Ayat
Terjemahan Per Kata
فَلَمَّا
maka tatkala
بَلَغَا
keduanya sampai
مَجۡمَعَ
pertemuan
بَيۡنِهِمَا
antara keduanya (kedua lautan)
نَسِيَا
keduanya lupa
حُوتَهُمَا
ikan keduanya
فَٱتَّخَذَ
lalu ia (ikan) mengambil
سَبِيلَهُۥ
jalannya
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
lautan
سَرَبٗا
lompat
فَلَمَّا
maka tatkala
بَلَغَا
keduanya sampai
مَجۡمَعَ
pertemuan
بَيۡنِهِمَا
antara keduanya (kedua lautan)
نَسِيَا
keduanya lupa
حُوتَهُمَا
ikan keduanya
فَٱتَّخَذَ
lalu ia (ikan) mengambil
سَبِيلَهُۥ
jalannya
فِي
di
ٱلۡبَحۡرِ
lautan
سَرَبٗا
lompat
Terjemahan
Ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut, mereka lupa ikannya, lalu (ikan mereka) melompat mengambil jalan ke laut itu.
Tafsir
(Maka tatkala keduanya sampai ke pertemuan dua buah laut itu) yakni tempat bertemunya kedua laut itu (mereka berdua lupa akan ikannya) Yusya' lupa membawanya ketika berangkat, Nabi Musa pun lupa mengingatkannya (maka ia mengambil) yakni ikan itu melompat untuk mengambil (jalannya ke laut itu) Allahlah yang menjadikan jalan itu, yaitu dengan menjadikan baginya (dalam keadaan berlubang) seperti lubang bekasnya, yaitu lubang yang sangat panjang dan tak berujung. Demikian itu karena Allah ﷻ menahan arus air demi untuk ikan itu, lalu masuklah ikan itu ke dalamnya dengan meninggalkan bekas seperti lubang dan tidak terhapus karena bekasnya membeku.
Tafsir Surat Al-Kahfi: 60-65
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." Muridnya menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sungguh aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tiadalah yang membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari."
Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Murid Nabi Musa ini adalah Yusya' ibnu Nun. Latar belakang kisah ini bermula ketika diceritakan kepada Musa bahwa ada seorang hamba Allah yang tinggal di tempat bertemunya dua laut, dia memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Maka Musa berkeinginan untuk berangkat menemuinya. Untuk itulah Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti." (Al-Kahfi: 60) Maksudnya, aku akan terus berjalan "sebelum sampai ke pertemuan dua laut." (Al-Kahfi: 60) Yakni di tempat tersebut yang padanya bertemu dua laut. Qatadah dan lain-lain, tidak hanya seorang, mengatakan bahwa kedua laut tersebut adalah Laut Persia yang berada di sebelah Timur dan Laut Romawi yang berada di sebelah Barat. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan, yang dimaksud dengan tempat bertemunya dua laut ini adalah yang berada di Tanjah, terletak di bagian paling ujung dari negeri Magrib (Maroko). Hanya Allah yang lebih tahu tempat yang sebenarnya.
Firman Allah ﷻ: "Atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (Al-Kahfi: 60) Yakni sekalipun saya harus berjalan bertahun-tahun. Ibnu Jarir mengatakan, sebagian dari kalangan ulama bahasa Arab mengatakan bahwa al-huqub menurut dialek Bani Qais artinya satu tahun. Dan Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa al-huqub artinya delapan puluh tahun. Mujahid mengatakan bahwa al-huqub artinya tujuh puluh musim gugur (tahun). Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: "Atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (Al-Kahfl: 60) Bahwa yang dimaksud dengan al-huqub ialah satu tahun. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Zaid.
Firman Allah ﷻ: "Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya." (Al-Kahfi: 61) Si murid tersebut diperintahkan oleh Musa untuk membawa ikan asin; dan dikatakan kepadanya bahwa manakala dia kehilangan ikan itu, maka orang yang dicari ada di tempat tersebut. Keduanya berangkat hingga sampailah di tempat bertemunya dua laut, di tempat itu terdapat sebuah mata air yang disebut 'Ainul Hayat' (mata air kehidupan).
Di tempat itu keduanya (Musa dan muridnya) tertidur pulas dalam istirahatnya. Ikan yang mereka bawa terkena oleh percikan mata air itu, maka ikan itu bergerak hidup kembali dalam kantong Yusya' bin Nun (murid Nabi Musa a.s.). Lalu ikan itu melompat dari kantong itu dan menceburkan dirinya ke dalam laut. Yusya' terbangun, sedangkan ikan itu telah terjatuh ke dalam laut (tanpa sepengetahuannya); dan ikan itu menempuh jalannya di dalam laut, sedangkan air yang dilaluinya tidak bersatu lagi melainkan membentuk lubang (terowongan). Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: "Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut (membentuk lubang)." (Al-Kahfi: 61) Yakni membentuk jalan yang dilaluinya seperti terowongan dalam tanah.
Ibnu Juraij mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa jalan yang dilalui oleh ikan itu seakan-akan membatu (keras dan tidak menutup sebagaimana lazimnya benda cair). Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sekali tubuh ikan itu menyentuh laut airnya menjadi kering hingga seperti batu bentuknya (bukan benda cair lagi). Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ ketika menceritakan kisah ini bersabda, "Air laut (yang dilalui ikan) itu sejak manusia ada tidak terbuka selain dari bekas yang dilalui oleh ikan itu. Air laut itu terbuka seperti celah, hingga Musa kembali ke tempat itu dan melihat bekas jalan yang dilalui oleh ikan tersebut." Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: "Itulah (tempat) yang kita cari". (Al-Kahfi: 64) Qatadah mengatakan bahwa ikan itu melompat ke laut, lalu mengambil jalannya ke dalam laut. Maka bekas air laut yang dilaluinya menjadi beku dan membentuk terowongan.
Firman Allah ﷻ: "Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh." (Al-Kahfi: 62) Yaitu setelah keduanya melanjutkan perjalanan cukup jauh dari tempat mereka lupa akan ikannya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa kelupaan ini dinisbatkan kepada keduanya, sekalipun pelakunya hanyalah Yusya' ibnu Nun (muridnya). Pengertiannya sama dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ: "Dari keduanya keluar mutiara dan marjan." (Ar-Rahman: 22) yang menurut salah satu di antara dua pendapat mengenai takwilnya mengatakan, "Sesungguhnya mutiara dan marjan itu hanyalah keluar dari salah satu di antara dua lautan, yaitu yang airnya asin." Setelah berjalan cukup jauh dari tempat mereka lupa akan ikannya Musa berkata kepada muridnya. "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." (Al-Kahfi: 62) Nasaban, artinya letih.
Musa mengatakan demikian setelah berjalan cukup jauh dari tempat keduanya lupa terhadap ikan perbekalannya. Muridnya menjawab, "Tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sungguh aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tiadalah yang membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan." (Al-Kahfi: 63) Qatadah mengatakan bahwa bacaan an-azkurahu adalah menurut qiraat Ibnu Mas'ud. Dalam firman selanjutnya disebutkan: "Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. Musa berkata, ‘Itulah (tempat) yang kita cari’." (Al-Kahfi: 63-64) Setelah mendengar cerita dari muridnya itu, Musa berkata, "Itulah tempat yang kita cari-cari". "Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka sendiri." (Al-Kahfi: 64) Yakni keduanya kembali menelusuri jejak semula menuju tempat tersebut. "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65) Dia adalah Khidir a.s. menurut apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih dari Rasulullah ﷺ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nauf Al-Bakkali menduga Musa (teman Khidir) bukan Musa teman kaum Bani Israil. Betulkah itu? Ibnu Abbas menjawab bahwa dustalah dia si musuh Allah itu. Telah menceritakan kepada kami Ubay ibnu Ka'b r.a., bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaum Bani Israil, lalu ia bertanya kepada mereka, 'Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?' (Tiada seorang pun dari mereka yang menjawab), dan Musa berkata, 'Akulah orang yang paling alim'. Maka Allah menegurnya karena ia tidak menisbatkan ilmunya kepada Allah."
Allah menurunkan wahyu kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua laut, dia lebih alim daripada kamu." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah caranya saya dapat bertemu dengannya?" Allah ﷻ berfirman, "Bawalah besertamu ikan, lalu masukkan ikan itu ke dalam kembu (wadah ikan). Manakala kamu merasa kehilangan ikan itu, maka dia berada di tempat tersebut." Musa membawa ikan, lalu memasukkannya ke dalam kembu, dan ia berangkat dengan ditemani oleh Yusya' bin Nun a.s. (muridnya). Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, maka keduanya merebahkan diri, beristirahat dan tertidur.
Ikan yang berada di dalam kembu itu bergerak hidup, lalu keluar dari dalam kembu dan melompat ke laut. Ikan itu mengambil jalannya di laut dengan membentuk terowongan. Allah menahan aliran air terhadap ikan itu, sehingga jalan yang dilaluinya seperti liang (terowongan). Ketika Musa terbangun, muridnya lupa memberitahu dia tentang ikan yang mereka bawa itu, bahkan keduanya terus melanjutkan perjalanan sehingga waktu perjalanan menjadi genap dua hari dua malam.
Pada keesokan harinya Musa berkata kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." (Al-Kahfi: 62) Musa baru merasa letih setelah melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah agar dia berhenti disitu. Muridnya berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sungguh aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tiadalah yang membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." (Al-Kahfi: 63) Bekas jalan yang dilalui ikan itu membentuk terowongan, sehingga membuat Musa dan muridnya merasa aneh.
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula." (Al-Kahfi: 64) Keduanya kembali menelusuri jalan semula, hingga sampailah di batu besar tempat mereka berlindung. Tiba-tiba Musa bertemu dengan seorang lelaki yang berpakaian lengkap. Musa mengucapkan salam kepadanya, dan lelaki itu (yakni Khidir) menjawab, "Di manakah ada salam (kesejahteraan) di bumimu ini?" Musa berkata, "Sayalah Musa." Khidir bertanya, "Musa Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Musa berkata lagi, "Saya datang kepadamu untuk menimba ilmu pengetahuan yang telah diajarkan (oleh Allah) kepadamu." Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 67) Hai Musa, sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku, sedangkan kamu tidak mengetahuinya; dan kamu mempunyai ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, sedangkan aku tidak mengetahuinya.
Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati saya sebagai seorang yang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam urusan apapun." (Al-Kahfi: 69) Al-Khidir berkata kepadanya: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70) Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai, dan keduanya menemukan sebuah perahu. Maka keduanya meminta kepada pemilik perahu itu agar mereka berdua diperbolehkan menaiki perahu itu.
Para pemilik perahu telah mengenal Khidir, maka mereka mengangkut keduanya tanpa bayar. Ketika keduanya telah berada di dalam perahu, Musa merasa terkejut karena tiba-tiba Khidir memecahkan sebuah papan perahu itu dengan kapak. Maka Musa berkata kepadanya, "Mereka telah mengangkut kita tanpa bayar sepeser pun, lalu kamu dengan sengaja merusak perahu mereka dengan melubanginya yang bisa membuat para penumpang perahu ini tenggelam. Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan mungkar."
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah telah aku katakan, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku'. Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelalaianku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." (Al-Kahfi: 72-73) Rasulullah ﷺ melanjutkan sabdanya, bahwa pada yang pertama kali ini Musa lupa. Kemudian ada seekor burung pipit hinggap di sisi perahu itu, lalu minum air laut itu dengan paruhnya sekali atau dua kali patukan. Maka Khidir berkata kepada Musa, "Tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah melainkan seperti berkurangnya air laut ini sebanyak yang diminum oleh burung pipit ini."
Keduanya turun dari perahu itu. Ketika keduanya sedang berjalan di pantai, tiba-tiba Khidir melihat seorang anak yang sedang bermain-main dengan sejumlah anak-anak lainnya. Khidir dengan serta merta memegang kepala anak itu dan mencabut kepalanya dengan tangannya, hingga anak itu mati. Musa berkata kepadanya: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu perbuatan mungkar." Khidir berkata, "Bukankah telah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku?" (Al-Kahfi: 74-75) Teguran kali ini lebih keras dari teguran yang pertama, karena pada firman selanjutnya disebutkan: "Musa berkata, ‘Jika aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberiku uzur.’
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta kepada penduduk negeri itu agar dijamu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya menemukan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh." (Al-Kahfi: 76-77) Maksudnya, dinding rumah itu miring. Lalu Khidir mengisyaratkan dengan tangannya: "Maka Khidir menegakkan dinding rumah itu." (Al-Kahfi: 77) Musa berkata, "Mereka adalah suatu kaum yang kita kunjungi, tetapi mereka tidak mau memberi kita makan dan tidak mau pula menjadikan kita sebagai tamu mereka." Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu bisa minta upah untuk itu." Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan kamu, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar terhadapnya." (Al-Kahfi: 77-78) Selanjutnya Rasulullah ﷺ bersabda: "Seandainya saja Musa bersabar, Allah pasti akan menceritakan kisah keduanya kepada kita (dalam versi yang lain)."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat berikut dengan bacaan yang artinya adalah seperti ini: "Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu yang bagus." Lafaz wara'a diganti menjadi amama, dan ditambahkan lafaz salihatin sebagai sifat dari safinah. Dan ayat lain dibacanya dengan bacaan berikut yang artinya: "Adapun anak muda itu dia kafir, sedangkan kedua orang tuanya mukmin." Bacaan Ibnu Abbas ini merupakan tafsir dari kedua ayat tersebut, yakni ayat 79 dan 80.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkan pula melalui Qutaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, lalu disebutkan hal yang mirip. Hanya di dalamnya disebutkan bahwa Musa berangkat dengan ditemani oleh seorang muridnya, yaitu Yusya' bin Nun; keduanya membawa ikan. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, keduanya beristirahat di tempat itu. Musa meletakkan kepalanya di batu itu dan tertidurlah ia.
Sufyan mengatakan di dalam hadits Amr, bahwa di bagian bawah batu besar itu terdapat satu mata air yang disebut 'mata air kehidupan'; tiada sesuatu pun yang terkena airnya melainkan dapat hidup kembali. Maka ikan yang mereka bawa itu terkena percikan air tersebut, sehingga ikan bergerak hidup kembali, lalu meloncat dari wadahnya dan menceburkan diri ke dalam laut.
Ketika Musa terbangun, berkatalah ia kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita." (Al-Kahfi: 62) Kemudian disebutkan pula dalam riwayat ini bahwa seekor burung pipit hinggap di lambung perahu itu, lalu memasukkan paruhnya ke dalam laut, dan Khidir berkata kepada Musa, "Tiadalah ilmuku, ilmumu, dan ilmu semua makhluk dibanding dengan ilmu Allah, melainkan hanyalah sekadar air yang diambil oleh burung pipit ini dengan paruhnya dari laut ini." Selanjutnya disebutkan hadits yang mirip pada kelanjutannya hingga akhir hadits.
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, bahwa Ibnu Juraij telah menceritakan kepada mereka; telah menceritakan kepadaku Ya'la ibnu Muslim dan Amru Bin Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair; salah seorang dari keduanya menambahkan atas yang lainnya, sedangkan selain keduanya mengatakan bahwa ia pernah mendengarnya, menceritakan hadits berikut dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan: Ketika kami sedang berada di rumah Ibnu Abbas, tiba-tiba Ibnu Abbas berkata kepada kami, "Bertanyalah kalian kepadaku." Maka aku berkata, "Hai Ibnu Abbas, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu, di Kuffah terdapat seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan Nauf. Dia menduga bahwa Musa itu bukanlah Musanya Bani Israil, tetapi Musa yang lain. Adapun Amr, ia berkata kepadaku, 'Dustalah si musuh Allah itu (maksudnya Nauf tadi)'."
Lain halnya dengan Ya'la. Ia mengatakan kepadaku, Ibnu Abbas telah bercerita kepadanya bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Musa utusan Allah pada suatu hari memberikan peringatan kepada kaumnya, hingga air mata mereka mengalir dan hati mereka menjadi lunak karenanya. Setelah itu Musa pergi, tetapi ia disusul oleh seorang lelaki yang bertanya kepadanya, 'Hai utusan Allah, apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim daripadamu?' Musa menjawab, 'Tidak ada.' Maka Allah menegur Musa karena dia tidak menisbatkan ilmunya kepada Allah. Musa mengakui kekeliruannya ini, dan ia berkata, 'Wahai Tuhanku, di manakah dia (lelaki yang Engkau maksudkan itu)?' Allah menjawab, 'Di tempat bertemunya dua laut.' Musa berkata, 'Wahai Tuhanku, jadikanlah sebuah tanda untukku agar aku dapat mengetahui tempatnya'." Amr berkata kepadaku bahwa Allah telah berfirman, "Di saat ikan itu pergi meninggalkanmu."
Ya'la berkata kepadaku, menceritakan firman Allah, "Ambillah seekor ikan mati. Maka manakala ikan itu hidup, di situlah tempat orang tersebut." Maka Musa mengambil seekor ikan mati, lalu ia letakkan di dalam sebuah kembu (wadah), dan Musa berkata kepada muridnya, "Saya hanya memberi tugas kepadamu untuk memberitahuku di mana kamu merasa kehilangan ikan ini." Musa berkata lagi, "Saya tidak menugaskan hal yang berat kepadamu." Yang demikian itulah yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: "Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya." (Al-Kahfi: 60) Si murid itu adalah Yusya' bin Nun, tidak disebutkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair.
Ketika mereka sedang beristirahat di bawah naungan sebuah batu besar di suatu tempat yang teduh dan nyaman, tiba-tiba ikan itu bergerak-gerak, sedangkan Musa masih pulas dalam tidurnya. Maka muridnya berkata, "Saya tidak berani membangunkannya." Namun ketika Musa telah bangun si murid lupa memberitahukan kejadian itu. Ikan itu bergerak-gerak hingga masuk ke dalam laut, maka Allah menahan jejak arus air dari ikan itu hingga bekas yang dilaluinya seakan-akan seperti terowongan.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Amr mengatakan demikian kepadanya, bahwa seakan-akan bekas jalan yang dilalui ikan itu membentuk seperti terowongan. Amr mengatakan demikian seraya memperagakannya dengan kedua jari telunjuknya dan kedua jari lainnya membentuk lingkaran. Musa berkata: "Sesungguhnya kita telah merasa lelah karena perjalanan kita ini." (Al-Kahfi: 62) Lalu muridnya berkata keheranan, "Bukankah Allah telah menghapuskan rasa letih darimu?" Kalimat ini tidak terdapat dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair.
Si murid menceritakan tentang kehilangan ikannya, maka keduanya kembali menelusuri jejak mereka semula dan mereka berdua menjumpai Khidir di tempat itu. Menurut riwayat Utsman ibnu Abu Sulaiman, Khidir berada di atas sajadah hijau di atas laut. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Khidir memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya; ujung pakaian bagian bawahnya menutupi kedua kakinya, sedangkan ujung bagian atasnya sampai pada bagian di bawah kepalanya.
Musa mengucapkan salam kepadanya, maka Khidir menyingkap penutup wajahnya dan menjawab, "Apakah di negeri ini terdapat salam (kesejahteraan)? Siapakah kamu?" Musa menjawab, "Musa." Khidir bertanya, "Musa dari Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Khidir bertanya, "Apakah keperluanmu?" Musa menjawab, "Saya datang kepadamu untuk belajar tentang ilmu hakikat yang telah diajarkan Allah kepadamu." Khidir berkata, "Tidakkah kamu merasa cukup bahwa kitab Taurat telah berada di tanganmu dan wahyu selalu datang kepadamu, hai Musa? Sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang tidak layak bagimu mengetahuinya. Dan sesungguhnya engkau memiliki suatu ilmu yang tidak layak bagiku mengetahuinya."
Maka ada seekor burung minum dari air laut dengan paruhnya, lalu Khidir berkata, "Demi Allah, tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, melainkan seperti apa yang diambil oleh burung itu dengan paruhnya dari air laut ini." Maka tatkala keduanya hendak menaiki perahu, keduanya menjumpai perahu-perahu kecil yang biasa mengangkut penduduk suatu pantai ke pantai seberangnya.
Mereka telah mengenal Khidir, maka mereka berkata, "Hamba Allah yang saleh telah datang." Perawi mengatakan, "Maka kami mengatakan kepada Sa'id ibnu Jubair, 'Apakah dia Khidir?' Sa'id menjawab, 'Ya.' Para penduduk pantai itu mengatakan, "Kita bawa beliau tanpa upah." Maka dia melubangi perahu itu dan menambatkannya di pantai tersebut pada suatu pasak. Musa berkata: "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu bisa menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar." (Al-Kahfi: 71) Menurut Mujahid, jawaban Musa adalah jawaban yang mengandung nada protes, yakni mencela perbuatan Khidir
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah telah aku katakan, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku'?" (Al-Kahfi: 72) Protes yang pertama karena lupa, yang kedua pengajuan syarat, dan protes yang ketiga dilakukan dengan sengaja. Musa berkata, "Janganlah kamu menghukumku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku."
"Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya." (Al-Kahfi: 73-74) Ya'la mengatakan, "Sa'id telah mengatakan bahwa Khidir menjumpai sekumpulan anak-anak sedang bermain-main, maka ia menangkap salah seorang dari mereka yang kafir, namun penampilan anak itu tampan. Lalu Khidir membaringkannya dan menyembelihnya dengan pisau. Musa berkata, 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih lagi belum pernah mengerjakan dosa?'." Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan nafsan zakiyyatan muslimatan (mengikuti kepada bentuk mu'annats maushuf-nya), sama halnya disebutkan ghulaman zakiyyan (dengan bentuk muzakkar).
Keduanya melanjutkan perjalanan, dan di suatu tempat keduanya menemukan sebuah dinding yang hendak runtuh. Maka Khidir menegakkan dinding itu hanya dengan tangannya. Didorongnya dinding itu hingga tegak kembali. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu bisa minta upah untuk itu." Ya'la mengatakan bahwa ia menduga Said mengatakan bahwa Khidir hanya mengusapkan tangannya ke tembok (dinding) itu, maka dengan serta merta dinding itu tegak kembali. Lalu Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu bisa minta upah untuk itu." Menurut Said, upah untuk makan mereka berdua.
Lafaz wara-ahum menurut Ibnu Abbas dibaca amamahum malikun, yang artinya ialah karena di hadapan mereka ada seorang raja. Mereka (para perawi) mendapat berita selain dari Sa'id, bahwa nama raja tersebut adalah Hadad ibnu Badad, sedangkan nama anak muda yang dibunuh itu ialah Haisur. Di hadapan mereka ada seorang raja yang suka merampas tiap-tiap perahu. Khidir mengatakan, "Saya sengaja melubanginya agar manakala si raja itu datang, ia membiarkan perahu ini di tempat penambatannya. Apabila raja beserta para pembantunya telah pergi, maka para pemilik perahu ini dapat memperbaikinya dan menggunakannya lagi." Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa lubang itu disumbat dengan botol, dan sebagian lagi mengatakan bahwa lubang itu ditambal dengan ter (aspal) atau dempul.
Sedangkan kedua orang tua dari anak muda itu adalah orang-orang mukmin, tetapi si anak muda itu sendiri kafir. Maka saya (Khidir) merasa khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran karena kecintaan keduanya kepada anaknya itu. Dan saya ingin supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang kesuciannya lebih baik daripada anak itu." Zakatan dalam ayat ini sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih (suci dari dosa)." (Al-Kahfi: 74) Adapun firman Allah ﷻ: "Dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)." (Al-Kahfi: 81) Begitu pula keduanya, lebih sayang kepada anak barunya itu daripada anak yang telah dibunuh oleh Khidir. Selain itu Said menduga bahwa Allah memberinya ganti anak perempuan.
Menurut Daud ibnu Abu Asim, dari sejumlah orang, penggantinya itu adalah anak perempuan. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Musa a.s. berkhotbah di kalangan kaum Bani Israil. Dalam khotbahnya Musa mengatakan, "Tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui Allah dan urusan-Nya selain dari aku." Kemudian Allah memerintahkan kepada Musa agar menemui lelaki ini (Khidir). Kisah selanjutnya sama dengan yang telah disebutkan di atas, hanya ada kelebihan dan kekurangannya; hanya Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Hakam bin Qutaybah, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa dia berada di majlis Ibnu Abbas yang saat itu terdapat beberapa orang dari kalangan kaum ahli kitab. Sebagian dari mereka mengatakan, "Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya si Nauf (anak tiri Ka'b) menduga Ka'b pernah mengatakan bahwa Musa yang menuntut ilmu (dari Khidir) itu adalah Musa bin Misya, bukan Musa Nabi kaum Bani Israil." Sa'id mengatakan dalam kisah selanjutnya, bahwa kemudian Ibnu Abbas bertanya, "Hai Said, apakah benar Nauf telah mengatakan demikian?" Sa'id menjawab, "Ya." Saya mendengar Nauf mengatakan itu." Ibnu Abbas bertanya lagi, "Apakah engkau mendengarnya langsung dari dia, hai Sa'id?" Saya menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Nauf dusta".
Kemudian Ibnu Abbas berkata, ia telah mendengar kisah dari Ubay ibnu Ka'b, dari Rasulullah ﷺ, bahwa Musa Bani Israil bertanya kepada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, jika ada di kalangan hamba-hamba-Mu seseorang yang lebih alim daripada aku, maka tunjukkanlah aku kepadanya." Maka Allah menjawabnya melalui firman-Nya, "Ya, benar di kalangan hamba-hamba-Ku terdapat seseorang yang lebih alim darimu." Kemudian Allah menyebutkan kepada Musa tentang tempat tinggalnya dan memberi izin untuk menjumpainya.
Musa berangkat bersama seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah diasinkan, karena Tuhannya telah berpesan kepadanya, "Apabila ikan yang kamu bawa ini hidup kembali di suatu tempat, maka temanmu itu berada di tempat tersebut, dan kamu bisa mendapatkan apa yang kamu perlukan." Musa berangkat dengan ditemani seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah diasinkan itu. Keduanya terus-menerus berjalan hingga letih dan sampai di sebuah batu besar, yaitu di dekat sebuah mata air yang disebut dengan 'mata air kehidupan'. Barang siapa yang minum darinya, hidupnya kekal; dan tiada suatu bangkai pun yang terkena airnya melainkan dapat hidup kembali.
Ketika keduanya istirahat, dan ikan itu terkena percikan air tersebut, ikan itu menjadi hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut membentuk terowongan. Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Dan setelah keduanya berjalan cukup jauh, Musa berkata kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita itu, sesungguhnya perjalanan ini sangat melelahkan kita." Si murid menjawab dan mengingatkan, "Tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu besar tadi, sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu dan tiadalah yang melupakanku untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Musa kembali ke tempat batu besar itu.
Ketika keduanya sampai di tempat itu, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang lelaki memakai jubah. Lalu Musa mengucapkan salam kepadanya, dan ia menjawab salam Musa. Kemudian laki-laki itu bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang kesini, padahal kamu mempunyai kesibukan di kalangan kaummu?" Musa menjawab, "Aku datang kepadamu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu." Laki-laki itu menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." Laki-laki itu adalah seseorang yang mengetahui perkara yang gaib, seperti yang telah diceritakan sebelumnya.
Musa berkata, "Tidak begitu, saya akan bersabar." Laki-laki itu berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Dan bagaimana kamu sanggup sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (Al-Kahfi: 68) Dengan kata lain, sesungguhnya kamu (hai Musa) hanya mengenal perkara lahiriah dari apa yang kamu lihat menyangkut keadilannya, sedangkan kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu gaib yang telah kuketahui. Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam hal apa pun." (Al-Kahfi: 69) Yakni sekalipun aku melihat hal yang bertentangan dengan pendapatku.
"Jika kamu mau mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatupun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70) Artinya, janganlah kamu menanyakan sesuatu pun kepadaku, sekalipun hal itu bertentangan dengan hati nuranimu. Keduanya (Musa dan laki-laki itu) berangkat dengan berjalan kaki menelusuri pantai dan bertanya-tanya kepada orang-orang yang ada di situ seraya mencari tumpangan yang dapat membawa mereka berdua. Akhirnya lewatlah sebuah perahu baru yang kokoh, tiada suatu perahu pun yang dijumpai keduanya lebih baik, lebih indah, dan lebih kokoh daripada perahu ini.
Laki-laki itu meminta kepada pemilik perahu untuk ikut menumpang, maka pemilik perahu membawa mereka berdua. Setelah keduanya berada di dalam perahu, dan perahu itu meneruskan perjalanannya membelah laut dengan membawa para penumpang yang dimuatnya, tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sebuah pahat dan palu miliknya. Lalu ia menuju ke salah satu bagian dari perahu itu dan memahatnya hingga berlubang. Kemudian ia mengambil sebuah papan dan menutupi bagian yang berlubang itu, lalu ia duduk di atasnya untuk menutupinya (agar jangan kemasukan air).
Musa berkata kepadanya setelah melihatnya melakukan suatu perbuatan yang membahayakan itu: "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu bisa menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar." Dia (Khidir) berkata, "Bukankah sudah aku katakan bahwa sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku?" Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." (Al-Kahfi: 71-73) Maksudnya, janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku terhadap apa yang telah aku janjikan kepadamu.
Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan setelah keluar dari perahu itu, hingga sampailah keduanya di suatu kampung; mereka melihat sejumlah anak-anak sedang bermain-main di bagian belakang kampung itu. Diantara anak-anak itu terdapat seorang anak yang penampilannya sangat tampan lagi mewah dibandingkan dengan teman-temannya, dan anak itu kelihatan cerah sekali. Maka laki-laki itu menangkap anak tersebut dan mengambil sebuah batu, lalu batu itu dipukulkan ke kepala si anak hingga pecah. Ternyata laki-laki itu membunuh anak tersebut.
Melihat pemandangan yang mengerikan itu Musa tidak sabar lagi, karena seorang anak yang masih kecil lagi tidak berdosa dibunuh dengan darah dingin. Musa bertanya: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih." (Al-Kahfi: 74) Yakni anak yang masih kecil. "Bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu perbuatan mungkar." Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sanggup sabar bersamaku? " Musa berkata, "Jika aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberiku uzur." (Al-Kahfi: 74-76) Yaitu keadaanku kalau bertanya lagi tidak dapat dimaafkan.
"Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta kepada penduduk negeri itu agar dijamu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya menemukan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh." (Al-Kahfi: 77) Lalu Khidir merobohkan dinding itu dan membangunnya kembali, sedangkan Musa gelisah melihat apa yang dilakukan oleh temannya ini yang memaksakan diri untuk kerja bakti.
Musa tidak sabar lagi, lalu memprotesnya: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu bisa minta upah untuk itu." (Al-Kahfi: 77) Dengan kata lain, Musa mengatakan, "Kita telah meminta mereka supaya memberi kita makan, tetapi mereka tidak memberi; dan kita telah meminta kepada mereka supaya menjamu kita sebagai tamu, tetapi mereka menolak. Kemudian kamu bekerja tanpa imbalan jasa. Jikalau kamu mau, niscaya kamu bisa mendapat upah dari kerjamu ini dengan memintanya."
Khidir berkata: "Inilah saat perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan menjelaskan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusak perahu itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu." (Al-Kahfi: 78-79) Menurut Qiraat Ubay ibnu Ka'b disebutkan safinatin salihatin (dengan memakai sifat, yang artinya perahu yang baik). Dan sesungguhnya aku (Khidir) melubanginya agar si raja itu tidak mau mengambil perahu itu. Dan ternyata perahu itu selamat dari rampasan si raja, karena si raja melihat bahwa perahu itu bercacat.
"Dan adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami ingin supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang kesuciannya lebih baik daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh; maka Tuhanmu menghendaki agar saat mereka dewasa mereka dapat mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan aku tidak melakukannya menuruti kemauanku sendiri." (Al-Kahfi: 80-82) Artinya, semuanya itu kulakukan bukan atas kehendak diriku sendiri. "Demikianlah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Al-Kahfi: 82) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang disimpan itu tiada lain adalah dalam bentuk ilmu.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah Musa dan kaumnya berhasil menguasai negeri Mesir, maka Musa menempatkan kaumnya di negeri Mesir. Dan setelah mereka menetap di Mesir, Allah menurunkan wahyu (kepada Musa), "Ingatkanlah mereka pada hari-hari Allah." Maka Musa berkhotbah kepada kaumnya dan menyebutkan kepada mereka kebaikan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka.
Musa juga mengingatkan mereka akan hari yang pada hari itu Allah menyelamatkan mereka dari Fir'aun dan para pembantunya. Musa mengingatkan pula akan kebinasaan musuh mereka dan Allah menjadikan mereka sebagai penguasa di bumi. Musa berkata, "Allah telah berbicara secara langsung dengan Nabi kalian, dan memilihku sebagai kekasih-Nya dan dijadikan-Nya diriku mencintai-Nya, serta Dia mengabulkan semua permintaan kalian. Nabi kalian adalah orang yang paling utama di bumi ini. Dan kalian dapat membaca kitab Taurat, maka tiada suatu nikmat pun yang telah diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya melainkan kitab Taurat menyebutkannya kepada kalian."
Seorang lelaki dari kalangan Bani Israil berkata, "Hai Nabi Allah, memang kami telah mengetahui apa yang kamu katakan itu, tetapi apakah di muka bumi ini ada seseorang yang lebih alim daripada engkau?" Musa menjawab, "Tidak ada." Allah mengutus Malaikat Jibril kepada Musa a.s. untuk menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman, "Tahukah kamu, di mana Aku meletakkan ilmu-Ku? Tidaklah seperti yang kamu duga, sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pantai laut, dia lebih alim darimu." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hamba yang dimaksud adalah Khidir. Lalu Musa meminta kepada Tuhannya agar sudilah Dia mengenalkan lelaki itu kepadanya.
Allah menurunkan wahyu kepadanya (seraya berfirman), "Datanglah ke laut, karena sesungguhnya kamu akan menjumpai di tepi pantai seekor ikan. Ambillah ikan itu dan serahkanlah kepada muridmu (untuk membawanya), kemudian tetaplah kamu berjalan di pantai itu. Apabila kamu lupa akan ikan itu dan ikan itu lenyap darimu, maka hamba saleh yang kamu cari itu ada di tempat tersebut." Setelah Musa berjalan cukup lama hingga ia merasa letih, maka ia meminta kepada muridnya bekal makanan yang dibawanya, yakni ikan itu.
Maka muridnya berkata kepadanya: "Tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tiadalah yang membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan." (Al-Kahfi: 63) Yakni untuk menceritakannya kepadamu. Ia berkata, "Sesungguhnya aku melihat ikan itu membentuk terowongan pada saat ia mengambil jalannya di laut. Sungguh sangat menakjubkan." Musa kembali ke tempat batu besar itu dan menjumpai ikan itu sedang melompat-lompat di laut.
Maka Musa mengikutinya dan menjadikan tongkatnya berada di depannya untuk menguakkan air laut guna mengikuti ikan. Sedangkan ikan itu tidak sekali-kali menyentuh air laut melainkan airnya menjadi kering dan keras seperti batu. Musa a.s. merasa kagum melihat pemandangan itu, hingga ikan itu sampai ke sebuah pulau di laut, sedangkan Musa mengikutinya. Di pulau itu Musa bertemu dengan Khidir dan mengucapkan salam kepadanya.
Khidir menjawab, "Wa'alaikas salam, dimanakah ada kesejahteraan di bumi ini, dan siapakah kamu?" Musa menjawab, "Saya Musa." Khidir bertanya, "Musa Nabi Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Khidir menyambutnya dengan sambutan yang hangat, lalu bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang kesini?" Musa menjawab: "Supaya kamu bisa mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu. Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 66-67) Khidir menjawab, "Kamu tidak akan kuat menguasai ilmu itu." "Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apapun." (Al-Kahfi: 69) Maka Khidir membawa Musa pergi, lalu berkata kepadanya, "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu pun yang kulakukan sebelum kujelaskan kepadamu duduk perkara yang sebenarnya." Demikianlah firman Allah ﷻ: "Sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu." (Al-Kahfi: 70)
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah berdebat dengan Al-Hurr ibnu Qais ibnu Hisn Al-Fazzari tentang teman Musa ini. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia adalah Khidir. Saat itu lewatlah Ubay ibnu Ka'b. Maka Ibnu Abbas memanggilnya dan menceritakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dan temanku ini berdebat tentang teman Musa yang mendorong Musa meminta kepada Tuhan agar dipertemukan dengannya. Apakah kamu pernah mendengar Rasulullah ﷺ menceritakan tentang ini?" Ubay ibnu Ka'b menjawab, sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ketika Musa sedang berada di tengah-tengah para pemuka kaum Bani Israil, tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki yang bertanya, "Tahukah kamu tempat seorang lelaki yang lebih alim darimu?" Musa menjawab, "Tidak tahu." Allah mewahyukan kepada Musa, "Memang benar, dia adalah hamba-Ku bernama Khidir." Maka Musa meminta kepada Tuhannya agar menunjukkan jalan untuk bertemu dengannya.
Allah menjadikan seekor ikan sebagai pertanda, seraya berfirman kepada Musa, "Jika kamu merasa kehilangan ikan ini, kembalilah ke tempatnya, maka sesungguhnya kamu akan menjumpainya di tempat itu." Musa mengikuti jalan ikan itu di laut. Murid Musa berkata kepada Musa, "Tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu di tempat tersebut." Musa berkata seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula." (Al-Kahfi: 64) Keduanya menjumpai hamba Allah, yaitu Khidir. Mengenai perihal keduanya adalah sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah ﷻ di dalam kitab (Al-Qur'an)-Nya.
Maka ketika mereka, yakni Nabi Musa dan pembantunya sampai ke
suatu tempat yang merupakan pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, yaitu bekal yang mereka bawa dalam perjalanan. Ketika keduanya
lupa akan bekal yang mereka bawa, lalu ikan itu tiba-tiba hidup kemudian melompat dan mengambil jalannya ke laut itu menceburkan diri dan
hilang tak dapat ditemukan lagi. Sungguh menakjubkan peristiwa itu. Persitiwa tersebut merupakan pertanda yang telah diketahui sebelumnya oleh Nabi Musa bahwa apa yang dituju telah dekat dan yang dicari
hampir ditemukan. Nabi Musa dan pembantunya meneruskan perjalanan, maka ketika
mereka telah melewati tempat hilangnya ikan itu dan keduanya hendak
beristirahat sambil menyantap bekal yang mereka bawa, Nabi Musa berkata kepada pembantunya, Bawalah kemari makanan (ikan) kita, sungguh
kita telah merasa letih karena perjalanan kita yang jauh pada hari ini.
Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti, tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab, Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, sebagaimana sabda Rasul ﷺ ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa itu :
Ya Tuhanku, bagaimana saya dapat menemukannya? Allah berfirman, "Bawalah seekor ikan dan masukkan pada sebuah kampil, manakala ikan itu hilang, di situlah tempatnya." (Riwayat al-Bukhari dari Ubay bin Ka'ab)
Di atas sebuah batu besar di tempat itu, Nabi Musa dan muridnya merasa mengantuk dan lelah. Keduanya pun tertidur dan lupa pada ikannya. Ketika itu, ikan yang ada dalam kampil tersebut hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu keluar dan meluncur menuju laut. Padahal kampil waktu itu ada di tangan Yusya. Kejadian ini, yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s..
Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusya pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NABI MUSA PERGI BERGURU (I)
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari diterima dari Said bin Jubair, dia menerima dari Ibnu Abbas dengan sanadnya, bahwa pada suatu hari berpidatolah Nabi Musa, lalu beliau ditanya, “Siapakah manusia yang paling pandai?" Beliau jawab, “Aku."
Perkataan beliau yang agak telanjur itu, kalau bagi manusia biasa, adalah satu kekhilafan, namun bagi seorang rasul adalah satu hal yang sudah pasti akan mendapat teguran dari Allah. Lalu Allah berfirman kepadanya bahwa bukanlah dia yang paling pandai di zaman itu. Ada lagi orang yang lebih pandai lebih alim dari dia. Orang itu berdiam di satu tempat di pertemuan di antara dua lautan, “Pergilah engkau menemui dia!" Lalu Nabi Musa bertanya kepada Allah, “Ya Tuhanku, bagaimana caranya aku dapat menemui orang itu?" Maka Allah menitahkan kepada beliau supaya berangkat ke tempat pertemuan dua laut itu dan bawalah makanan karena per-jalanan jauh. Di antara makanan itu hendaklah dibawa juga ikan. Letakkan makanan itu dalam satu jinjingan yang mudah dibawa.
Maka dilaksanakanlah oleh Nabi Musa perintah Allah mencari guru itu. Dia berjalan meninggalkan kampung diiringkan oleh seorang anak muda yang selalu menjadi pengawal atau pengiringnya ke mana dia pergi. Menurut satu riwayat Bukhari dari Sufyan bin Uyaynah pemuda itu ialah pengiring Musa yang terkenal, muridnya yang kelak kemudian akan meneruskan tugas beliau, yaitu Yusya bin Nun.
Ayat 60
“Dan (ingatlah) tatkala Musa berkata kepada orang mudanya, “Aku tidak akan berhenti sehingga aku sampai di batas pertemuan dua laut itu."
Nabi kita Muhammad ﷺ disuruh mengingat dan memerhatikan kisah itu, bahwa Nabi Musa berjalan kaki dengan orang mudanya. Dalam bahasa Arab yang tertulis dalam ayat ditulis fataahu. Arti fataa ialah orang muda, anak muda, atau cara ringkas sekarang, pemuda. Dalam bahasa Melayu yang asli anak muda itu disebut bujang. Yaitu orang yang belum kawin.
Yang dimaksud dengan menyebutkannya anak mudanya itu ialah pembantunya, penga-walnya, ajudannya, atau kaki tangannya. Kadang-kadang dalam bahasa Arab ada kata lain yang dipakai buat itu, yaitu khadam. Tetapi di dalam ayat ini telah diberikan contoh kesopanan Islam. Yaitu agar orang muda pembantu itu jangan disebut khadam atau pembantu rumah tangga atau khadam. Sebut-kanlah dia fataa, orang muda.
Di dalam sebuah hadits yang shahih Anas bin Malik yang pernah menjadi khadam Rasulullah ﷺ delapan tahun lamanya mengatakan bahwa selama beliau menjadi pembantu Rasulullah ﷺ tidak pernah sekali juga beliau menyebutnya dengan kata yang kasar, melainkan disebutnya terhadap sekalian pembantu di rumah tangganya dengan fataa kepada yang laki dan fatat kepada yang perempuan.
Ini pun tampaknya ditiru oleh orang Belanda tatkala mereka berkuasa di Indonesia ketika memanggil pembantu rumah tangga mereka. Mereka sebut jongens, yang juga berarti anak muda. Tetapi kemudian berubah menjadi jongos, yang dari penghormatan telah bertukar menjadi penghinaan dan perendahan martabat.
Yusya bin Nun adalah orang muda Nabi Musa yang beliau didik sejak kecil mendampingi beliau dan mendampingi Nabi Harun. Kemudian setelah Nabi Harun dan Nabi Musa wafat, dengan sendirinya Yusya bin Nunlah yang tampil ke muka melanjutkan tugas kedua beliau dan dia pun diangkat Allah menjadi nabi dan rasul, pelanjut syari'at Musa.
Maka setelah lama berjalan belum juga sampai kepada yang dituju, tempat pertemuan dua lautan berkatalah Musa kepada orang mudanya itu bahwa perjalanan ini akan beliau teruskan, terus berjalan, dan baru dia akan berhenti apabila telah sampai di atas pertemuan dua laut itu.
“Atau aku benjolan bertanat-tanat."
Artinya, beliau akan terus berjalan, dan berjalan terus sampai bertemu tempat yang dituju. Kalau belum juga bertemu, beliau masih bersedia melanjutkan perjalanan, mencari guru itu, walaupun larat!
Huqubaa, kita artikan berlarat-larat.
Ibnu Jarir menerangkan di dalam tafsirnya bahwa menurut keterangan yang beliau dapat dari orang-orang yang ahli mendalam tentang bahasa Arab, huqubaa. artinya ialah setahun. Jadi menurut arti ini, walaupun setahun perjalanan, namun beliau akan terus mencari.
Akan tetapi, satu riwayat dari Abdullah bin ‘Amer, huqubaa ialah 80 tahun! Mujahid mengatakan 70 tahun. Itu sebabnya kita ambil maksud artinya saja, saya teruskan perjalanan ini, saya belum akan menghentikan perjalanan sebelum sampai di tempat yang dituju, walaupun akan berlarat-larat.
Ayat 61
“Maka tatkala keduanya telah sampai di pertemuan dua taut itu, keduanya pun lupakan mereka"
Tersebutlah dalam beberapa tafsir bahwa sesampai di dekat pertemuan dua laut itu me-reka pun menghentikan perjalanan, dan Musa pun tertidur karena sangat lelah. Ikan ada dalam jinjingan yang dibawa oleh Yusya. Dan dia pun merasa penat dan berlepas lelah pula. Tiba-tiba dengan tidak disangka-sangka ikan yang dalam jinjingan itu; ikan asin kata satu tafsir. Ikan panggang kata tafsir yang lain, melompat dari dalam jinjingan. Dia hidup kembali.
“Maka ikan itu pun mengambil jalannya menembus ke laut."
Menurut riwayat dari Qatadah, pertemuan di antara dua laut itu ialah Lautan Persia di sebelah Timur dan Lautan Rum di sebelah Barat. Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi mengatakan bahwa pertemuan dua lautan ialah di Thanjah (Tangger). Tetapi yang lebih dekat kepada paham kita dan yang lebih besar kemungkinannya ialah pertemuan Laut Rum dengan Laut Qulzum, tegasnya pertemuan Lautan Putih dengan Lautan Merah. Pertemuan keduanya ialah di Lautan Murrah dan Lautan Timsah (Buaya). Dan lebih dekat lagi ialah pertemuan di antara dua Teluk Suez dan Teluk Akabah di Lautan Merah. Sebab di pertemuan kedua teluk inilah peredaran sejarah Bani Israil sesudah mereka keluar dari Mesir. Di sini juga kawasan yang disebut Dataran Sinai. Ini dikuatkan oleh Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur'an-nya.
Lelah telah lepas dan mereka hendak melanjutkan perjalanan kembali. Tetapi perut sudah terasa lapar.
Ayat 62
“Maka setelah keduanya melampauinya."
Yaitu melampaui tempat berhenti karena lelah itu, “Berkatalah dia kepada orang muda-nya, “Bawalah kepada kita makanan tengah hari kita."
Aatina ghadaana! Alangkah indah susun kata bahasa Arab ini dan dalam pula artinya. Bawalah kepada kita, bukan bawalah kepadaku. Karena kita akan makan berdua.
“Sesungguhnya kita telah bertemu dalam penjalanan ini suatu kepenatan."
Penat, payah dan lelah, apatah lagi telah lapar pula. Makan kita dahulu!
“Dia menjawab, “Yusya bin Nun menjawab permintaan Musa,
Ayat 63
“Tidakkah engkau perhatikan tatkala kita berhenti di batu besar itu."
Ketika itu kita berhenti berlepas lelah."Maka aku telah lupa ikan kita." Lupa aku me-ngatakan kepada tuan apa yang terjadi."Dan tidak ada yang melupakan daku mengingatnya melainkan setan jua."
Aku telah khilaf, aku telah lupa, setan telah menyebabkan daku lupa! Kata-kata begini menurut susunan bahasa adalah berarti mengakui bertanggung jawab!
“Lalu dia mengambil jalannya ke laut dengan ajaib."
Ikan asin yang telah mati, atau ikan panggang, meluncur dari dalam jinjingan, merayap ke atas tanah lalu dengan cepat sekali meluncur ke dalam laut; suatu pemandangan yang sangat ajaib.
Ayat 64
Dijelaskan di ujung ayat bahwa meluncurnya ikan asin itu ke dalam laut adalah ‘ajabaan; suatu yang ajaib. Mahakuasa Allah! “Dia berkata, “Itulah dia yang kita kehendaki."
“Dengan melalui jejak waktu datangnya."