Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تُؤۡتُواْ
kamu serahkan
ٱلسُّفَهَآءَ
orang-orang bodoh/belum sempurna akalnya
أَمۡوَٰلَكُمُ
harta kamu
ٱلَّتِي
yang
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
قِيَٰمٗا
pemeliharaan
وَٱرۡزُقُوهُمۡ
dan mereka belanja
فِيهَا
darinya (hasil harta itu)
وَٱكۡسُوهُمۡ
dan pakaian mereka
وَقُولُواْ
dan katakanlah
لَهُمۡ
kepada mereka
قَوۡلٗا
perkataan
مَّعۡرُوفٗا
yang baik
وَلَا
dan jangan
تُؤۡتُواْ
kamu serahkan
ٱلسُّفَهَآءَ
orang-orang bodoh/belum sempurna akalnya
أَمۡوَٰلَكُمُ
harta kamu
ٱلَّتِي
yang
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمۡ
bagi kalian
قِيَٰمٗا
pemeliharaan
وَٱرۡزُقُوهُمۡ
dan mereka belanja
فِيهَا
darinya (hasil harta itu)
وَٱكۡسُوهُمۡ
dan pakaian mereka
وَقُولُواْ
dan katakanlah
لَهُمۡ
kepada mereka
قَوۡلٗا
perkataan
مَّعۡرُوفٗا
yang baik
Terjemahan
Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Tafsir
(Dan janganlah kamu serahkan) hai para wali (kepada orang-orang yang bebal) artinya orang-orang yang boros dari kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak (harta kamu) maksudnya harta mereka yang berada dalam tanganmu (yang dijadikan Allah sebagai penunjang hidupmu) qiyaaman mashdar dari qaama; artinya penopang hidup dan pembela kepentinganmu karena akan mereka habiskan bukan pada tempatnya. Menurut suatu qiraat dibaca qayyima jamak dari qiimah; artinya alat untuk menilai harga benda-benda (hanya berilah mereka belanja daripadanya) maksudnya beri makanlah mereka daripadanya (dan pakaian dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik) misalnya janjikan jika mereka telah dewasa, maka harta mereka itu akan diberikan semuanya kepada mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 5-6
Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).
Ayat 5
Allah ﷻ melarang orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka. Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya.
Berangkat dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam: adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah). Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk dalam ber-tasarruf mengingat akalnya kurang sempurna atau agamanya kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian).” (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Adh-Dhahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim.
Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah wanita.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih secara panjang lebar.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian).” (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.
Firman Allah ﷻ: “Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan doa mereka, yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk tapi ia tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya) padahal Allah ﷻ telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka (yang ada dalam kekuasaan kalian)’ (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemberi utang tidak mempunyai saksi terhadapnya.”
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa: 5)
Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi. Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.
Ayat 6
Firman Allah ﷻ: “Dan ujilah anak yatim itu.” (An-Nisa: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Suddi dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya) sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6)
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.
Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia baligh pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.
Di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: “Tidak ada yatim sesudah baligh dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.”
Di dalam hadits yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi ﷺ disebutkan: “Qalam diangkat (tidak dicatat kesalahannya) dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia baligh atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.”
Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadits yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar yang mengatakan: “Diriku ditampilkan kepada Nabi ﷺ dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu aku berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang.” Umar ibnu Abdul Aziz ketika sampai kepadanya hadits ini mengatakan bahwa sesungguhnya hadits inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan tanda baligh atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya.
Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia baligh, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia baligh bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, karena itulah mereka tidak mau mengobatinya.
Menurut pendapat yang shahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia baligh, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan. Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan: “Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi ﷺ seusai Perang Quraizah. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."
Ahlu sunan mengetengahkan hadits yang serupa, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.
Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh seorang wanita muda berzina dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya.
Abu Ubaid mengatakan bahwa ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar adalah bila seseorang mengatakan “Aku telah mengerjainya," padahal ia berdusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya: “Amatlah buruk bagi orang sepertiku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, baik dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang benar.”
Firman Allah: “Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (An-Nisa: 6)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kepahaman yang lumayan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan tidak hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.
Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: “Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.”
Firman Allah ﷻ : “Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.” (An-Nisa: 6)
Allah ﷻ melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak. Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6)
Yang dimaksud dengan falyasta'fif adalah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun.
Asy-Syabi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu secara finansial) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).
“Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.
Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan (kebaikan) untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Mishar, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: “Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu secara finansial maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafal yang sama.
Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif, yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya. Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang shahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak pula menghimpunkannya sebagai hartamu. Dan juga tanpa mengekang hartamu atau tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.” Kata ‘atau' merupakan keraguan dari Husain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Makanlah dengan cara yang patut tanpa berlebih-lebihan!”
Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Husain Al-Mu'allim.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi ﷺ menjawab: “Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta mu.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ats-Tsauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas, lalu orang Badui itu berkata: “Sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya dan menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya”
Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafal yang sama.
Pendapat inilah, yakni “tidak wajib mengganti”, yang dikatakan oleh ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat yang kedua mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu secara finansial, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."
Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur: Telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar pernah berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu secara finansial, maka aku menahan diri (untuk tidak menggunakannya).”
Sanad atsar ini shahih. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal yang serupa dari sahabat ibnu Abbas.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah dengan menganggapnya sebagai utang.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Suddi hal yang serupa.
Telah diriwayatkan melalui jalur As-Suddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari (sedikit).
Imam Al-Baihaqi juga mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan buat dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.
Hal yang serupa diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa
sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.
Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: “Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu secara finansial, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).” (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya.
“Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa: 6)
Bagi para wali yang miskin diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa.” (Al-An'am: 152 dan Al-Isra: 34) Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut.
Firman Allah ﷻ: “Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka.” (An-Nisa: 6)
Sesudah mereka mencapai usia baligh dan dewasa - apabila menurut kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta - maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian.
“Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.” (An-Nisa: 6)
Hal ini merupakan perintah dari Allah ﷻ ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi kelak adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (An-Nisa: 6) Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai untukmu sebagaimana aku menyukai untuk diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim."
Setelah penjelasan tentang hak-hak anak yatim yang harus dipenuhi, ayat ini menjelaskan larangan menyerahkan harta mereka bila mereka belum mampu mengurus. Dan janganlah kalian serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yatim atau orang dewasa yang belum mampu mengurus, harta mereka yang ada dalam kekuasaan kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, penyangga hidup, penopang urusan, dan penunjang berbagai keinginan dalam kehidupan ini. Sebab, dalam kondisi seperti itu mereka akan menghabiskan harta tersebut secara sia-sia. Karena itu, berilah mereka belanja secukupnya dan pakaian selayaknya yang bisa menutupi aurat dan memperindah penampilan, dari hasil harta yang kalian usahakan itu. Bersikaplah lemah lembut dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik sehingga membuat perasaan mereka nyaman dan tenteram. Setelah menjelaskan tentang larangan menyerahkan harta anak yatim dalam kondisi mereka belum mampu mengelola, berikutnya Allah memerintahkan agar para wali menguji terlebih dahulu kematangan berpikir, kecerdasan, dan kemampuan mereka mengelola harta sebelum menyerahkannya. Dan ujilah kecerdasan dan mental anak-anak yatim itu dengan memperhatikan keagamaan mereka, kematangan berpikir, dan cara membelanjakan harta, kemudian latihlah mereka dalam menggunakan harta itu sampai hampir mereka cukup umur untuk menikah dengan menyerahkan harta sedikit demi sedikit. Kemudian jika menurut pendapat kamu melalui uji mental tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mereka betul-betul telah cerdas dan pandai dalam memelihara dan mengelola harta, maka serahkanlah kepada mereka hartanya itu, sehingga tidak ada alasan bagi kalian untuk menahan harta mereka. Dan janganlah kamu, para wali, dalam mengelola harta ikut memakannya harta anak yatim itu dan mengambil manfaat melebihi batas kepatutan, dan janganlah kamu menyerahkan harta kepada mereka dalam keadaan tergesa-gesa menyerahkannya sebelum mereka dewasa, karena kalian khawatir bila mereka dewasa mereka akan memprotes kalian. Barang siapa di antara pemelihara itu mampu mencukupi kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya, maka hendaklah dia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan mencukupkan diri dengan anugerah dari Allah yang diperolehnya. Dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagai upah atau imbalan atas pemeliharaannya. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu yang sebelumnya berada di tangan kamu kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi ketika menyerahkan harta itu kepada mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas atas segala amal perbuatan dan perilaku mereka. Dan Dia memperhitungkan semua perilaku tersebut kemudian memberinya balasan setimpal.
Para wali dan pelaksana wasiat (wasi) yang memelihara anak yatim agar menyerahkan harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya apabila anak yatim itu telah dewasa dan telah dapat menjaga hartanya. Apabila belum mampu maka tetaplah harta tersebut dipelihara dengan sebaik-baiknya karena harta adalah modal kehidupan.
Segala keperluan anak yatim seperti pakaian, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan (diinvestasikan). Kepada mereka hendaklah berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Berkenaan dengan pemberian harta anak yatim, yang pada ayat 2 telah dijelaskan, wajib diberikan kepadanya apabila telah tiba waktunya, tibalah ayat 5. Yaitu bagaimana kalau anak yatim itu bodoh, pandir, tolol. Dengan demikian bukan saja anak yatim lagi yang diperkatakan, tetapi semua orang yang tolol dan pandir. Yaitu orang yang tidak dapat mengendalikan harta bendanya, yang kalau diserahkan ke daiam tangannya, dalam sebentar saja akan musnah dihabiskannya kepada yang tidak berfaedah. Dia hanya pandai menghabiskan, tetapi tidak sanggup memperkembangkan harta. Adakalanya karena benar-benar kurang akal, adakalanya karena masih kecil. Datanglah ayat 5 ini,
Ayat 5
“Janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang bodoh ...mu, yang telah dijadikan Allah bagimu pokok penghidupan padanya “
Meskipun harta itu jelas harta mereka sendiri, hak mereka sendiri, tetapi di dalam ayat ini dikatakan bahwa harta itu adalah harta kamu, yaitu harta kamu yang terlingkung dalam masyarakat Islam. Menjadi kewajibanlah menjaga agar harta itu jangan punah sesampai di tangan orang yang empunya yang tidak pandai atau belum pandai mentadbirkannya. Padahal harta itu adalah pokok penghidupan. Kalau harta itu diserahkan kepada si pandir atau si pemboros sehingga habis dan licin tandas, telantarlah hidupnya dan melaratlah dia. Bukankah dia menjadi beban lagi bagi masyarakat sekitarnya? Oleh sebab itu, harta itu tidak boleh diberikan kepadanya walaupun dia anak yatim. Kalau si wali yang mengasuhnya berkeberatan memikul amanah berat itu, bolehlah hal ini dilaksanakan oleh yang berwajib (Sultan) atau Imam. Artinya masyarakat sudah mesti campur tangan.
Dalam negara, inilah yang dahulu dinamai Weeskamer. Harta orang itu dipegang oleh negara, tetapi belanjanya selama hidup dibayar dengan harta itu juga. Di dalam ayat ini dijelaskan, “Berilah mereka makan padanya dan berilah mereka pakaian•" Dengan ayat ini nyatalah si wali tadi berhak memperturun-pernaik harta itu, memperniagakannya, mengembangkannya, yang akan menyebabkan harta itu tidak habis; dari sana mereka diberi rezeki makanan dan pakaian mereka, dari hasil harta mereka sendiri.
“Senla katakanlah kepada mereka kata-kata yang baik-baik."
Kata-kata yang baik-baik, yaitu katakan terus terang bahwa harta itu adalah milik mereka. Si wali hanya memegang dan mentad-bir. Tentu saja yang mentadbirkan harta itu berhak pula menerima ganti kerugian usahanya mentadbirkan harta itu; dan ini pun wajib dapat dipertanggungjawabkan.
Kebodohan atau kepandiran ada yang hanya sementara, yaitu pertama, selama anak belum baligh dan belum dapat berdiri sendiri. Setelah anak dapat berdiri sendiri dan dipercaya bahwa dia tidak akan menyia-nyiakan, barulah harta diserahkan. Kedua, perempuan yang tidak pandai menjalankan hartanya. Tentu kalau dia sudah bersuami dan suaminya itu bisa dipercaya, boleh wilayah diserahkan kepadanya. Atau perempuan itu telah sanggup, baru diserahkan. Namun ada juga orang, baik laki-laki ataupun perempuan, kaya raya dan sangat pandir. Mungkin selama hidupnya wali masih berkewajiban memegang harta itu, lalu dijamin makan minum dan pakaiannya. Setelah dia meninggal diserahkan kepada warisnya menurut syara'.
Ayat yang selanjutnya memberi keterangan lebih jelas lagi,
“Hendaklah kamu selidiki," atau kamu uji, atau kamu tinjau dengan saksama,
Ayat 6
“anak-anak yatim itu, hingga sampai waktunya untuk menikah."
Diuji dia, apakah dia telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum. Misalnya diberikan kepadanya terlebih dahulu sebagian, disuruh dia memperniagakan, sudah pandaikah dia atau belum. Kalau belum, jangan dahulu diserahkan semua. Di dalam ayat ini disebut ujian sebelum menikah. Karena setelah dia menikah, berarti dia telah berdiri sendiri, mengatur pula istri dan rumah tangganya. “Jika kamu tilik pada mereka telah ada kecerdikan, serahkanlah harta mereka kepada mereka." Artinya lepaslah kamu dari tanggung jawab sebab harta itu memang harta mereka sendiri.
Dengan ayat ini teranglah bahwa menjadi perintah wajib dari Allah terhadap si wali menyerahkan harta itu seluruhnya setelah jelas bahwa dia telah pandai atau telah sanggup mengatur sendiri hartanya. Kalau mereka dua tiga orang laki-laki dan perempuan, niscaya ada yang tertua antara mereka dan dapat mengatur adik-adiknya serta saudara-saudara perempuannya. Kalau dia telah sanggup mengatur adik-adiknya, lebih baik diserahkan kepadanya semua sebab dialah yang paling akrab kepada adik-adiknya. Akan tetapi, kalau dia baru dapat mengatur hartanya sendiri, masihlah kewajiban bagi si wali mengurus harta adik-adiknya yang belum dewasa. Di dalam hal ini kita lihat, bukanlah bergantung kepada umur, tetapi bergantung kepada kecerdikan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi dia telah cerdik. Ada pula usianya telah agak lanjut, tetapi belum matang.
Teranglah pula di dalam ayat ini bahwa kalau syarat kecerdikan telah tampak, padahal si wali masih bertahan, tidak mau menyerahkannya, berdosalah dia di sisi Allah.
“Dan janganlah kamu makan harta itu dengan boros dan cepat-cepat sebelum mereka dewasa."
Sehingga setelah datang waktunya dia berhak menerima hartanya kembali, didapatinya hartanya itu telah musnah secara tidak patut. Bertasharru/terhadap harta anak yatim dengan cara seperti ini, termasuklah ke dalam golongan orang yang menyalakan api dalam perut. Harta anak yatim yang dimakan dengan cara tidak halal itu, besar sekali kemungkinan akan membakar habis harta si wali. Sebab, selama dia berlaku tidak jujur, harta benda kepunyaannya sendiri pun akan hilang berkahnya, “Barangsiapa yang kaya hendaklah dia menahan diri" Kata ayat ini sebagai pembangkit dasar budi baik dalam jiwa wali yang kaya. Tanpa menyinggung sedikit pun harta anak yatim untuk kepentingannya sendiri, tetapi dipeliharanya dan dijalankannya juga sebagaimana patutnya. Sebab, dia sendiri pun orang yang mampu, bertambah besar dan mulialah dia dalam pandangan anak yatim setelah dia dewasa kelak. Merasalah anak itu bahwa dia berutang budi,"Dan barangsiapa yang fakir, bolehlah makan secara patut." Dia seorang yang miskin, padahal dengan tiba-tiba memikul beban mengasuh dan memegang amanah anak yatim kaya. Dia wajib memegang amanah itu. Kalau dia tidak boleh menyinggung secara patut, tentu teraniayatah dia. Mungkin dengan menjalankan harta anak yatim itu dia pun tertolong. Misalnya anak yatim itu mempunyai harta setumpak sawah. Si wali yang fakir boleh mengerjakan sendiri sawah itu dengan bagi dua hasil. Demikian juga contoh yang lain-lain. Di sini disebut lagi bil ma'ruf i, yaitu menurut cara yang patut dalam pandangan umum. Ka-rena keridhaan Allah sesuai pula dengan ke-ridhaan perikemanusiaan yang umum.
Meskipun berapa patutnya wali yang tidak mampu itu bolehlah memakan harta anak yatim, baik juga kita tilik betapa pendapat ulama tentang hal ini agar kita ketahui kesatuan pendapat mereka dalam satu hai, yaitu memakan harta anak yatim adalah suatu perbuatan yang meminta pertanggungjawaban budi yang amat besar walaupun jumlahnya kecil.
Ada ulama tafsir berpendapat bahwa wali yang memakan harta anak yatim karena kemiskinan adalah berutang, dengan niat akan membayarnya kembali. Yang berpendapat begini antaranya ialah Sayyidina Umar bin Khaththab dan Ibnu Abbas. Ibnu Jarir menya-linkan dasar pendapat Ibnu Abbas itu demikian, “Kalau si pengasuh kaya, tidaklah halal dia memakan harta anak yatim. Akan tetapi, kalau si pengasuh orang miskin, bolehlah dia pakai harta itu dengan niat apabila dia telah mampu akan dibayarnya. Itulah yang disebut di dalam ayat memakan dengan patut."
Ditambah lagi oleh Said bin Jubair (murid Ibnu Abbas), “Kalau si pengawas telah dekat akan mati, hendaklah dia minta ridha kepada pengawasnya yang menggantikannya."
Menurut as-Sya'bi, “Arti memakan dengan sepatutnya ialah bahwa dia tidak boleh memakan harta anak yatim kalau tidak terpaksa benar, (mudhtharr) sebagai dihalalkan makan bangkai bagi seorang yang tidak mendapat makan lagi “
Dibicarakan juga oleh ahli tafsir berapa kadarnya dibolehkan memakan dengan ma'ruf. Satu riwayat dari Ibnu Abbas menerangkan ialah mengambil makanan sekadar di ujung jarinya saja. As-Suddi mengatakan sekadar ujung jari jua. jangan berlebih dan jangan mengambil pakaian. Menurut Ikrimah, “Artinya ialah tangan engkau bersama masuk piring dengan tangan mereka dan jangan mengambil pakaian (sandang) Penafsiran lain berkata, ambillah sekadar penghilangkan lapar dan sekadar penutup aurat." Yang lain menyatakan pendapat pula, boleh mengambil makan hasil harta anak yatim sekadarnya, sebagai air susu binatang ternak, bulunya, hasil buah, dan hasil tanaman di sawah, semuanya sekadar perlu pula.
Menurut fatwa Imam Atha, “Makan ber-sama-sama mereka satu hidangan, sekadar hikmat dan pekerjaannya, jangan lebih!"
Akhirnya samalah pendapat segala ulama fiqih bahwa harta anak yatim tetap harta anak yatim. Walinya sekadar pengawas dan tidak boleh menguasai sebagai hartanya sendiri. Akan tetapi, dia boleh meminjam harta itu kalau sangat terdesak, dan boleh juga memperhitungkannya sebagai upah atau gaji, yang diperhitungkan baik-baik. Timbul kesimpulan bahwa memakan dengan sepatutnya (ma'ruf) ialah boleh meminjam akan dibayar, boleh menerima upah menurut patut, dan sekali-kali tidak boleh memakan harta itu dengan tidak hendak menggantinya, atau seperti harta kepunyaan orang gila atau orang pandir.
Sampai begitulah halusnya ahli-ahli tafsir dan fuqaha membicarakan hal ini.
PENYERAHAN DI HADAPAN SAKSI
“Kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi atasnya."
Di sini jelaslah sudah bahwa kalau sudah datang waktu menyerahkan harta anak yatim ke tangannya, sebab dia sudah bisa mengurus sendiri, hendaklah di hadapan saksi. Sebab, dengan adanya saksi, si pengawas dapat mempertanggungjawabkan bagaimana dia menjaga harta itu.
Jika dia miskin, sebagaimana disebut di pangkal ayat, sehingga ada harta itu yang termakan dengan ma'ruf, hendaklah diketahui.
Patut dibayar, dibayar; patut minta ridha, diharapkan ridhanya. Berkata Ibnu Abbas, “Apabila usianya sudah baligh, serahkanlah hartanya di hadapan saksi karena begitu perintah Allah."
Ada juga pembicaraan ulama tentang hukumnya memakai saksi ketika penyerahan itu. Madzhab Syafi'i dan Maliki menyatakan bahwa menyerahkan di hadapan saksi adalah wajib. Ada juga ulama, antaranya dalam Madzhab Hanafi mengatakan ini hanya perintah sunnah. Akan tetapi, apabila kita kaji sampai kepada bunyi ayatnya, menurut undang-undang ilmu Ushul Fiqih, di sini terdapat amar (perintah), yaitu fa asyhidu, hendaklah kamu adakan saksi.
Pokok pertama perintah adalah wajib, kecuali ada terdapat tanda-tanda lain yang menurunkan perintah itu kepada anjuran. Di dalam ayat ini tidak terdapat isyarat yang akan menurunkan derajat perintah menjadi anjuran, malahan ujung ayat memberi petunjuk bahwa perintah ini lebih berat kepada wajib. Sebab, ujung ayat berbunyi,
“Dan cukuplah Allah sebagai Penghitung."
Artinya,segalagerak-gerik,kejujuran,atau kecurangan wali pengawas harta anak yatim tidak lepas dari perhitungan dan pengawasan Allah. Kalau misalnya ada kecurangan, tidaklah hal itu dapat disembunyikan dari tilikan Allah Ta'aala. Kalau misalnya manusia dapat menyembunyikan dari mata sesama manusia di atas dunia ini, di akhirat pasti akan diperhitungkan kembali. Menilik ujung ayat yang mengandung ancaman ini, penulis tafsir ini lebih condong kepada pendapat ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah tersebut tadi, bahwa hukum menghadirkan saksi ialah wajib,
Untuk menenteramkan hati dalam mengamalkan perintah Allah ini, tidaklah ada halangannya, bahkan sangat dianjurkan apabila penyerahan kembali harta anak yatim yang telah dewasa dilakukan di hadapan notaris.