Ayat
Terjemahan Per Kata
قُولُوٓاْ
katakanlah
ءَامَنَّا
kami beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَآ
dan apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡنَا
kepada kami
وَمَآ
dan apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَىٰٓ
kepada
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
وَإِسۡمَٰعِيلَ
dan Ismail
وَإِسۡحَٰقَ
dan Ishaq
وَيَعۡقُوبَ
dan Yaqub
وَٱلۡأَسۡبَاطِ
dan anak-cucunya
وَمَآ
dan apa
أُوتِيَ
diberikan
مُوسَىٰ
Musa
وَعِيسَىٰ
dan Isa
وَمَآ
dan apa
أُوتِيَ
diberikan
ٱلنَّبِيُّونَ
Nabi-Nabi
مِن
dari
رَّبِّهِمۡ
Tuhan mereka
لَا
tidak
نُفَرِّقُ
kami membeda-bedakan
بَيۡنَ
di antara
أَحَدٖ
seseorang
مِّنۡهُمۡ
dari mereka
وَنَحۡنُ
dan kami
لَهُۥ
kepadaNya
مُسۡلِمُونَ
orang-orang yang tunduk/patuh
قُولُوٓاْ
katakanlah
ءَامَنَّا
kami beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَمَآ
dan apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡنَا
kepada kami
وَمَآ
dan apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَىٰٓ
kepada
إِبۡرَٰهِـۧمَ
Ibrahim
وَإِسۡمَٰعِيلَ
dan Ismail
وَإِسۡحَٰقَ
dan Ishaq
وَيَعۡقُوبَ
dan Yaqub
وَٱلۡأَسۡبَاطِ
dan anak-cucunya
وَمَآ
dan apa
أُوتِيَ
diberikan
مُوسَىٰ
Musa
وَعِيسَىٰ
dan Isa
وَمَآ
dan apa
أُوتِيَ
diberikan
ٱلنَّبِيُّونَ
Nabi-Nabi
مِن
dari
رَّبِّهِمۡ
Tuhan mereka
لَا
tidak
نُفَرِّقُ
kami membeda-bedakan
بَيۡنَ
di antara
أَحَدٖ
seseorang
مِّنۡهُمۡ
dari mereka
وَنَحۡنُ
dan kami
لَهُۥ
kepadaNya
مُسۡلِمُونَ
orang-orang yang tunduk/patuh
Terjemahan
Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman), “Kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan kepada kami, pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunannya, pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta pada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.”
Tafsir
(Katakanlah,) ucapan ini ditujukan kepada orang-orang beriman ("Kami beriman kepada Allah dan pada apa yang diturunkan kepada kami) yakni Al-Qur'an (dan pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim) yakni shuhuf, yaitu lembaran-lembaran yang sepuluh (kepada Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya) (dan apa yang diberikan kepada Musa) berupa Taurat (dan Isa) yakni Injil (begitu juga yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka) baik berupa kitab maupun ayat. (Tidaklah kami beda-bedakan seorang pun di antara mereka) sehingga mengakibatkan kami beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan Kristen, (dan kami hanya tunduk kepada-Nya semata.").
Tafsir Surat Al-Baqarah: 136
Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya; dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Ayat 136
Melalui ayat ini Allah ﷻ memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk beriman kepada Al-Qur'an secara rinci yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad ﷺ) dan beriman kepada semua kitab yang pernah diturunkan kepada para nabi terdahulu secara ijmal (global).
Dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang tertentu dari kalangan para rasul, sedangkan yang lainnya disebutkan secara global. Hendaknya mereka tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul itu, bahkan mereka beriman kepada semua rasul. Janganlah mereka seperti orang-orang yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan mereka bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, "Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya” (An-Nisa: 150-151) hingga akhir ayat.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Amrah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa orang-orang ahli kitab sering membacakan kitab Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian percaya kepada ahli kitab, jangan pula kalian mendustakannya, melainkan katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang diturunkan Allah’."
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam An-Nasai meriwayatkan melalui hadis Usman ibnu Hakim, dari Sa'id ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kebanyakan bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dalam dua rakaat sebelum salat Subuh ialah firman-Nya: “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (Al-Baqarah: 136) hingga akhir ayat. Sedangkan dalam rakaat yang keduanya adalah firman-Nya: “Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)” (Ali Imran: 52).
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan bahwa Asbat adalah anak-anak Nabi Ya'qub, semuanya berjumlah dua belas orang; masing-masing orang menurunkan satu umat, maka mereka dinamakan Asbat.
Khalil ibnu Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa Asbat menurut istilah orang-orang Bani Israil sama halnya dengan istilah kabilah menurut kalangan Bani Ismail (orang-orang Arab).
Az-Zamakhsyari di dalam tafsir Kasysyaf-nya mengatakan bahwa Asbat adalah cucu-cucu Nabi Ya'qub alias keturunan dari anak-anaknya yang dua belas orang. Ar-Razi mengutip pendapat ini darinya, dan ia tidak menyangkalnya.
IImam Al-Bukhari mengatakan bahwa Asbat adalah kabilah-kabilah Bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Asbat adalah suku-suku Bani Israil. Yang dimaksud dengan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari kalangan mereka ialah kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. kepada mereka (Bani Israil) melalui firman-Nya: “Ingatlah kalian nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka” (Al-Maidah: 20) hingga akhir ayat. Allah ﷻ berfirman: “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku” (Al-A'raf: 160).
Al-Qurthubi mengatakan, mereka dinamakan Asbat yang diambil dari kata sibt artinya berturut-turut (bertumpuk-tumpuk), maka mereka merupakan sebuah jamaah yang besar.
Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya adalah sabat yang artinya pohon. Karena jumlah mereka yang banyak, maka keadaan mereka diserupakan dengan pohon (yang banyak cabangnya); bentuk tunggalnya adalah sabatah. Az-Zujaj mengatakan, pengertian tersebut dijelaskan oleh sebuah atsar yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Ja'far Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Abu Najid Ad-Daqqaq, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seluruh nabi adalah dari kalangan Bani Israil kecuali sepuluh orang nabi, yaitu Idris, Nuh, Hud, Saleh, Syu'aib, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Ismail, dan Muhammad; semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semua.
Al-Qurthubi mengatakan, as-sibt artinya jamaah dan kabilah yang berasal dari satu keturunan.
Qatadah mengatakan, Allah memerintahkan kaum mukmin untuk beriman kepada-Nya dan membenarkan kitab-kitab-Nya serta seluruh rasul-Nya.
Sulaiman ibnu Habib mengatakan, sesungguhnya kita hanya diperintahkan beriman kepada kitab Taurat dan kitab Injil, tetapi tidak diperintahkan untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mus'ab As-Suwari, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Humaid, dari Abul Malih, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Berimanlah kepada Taurat, Zabur, dan Injil; dan amalkanlah Al-Qur'an oleh kalian."
Bimbingan Allah kepada Nabi Muhammad dan pengikutnya yang disebut pada ayat 135 dilanjutkan pula pada ayat ini. Katakanlah, wahai orang-orang yang beriman, kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, Kami beriman kepada Allah Yang Mahasempurna dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, baik berupa Al-Qur'an maupun tuntunan lain yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Dan demikian pula kami percaya kepada apa, yakni wah yu, yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Yakub, dan anak cucunya. Dan demikian juga kami percaya kepada apa yang diberikan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, baik berupa kitab suci maupun ajaran dalam bentuk lain, serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi lain yang bersumber dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-beda kan seorang pun di antara mereka, sehingga kami percaya kepada semuanya. Dan dalam per soalan ini kami berserah diri kepada-Nya. Maka jika mereka yang mengajakmu mengikuti agama mereka itu telah beriman persis sebagaimana yang kamu imani, sehingga mereka menjadi pengi kutmu, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk yang benar. Akan tetapi, jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu, maka Allah mencukup kan engkau, wahai Nabi Muhammad terhadap mereka dengan pertolongan dan janji-Nya yang pasti ditepati. Dan Dia Maha Mendengar perkataan musuh-musuhmu, Maha Mengetahui apa saja yang ada dalam hati mereka.
Ayat ini memberi petunjuk cara mengemukakan bantahan dan dalil-dalil dalam bertukar pikiran, yaitu dengan membandingkan antara asas suatu agama dengan agama lain dan sebagainya.
Al-Asbat ialah anak cucu Nabi Yakub a.s. Yang dimaksud dengan "beriman kepada nabi-nabi" yang tersebut di atas ialah beriman kepada nabi Allah, yang telah diperintahkan mengajak orang pada masanya beriman kepada Allah. Prinsip-prinsip pokok agama yang dibawa oleh nabi adalah sama, yaitu ketauhidan.
Perkataan "kami berserah diri kepada-Nya", merupakan sindiran yang tajam yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrik Mekah. Karena mereka mengatakan dan mengakui sebagai pengikut Ibrahim a.s. sedang Ibrahim a.s. tidak menyekutukan Allah, seperti yang telah mereka lakukan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 130
“Dan siapakah yang akan enggan dari agama ibrahim itu kalau bukan orang telah memperbodoh dirinya."
Apakah sikap agama yang lebih tepat dan yang lebih benar daripada menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada Allah? Kamu, hai keturunan Ibrahim, yang meramaikan Ka'bah itu, yang hidup aman damai di sekelilingnya dan menerimai pusaka itu, bukankah kebodohanmu jua yang menyebabkan kamu enggan kembali kepada hakikat ajaran Ibrahimu itu? “Padahal sesungguhnya Kami telah memilih dia di dunia ini." Dia telah menjadi imam bagi manusia dan telah berkembang anak-cucunya melanjutkan ajarannya.
“Dan sesungguhnya dia di akhirat adalah dari orang-orang yang saleh."
Termasuk daftar orang-orang yang mulia yang mendapat kedudukan tinggi di sisi Tuhan, Ayat yang selanjutnya memberikan penegasan lagi,
“Tatkala berfirman kepadanya Tuhannya,
Ayat 131
“Bersenah dirilah engkau!' Dia menjawab, ‘Aku serahkan diriku kepada Tuhan bagi sekalian alam.'"
Allah berfirman, “Aslim! Berserah dirilah engkau'."
Ibrahim menjawab, “Aslamtu li Rabbil ‘alamin'. Aku telah menyerahkan diriku, jiwa dan ragaku kepada Allah Tuhan sarwa sekalian alam. Aku tidak berpaling sedikit jua pun kepada yang lain." Dari sinilah asal kata Islam itu. Dengan demikian, sejak semula sudahlah terang bahwa berhala, atau patung, atau kayu, ataupun batu, atau manusia yang diagung didewakan sudah tidak diakui sama sekali.
Kemudian datanglah ayat berikutnya,
Ayat 132
“Dan telah memesankan (pula) Ibrahim dengan itu kepada anak-anaknya dan Yakub."
Artinya, tatkala Ibrahim telah dekat akan wafat, dipanggilnyalah sekalian putranya untuk menyampaikan wasiatnya. Putra beliau yang terkenal ialah Isma'il dan Ishaq. Ibu Isma'il ialah Hajar, istri muda beliau yang dari gundik. Ibu Ishaq ialah Sarah. Tersebut juga bahwa ada lagi istri beliau yang ketiga, bernama Katura. Dari Katura ini beliau beroleh putra Zimram, Yoksan, Medan dan Madyan, Isbak dan Suah. Di antara cucu-cucunya yang telah besar di waktu beliau akan wafat itu ialah Ya'kub anak Ishaq. Ya'kub pun turut hadir di kala Ibrahim akan melepaskan napasnya yang penghabisan. Maka kepada anak-anak dan cucu itulah beliau pesankan wasiat terakhir, yaitu supaya mereka semuanya menyerahkan diri kepada Allah (Muslimun), jangan mempersekutukan yang lain dengan Dia, dan jangan menyembah berhala. Maka di antara wasiat beliau itu ialah,
“Wahai, anak-anakku. Sesungguhnya, Allah telah memilihkan untuk kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati melainkan hendaklah kamu di dalam Muslimin."
Artinya, sampai akhir hayat dikandung badan, pegang teguhlah agama yang satu ini, agama menyerahkan diri sepenuh dan sebulatnya kepada Allah, tidak bercabang kepada yang lain, tidak mempersekutukan, dan tidak mengatakan bahwa Dia beranak atau diperanakkan. Bahkan sampai kamu menutup mata, hendaklah tegas pegangan kamu, yaitu: Tiada Tuhan Melainkan Allah.
Ayat 133
“Atau apakah kamu menyaksikan, ketika telah dekat kepada Ya'kub kematian, tatkala dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apakah yang akan kamu sembah sepeninggalku?'"
Atau, apakah kamu menyaksikan? Suatu pertanyaan yang bersifat pengingkaran. Pertanyaan yang dihadapkan kepada orang Yahudi ataupun Nasrani, yang mengatakan bahwa Isma'il atau Ya'kub adalah pemeluk agama Yahudi ataupun agama Nasrani. Datang pertanyaan seperti ini yang maksudnya boleh diartikan, “Apakah kamu tahu benar apa wasiat Ya'kub kepada anak-anaknya tidak lain adalah menanyakan, apakah atau siapakah yang akan kamu sembah kalau aku telah meninggal dunia?" Di dalam ayat ini diterangkan dengan jelas apa bunyi jawaban dari anak-anaknya itu,
“Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhan engkau dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim dan Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Tunggal, dan kepada-Nyalah kami akan menyerah diri.
Di ujung ayat ini dijelaskanlah bahwa jawaban anak-anak Ya'kub tidak berubah sedikit jua pun dengan apa yang telah mereka pegang teguh selama ini, yaitu agama ayah mereka dan datuk-nenek mereka; tidak ada Tuhan yang lain melainkan Allah. Sesudah mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, mereka pun mengaku pula bahwa tempat menyerahkan diri hanya Allah itu pula, tidak ada yang lain, dan itulah yang disebut di dalam bahasa Arab: Islam.
Ayat 134
“Mereka itu adalah umat yang telah lampau."
Setelah ayat-ayatyang di atas menguraikan panjang lebar dari hal Nabi Ibrahim, Nabi Isma'il, dan Nabi Ishaq dan menurunkan Bani Israil, menjadi kebanggaanlah pada umat keturunan mereka yang mendengar ayat-ayat ini apabila nenek moyang mereka diper-katakan. Memang nama-nama yang mulia itu telah meninggalkan bekas sejarah yang baik, tetapi mereka sekarang sudah tak ada lagi. Memang keturunan Ibrahim, dari Bani Isma'il dan Bani Israil, adalah pendukung ajaran ketuhanan yang murni, yaitu pengakuan atas keesaan Allah, tetapi hanya tinggal riwayat “Mereka akan beroleh apa yang teiah mereka usahakan!' Artinya, segala usaha mereka, perjuangan mereka, suka dan duka mereka di dalam menegakkan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa itu, yang tidak bersekutu yang lain dengan Dia, tidaklah lepas dari tilikan Allah, “Dan kamu pun akan beroleh (pula) hasil dari apa yang kamu usahakan “ Artinya, tidaklah kamu yang datang di belakang ini akan mendapat pahala dari hasil usaha umat yang telah lampau itu. Tidak pada tempatnya kamu membanggakan hasil usaha umat yang telah lampau itu, yang telah istirahat di alam kubur, sedangkan kamu tidak berusaha melanjutkannya. Kamu baru akan mendapat
pahala kalau katnu membuat usaha sendiri pula.
“Dan tidaklah kamu akan diperiksa dari hal apa yang telah Mereka kerjakan."
Salah atau benar hasil usaha orang yang telah terdahulu itu tidaklah ada sangkut pautnya dengan kamu yang datang di belakang; barulah mendapat pahala pula kalau kamu menghasilkan pekerjaan yang baik.
***
Ayat 135
“Dan mereka berkata, ‘Menjadilah kamu Yahudi atau Nasrani supaya kamu dapat petunjuk."
Orang Yahudi berkata, “Masuklah ke dalam agama Yahudi supaya kamu mendapat petunjuk." Orang Nasrani pun berkata begitu pula. Sekarang, setelah dijelaskan duduk perkara, yaitu bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ adalah agama Nabi Ibrahim, menyerah diri dengan segala tulus ikhlas kepada Allah, dan agama itu jauh terlebih dahulu daripada apa yang dinamakan agama Yahudi atau apa yang dinamakan agama Nasrani, dapAllah disambut seruan mereka mengajak masuk agama mereka itu."Katakanlah, ‘Bahkan agama Ibrahim yang lurus!" Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata hanif. Kadang-kadang diartikan orang juga condong sebab kalimat itu pun mengandung arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Allah atau condong hanya kepada Allah, tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu, di dalamnya terkandung juga makna tauhid. Itu-lah agama Nabi Ibrahim,
“Dan bukanlah dia dari orang-orang yang musyrik."
Oleh sebab agama Nabi Ibrahim adalah lurus kepada Allah dan Ibrahim itu sendiri bukanlah seorang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain, dan itu agama yang kami pegang, perlu apa lagi kami masuk ke agama Yahudi atau agama Nasrani. Sebab kalau kedua agama itu berasal lurus pula, tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, perlu apa lagi masuk ke agama yang dua itu, padahal dia pun timbul jauh kemudian di belakang Nabi Ibrahim. Dan lalu pemuka kedua agama itu mengatakan bahwa agama mereka memang agama Nabi Ibrahim juga.
Ayat 136
“Katakanlah olehmu!"
Seruan memakai kamu ini ialah kepada umat beriman pengikut Nabi Muhammad ﷺ Artinya, terangkanlah pendirian Islam yang sebenarnya tentang agama, “Kami percaya kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami," yaitu Al-Qur'an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ"Dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il dan Ishaq dan Ya'kub dan anak-cucu." Dan sudahlah dijelaskan tadi bahwasanya dasar ajaran Ibrahim yang dilanjutkan oleh Isma'il, nenek moyang orang Arab dan Ishaq dan Ya'kub nenek moyang Bani Israil adalah satu jua, yaitu menyerah diri kepada Allah. Ini pun dipegang teguh oleh anak-cucu mereka, yaitu anak Nabi Ya'kub yang dua belas orang dan keturunan mereka.
“Dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka; tidaklah Kami membeda-bedakan di antara seorang pun dari Mereka, dan kami kepada-Nya, semua menyerah diri."
Inilah dia pokok ajaran Islam. Segala nabi-nabi itu sama-sama dipercayai dan diimani. Kepada Ibrahim dan anak-anaknya diturunkan wahyu; kami percaya akan ajaran itu. Kepada Musa dan Isa diberikan Taurat dan Injil; kami pun percaya bahwa Tuhan memang memberikan kitab-kitab itu kepada mereka. Dan nabi-nabi yang lain pun ada yang diberi kitab-kitab, shuhufatau Zabur. Semuanya itu adalah dalam kepercayaan kami. Dan kepada Allah sendiri kami tetap menyerah diri, kami tetap Muslim.
Ayat 137
“Maka jika Mereka telah percaya sebagaimana yang kamu telah percaya sesungguhnya telah dapat petunjuklah Mereka."
Dengan pangkal ayat ini mereka diajak berpikir yang waras, yang logis (menurut manthiq).
Kalau mereka sudi menurut pikiran yang teratur, tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu mempertahankan golongan, tentu mereka akan menyetujui, yaitu bahwa sekalian nabi, sejak dari Ibrahim sebagai nenek moyang sampai kepada Isma'il, sampai kepada Musa sebagai rasul pahlawan pembebas Bani Israil dari belenggu perbudakan Fir'aun, sampai kepada Isa al-Masih, sebagai pemberi peringatan kembali akan pokok ajaran Taurat, adalah semuanya beliau-beliau itu penegak dari hanya satu paham saja, yaitu menyerah diri kepada Allah yang Tunggal. Kalau mereka telah menyetujui ini dengan sendirinya mereka telah memegang petunjuk itu, artinya itulah hakikat yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai penyambung usaha nabi-nabi yang dahulu itu.
Mari kita perhatikan bunyi ayat sekali lagi. Di dalam ayat ini tidak ada perkataan “masuklah ke dalam agama kami ini supaya kamu mendapat petunjuk seperti kami pula", tetapi susunan ayat lebih halus dari itu, yaitu kalau kamu telah benar-benar menyerah diri dengan tulus ikhlas kepada Allah, dengan sendirinya kamu telah mendapat petunjuk. Maka dengan ayat ini, kita yang telah mengakui diri orang Islam, karena kebetulan kita keturunan orang Islam, diberi pula peringatan bahwa Islam yang sebenarnya ialah penyerahan diri yang sebenarnya kepada Allah, disertai ikhlas, tidak bercabang kepada yang lain. Meskipun bernama orang Islam, tetapi jika penyerahan diri tidak bulat kepada Allah, sama sajalah dengan orang Yahudi dan Nasrani, yang mengambil persandaran kepada nabi-nabi Allah pada nama, padahal tidak pada hakikat. Maka sesuailah semuanya itu dengan maksud ujung ayat, “Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan berpecah-belah."Terang sekali tujuan ayat ini. Persatuan seluruh umat manusia hanya akan tercapai bilamana penyerahan mereka hanya satu, yaitu kepada Allah saja. Apabila berpaling dari Allah kepada yang lain, niscaya perpecahanlah yang timbul.
Perselisihan yang terjadi di antara penyembah berhala sesama penyembah berhala, semuanya tidak akan membahayakan bagi Rasul dan orang yang beriman kepada ajarannya, asal mereka tidak berganjak dari pendirian yang digariskan itu, bahkan merekalah yang akan membawa damai bagi segala yang bertentangan: fa sayakfikahumullah! Allah akan menyelamatkan engkau dari mereka. Ayat sekelumit kecil ini amat luas yang dicakupnya. Asal pegangan sudah ada, asal tauhid sudah matang, janganlah bimbang menghadapi hidup. Tidak ada setan yang akan dapat memperdayakan, tidak ada jin yang akan dapat memengaruhi, tidak ada manusia yang akan dapat membujuk. Demikian luas dan dalamnya pengaruh firman Allah yang sepatah ini, sehingga dia dapat kita ingat di waktu-waktu kita menghadapi bahaya. Apa pun yang kita hadapi, Allah akan tetap menyelamatkan dan memelihara kita, asal kita pun ingat selalu kepada-Nya.
“Karena Dia adalah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui."
Kemudian diberikan Allah-lah jaminan yang tertinggi atas nilai pendirian agama Nabi Ibrahim itu, maka firman Allah,
Ayat 138
“Celupan Allah, dan siapakah lagi yang lebih bagus celupannya daripada Allah."
Shibghatallahi ‘celupan Allah'! Berkata al-Akhfasy dan lain-lain, “Celupan Allah artinya Agama Allah!"
Menurut satu riwayat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dart Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan celupan Allah ialah agama Allah. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa maksud “celupan Allah" itu ialah fitrah Allah atau kemurnian Allah yang telah difitrahkan manusia atasnya.
Celupan Allah atas alam ini adalah keindahan yang asli, yang di dalam filsafat disebut estetika. Maka manusia yang sanggup mendekati keindahan yang asli itu sekali lagi kita katakan; mendekati! Manusia yang sanggup mendekati keaslian itu dalam lukisannya, dalam campuran warnanya, dinamai seniman. Bertambah pandai mereka mendekati, bertambah agunglah mereka dalam pandangan para peminat seni. Sebab itu, kebenaran seni bukanlah keasliannya, melainkan pula kesanggupannya mendekati keaslian.
Begitu uratan kita tentang tafsir celupan itu, yang pertama, yaitu celupan atau campuran warna ciptaan Allah yang tidak dapat diatasi oleh siapa pun dalam alam ini.
Penafsiran yang kedua sebagai dari tabi'in yang ternama, yaitu Mujahid, arti celupan ialah fitrah, yang dapat kita artikan warna asli atau celupan asli dari jiwa manusia. Dan menurut penafsiran Qatadah tadi, dikatakan bahwasanya keyahudian atau kenasranian adalah celupan buatan manusia yang dicelupkan oleh ayah kepada anak atau celupan pendeta, yang sewaktu-waktu pasti luntur. Maka Islam yang berarti penyerahan diri yang sungguh-sungguh kepada Zat Allah Yang Maha Esa adalah celupan asli pada akal manusia. Sama terjadinya dengan akal itu sendiri. Sebab itu, dapAllah dipahami suatu hadits shahih yang terkenal bahwasanya manusia seluruhnya ini dilahirkan dalam fitrah, artinya dalam Islam, Cuma pendidikan ayah bundanyalah yang membuat anak jadi Yahudi, jadi Nasrani, atau jadi Majusi.
“Dan kami, kepada-Nyalah kami menghambakan …."
Kalau kita ambil tafsiran yang pertama tadi, yaitu bahwa celupan Allah atas alam, dengan berbagai ragam warna, tidaklah dapat diatasi oleh pencelup yang lain, atau keindahan alam karena keindahan Allah. Kita sampai kepada inti sari agama dengan melihat benda yang nyata di sekeliling kita. Kita mengakui beribadah kepada Allah. Di sini, kita mendapat Allah di dalam seni.
Kalau kita ambil penafsiran kedua bahwa celupan Allah yang asli itu ialah keadaan fitrah manusia, jiwa murni manusia, belum dicampuri oleh celupan dan lukisan warna manusia, yang bisa rusak karena hujan dan panas, sampailah kita kepada hakikat hidup, artinya sampailah kepada Allah dari segi keruhanian. Di sini, kita mendapat Allah dari segi filsafat. Sebab campuran warna yang lahir telah menimbulkan kesan kepada campuran warna yang batin.
Di samping kedua tafsiran tadi, shibghah dengan makna warna-warni yang diciptakan Allah di dalam alam, yang menimbulkan minat kesenian, dan shibghah dengan arti fitrah, celupan asli jiwa manusia, bertemu lagi kete-rangan dari setengah ahli tafsir. Kata mereka, asalnya maka timbul kata celupan ini ialah karena orang Nasrani membaptiskan putranya dengan air, yang mereka namai ma'mudiyah atau baptisan atau di-doop, atau dipermandi-kan, barulah mereka berkata “shibghatallah" celupan Allah, artinya Islam, inilah permandian yang betul.
Bila kita renungkan penafsiran yang ketiga ini, dapatlah kita menarik garis perbedaan paham tentang kesucian jiwa di antara Islam dan Nasrani. Di dalam Islam, anak lahir ke dunia dalam keadaan suci, tidak ada dosa dan bersih (fitrah). Setelah datang ke dalam lingkungan orang tuanya, barulah anak itu mempunyai warna yang tidak asli. Oleh sebab itu, hendaklah pendidikan orang tua memelihara dan menumbuhkan kemurnian anak itu di dalam hidupnya, agar tidak terlepas daripada beribadah kepada Allah. Sedang bagi agama Nasrani adalah sebaliknya; anak lahir ke dunia adalah dalam dosa, yaitu dosa waris dari Nabi Adam. Setelah dipermandian dengan air serani itu, barulah dia bersih dari dosa. Karena dengan permandian itu berarti dia telah diberkati oleh Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan yang menebus dosa manusia dengan mati di kayu palang.
Setelah mengakui celupan Allah, yang satu kuasa pun tidak sanggup menyamai, usah pun melebihi celupan Allah, seorang yang beriman bertambah insaf akan kebesaran Allah. Keinsafan itu dibuktikannya dengan berbuat baik. Beribadah mempertahankan diri. Sebab itu, jelaslah bahwa peribadatan timbul sesudah berpikir.
Bagaimana orang yang telah mencoba pendirian demikian, hanya Allah tempat mereka berabdi, menyembah dan memuja, akan dapat diajak turun kembali pergi menyembah sesama makhluk?
Ayat 139
“Katakanlah, ‘Apakah kamu hendak membantah kami perihal Allah?"
Apakah kamu hendak membantah kami karena pada sangkamu bahwa Allah telah menentukan hanya Bani Israil-lah kaum yang terpilih. Nabi-nabi dan rasul-rasul hanyalah dari Bani Jsrail."Kami Bani Israii adalah kekasih Allah dan anak-anak Allah. Dan kalau masuk neraka, kami hanya berbilang hari saja." Pendeknya dalam tingkah dan caramu selama ini, kamu hendak memonopoli Allah hanya untuk kamu. Bagaimana kamu mendakwakan demi-kian, wahai saudara-saudara kami AhluI Kitab? “Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu?" Kita sama-sama makhluk-Nya. Jika nabi-nabi ada dalam kalangan Bani Israii, maka dalam kalangan Bani Isma'il pun apa salahnya ada nabi? Apakah kamu sangka bahwa umat yang telah memercayai Allah dan menyerah diri kepada-Nya bukanlah umat yang utama? Melainkan yang menjadi pengikut kamu saja yang utama? “Dan bagi kami adalah amalan kami dan bagi kamu amalan kamu." Mengapa kita harus bertengkar berbantah-bantah. Marilah kita masing-masing pihak beramal, bekerja, berusaha. Bukankah agama yang benar adalah mementingkan amal? Kalau kita bertengkar dan berbantah, niscaya amal menjadi telantar “Dan kami terhadap-Nya adalah ikhlas."
Kami terhadap Allah, ikhlas, bersih tidak terganggu oleh niat yang lain sebab kepercayaan kami tidak bercabang kepada yang lain.
Ayat 140
“Ataukah kamu katakan, ‘Sesungguhnya, Ibnahim dan Isma'il dan Ishaq dan Ya'kub dan anak-cucu adalah semuanya Yahudi dan Nasrani."
Artinya, bahwa orang Yahudi akan mengatakan Ibrahim dan keturunannya itu adalah Yahudi. Nasrani mengatakan demikian pula, mereka semuanya adalah Nasrani. Kalau mereka berkata demikian, “Katakanlah—wahai utusan-Ku, ‘Apakah kamu yang lebih tahu ataukah Allah?'" Dapatkah kamu mengemukakan bukti bahwa nama Yahudi sudah ada di zaman Ibrahim, Isma'il, Ishaq, dan Ya'kub? Nama Yahudi kamu ambil dari Yahuda anak Ya'kub, sebagai nama agama. Mulanya hanya nama dari keturunan satu suku, lama-lama kamu jadikan nama agama. Bagaimana kamu mengatakan nenek moyang itu beragama Yahudi? Kitab Talmud pegangan kamu, kumpulan peraturan dari pendeta-pendeta kamu, lama sesudah Nabi Musa barulah ada. Bagaimana kamu mengata-kan nenek moyang itu beragama Yahudi?
Apakah lagi agama Nasrani. Di zaman Isa al-Masih sendiri nama agama Nasrani atau Kristen belum ada atau belum pernah terdengar. Barulah Paulus kemudian meresmikan nama Masehi atau Kristen, yaitu setelah Nabi Isa sendiri meninggal dunia! Dan ketentuan, upacara peribadatan, pembaptisan, dan sebagainya itu belumlah dikenal di zaman Nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, dan Ya'kub serta anak-cucu mereka itu. Hal ini jelas tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru sendiri, yaitu di dalam Kisah Segala Rasul, Pasal 11. Di dalam ayat 19 sampai ayat 25 dinyatakan bahwa pada mulanya setelah Isa al-Masih meninggalkan dunia, murid-muridnya hanya menyebarkan ajaran al-Masih dalam kalangan Yahudi saja. Akan tetapi, karena tantangan yang keras dari orang Yahudi di Jerusalem sendiri sehingga seorang di antara murid itu yang bernama Stepanus mati dibunuh orang Yahudi, ber-cerAl-berailah murid-murid al-Masih itu. Ada yang mengembara ke Cyprus dan ada yang berangkat ke Cyrania. Dan, ada yang berangkat ke Antiochia, mencoba menyebarkan ajaran itu pula kepada orang Greek (Yunani). Seorang di antara murid al-Masih bernama Barnabus, berangkat ke Tarsus dan di sana bergabung dengan Paul (Paulus) dan menyebarkan ajaran al-Masih bersama-sama, dan melanjutkan perjalanan ke Antochia."Tatkala dijumpainya dia, lalu dibawanya ke Antiochia."
Demikianlah setahun genap lamanya keduanya itu berhimpun bersama-sama dengan sidang Jum'at serta mengajar beberapa banyak orang. Maka di Antiochialah murid-murid itu mula-mula disebut orang Kristen.
Jadi, nama Kristen, Nasrani, atau Masehi itu tidaklah dalam zaman Isa al-Masih itu sendiri dan bukanlah beliau yang memberikan nama itu, melainkan murid-muridnya sesudah dia mati saja. Sedang al-Masih semasa hidupnya menamai dirinya dari keturunan Bani Israil.
Apakah kamu yang lebih tahu ataukah Allah? Kalau kamu berbicara dengan jujur, kamu akan mengakui bahwa awal pokok ajaran Nabi Musa ialah menyembah Allah Yang Maha Esa, yang tersebut dalam Hukum yang Sepuluh. Dan Nabi Isa al-Masih ketika ditanyai oleh orang Yahudi, pun mengakui bahwa yang beliau tegakkan ialah agar mencintai Allah, lebih dari mencintai diri sendiri. Mengapa hal ini hendak kamu sembunyikan? “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?" Yang tertulis dengan jelas dari kitab-kitabmu itu? Itulah pokok agama Ibrahim sejati, yang dilanjutkan oleh Musa dan Isa lalu sekarang oleh Muhammad ﷺ Yang lain dari itu adalah tambahan-tambahan saja dari pendeta-pendeta kamu, kahin, dan ahbar Yahudi, uskup, petrick, kardinal Kristen.
“Dan Allah tidaklah lengah daripada apa yang kamu kerjakan."
Artinya, pemalsuan-pemalsuan yang telah kamu lakukan, tambahan yang telah kamu tambahkan, sehingga keputusan pemuka-pemuka agama yang telah mengubah pokok ajaran yang asal dari Allah tidaklah lepas dari penglihatan Allah. Tidak selamanya pula manusia dapat didinding dari kebenaran, sehingga lama-lama bila manusia telah timbul keberanian dan kebebasan pikiran, agama yang kamu tegakkan dengan cara begini akan kian lama kian ditentang orang dan perpecahan dalam kalanganmu sendiri akan bertambah menjadi-jadi. Sebab celupan manusia, bukan celupan Allah.
Agama yang sebenar agama hanyalah satu, yaitu penyerahan diri yang tulus ikhlas kepada Allah. Kalau ini dibantah, berarti kamu membantah fitrahmu.
Sekali lagi Allah mengulang peringatan-Nya,
Ayat 141
“Mereka itu adalah suatu umat yang sesungguhnya telah berlalu"
Mereka telah pergi dan yang tinggal hanyalah jejak bekas dan sejarah, “Mereka akan mendapatkan apa yang telah mereka usahakan dan kamu pun akan mendapat apa yang telah kamu usahakan pula." Inilah peringatan kepada umat yang datang di belakang, baik umat Arab keturunan Isma'il maupun umat Yahudi keturunan Ya'kub dan Ishaq dengan kedua belas pecahan keturunannya. Bahwasanya nenek moyang mereka yang telah terdahulu itu, yang mana mereka telah banyak disebut dan jasa mereka menegakkan agama Allah atau hanifan Musliman, telah banyak diperkatakan.
Mereka itu sekarang sudah tidak ada lagi; yang tinggal hanya bekas dan sejarah mereka. Mereka itu telah berjasa menyampaikan ajaran agama Allah yang sejati itu kepada dunia. Jasa mereka yang baik akan mendapat ganjaran yang baik dari Allah. Dan kamu pun yang datang di belakang ini sebagai anak sejak anak-cucu keturunan mereka, tidaklah perlu hanya membanggakan dan mencukupkan sebutan dan pujian atas jasa mereka. Kalau mereka mendapat ganjaran yang baik dari Allah, bukanlah itu berarti menjadi ganjaran pula, mentang-mentang kamu membanggakan diri sebagai keturunan mereka.
Barulah kamu akan mendapat ganjaran setimpal pula dari Allah, apalagi usaha mereka yang telah lalu itu kamu sambung dengan amalan yang mulia pula,
“Dan tidaklah kamu akan diperiksa perihal apa yang Mereka kerjakan."
Buruk atau baik, mulia atau hina, per-ouatan umat-umat yang telah terdahulu itu, bukanlah tanggung jawab bagi kamu yang datang belakang. Yang akan kamu pertanggungjawabkan di hadapan Allah adalah amal usaha kamu sendiri.
Inilah satu peringatan yang keras, sampai diulang Allah dua kali, yaitu ayat 134 dan ayat 141 ini, yang sama isinya dan sama susunannya. Memang patutlah hal ini diulang-ulangi walaupun berpuluh kali. Sebab sudah menjadi penyakit bagi suatu umat keturunan umat yang besar, membanggakan amalan nenek moyang, tetapi tidak berusaha menyambung usaha itu. Orang Arab keturunan Isma'il di negeri Hijaz membanggakan bahwa mereka adalah keturunan dari pembangun Ka'bah, padahal mereka telah menyembah berhaia. Orang Yahudi di Madinah merasa diri lebih tinggi dari orang Arab, dengan menyebut nama nabi-nabi yang diutus Allah di kalangan mereka, sejak Musa sampai beberapa Nabi dari Bani Israil, padahal merekalah yang banyak membunuh nabi-nabi itu karena tidak cocok dengan hawa nafsu mereka. Sekarang, datang Nabi Muhammad ﷺ mengajak kembali kepada ajaran pokok yang asli dari nenek moyang itu, tetapi mereka bertahan pada pendirian-pendirian yang salah, yang telah jauh dari ajaran nenek moyang itu.