Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّٰٓـِٔي
dan wanita-wanita
يَئِسۡنَ
mereka berputus asa
مِنَ
dari
ٱلۡمَحِيضِ
haid
مِن
dari
نِّسَآئِكُمۡ
isteri-isterimu
إِنِ
jika
ٱرۡتَبۡتُمۡ
kamu ragu-ragu
فَعِدَّتُهُنَّ
maka iddah mereka
ثَلَٰثَةُ
tiga
أَشۡهُرٖ
bulan
وَٱلَّٰٓـِٔي
dan wanita-wanita
لَمۡ
tidak
يَحِضۡنَۚ
mereka haid
وَأُوْلَٰتُ
dan wanita yang mempunyai
ٱلۡأَحۡمَالِ
mengandung/hamil
أَجَلُهُنَّ
waktu mereka
أَن
bahwa
يَضَعۡنَ
mereka melahirkan
حَمۡلَهُنَّۚ
kandungan mereka
وَمَن
dan barang siapa
يَتَّقِ
bertakwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia akan menjadikan
لَّهُۥ
baginya
مِنۡ
dari
أَمۡرِهِۦ
urusannya
يُسۡرٗا
mudah
وَٱلَّٰٓـِٔي
dan wanita-wanita
يَئِسۡنَ
mereka berputus asa
مِنَ
dari
ٱلۡمَحِيضِ
haid
مِن
dari
نِّسَآئِكُمۡ
isteri-isterimu
إِنِ
jika
ٱرۡتَبۡتُمۡ
kamu ragu-ragu
فَعِدَّتُهُنَّ
maka iddah mereka
ثَلَٰثَةُ
tiga
أَشۡهُرٖ
bulan
وَٱلَّٰٓـِٔي
dan wanita-wanita
لَمۡ
tidak
يَحِضۡنَۚ
mereka haid
وَأُوْلَٰتُ
dan wanita yang mempunyai
ٱلۡأَحۡمَالِ
mengandung/hamil
أَجَلُهُنَّ
waktu mereka
أَن
bahwa
يَضَعۡنَ
mereka melahirkan
حَمۡلَهُنَّۚ
kandungan mereka
وَمَن
dan barang siapa
يَتَّقِ
bertakwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia akan menjadikan
لَّهُۥ
baginya
مِنۡ
dari
أَمۡرِهِۦ
urusannya
يُسۡرٗا
mudah
Terjemahan
Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.
Tafsir
(Dan perempuan-perempuan) dibaca wallaa'iy dan wallaa'i, dengan memakai hamzah dan ya atau tanpa memakai ya, demikian pula lafal yang sama sesudahnya (yang putus asa dari haid) lafal al-mahidh di sini bermakna haid (di antara perempuan-perempuan kalian jika kalian ragu-ragu) tentang masa idahnya (maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid) karena mengingat mereka masih di bawah umur, maka idah mereka tiga bulan pula. Kedua kasus ini menyangkut wanita-wanita atau istri-istri yang tidak ditinggal mati oleh suaminya. Adapun istri-istri yang ditinggal mati oleh suaminya, idah mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini, yaitu, "Hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari." (Q.S. Al-Baqarah 234) (Dan perempuan-perempuan yang hamil masa idahnya) baik mereka itu karena ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya, maka batas masa idah mereka ialah (sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya) baik di dunia maupun di akhirat.
Tafsir Surat Ath-Thalaq: 4-5
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu; dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan tentang idah bagi perempuan yang tidak haid lagi karena faktor usia yang telah lanjut, bahwa idah wanita yang demikian adalah tiga bulan sebagai ganti dari tiga quru yang ditetapkan atas perempuan yang berhaid, sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh surat Al-Baqarah yang menerangkannya. Demikian pula perempuan-perempuan yang belum mencapai usia balig, idah mereka sama dengan idah wanita-wanita yang tidak haid lagi, yaitu tiga bulan. Untuk itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi. (Ath-Thalaq: 4) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya). (Ath-Thalaq: 4) Ada dua pendapat sehubungan dengan makna ayat ini.
Pendapat pertama dikatakan oleh sejumlah ulama Salaf, seperti Mujahid, Az-Zuhri, dan Ibnu Zaid, bahwa makna yang dimaksud ialah jika perempuan-perempuan itu melihat adanya darah, lalu kalian merasa ragu apakah darah itu adalah darah haid ataukah darah istihadah (penyakit keputihan), sedangkan kalian bimbang memutuskannya. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa jika kamu merasa ragu mengenai hukum idah mereka dan kamu tidak mengetahuinya, maka idahnya adalah tiga bulan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini lebih jelas pengertiannya dan Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya ini dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Kuraib dan Abus Sa'id, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Mutarrif, dari Amr ibnu Salim yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ , "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada beberapa macam wanita yang tidak disebutkan idahnya di dalam Kitabullah, yaitu perempuan yang belum balig, perempuan yang telah lanjut usia, dan perempuan yang sedang hamil.
Amr ibnu Salim melanjutkan, bahwa lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka idah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan hadits ini dengan konteks yang lebih rinci daripada hadits di atas. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Jarir, dari Mutarrif, dari Umar ibnu Salim, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ bahwa sesungguhnya sejumlah orang dari penduduk Madinah ketika diturunkan surat Al-Baqarah yang menceritakan hukum idah kaum wanita, mereka mengatakan, "Sesungguhnya masih ada beberapa macam wanita yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, yaitu perempuan yang masih kecil, perempuan yang telah lanjut usia, dan perempuan yang tidak berhaid lagi, serta perempuan yang sedang hamil." Ubay ibnu Ka'b melanjutkan, bahwa lalu diturunkanlah ayat mengenai sejumlah wanita yang tidak disebutkan itu, yaitu firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya), maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (Ath-Thalaq: 4) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa wanita yang hamil itu masa idahnya ialah sampai melahirkan kandungannya, sekalipun bersalinnya itu terjadi sesudah talak dijatuhkan atau sesudah ditinggal mati suaminya dalam jarak tenggang waktu yang tidak lama.
Ini menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf, sebagaimana yang di-nas-kan oleh ayat yang mulia ini dan juga sebagaimana yang dijelaskan oleh sunnah nabawiyah. Tetapi telah diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas, bahwa keduanya berpendapat sehubungan dengan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, bahwa ia menjalani idahnya berdasarkan salah satu dari dua masa yang lebih lama (panjang) antara melahirkan kandungannya atau berdasarkan perhitungan bulan, karena berdasarkan ayat ini dan ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Yahya yang menceritakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwa pernah seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas yang saat itu Abu Hurairah sedang duduk di tempat yang sama. Maka lelaki itu bertanya, "Berikanlah fatwa kepadaku tentang seorang wanita yang melahirkan bayinya sesudah ditinggal mati suaminya dalam tenggang waktu empat puluh hari." Ibnu Abbas menjawab, "Wanita itu menjalani idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa (jarak melahirkan atau perhitungan bulan yaitu empat bulan sepuluh hari, mana yang paling lama di antara keduanya)." Maka Abu Salamah mengatakan, "Menurutku masa idahnya adalah seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Danperempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah stimpai mereka melahirkan kandungannya' (Ath-Thalaq: 4) Maka Abu Hurairah memotong, "Aku sependapat dengan anak saudaraku," yakni sependapat dengan Abu Salamah.
Lalu Ibnu Abbas mengirimkan pelayannya (si Karib) kepada Ummu Salamah untuk menanyakan masalah ini kepadanya. Maka Ummu Salamah menjawab, "Subai'ah Al-Aslami ditinggal mati oleh suaminya yang terbunuh, sedangkan ia dalam keadaan hamil. Dan selang empat puluh hari sesudah kematian suaminya itu Subai'ah melahirkan kandungannya. Lalu ia dilamar, maka Rasulullah ﷺ mengawinkannya dengan lelaki lain; di antara mereka yang melamarnya adalah Abus Sanabil." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini secara ringkas.
Tetapi Imam Muslim dan para pemilik kitab hadits lainnya telah meriwayatkannya dengan panjang lebar melalui berbagai jalur lainnya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Usamah, telah menceritakan kepadaku Hisyam, dari ayahnya, dari Al-Miwar ibnu Makhramah, bahwa Subai'ah Al-Aslamiyah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan mengandung. Tidak berapa lamayakni selang beberapa hari kemudian ia melahirkan kandungannya, kemudian setelah bersih dari nifasnya ia dilamar.
Maka ia meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk menikah. Beliau ﷺ mengizinkannya, lalu ia menikah. Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan hadits ini di dalam kitab sahihnya, juga Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Subai'ah Al-Aslamiyah. Seperti yang dikatakan oleh Muslim ibnul Hajjaj, bahwa telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa ayahnya pernah berkirim surat kepada Umar ibnu Abdullah ibnul Arqam Az-Zuhri yang memerintahkan kepadanya agar menemui Subai'ah bintil Haris Al-Aslamiyyah dan menanyakan kepadanya mengenai hadits yang dialaminya dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ kepadanya saat ia meminta fatwa kepadanya.
Maka Umar ibnu Abdullah membalas suratnya yang isinya memberitakan bahwa Subai'ah telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu ia menjadi istri Sa'd ibnu Khaulah, dia adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar, Lalu Sa'd meninggal dunia di masa haji wada', sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Tidak lama kemudian sepeninggal suaminya, ia melahirkan kandungannya. Setelah habis masa nifasnya, ia merias dirinya dan siap untuk dipinang, lalu Abus Sanabil ibnu Ba'kak masuk menemuinya dan bertanya kepadanya, "Kulihat engkau sekarang telah merias dirimu, rupanya engkau ingin menikah lagi.
Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak boleh menikah sebelum menjalani masa idahmu, yaitu empat bulan sepuluh hari." Subai'ah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia mendengar perkataan Abus Sanabil itu, maka pada petang harinya ia mengemasi pakaiannya dan datang mertghadap kepada Rasulullah ﷺ , lalu menanyakan kepadanya tentang hal tersebut. Maka Rasulullah ﷺ memberikan fatwa kepadanya bahwa dia telah halal sejak melahirkan kandungannya, dan menganjurkan kepadanya untuk kawin jika ia menghendakinya. Demikianlah menurut lafal yang ada pada Imam Muslim.
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya secara ringkas. Kemudian Imam Al-Bukhari sesudah meriwayatkan hadits yang pertama mengetengahkan hadits ini pada tafsir ayat ini. Abu Sulaiman ibnu Harb dan Abun Nu'man mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan, bahwa aku berada di dalam suatu halqah (pengajian) yang di dalamnya terdapat Abdur Rahman ibnu Abu Laila; murid-muridnya sangat menghormatinya, lalu ia menyinggung tentang salah satu di antara dua masa idah yang paling terakhir.
Maka aku utarakan hadits Subai'ah bintil Haris, dari Abdullah ibnu Atabah, dan ternyata salah seorang muridnya merasa tidak senang terhadapku. Maka aku tanggap terhadap situasi itu, lalu aku berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku benar-benar berani bila melakukan kedustaan terhadap Abdullah, karena dia berada jauh di kota Kufah." Akhirnya muridnya itu malu, dan berkata, "Tetapi pamannya tidak mengatakan demikian," kilahnya.
Lalu aku menemui Abu Atiyyah alias Malik ibnu Amir, dan kutanyakan kepadanya masalah tersebut, maka ia menceritakan kepadaku hadits Subai'ah. Dan aku bertanya, "Apakah engkau pernah mendengar dari Abdullah sesuatu hadits mengenai Subai'ah?" Lalu Malik ibnu Amir menjawab, bahwa ketika kami berada di rumah Abdullah, lalu ia berkata, "Apakah kalian menjadikan baginya sanksi yang memberatkan dan tidak menjadikannya baginya sanksi yang ringan? Bukankah telah diturunkan masa idah yang pendek bagi wanita sesudah diturunkan masa idah yang panjang?" Yaitu firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Ibnu Jarir telah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Ismail ibnu Aliyyah, dari Ayyub dengan sanad yang sama, tetapi lebih singkat.
Imam An-Nasai meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya, dari Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid ibnul Haris, dari Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, lalu disebutkan hal yang semisal. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Ibnu Syubramah Al-Kufi, dari Ibrahim, dari Alqamah ibnu Qais, bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan bahwa ia berani bersumpah dengan siapa pun bahwa ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) tidak diturunkan kecuali sesudah ayat yang menerangkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
Ibnu Mas'ud melanjutkan bahwa apabila wanita yang hamil dan telah ditinggal mati oleh suaminya itu telah bersalin, maka ia telah halal untuk melakukan pernikahan. Yang dimaksud dengan ayat yang menerangkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui hadits Sa'id ibnu Abu Maryam dengan sanad yang sama.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mani', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa pernah diceritakan di hadapan Ibnu Mas'ud tentang salah satu dari masa idah yang terakhir, maka Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa ia berani bersumpah dengan siapa pun atas nama Allah, bahwa sesungguhnya surat Ath-Thalaq ini diturunkan sesudah ayat wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang idahnya empat bulan sepuluh hari.
Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa selesainya masa idah wanita yang hamil ialah bila ia telah bersalin. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Abud Duha, dari Masruq yang menceritakan bahwa telah sampai kepada Ibnu Mas'ud bahwa Ali mengatakan salah satu dari dua masa idah yang terakhir. Maka Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dia berani bersumpah demi kebenaran terhadap siapa pun, bahwa sesungguhnya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) diturunkan sesudah surat Al-Baqarah ayat 234.
Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Mu'awiyah, dari Al-A'masy. Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa ia bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai makna firman-Nya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Apakah yang dimaksud adalah wanita yang diceraikan tiga kali, ataukah wanita yang ditinggal mati suaminya? Maka Nabi ﷺ menjawab, bahwa keduanya termasuk ke dalam pengertian ayat ini, yakni wanita yang diceraikan tiga kali dan juga yang ditinggal mati oleh suaminya.
Hadits ini gharib sekali, bahkan munkar, karena di dalam sanadnya terdapat Al-Musanna ibnus Sabah yang hadisnya sama sekali tidak terpakai. Tetapi Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui sanad lain, untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Daud As-Samani, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Khalid Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa ketika ayat ini diturunkan Ubay ibnu Ka'b berkata kepada Rasulullah ﷺ , "Aku tidak mengetahui apakah makna ayat ini musytarakah (persekutuan) ataukah mubhamah (misteri)." Rasulullah ﷺ bertanya, "Ayat yang mana?" Ubay ibnu Ka'b menjawab: waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Apakah yang dimaksud adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita yang ditalak habis-habisan (tiga kali)?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Ya, seperti itu." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Musa ibnu Daud, dari Ibnu Lahi'ah dengan sanad yang sama.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Abu Kuraib, dari Malik ibnu Ismail, dari Ibnu Uyaynah, dari Abdul Karim ibnu Abul Makhariq, bahwa ia pernah menceritakan hadits berikut dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq: 4) Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Batas terakhir idah wanita yang hamil ialah bila ia melahirkan kandungannya. Abdul Karim orangnya dha’if dan tidak menjumpai masa Ubay. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Ath-Thalaq: 4) Yakni memudahkan urusannya dan mengadakan baginya penyelesaian dan jalan keluar yang dekat (tidak lama).
Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya: Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepadamu. (Ath-Thalaq: 5) Yaitu hukum dan syariat-Nya, Dia telah menurunkannya kepadamu melalui Rasulullah ﷺ dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya. (Ath-Thalaq: 5) Maksudnya, menghapuskan darinya semua kesalahannya dan melimpahkan pahala kepadanya, walaupun yang diamalkannya mudah dan sedikit."
Dan adapun perempuan-perempuan yang tidak haid lagi, yaitu perempuan yang sudah menopause di antara istri-istri kamu jika kamu menjatuhkan talak kepadanya, maka masa idahnya jika kamu ragu-ragu adalah tiga bulan. Dan demikian pula masa idah bagi perempuan-perempuan yang tidak pernah haid sepanjang hidupnya juga tiga bulan. Sedangkan perempuan-perempuan hamil yang dijatuhi talak, maka waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Seusai melahirkan, maka masa idahnya berakhir. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah dengan ketakwaan yang sesungguhnya dalam segala urusan, niscaya Dia akan menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya karena ketakwaannya. 5. Itulah aturan Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu agar dilaksanakan dengan baik dan benar; barang siapa bertakwa kepada Allah dengan mantap, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya sebagai penghargaan atas kepatuhannya; dan Allah akan melipatgandakan pahala baginya atas usahanya yang sungguh-sungguh.
Ayat ini menjelaskan bahwa idah perempuan-perempuan yang ya'is (tidak haid lagi), adalah tiga bulan. Begitu juga perempuan muda yang belum pernah haid. Adapun bagi perempuan-perempuan yang hamil, maka idahnya sampai melahirkan kandungannya. Begitu juga perempuan-perempuan hamil yang meninggal suaminya, idahnya sampai melahirkan kandungannya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, Imam Syafi'i, Abdur Razaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Mundhir dari Ibnu 'Umar. Ketika ditanya tentang perempuan hamil yang meninggal suaminya, Ibnu 'Umar menjawab, "Apabila perempuan itu melahirkan kandungannya, maka ia menjadi halal (untuk dinikahi)." Mengenai hal ini ada ulama yang berpendapat yang didasarkan pada masa terlama dari dua waktu, yaitu kalau hamil tua dan segera melahirkan maka idahnya 4 bulan 10 hari. Sedang kalau hamil muda, idahnya sampai perempuan itu melahirkan. Orang yang bertakwa kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan dimudahkan urusannya, dilepaskan dari kesulitan yang dialaminya.
Dua ayat di atas (ayat 1 dan 4), dan 2 (dua) ayat lain yang berada di antaranya (ayat 2 dan 3), mengatur mengenai tata cara perceraian. Di antaranya hal yang mengatur masa idah. Masa tersebut dengan jelas disebutkan sebagai 3 (tiga) bulan bagi wanita yang (sedang) tidak haid dan mereka yang sudah memasuki masa menopause, dan sampai saat melahirkan bagi mereka yang sedang mengandung.
Pada dasarnya, waktu tiga bulan, apabila tidak lagi terjadi persetubuhan, maka akan dapat ditentukan kondisi wanita, apakah dalam keadaan hamil atau tidak. Karena mulai pada bulan pertama kehamilan, haid akan berhenti. Tentunya, berhentinya haid ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Dapat karena hamil, atau sedang memulai proses menopause, atau karena adanya penyakit. Bagi seorang wanita, mereka akan mengetahui terjadinya kehamilan dari adanya beberapa ciri lain, karena kehamilan tidak saja ditandai oleh terlambatnya haid atau makin "gendutnya" perut. Masih ada tanda-tanda lainnya. Memang tidak mudah mengetahui apakah seseorang benar-benar hamil atau tidak.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BEBERAPA MACAM IDDAH LAGI
Ayat 4
“Dan yang telah putus asa dari haid di antara perempuan-perempuan kamu, jika kamu ragu-ragu, maka iddah mereka ialah tiga bulan, dari yang tidak berhaid."
Dalam surah al-Baqarah ayat 228 sudah dijelaskan iddah perempuan yang berhaid, yaitu tiga quru', yaitu tiga kali haid tiga kali bersih. Kadang-kadang bilangannya tidak persis tiga bulan. Maka bagi perempuan-perempuan yang tidak berhaid iddahnya ialah tiga bulan saja; boleh hitung hari. Misalnya suaminya menceraikannya 24 Syawwal, maka pada 24 Muharram iddahnya lepas.
Kalau dia diceraikan 6 Rabi'ul Awwal, maka pada 6 Jumadil Akhir lepaslah iddahnya. Demikianlah seterusnya. Dasar menghitung ialah bulan Qamariyah, karena perhitungan hal- hal seperti demikian, termasuk mengerjakan haji ialah menurut hilal. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 189.
Dalam ayat ini tersebut dua macam perempuan. Pertama, perempuan yang telah putus asa dari haid, karena usianya telah lanjut. Setengah perempuan telah berhenti haid dalam usia 55 tahun dan ada yang kurang dan itu dan ada yang lebih.
Yang kedua ialah perempuan yang tidak pernah haid, meskipun itu jarang, konon Fatimah binti Rasulullah tidak pernah berhaid, padahal dia dianugerahi putra-putra juga.
Yang ketiga ialah anak perempuan yang belum haid. Di beberapa negeri, dan yang terkenal di zaman lampau ialah di India! Anak-anak masih kecil-kecil sudah dikawinkan. Kadang-kadang baru berusia tujuh tahun, kadang-kadang masih dalam gendongan orangtuanya sudah dikawinkan. Sudah agak besar, setelah mereka sadar akan diri, atau atas kemauan orangtua juga, terjadi perceraian. Padahal anak perempuan itu belum berhaid! Iddah anak ini pun tiga bulan!
“Dan yang sedang hamil, waktunya ialah sampai mereka melahirkan." Artinya setelah anak yang dikandungnya itu lahir, lepaslah iddahnya, bolehlah dia bersuami. Kalau misalnya dia ditalak oleh suaminya pukul sembilan pagi, kebetulan pukul sepuluh pagi itu juga, artinya satu jam kemudian, anaknya lahir; maka hanya satu jam dia dalam iddah.
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia Akan menjadikan mudah urusannya."
Di sini sekali lagi kita melihat bahwa peraturan yang telah diaturkan Allah itu sangatlah bertali dengan takwa. Karena hanya orang yang bertakwalah yang akan tunduk dengan taat dan setia kepada peraturan Allah, lahir dan batin. Orang yang tidak bertakwa niscaya akan mencari jalan keluar daripada peraturan Allah.
Kita ambil suatu misal. Seorang perempuan hamil, akan habis iddahnya setelah anaknya lahir. Dekat-dekat anak yang dikandungnya itu akan lahir, dibuatnya suatu perangai yang menyakitkan hati suaminya, sampai suami itu menjatuhkan cerai. Beberapa hari setelah anak lahir dia pergi kawin dengan laki-laki lain. Di situ terdapat suatu kesengajaan karena tidak ada iman dan takwa. Mungkin telah ada janjinya lebih dahulu dengan laki-laki yang akan menikahinya itu. Dan karena tidak ada rasa takwa, bisa saja sehabis anak lahir, dia kawin dan terus saja si laki-laki menyetubuhi perempuan itu padahal dia masih dalam nifas, darah nifasnya belum kering. Semuanya ini tidak ada orang lain yang tahu; hanya di antara mereka yang tahu da Allah tentu saja.
Tetapi kalau ada jiwa takwa, bagaimanapun sukar dan sulitnya urusan, akan ada saja jalan keluar ditunjukkan oleh Allah.
Di dalam surah al-Baqarah ayat 232 sudah dijelaskan iddah dari seorang yang kematian suami. Ini bukan hitungan haid dan bersih, melainkan hitungan bulan-bulan; yaitu 4 bulan 10 hari, yakni kalau suaminya meninggal misalnya 5 hari bulan Rajab, maka lepasnya dari iddah ialah 15 hari bulan Dzul-Qa'idah. Ini namanya iddah wafat.
Semua istri yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya 4 bulan 10 hari. Baik dia perempuan yang berhaid, bernifas, atau telah putus asa dari haid, atau tidak pernah haid, atau dia masih belum pernah berhaid. Semua 4 bulan 10 hari.
Tetapi timbul perselisihan ulama kalau berkumpul pada diri seseorang perempuan iddah hamil dan iddah wafat. Sesudah dia diceraikan dalam hamil, tiba-tiba suaminya itu wafat!
Ataupun tidak bercerai. Perempuan itu hamil, tiba-tiba meninggal suaminya. Beberapa hari saja sesudah suami meninggal, misalkan lima hari, anaknya lahir. Bagaimana hal seperti ini?
Pada mulanya terjadi juga perlainan pendapat di antara para ulama, baik salaf maupun khalaf tentang hal seperti; perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya. Tiba-tiba beberapa hari saja sesudah perempuan itu diceraikan, suaminya itu mati.
Kalau suaminya tidak mati, iddahnya ialah sampai anak lahir. Iddah perempuan kematian suami 4 bulan 10 hari.
Sayyidina Ali dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dipakai ialah iddah yang lebih panjang, tentu dia menunggu selama 4 bulan 10 hari, meskipun anaknya lahir beberapa hari saja sesudah dia diceraikan.
Ini kejadian ketika seseorang meminta fatwa kepada Ibnu Abbas, karena ada seorang perempuan melahirkan 40 hari sesudah kematian suaminya. Beliau memutuskan iddah-nya 4 bulan 10 hari. Tetapi Abu Hu rairah yang ada hadir di situ menyatakan pendapatnya bahwa keputusan itu tidak tepat berdasar kepada ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yaitu bahwa perempuan yang sedang hamil, iddahnya ialah selahir anaknya. Maka untuk meyakinkan hatinya, Ibnu Abbas mengutus ajudannya, Kuraib, menemui Ibunda Kaum Mukminin, Ummu Salamah, kalau-kalau beliau ada mengetahui bagaimana keputusan Nabi ﷺ dalam hal yang seperti itu. Maka datanglah jawaban dari Ummu Salamah demikian, “Suami dari seorang perempuan bernama Subai'ah al-Aslamiyah meninggal dunia, padahal dia sedang hamil. 40 hari saja sesudah suaminya meninggal, anak si Subai'ah itu lahir. Setelah anaknya lahir, datanglah orang meminangnya. Lalu dia dikawinkan oleh Rasulullah ﷺ. Abu Sanabil adalah seorang di antara yang meminang." (HR Bukhari, Muslim, dan ahli-ahli hadits yang lain)
Yang dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal tersebut pula, bahwa Subai'ah al- Aslamiyah kematian suami, sedang dia waktu itu sedang hamil. Tidak berapa lama kemudian lahirlah anaknya. Sesudah badannya kuat, sesudah nifas, ada orang yang meminangnya. Maka pergilah Subai'ah meminta izin kepada Rasulullah buat nikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah, dan dia pun menikahlah. Selain dari riwayat Imam Ahmad ini, dalam susunan seperti ini dirawikan juga oleh Bukhari, oleh Muslim dalam Shahih-nya, dan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i dan Ibnu Majah.
Menurut hadits lain yang dirawikan oleh Muslim, dia menerima dari Abu Thahir, dan dia ini menerima dari Ibnu Wahab, dia menerima dari Yunus bin Yazid, dia ini menerima dari Ibnu Syahab mengatakan, bahwa dia menerima dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, bahwa ayahnya ini menulis surat kepada Umar bin Abdullah bin al-Arqam az-Zuhri, menyuruhnya menemui Subai'ah al-Aslamiyah tersebut untuk menanyakan tentang kejadian pada dirinya tersebut dan bagaimana bunyi fatwa Rasulullah ketika dia bertanya kepada beliau. Lalu Umar bin Abdullah membalas surat ini menyatakan bahwa dia telah datang bertanya kepada Subai'ah dan telah diuraikan kejadian itu demikian, “Dia adalah istri dari Sa'ad bin Khaulah yang turut dalam Peperangan Badar. Ketika pergi haji Wada (bersama Nabi ﷺ) meninggallah suaminya itu, padahal dia sedang hamil. Tidak berapa lama setelah suaminya itu meninggal, lahirlah anaknya. Setelah bersih badannya dari nifas mulailah dia berpakaian yang bagus-bagus, mengharapkan akan ada yang meminang. Lalu bertemulah dia dengan Abu Sanabil bin Ba'kak. Melihat dia berpakaian bagus yang tidak pantas bagi orang berkabung kematian suami, berkatalah Abu Sanabil, ‘Mengapa kau kulihat bercantik-cantik macam begini? Apakah kau sudah ingin kawin? Kau tak boleh berbuat begitu sebelum cukup 4 bulan 10 hari.'"
Mendengar teguran itu bersiap-siaplah Subai'ah, lalu pergi menghadap kepada Rasulullah ﷺ Lalu dia bertanya tentang halnya itu. Berkata Subai'ah, “Maka berfatwalah beliau kepadaku, bahwa aku telah halal nikah setelah anakku lahir, lalu disuruhnyalah aku kawin kalau aku rasa ada calon yang baik."
Hadits serupa ini pun ada diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan segala riwayat ini nyatalah bahwa iddah mengandung bisa panjang sejak dari si suami meyakini bahwa istrinya telah hamil (dua bulan masuk ketiga), sampai anak lahir. Dan bisa pula sangat cepat. Misalnya seorang menalak istrinya pagi-pagi, tiba-tiba jandanya itu melahirkan. Waktu itu juga lepaslah iddahnya dan suaminya itu tidak bisa rujuk lagi, kalau mereka itu berdamai di hari itu juga, maka di hari itu pula mereka nikah kembali, menurut nikah yang biasa.
Ayat 5
“Demikianlah itu perintah Allah yang Dia turunkan kepada kamu."
Artinya bahwa Allah telah mengatur, sehingga kamu tidak akan meraba-raba lagi dan segala sesuatunya itu diatur dengan baik dan teliti. Apatah lagi setelah diberikan pula teladan-teladan oleh Sunnah Rasulullah ﷺ sendiri.
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan Dia akan membesarkan pahala untuknya."
Dengan takwa kepada Allah, artinya dengan hubungan batin yang selalu terpelihara dengan Allah, maka kalau ada kealpaan dan kesalahan, maka semuanya itu akan ditutupi oleh Allah, artinya tidak akan mengganggu bagi kebesaran jiwanya dalam melanjutkan perjalanannya beriman dan beramal. Kesalahan itu akan terliputi atau terhimpit ke bawah oleh besarnya kebajikan yang dia per-buat. Sebab bagi manusia yang berbudi tinggi akan terasa sekali beratnya tekanan dosa, sampai jadi penghalang untuk maju, bahkan sampai menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Padahal itu sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa menuju ridha Allah.
Satu kesalahan bisa saja jadi kecil karena sangat besarnya nilai amal yang dikerjakan. Kesalahan dalam perjalanan tidaklah akan sunyi dari manusia. Suatu kesalahan yang disadari bisa jadi pelajaran buat seterusnya, sehingga tidak mau lagi berbuat kesalahan yang serupa pada keadaan yang serupa. Khususnya di antara suami istri, bisa saja terjadi kesalahan, pelanggaran aturan. Hal itu dialami oleh tiap orang yang berumah tangga. Tetapi kesalahan itu akan ditutup oleh Allah karena ada usaha memperbaiki diri dan menimbuni kesalahan dan berbuat banyak kebajikan.
Ayat 6
“Tempatkanlah mereka kira-kira dimana kamu bertempat menurut kesanggupanmu."
Pangkal ayat ini menjelaskan kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya di mana si suami bertempat, menurut ukuran hidup si suami sendiri. Meskipun si istri anak orang kaya raya, sedang si suami tidak sekaya mertua atau istrinya, dia pun hanya berkewajiban menyediakan menurut ukuran hidupnya juga. Sebagai pepatah orang Melayu, “Sepanjang tubuh, sepanjang bayang-bayang."
Sejak semula kawin sudahlah menjadi kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal buat istrinya yang sesuai dengan kemampuan suami. Tentu saja sebelum meminang anak orang, seorang laki-laki telah mengukur yang sekufu, yaitu yang sepadan seukuran dengan dirinya, jangan terlalu tinggi sehingga tidak sanggup membelanjai atau memberikan tempat tinggal yang jelek yang tidak sepadan dengan kedudukan istri itu.
Oleh karena hal perumahan ini diperkatakan ketika membincangkan soal talak maka dapatlah pangkal ayat 6 dipertalikan dengan larangan Allah di ayat 1, yaitu dilarang si suami mengeluarkan atau mengusir istrinya dalam iddah dari rumah-rumah mereka dan mereka sendiri pun tidak boleh keluar. Selama dalam iddah perempuan itu masih berhak tinggal di sana. Tetapi cerai dari talak tiga, meskipun masih memakai iddah untuk mengawasi kalau-kalau dia hamil. Kalau dia hamil, iddahnya ialah selama dia mengandung, sebagai telah disebutkan di atas. Tentu saja anak yang dilahirkannya itu adalah anak dari suaminya yang menceraikannya talak tiga itu.
Setelah anaknya lahir karena dia ditalak tiga, dia mesti sudah keluar dari rumah itu. Tetapi kalau dia tidak hamil, dia masih boleh tinggal dalam rumah itu selama dalam iddah; sehabis iddah segera keluar. Tetapi nafkahnya selama iddah baa'in itu, demikian juga pakaiannya tidaklah wajib lagi bagi suaminya yang telah jadi jandanya itu membayarnya.
Iddah baa'in ialah iddah orang talak tiga. Maksudnya ialah iddah yang tidak boleh rujuk lagi. Dengan adanya iddah baa-in di antara keduanya tidak ada lagi hubungan warisan. Jika mati salah satu tidak ada lagi yang mewarisi dan diwarisi. Tetapi kalau dia hamil maka dia masih berhak mendapat tempat tinggal, mendapat nafkah dan pakaian, sampai anaknya lahir. Anak lahir dari si suami bebas membelanjai jandanya itu, kecuali untuk perbelanjaan anaknya. Dan itu pun ada perhitungan lain yang akan dijelaskan pula nanti. Adapun yang tidak hamil, kalau salah satu meninggal sementara dia dalam iddah, mereka berdua masih waris-mewarisi sebagai aturan yang tersebut dalam Al-Qur'an.
“Dan janganlah mereka itu kamu susahkan karena hendak menyempitkan mereka." Jangan dibuat hatinya sakit selama dalam iddah itu dengan maksud agar dia kesal, lalu dengan tindakan sendiri dia minta keluar. Atau disakiti hatinya dengan berbagai sindiran, atau diusir dengan tidak semena-mena. Atau sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abidh Dhuhaa “Dia talak dia dan dia menunggu iddah. Tetapi kira-kira dua hari iddah akan habis, si suami rujuk kembali, padahal bukan karena hendak berdamai, hanya karena hendak melepaskan dendam saja." Akhirnya perempuan yang sedang dalam iddah itu lama terkurung.
Terjadi juga perbincangan yang mendalam di antara ulama tentang perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik dan Imam Syafi'i, “Wajib menyediakan tempat tinggalnya, tetapi tidak wajib nafkah."
Madzhab Imam Abu Hanifah, “Tempat tinggal dan nafkah keduanya dijamin."
Madzhab Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rawaihi dan Abu Tsaur, “Nafkah tak wajib dibayar, rumah tak wajib disediakan."
Alasan madzhab yang ketiga ini, yang rumah tidak nafkah pun tidak ialah sebuah hadits berkenaan dengan Fatimah binti Qais. Fatimah ini berkata, “Aku masuk menghadap Rasulullah ﷺ bersama saudara dari suamiku, lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Aku telah diceraikan oleh suamiku, sedang saudaranya ini mengatakan bahwa saya tidak berhak lagi mendapat tempat tinggal dan tidak pula nafkah!'"
Lalu Rasulullah menjawab, “Bahkan kau masih berhak mendapat rumah dan nafkah."
Tetapi saudara suaminya itu berkata, “Tetapi dia diceraikan talak tiga!" Rasulullah menjelaskan lagi, “Jamin rumah dan nafkah hanyalah untuk talak yang bisa dirujuk lagi." Hadits ini dirawikan oleh ad-Daruquthni.
Di Kufah terjadi pula pertikaian pendapat tentang ini al-Aswad bin Yazid dari tabi'in berpegang kepada hadits Fatimah ini, “Tidak berhak kediaman dan nafkah." Sebab itu ketika Fatimah datang ke Kufah diminta oleh al-Aswad agar Fatimah mengulangi lagi hadits itu kepadanya.
Hadits Fatimah binti Qais inilah pegangan Imam Ahmad.
Tetapi ada lagi hadits Fatimah binti Qais ini menurut riwayat Muslim, bahwa Fatimah binti Qais itu ditalak oleh suaminya di waktu Rasulullah masih hidup, sedang nafkahnya kurang dari yang patut. Setelah mengalami demikian dia berkata, “Demi Allah aku akan memberitahukan hal ini kepada Rasulullah ﷺ. Kalau memang saya berhak mendapat nafkah saya akan minta diberi yang sepantasnya, tetapi kalau aku tak berhak atasnya, tidaklah aku akan mengambilnya sepeser pun. Setelah hal itu aku sampaikan kepada Rasulullah, beliau berkata, “Kau tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak berhak mendapatkan tempat kediaman."
Tetapi Sayyidina Umar bin Khaththab setelah jadi Khalifah, telah terjadi pula hal seperti ini. Lalu disampaikan orang kepada beliau hadits Fatimah binti Qais ini. Tegas beliau berkata, “Aku tidak mau membuat suatu ketentuan untuk seluruh kaum Muslimin hanya berdasar kepada ucapan perempuan." Lalu beliau putuskan perempuan yang telah ditalak tiga itu masih berhak atas rumah dan nafkah.
Tetapi ekor masalah ini masih panjang. asy-Sya'bi menceritakan bahwa al-Aswad bin Yazid datang menemui dia lalu berkata, “Ya Sya'bi, takwalah kepada Allah! Kembalilah engkau tinjau hadits Fatimah binti Qais itu! Umar bin Khaththab telah memutuskan bahwa perempuan yang telah ditalak tiga berhak mendapat rumah tempat tinggal dan nafkah."
“Saya tidak mau kembali dan sesuatu yang telah diriwayatkan kepadaku oleh Fatimah binti Qais dari Rasulullah ﷺ sendiri," jawab asy-Sya'bi.
“Dan jika mereka itu sedang hamil maka berilah nafkah atas mereka sehingga mereka lahirkan kandungan itu." Ini adalah nash yang sharih, jelas bahwa istri yang diceraikan sedang hamil itu, walaupun talak tiga, berhak tinggal dalam rumah yang disediakan suaminya atau bekas suaminya itu bersama-sama dengan nafkahnya. Sampai anak itu lahir. Moga-moga kalau iddahnya itu raj'i (masih bisa rujuk), timbullah sesal suaminya lalu dia rujuk sedang istri dalam iddah. Dan kalau dia sempat rujuk sampai lahir, namun selahir anak, kalau ada persesuaian dia boleh nikah kembali dengan perempuan itu sesaat setelah anak lahir.
“Maka jika mereka menyusukan untuk kamu." Karena yang empunya anak yang dia lahirkan itu ialah kamu sendiri, yaitu ayah dari anak itu. Tetapi perempuan itu akan menyusukan anak kamu sendiri, sedang dia sudah jadi jandamu!
“Maka berikanlah upah mereka dan bermusyawarahlah di antara kamu dengan ma'ruf."
Meskipun istri sendiri yang tidak bercerai dan meskipun menyusukan anak adalah keinginan dan kerinduan seorang ibu, namun ayat ini memberi ingat kepada tiap-tiap suami, bahwa anakyang disusukannya itu adalah anakmu. Sebab itu apabila ibunya menyusukannya, maka itu adalah kepentinganmu jual Ingatlah bahwa menurut kebiasaan dunia bahwa anak adalah dibangsakan kepada ayahnya. Misalnya seorang anak bernama Abdulmalik, hasil dari perkawinan seorang laki-laki bernama Abdulkarim dengan seorang perempuan bernama Shafiyah, maka anak itu disebut orang “Abdulmalik bin Abdulkarim" bukan Abdulmalik bin Shafiyah.
Dalam surah al-Ahzaab, ayat 5 sudah diberikan bimbingan yang jelas,
“Panggillah mereka dengan ayah mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah." (al-Ahzaab: 5)
Sedangkan istri sendiri yang menyusukannya. Lagi patut tenaga istri itu dihargai dengan nafkah istimewa, kononlah lagi apabila perempuan itu telah kamu ceraikan, baik talak raj'i yang tidak rujuk lalu habis iddah, ataupun talak baa'in karena talak tiga yang tidak boleh rujuk lagi. Ayat ini menjelaskan bahwa perbelanjaan menyusukan anak itu, ditambah perbelanjaan mengasuh anak itu (hadhaanah), sampai dia besar adalah kewajiban si suami membayarnya. Alangkah aibnya jika perempuan itu dapat bersuami orang lain, padahal si istri menyusukan anak orang lain, yaitu anak mantan suaminya, yang bukan anak dari suaminya yang baru.
Kalau si istri sudah bersuami lain, niscaya sudah sepatutnya bermusyawarah di antara kamu dengan ma'ruf, yaitu secara patut. Ataupun perempuan itu tidak dapat lagi ber- kesurutan dengan ayah anak itu, karena suatu halangan yang bisa saja terjadi. Musyawarahlah dengan baik mengambil keputusan berapa patutnya. Sehingga demikian jelas sekali bahwa seorang umat Muhammad sadar akan tanggung jawabnya.
“Dan jika kamu menemui kesulitan, maka bolehlah menyusukannya perempuan lain."
Kesulitan biasa saja terjadi, yaitu tentang menyusukan anak. Bisa saja terjadi si perempuan tidak mau menyusukan anaknya itu, karena dia telah diceraikan, maka si suami wajib mencari orang lain yang akan menyusukannya dengan upah juga. Si laki-laki tidak dapat memaksa jandanya dalam hal ini.
Atau suaminya yang baru keberatan menerima anak kecil itu. Maka wajiblah bagi yang empunya anak mencari perempuan lain untuk menyusukan.
Dan jangan lupa ibu yang menyusukannya itu menjadi mahramnya, demikian juga saudara-saudara yang sepersusuan dengan dia.
NAFKAH MENURUT KEMAMPUAN
Ayat 7
“Hendaklah memberi nafkah orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang terbatas rezekinya, maka hendaklah dia memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya."
Dengan pangkal ayat 7 ini jelaslah bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau perbelanjaan untuk istrinya, menurut kemampuannya. Jika ia orang yang mampu berilah nafkah menurut kemampuan. “Dan orang yang terbatas rezekinya" yaitu orang yang terhitung tidak mampu. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga ungkapan, kemampuan terbatas. Dalam bahasa Minangkabau orang yang miskin biasa mengungkapkan kemiskinannya dengan perkataan, “Umurku panjang, rezeki diagakkan." Mereka yang kemampuan terbatas itu pun wajib juga memberikan nafkah menurut keterbatasannya. “Tidaklah Allah memaksa seseorang melainkan sekadar apa yang diberikan-Nya." Nasib orang di dunia ini tidak sama, kaya atau miskin, mampu atau berkekurangan, namun makan disediakan Allah juga.
“Allah akan menjadikan kelapangan sesudah kesempitan."
Dalam ayat ini Allah menunjukkan kasih sayang dan pengharapan yang tidak putus-putusnya bagi orang yang beriman. Itulah sebabnya pada tiap ayat diperingatkan supaya kehidupan berumah tangga dipatrikan dengan takwa kepada Allah. Biarlah orang kaya berbelanja menurut kekayaannya, namun orang miskin berbelanja pula menurut rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Di ujung ayat diberikan Allah lagi pengharapan, bahwa kalau sekarang dalam keadaan susah, moga-moga lain hari berganti dengan kemudahan, karena kalau masih hidup di dunia ini, akan ada saja peredaran nasib yang akan dilalui, asal manusia jangan berputus asa.
Namun yang pokok ialah bahwa takwa jangan sekali-kali dilepaskan!
Di mana letaknya kemudahan atau kelapangan? Apakah pada harta benda?
Pengalaman hidup manusia menunjukkan bahwa harta benda bukanlah faktor pertama yang menentukan ketentaraman rumah tangga. Memang takwa itulah yang lebih utama. Banyak orang yang kelihatan miskin hidupnya, gajinya kecil, pangkatnya rendah tetapi rumah tangganya tentaram. Sebab dia dan seisi rumah tangganya memakai sifat qana'ah mencukupkan dengan apa yang ada. Padahal pegawai-pegawai tinggi yang membawahinya selalu dalam keadaan kesulitan dan susah, padahal gajinya berpuluh kali lipat dari gaji pegawai rendahan tadi.
Imam asy-Syafi'i berkata, “Berapa nafkah rumah tangga mesti dikeluarkan? Yang ber-sangkutan sendirilah yang menentukan. Dia tidak dapat dimasuki oleh ijtihad hakim atau fatwa mufti. Ketentuan dan batas hinggaannya hanyalah keadaan si suami baik kelapangan atau kesusahannya. Ketentuan belanja si istri suamilah yang menentukan. Bagi seorang suami tidaklah berbeda perbelanjaan istrinya, baik istri itu anak Khalifah atau anak pengawal pribadi Khalifah."
Demikianlah ada tersebut, bahwa ketika perempuan-perempuan berkumpul di hadapan Rasulullah akan mengadakan baiat kesetiaan beragama. Banyaklah nasihat yang diberikan Rasulullah ﷺ kepada mereka; jangan mempersekutukan Allah dengan yang lain, jangan mencuri, jangan berzina dan jangan membunuh anak, jangan mengarang-ngarang dusta dan jangan mendurhaka pada yang ma'ruf. Maka bertanyalah Hindun, istri Abu Sufyan, yang dengan takluknya Mekah telah masuk Islam. Pertanyaannya ialah, bahwa dia kerap kali mengeruk-ngeruk saku Abu Sufyan, karena Abu Sufyan itu kadang-kadang terlalu kikir. Hindun bertanya, “Apakah perbuatanku itu termasuk mencuri juga?"
Sebelum Rasulullah menjawab Abu Sufyan yang turut hadir telah menjawab lebih dahulu, “Telah aku ridhakannya, ya Rasulullah!"
“Ambillah sekadar cukup untuk engkau dan anak engkau dengan ma'ruf."
Dalam jawab Nabi ini pun tidak juga ditentukan berapa patutnya nafkah rumah tangga itu. Tampaknya selain ukuran kemampuan suami ialah hati lapang kedua belah pihak karena takwa kepada Allah.