dan kalian tidak akan dizalimi (dirugikan).” (Al-Anfal: 60)
Artinya, berapa pun pembelanjaan yang kalian keluarkan dalam jihad, maka pahalanya akan dibalas secara penuh dan sempurna kepada kalian.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud disebutkan bahwa dirham (mata uang) yang dibelanjakan di jalan Allah dilipatgandakan pahalanya sampai tujuh ratus kali lipat. Hal ini diterangkan di dalam tafsir firman Allah ﷻ: “Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada Kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dusuki, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, telah menceritakan kepada kami Al-Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ bahwa Nabi ﷺ memerintahkan agar sedekah jangan dikeluarkan kecuali hanya kepada pemeluk Islam, hingga turunlah firman-Nya: “Apa saja yang kalian infakkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepada kalian.” (Al-Anfal: 60) Setelah itu beliau ﷺ memerintahkan mengeluarkan sedekah kepada setiap orang yang meminta dari kalangan semua pemeluk agama. Hal ini dinilai gharib (asing).
Usai memerintahkan agar Nabi Muhammad memberi tindakan keras bahkan sampai mengusir Yahudi Bani Quraidhah yang telah merusak perjanjian, maka ayat ini memerintahkan agar mempersiapkan kekuatan semaksimal mungkin untuk menghadapi kemungkinan buruk atau balas dendam dari mereka. Dan karena itu, persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka yang terbukti secara nyata memusuhi Islam, dengan mengerahkan kekuatan apa saja yang kalian miliki dan dari pasukan berkuda yang memang dipersiapkan untuk berperang. Persiapan kekuatan secara maksimal tersebut bertujuan agar dapat menggentarkan musuh Allah, musuh kalian dan juga untuk menggentarkan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya baik disebabkan oleh kemunafikannya maupun musuh-musuh Islam yang belum tampak permusuhannya; tetapi Allah senantiasa mengetahuinya, kapan dan di mana saja. Disebabkan sebuah perjuangan di jalan Allah itu membutuhkan biaya besar, maka redaksi berikutnya berisi anjuran untuk mengeluarkan infak: apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup bahkan berlipat ganda asalkan ikhlas kepada kalian dan kalian tidak akan dizalimi, yakni dirugikan atau dikurangi sedikit pun balasan kebaikannyaPerang diizinkan dalam Islam adalah demi melindungi dakwah, mempertahankan diri dan atau melawan kezaliman, meski berperang bukanlah satu-satunya cara yang dikehendaki, bahkan terciptanya perdamaian adalah lebih didambakan oleh Islam. Dan karena itu, wahai kaum muslim, jika mereka atau sebagian dari orang-orang kafir itu condong kepada perdamaian, maka terimalah, sebab bukan perang itu sendiri yang dikehendaki Islam, dan untuk menguatkan mental kalian dari kemungkinan munculnya pengkhianatan di balik perdamaian tersebut, maka bertawakallah kepada Allah, serahkan seluruh urusan kepada-Nya setelah berusaha sekuat tenaga. Sungguh, Dia Maha Mendengar segala bentuk percakapan mereka, Maha Mengetahui apa saja yang mereka rencanakan atas kalian, dan Allah pasti akan membela kalian.
Untuk menghadapi pengkhianatan kaum Yahudi dan persekongkolan mereka dengan kaum musyrikin dengan tujuan menghancurkan kaum Muslimin, Allah memerintahkan pada ayat ini agar kaum Muslimin menyiapkan kekuatan guna menghadapi musuh-musuh Islam, baik musuh yang nyata mereka ketahui, maupun yang belum menyatakan permusuhan-nya secara terang-terangan. Yang harus dibina lebih dahulu adalah kekuatan iman yang akan menjadikan mereka percaya dan yakin bahwa mereka adalah pembela kebenaran, penegak kalimah Allah di muka bumi dan mereka pasti menang dalam menghadapi dan membasmi kezaliman dan keangkara-murkaan. Kekuatan iman yang sempurna inilah yang dapat membina kekuatan mental yang selalu ditanamkan pada hati segenap rakyat agar mereka benar-benar menjadi bangsa yang tangguh dan perkasa dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan cobaan. Bangsa yang kuat mentalnya tidak akan dapat dikalahkan oleh bangsa lain bagaimana pun sempurnanya peralatan dan senjata mereka. Hal ini telah dibuktikan dalam Perang Badar di mana tentara kaum musyrikin yang jauh lebih besar jumlah dan persenjataannya dapat dipukul mundur oleh tentara Islam yang sedikit jumlahnya dan amat kurang persenjataannya, tetapi memiliki mental yang kuat dan iman yang teguh.
Di samping kekuatan iman/mental mereka, harus pula dipersiapkan kekuatan fisiknya karena kedua kekuatan ini harus digabung menjadi satu, kekuatan fisik saja akan kurang keampuhannya bila tidak disertai dengan kekuatan mental. Demikian pula sebaliknya kekuatan mental saja tidak akan berdaya bila tidak ditunjang oleh kekuatan fisik.
Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mempersiapkan tentara berkuda yang ditempatkan pada tempat strategis, siap untuk menggempur dan menghancurkan setiap serangan musuh dari manapun datangnya. Pada masa Nabi pasukan berkuda inilah yang amat strategis nilainya dan amat besar keampuhannya. Suatu negeri yang mempunyai pasukan berkuda yang besar akan disegani oleh negeri-negeri lain, dan negeri lain itu akan berpikir lebih dulu bila akan menyerang negeri itu.
Pada masa sekarang pasukan berkuda (kavaleri) telah digantikan oleh pasukan tank baja, masalah peperangan pada masa kini sudah lain corak dan bentuknya dari peperangan masa dulu. Alat senjata yang dipergunakan sudah beragam pula, berupa armada udara, armada laut, bahkan sampai memper-gunakan persenjataan yang sangat canggih. Jika pada masa Nabi Muhammad ﷺ Allah memerintahkan agar mempersiapkan pasukan berkuda, maka pada masa sekarang kaum Muslimin harus mempersiapkan berbagai senjata modern untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh.
Sebagaimana diketahui senjata-senjata modern sekarang ini adalah hasil dari kemajuan teknologi. Maka umat Islam wajib berusaha mencapai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya dan menguasai teknologi dan selalu mengikuti perkembangan dan kemajuannya. Untuk mencapai ilmu dan teknologi yang tinggi kita memerlukan biaya yang sangat besar. Kita wajib mempercepat kemajuan ekonomi dan memperbesar penghasilan rakyat. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan dan pertahanan negaranya.
Suatu negara yang kuat mentalnya, kuat pertahanannya, dan kuat pula perekonomiannya pasti akan disegani oleh negara lain dan mereka tidak berani memusuhinya apalagi menyerangnya. Inilah yang dituntut Allah dari kaum Muslimin.
Anjuran menafkahkan harta fi sabilillah terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an di antaranya firman Allah:
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Baqarah/2: 195)
Dan firman Allah swt:
Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2: 265)
Allah menjanjikan pahala yang besar kepada setiap orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan dia tidak akan dirugikan sedikit pun karena menafkahkan hartanya. Sebaliknya perbuatan itu akan mendapat pahala yang berlipat ganda.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
YANG PALING JAHAT
Ayat 55
“Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang merayap di sisi Allah, ialah orang-orang yang kafir."
Sejahat-jahatnya yang merangkak atau merayap di atas bumi ialah orang-orang kafir. Yaitu orang yang dengan keras hati mempertahankan kekufuran, tidak mau percaya kepada Allah, ataupun tidak mau mengakui betapa besarnya nikmat Allah atas manusia. Dalam kerangka susunan ayat ini mengenai pemuka-pemuka Quraisy yang tidak mau per-caya akan kerasulan Muhammad ﷺ. Mereka berkeras tidak mau percaya, meskipun mereka tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ itu adalah orang benar dan jujur, tetapi mereka dengki karena merasa diri lebih. Mereka sudah disamakan dengan binatang yang merangkak, bahkan disebut di sini sejahat-jahat binatang merangkak. Karena, kalau manusia tidak mempergunakan lagi otaknya buat berpikir, matanya buat melihat dan telinga buat mendengar, sebagaimana dahulu tersebut di dalam surah al-A'raaf rendahlah dia dari binatang. Kemudian diteruskan pada ujung ayat,
“Maka mereka itu tidaklah mau beriman"
Artinya, mereka akan dianggap sejahat-jahat yang merayap kalau masih mereka te-ruskan raja kekufuran itu. Tandanya harapan buat beriman masih terbuka dan jalan buat tobat masih terentang di hadapan mereka. Tandanya lagi bahwa orang terdorong menjadi kafir dan nyata-nyata menolak kebenaran ialah karena kerasnya hawa nafsu. Tandanya bahwa di dalam inti jiwa manusia itu masih terdapat keinginan kepada kebenaran. Siapakah gerangan orang-orang itu?
Ayat 56
“(Yaitu) orang-orang yang telah engkau penbuat penjanjian dengan setengah mereka, kemudian itu mereka rusakkan perjanjian mereka itu pada tiap kali, dan mereka tidaklah merasa takut."
Sebagaimana kita maklumi, surah ini diturunkan di Madinah sesudah Peperangan Badar. Di Madinah sendiri pun terdapat orang-orang yang sudah mengikat berbagai perjanjian perdamaian dengan Rasulullah ﷺ, terutama orang-orang Yahudi, yang ter-utama lagi Yahudi Bani Quraizhah. Mereka-mereka ini setelah Rasulullah ﷺ berpindah ke Madinah telah mengikat janji akan bertetangga baik dan agama mereka tidak akan diganggu. Dalam perjanjian itu juga disebut, jika Madinah diserang musuh, mereka akan turut mempertahankannya. Mereka dipandang sebagai Ahlul Kitab yang dihormati, lebih dari menghormati orang musyrikin. Tetapi berkali berbuat janji, berkali pula janji itu mereka mungkiri. Dan, seketika Rasulullah ﷺ telah berperang dengan kaum musyrikin, mereka menunjukkan sikap yang berpihak kepada kaum musyrikin, sampai ketika terjadi Peperangan Khandaq, pemimpin mereka sendiri pergi sembunyi-sembunyi ke Mekah menyatakan sokongannya kepada Musyrikin. Pemuka mereka Ka'ab bin Asyraf sampai datang sendiri ke Mekah menemui Abu Sufyan menyatakan sokongan, apabila Quraisy menyerang Madinah. Sampai terjadi Peperangan Khandaq yang terkenal.
“Dan mereka tidaklah merasa takut."
Tidak ada rasa takut mereka memungkiri janji. Tidak ada rasa tanggung jawab mereka di hadapan Allah atas suatu janji yang telah diikat di atas nama Allah, dan tidak mereka merasa takut apa akibat di belakang hari jika janji telah dimungkiri. Apa harga amanah lagi kalau pemuka-pemuka telah menginjak-injak janjinya.
Ayat 57
“Lantaran itu, bilamana engkau menggempur mereka di dalam peperangan, maka hancurkanlah mereka."
Memungkiri janji yang telah diikat adalah satu perbuatan yang amat hina, rendah, dan keji. Itu pun satu kekufuran. Orang-orang memungkiri janji sudah dianggap sebagai binatang yang merangkak di bumi, tidak ada harga mereka lagi. Maka kalau mereka bertemu di medan perang, hendaklah gempur habis sampai hancur, jangan lagi diberi hati. Mereka wajib disapu bersih sehingga tidak bangkit lagi.
Ini telah dilakukan Rasul kepada Bani Quraizhah setelah nyata pengkhianatan me-reka dalam Peperangan Khandaq itu. Semua mereka dalam kampung mereka dikepung rapat sampai tidak berkutik lagi, sampai menyerah dan turun dan setelah turun dihukum pancung seluruh laki-laki, termasuk Ka'ab bin Asyraf yang telah dengan mudah saja menghancurkan janji dengan Rasulullah ﷺ; kalau sekiranya serangan Quraisy tidak gagal dalam Peperangan Khandaq itu, maka kaum Yahudi Bani Quraizhah itulah yang akan menyerbu Madinah dan menghabiskan orang Islam. (Nanti kisah ini akan diuraikan dalam surah al-Ahzaab). Maka gempuran yang menghancurkan itu perlunya ialah:
“(Untuk contoh) orang-orang di belakang mereka, supaya mereka ingat."
Agar keturunan-keturunan mereka atau orang lain sekalipun dapat mengambil con-toh bahwa kaum Muslimin tidak boleh dipermainkan dalam hal janji. Dan, supaya mereka berpikir dahulu agak lama jika akan berbuat suatu perbuatan yang tidak patut. Sikap keras ini adalah suatu hal yang perlu bagi menegakkan kewibawaan Daulah lslamiyah. Meskipun yang menjadi kurban agak banyak, masihlah dia itu sedikit jika dibandingkan dengan bahaya yang akan menimpa jika maksud jahat mereka itu berhasil. Dan, jangan mereka anggap bahwa soal janji adalah soal yang bisa dipermain-mainkan. Sebab sudah-lah terang bahwa tegak berdirinya suatu kekuasaan atau suatu negara, sejak manusia mengenal bermusyawarah dan bernegara dan bahwa yang mengikat di antara satu dengan yang lain, yang terutama ialah janji. Baik janji yang tertulis ataupun janji budi yang tidak ada hitam atas putih. Sebagaimana pepatah: “Kerbau diikat dengan talinya, manusia de-ngan janjinya." Yang dipegang dari manusia adalah katanya. Seumpama barang yang kita pakai atau rumah yang kita diami. Pada hari ini barang atau rumah itu dinamai kepunyaan kita. Tetapi, kalau kita berkata dengan mulut kepada seorang teman bahwa mulai saat ini barang atau rumah ini saya berikan kepada kamu, niscaya berpindahlah hak milik atasnya kepada orang yang dikatakan itu.
Seorang anak perempuan dibawa asuhan ayahnya. Lalu pada suatu hari si ayah berkata kepada seorang laki-laki, setelah ada persetujuan, bahwa hari ini anak perempuanku ini aku serahkan menjadi istrimu, dengan ucapan perkataan, lalu disambut laki-laki tadi bahwa penyerahan itu dia terima, ijab qabul, menjadilah perempuan itu istrinya. Demikianlah di antara diri dengan diri, keluarga dengan keluarga, golongan dengan golongan. Hidup itu ialah janji atau ikatan kata-kata.
Ayat 58
“Dan bilamana engkau takut dari suatu kaum akan timbul khianat, maka campakkanlah (perjanjian itu) kepada mereka dengan jelas."
Di sini dijelaskan bahwasanya kalau pihak yang telah berbuat janji akan teguh memegang janji itu, supaya jangan mendatangkan keraguan dan menimbulkan takut bahwa satu waktu mereka akan memungkiri dan mengkhianati pula, engkau campakkanlah janji itu dengan jelas. Artinya, permaklumkanlah dengan jelas dan adil,—kata orang sekarang cara satunya: “Bahwa mulai saat ini kami tidak lagi terikat dengan janji itu, sebab kami tidak percaya lagi akan kejujuran kalian."
Alaa sawaa'in, kita artikan dengan jelas. Artinya, jelaskan kepada mereka alasan-alasan engkau, tentu saja dengan mengemukakan bukti-bukti. Cara sekarang membatalkan janji demikian dinamai secara sepihak (bilateral). Cara begini pulalah yang dilakukan Rasulullah ﷺ dan diucapkannya terus terang kepada Abu Sufyan, sebab Abu Sufyan dan kaum Quraisy telah melanggar Perjanjian Hudaibiyah sehingga Mekah diserang pada tahun kedelapan Hijriah. Sebelum Mekah diserang, seketika Abu Sufyan telah datang ke Madinah hendak memperbaiki janji, padahal Quraisy telah mungkir, Nabi ﷺ telah menolak dengan tegas, dan mengatakan terus-terang bahwa janji itu tidak ada lagi.
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang khianat."
Ujung ayat ini berisi peringatan yang umum. Bukannya kaum kafir saja yang tidak disukai Allah karena khianat, bahkan jadi peringatan pula bagi kaum Muslimin sendiri. Khianat akan janji bagi Muslim adalah salah satu tanda munafik. Sebab itu, dijelaskanlah oleh sabda Rasulullah ﷺ tentang nilai janji,—Dirawikan al-Baihaqi di dalam Syu'abul Iman, riwayat dari Maimun bin Mahran, berkata Rasulullah ﷺ,
“Tiga perkara: Muslim dan kafir sama saja padanya. Yaitu (pertama), barangsiapa yang engkau perbuat janji dengan dia, penuhilah janji itu, baik orang itu Islam atau kafir. Maka janji itu adalah janji dengan Allah. Dan (kedua), barangsiapa yang di antara engkau dengan dia ada hubungan kasih sayang (rahim), maka hendaklah engkau hubungkan; baik dia Muslim ataupun dia kafir. (Ketiga), dan barangsiapa yang meletakkan kepercayaan suatu amanah kepada engkau, maka hendaklah engkau pegang amanah itu. Baik dia Muslim ataupun kafir." (HR al-Baihaqi)
Dan, tersebut juga dalam Syu'abul Iman al-Baihaqi itu satu riwayat dari Sulaim bin Amir tentang peristiwa Mu'awiyah dengan bangsa Rum. Antara Mu'awiyah dengan bangsa Rum telah diperbuat satu perjanjian damai. Satu ketika Mu'awiyah telah memimpin tentaranya sehingga hampir sampai ke batas negeri Rum itu. Maksudnya kalau tempo janji telah habis, ialah hendak melakukan penyerangan tiba-tiba ke negeri Rum. Maka datanglah Amir bin Anbasah r.a. lalu menegur Mu'awiyah terus terang, “Pegang setia janji, jangan dikhianati. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang di antaranya dengan suatu kaum ada ikatan janji, maka janganlah dia ungkai buhul janji itu dan jangan dia uraikan sendiri, sampai datang jangka waktunya. Pada waktu itu barulah boleh dia menyatakan pencampakan janji itu sendiri dengan jelas.'" (HR al'Baihaqi)
Ayat yang amat keras bunyinya ini, yaitu bahwa Allah tidaklah suka kepada orang yang berkhianat, sangatlah berkesan dalam sekali pada cara berpikir raja-raja Islam di zaman kejayaan mereka. Di sini teringatlah kita akan Perjanjian Suci perdamaian 10 tahun yang diikat di antara Sultan Murad dari Turki Utsmani (ayah dari Sultan Muhammad Penakluk) dengan Raja Ladeslase Raja Magh-yar (Hongaria) pada tahun 1444 Masehi (848 Hijriah).
Sultan Murad telah berniat hendak mengundurkan diri dari kerajaan, hendak pulang ke Asia Kecil (Maghnisia) masuk Suluk Thariqat Maulawiyah dan kerajaan hendak diserahkannya kepada putranya yang kedua, yaitu Muhammad, yang usianya ketika itu baru 14 tahun, sebab putra sulung Alaiddin telah wafat. Menurut perkiraan baginda perang takkan ada lagi, sebab Perjanjian Suci telah diikat, tidak akan berperang selama sepuluh tahun dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Apalah lagi ketika mengikat janji itu Sultan bersumpah dengan memegang Al-Qur'an dan Raja Ladeslase bersumpah dengan memegang Injil.
Dalam rencana Sultan karena dia mulai tua, telah lelah memegang kerajaan dan ber-perang. Ditanggalkannya pakaian raja dan dipakainya pakaian orang sufi dan disuruhnya putranya, Muhammad, duduk ke singgasana. Sekarang usianya baru 14 tahun. Nanti kalau tempo perjanjian sudah selesai tentu usia putranya telah 24 tahun, dia pun telah kuat berperang. Tanpa ragu-ragu lagi, beliau berangkat meninggalkan pusat kerajaan (ketika itu kota Adrianopel), dan naiklah putranya yang masih kecil itu ke atas takhta. Baginda tidak ada syak wasangka sama sekali.
Akan tetapi, pihak Kerajaan Barat segera mengetahui hal itu. Kardinal Cesarini, wakil Paus mengetahui hal itu. Terus dia bertekad hendak memungkiri Perjanjian Suci itu dan dibujuknyalah Ladeslase supaya memungkiri janji itu. Katanya, masa kinilah yang sebaik-baiknya untuk menghancurkan bangsa Turki dan menghapuskan pengaruh Islam. Tidak ada lagi masa yang lebih baik dari ini. Sebab, Muhammad yang baru berusia 14 tahun tidak akan sekuat ayahnya, Murad yang perkasa. Paus Eugene IV yang bertakhta di Vatikan ketika itu, tidak sedikit jua menyatakan bantahan atas niat khianat kardinalnya itu, malahan gembira menerima usulnya. Dengan atasan bahwa Paus tidak tahu-menahu karena tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya ketika Ladeslase mengikat janji itu, Paus dengan usul Kardinal Cesarini memerintahkan Raja Ladeslase untuk memungkiri janji itu, dan dikirimlah surat kepada raja-raja yang lain supaya bersama-sama menyokong Ladeslase melakukan pemungkiran janji dan menyerang bangsa Turki bersama-sama. Jean Hynade Raja Maghyar yang seorang lagi, mulanya tidak mau masuk dalam pemungkiran itu, tetapi setelah ada surat Paus bahwa dia akan diberi anugerah pengampunan dosa (Indulgenoes) maulah dia ikut. Kardinal Cesarini untuk meyakinkan Ladeslase pernah dengan mengangkat tangannya ke dada, bershalat, menyatakan bahwa tidaklah berdosa jika orang Kristen memungkiri janji dengan orang Islam. Maka disusunlah Angkatan Perang Salib yang besar untuk menghancurkan Kerajaan Turki.
Hal ini segera diberitahukan orang kepada Sultan yang telah masuk suluk. Berdebar dada beliau, tetapi kelihatan sedih hati beliau mengingat apa arti janji bagi orang Kristen, apa arti janji bagi Kardinal Cesarini, mengapa Paus sendiri menyetujui pengkhianatan itu. Beliau yakin bahwa putranya yang baru usia 14 tahun tidak akan sanggup menghadapi bahaya ini. Baginda segera pulang. Beliau tanggalkan pakaian tasawuf, naik ke istana dan sepeninggal putranya pergi berburu, baginda duduk kembali ke singgasana, dan beliau pegang kembali pemerintahan.
Beliau pulang dan beliau pimpin kembali peperangan, dan beliau hadapi musuh-mu-suh yang telah berkhianat itu. Beliau beri uang suap armada Genua yang tadinya turut dalam persekutuan Salib itu. Bagi tiap-tiap satu orang tentara Turki yang diseberangkan ke Eropa dengan kapal Genua, satu dinar emas, menyeranglah 40.000 tentara Turki ke Eropa. Kepala Perang Sekutu Salib ialah Pangeran Hynade. Dengan dialah baginda berhadapan muka dalam perang besar. Tiba-tiba muncullah Pangeran Ladeslase yang memungkiri janji itu di hadapan Sultan, sambil mengangkat pedangnya, hendak menewaskan Sultan. Meskipun telah tua, kemahiran perang baginda belum padam. Sedang tangan Ladeslase tergenggam itu. Sultan menghunjamkan tombaknya dengan tepat ke dada Ladeslase, tembus sampai ke punggung. Dengan gagahnya sultan tua itu dapat menewaskan musuhnya yang muda dan gagah itu. Sedang Kardinal Cesarini sendiri lari dari medan perang.
Satu abad di belakang itu telah terjadi pula hal yang serupa di bagian tanah air kita sendiri, saat Gubernur Portugis, De Mesquita, membuat perjanjian damai perang dengan Sultan Khairun di Ternate (1570). Janji pun memakai sumpah Al-Qur'an dan Injil. Sultan Khairun menjunjung Al-Qur'an dan De Mesquita menjunjung Injil. Sehabis perjanjian ditandatangani, diadakanlah perjamuan besar di benteng Portugis dan Sultan diundang ke dalam benteng itu. Saat sedang asyik makan-makan, Sultan ditikam! Inilah yang menyebabkan perang besar Ternate dengan Portugis. Putra Sultan Khairun naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sultan Babullah. Bertahun-tahun terjadi perang karena Babullah tidak hendak berhenti, sebelum dendam kematian ayahnya terbalas. Bangsa Portugis akhirnya kalah, benteng Portugis di Ternate jatuh ke tangan Sultan dan Portugis lari ke Ambon.
Ajaran Kristen sendiri yang asli ialah “Kasihilah musuhmu". Tetapi, nafsu serakah Barat, pusaka bangsa Viking Purbakala belum dapat dibentuk agama Kristen agar mengasihi musuh, melainkan yang ada hanyalah seperti yang dijelaskan Kardinal Cesarini di hadapan Raja Ladeslase bahwa janji dengan orang Islam tidak mengapa jika dimungkiri. Tetapi Islam dalam ayat ini memberi ingat bahwa Allah tidaklah suka kepada orang yang berkhianat.
Oleh sebab itu, supaya harga janji dapat dipegang teguh dan dimuliakan, wajiblah tiap-tiap negara dan umat Islam itu teguh persiapannya dan kuat pertahanannya; supaya dia jangan melongo saja jika orang lain memungkiri janji.
Ayat 59
“Dan sekali-kali janganlah menyangka orang-orang yang kafir itu bahwa mereka sudah bebas."
Artinya, wahai Rasul sampaikanlah kepada mereka bahwa janganlah kamu sangka dengan sebab kamu telah mengkhianati janji, sudah bebaslah kamu dari tilikan Allah, bahwa mereka akan bebas dari ancaman balasan khianat. Seumpama orang Yahudi tadi, janganlah mereka menyangka bahwa telah selesailah urusan dengan cara yang demikian: “Sesungguhnya mereka tidaklah akan melemahkan."
Artinya, bahwa dengan sikap yang demikian hina, janganlah mereka menyangka bahwa Allah akan bisa mereka lemahkan. Pembalasan Allah pasti datang kepada mereka. Ujung ayat yang berbunyi begini adalah peringatan kepada seluruh orang yang berbuat suatu kejahatan dan menipu Allah. Betapapun siasat yang diatur oleh manusia, namun siasat itu tidaklah akan dapat melemahkan siasat Allah. Suatu dosa mesti berbalasan; kalau tidak segera tentu lambat laun. Kalau tidak di dunia, tentu di akhirat.
Ayat 60
“Dan persiapkanlah (untuk menghadapi) mereka apa yang kamu bisa; dari kekuatan dan dari rambatan kuda-kuda."
Sebagaimana telah kita isyaratkan pada tafsir di atas, di dalamnya Allah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang khianat, maka hendaklah orang yang beriman menjaga kekuatan. Karena kalau pihak musuh memungkiri janji, kita hanya dapat menegurnya dengan kekuatan. Kalau kita lemah, maka tiap-tiap ada kesempatan, niscaya mereka akan menginjak-injak janji itu. Maka ayat ini adalah lanjutan dan akibat yang wajar dari usaha menegakkan Islam. Pada ayat-ayat di atas kita telah diperintahkan berperang sehingga fitnah terhadap agama tidak ada lagi dan seluruh keagamaan sudah bulat menuju kepada Allah. Bagaimana akan sanggup menghadapi perang, kalau persiapan kekuatan tidak ada?
Sebab itu, tegaslah perintah Allah ini datang, yaitu supaya bersiap terus dengan segala macam alat senjata yang ada. Pada zaman Nabi kita Muhammad ﷺ orang berperang dengan pedang dan tombak. Kian lama persenjataan kian maju; sampai kepada bedil dengan segala macam gun (senjata), sampai kepada meriam, dan akhir ini sampai kepada peluru kendali dan bom nuklir. Maka ayat ini selalu berbunyi pada telinga kita, supaya kita bersiap terus, dan bersiap terus menuruti perkembangan persenjataan itu. Di zaman Rasul ﷺ sangat panting artinya kuda peperangan. Dan sampai kepada zaman kita sekarang ini, belumlah mundur kepentingan kuda dalam perang. Di samping itu, telah timbul kendaraan-kendaraan bermotor untuk perang; Panse Wagon, truk, tank, kendaraan berlapis baja, ditambah lagi sekarang dengan kepentingan angkatan udara.
Di dalam ayat ini disebutkan pemautan kuda. Ahli tafsir mengatakan bahwa angkatan perang dalam kesiapsiagaannya hendaklah selalu memelihara kudanya dan memautkannya dengan baik, artinya yang luas ialah kendaraan sehingga bila datang keadaan yang tiba-tiba, terus hendaklah dapat siap menaikinya.
Setelah seluruh negeri Irak ditaklukkan oleh Sayyidina Sa'ad bin Abu Waqqash, be-liau buatlah rencana mendirikan Kota Kufah. Setelah rencana ini dikemukakan kepada Khalifah Sayyidina Umar bin Khaththab, maka beliau pun sangat menyetujui. Cuma beliau tambah bahwa di samping mendirikan sebuah masjid jami, hendaklah pula diperbuat satu tanah lapang tempat para pemuda melakukan latihan-latihan perang. Latihan memanah, melemparkan tombak, bermain pedang, dan berkuda. Setengah dari ucapan beliau yang masyhur,
“Ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang dan memanah. Hendaklah mereka dapat melompat ke punggung kuda sekali lompat."
Ketika ayat ini pernah saya tafsirkan pada kuliah shubuh di Masjid Agung al-Azhar, seorang dari pengikut kuliah yang setia, yaitu Haji Suyono ketika itu Laksamana Muda Angkatan Udara, telah menggeleng-gelengkan kepala karena sangat termakan olehnya ayat ini, sebab dia seorang militer. Dia berkata, “Bagi kami dalam angkatan bersenjata memang ada suatu disiplin yang wajib dipelihara terus. Kami yang diberi jeep atau kendaraan bermotor yang lain, diperintahkan mesti selalu memegang kunci kontak kendaraan kami dengan radar, dan kendaraan itu selalu wajib siap dengan bensinnya. Sehingga kalau ada sesuatu, misalnya terjadi malam hari, kami mesti segera dapat siap melompati kendaraan kami."
Ahli-ahli perjuangan selalu berkata, “The man behind the gun." Manusia yang berdiri di belakang senjata! Artinya, bahwa bukan senjata yang menentukan dan memutuskan, melainkan siapa yang berdiri di belakang senjata itu. Sebab itu dapatlah kita renungkan susunan ayat sejak semula. Yang lebih dahulu ditekankan ialah ketaatan kepada Allah dan Rasul. Yang lebih dahulu ditekankan ialah iman. Jadi, kalau cara sekarangnya, hendaklah pemegang-pemegang senjata itu orang yang berideologi. Yang sadar benar untuk apa senjata itu dipakai.
Lanjutan ayat menegaskannya lagi, “Untuk kamu menakutkan musuh Allah dan musuh kamu dengan dia." Yaitu dengan persiapan perang yang tangguh dan kuat itu akan berpikirlah musuh 1.000 kali terlebih dahulu sebelum mereka memerangi kamu, atau sebelum mereka memungkiri janji. Musuh kamu dan musuh Allah! Musuh bersama kamu dan Tuhan kamu, sehingga musuh Allah adalah musuh kamu, dan dengan peringatan demikian kamu pun tidak akan membalas dendam pribadi."Dan (musuh) yang lain dari mereka, yang tidak kamu ketahui siapa mereka. Allah yang mengetahui siapa mereka." Itulah musuh dalam selimut, kepinding (kutu busuk) di dalam baju, orang-orang munafik yang disangka kawan, padahal lawan. Maka melihat kekuatan persiapanmu dan teguhnya kewibawaanmu, orang-orang yang munafik itu pun akan berpikir terlebih dahulu sebelum mereka berbuat khianat.
“Dan apa pun yang kamu belanjakan pada jalan Allah, akan disempurnakan (ganjarannya) untuk kamu, dan kamu tidaklah akan teraniaya “
Ujung ayat ini pun menarik perhatian kita setelah kita bandingkan dengan perjalanan sejarah.
Terkadang bilamana musuh-musuh telah sangat membahayakan kedudukan kaum Muslimin, berkehendak sangatlah dia pada perlengkapan senjata lebih banyak. Dalam zaman modern kita ini kadang-kadang perbelanjaan negara untuk bidang pertahanan sangat besar jika dibandingkan dengan perbelanjaan dalam bidang yang lain; orang kadang-kadang mengeluh lantaran itu. Pajak negara kadang-kadang terpaksa dinaikkan. Maka ujung ayat memberi peringatan bahwa pengorbanan untuk itu, apa pun yang dibelanjakan, pastilah akan disempurnakan ganjarannya di sisi Allah. Pengorbanan itu tidaklah akan sia-sia. Dan, kamu tidaklah akan teraniaya. Apabila Allah memerintahkan kamu berkorban sehingga hartamu keluar, tidaklah Allah menganiaya kamu dengan demikian, melainkan untuk keselamatan masyarakat kamu sendiri jua. Dan, boleh juga dipikirkan bahwa kalau kamu selalu siap sedia, tidaklah kamu akan dapat dicederai oleh musuh-musuh dengan jalan khianat dan curang sehingga kamu tidak binasa dengan teraniaya. Kata orang sekarang, “Kamu tidak akan mati konyol."