Ayat
Terjemahan Per Kata
وَءَاخَرُونَ
dan orang-orang lain
مُرۡجَوۡنَ
mereka ditangguhkan
لِأَمۡرِ
bagi/sampai keputusan
ٱللَّهِ
Allah
إِمَّا
adapun/adakalanya
يُعَذِّبُهُمۡ
Dia mengazab/menyiksa mereka
وَإِمَّا
dan adapun/adakalanya
يَتُوبُ
Dia menerima taubat
عَلَيۡهِمۡۗ
atas mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
وَءَاخَرُونَ
dan orang-orang lain
مُرۡجَوۡنَ
mereka ditangguhkan
لِأَمۡرِ
bagi/sampai keputusan
ٱللَّهِ
Allah
إِمَّا
adapun/adakalanya
يُعَذِّبُهُمۡ
Dia mengazab/menyiksa mereka
وَإِمَّا
dan adapun/adakalanya
يَتُوبُ
Dia menerima taubat
عَلَيۡهِمۡۗ
atas mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan (balasannya) menunggu keputusan Allah. Mungkin Dia akan mengazab mereka dan mungkin Dia akan menerima tobat mereka. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan ada pula orang-orang lain) di antara orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang (yang ditangguhkan) dapat dibaca murjauna dan dapat pula dibaca murja'uuna; artinya tobat mereka ditangguhkan (sampai ada keputusan Allah) tentang perihal mereka sesuai dengan kehendak-Nya (adakalanya Allah akan mengazab mereka) seumpamanya mereka dimatikan oleh Allah tanpa sempat bertobat (dan adakalanya Allah akan menerima tobat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui) tentang makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) di dalam melakukan apa yang harus Ia lakukan terhadap mereka. Yang dimaksud dengan mereka ialah ketiga orang yang kedatangannya kepada Nabi ﷺ telah disebutkan tadi, mereka adalah Murarah bin Rabi', Kaab bin Malik dan Hilal bin Umayyah. Mereka tidak berangkat ke medan perang hanya karena malas dan cenderung kepada hidup yang serba santai dan enak, bukannya karena munafik. Dan mereka tidak mengemukakan uzurnya (alasannya) kepada Nabi ﷺ seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang lain. Akhirnya perihal mereka ditangguhkan selama lima puluh hari, selama itu mereka hidup diasingkan oleh semuanya sehingga turunlah ayat yang menjelaskan diterimanya tobat mereka.
Tafsir Surat At-Taubah: 106
Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima tobat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa mereka adalah tiga orang yang tidak ikut berperang. Dengan kata lain, mereka ditangguhkan dari tobat. Mereka adalah Mararah ibnur Rabi', Ka'b ibnu Malik, dan Hilal ibnu Umayyah.
Mereka duduk tidak ikut berperang dalam Perang Tabuk bersama orang-orang lainnya yang duduk karena malas dan cenderung kepada kehidupan yang tenang, santai, dan bermalas-malasan di bawah naungan pohon-pohon kurma yang berbuah. Mereka tidak ikut perang bukan karena dorongan ragu atau munafik. Di antara mereka terdapat segolongan orang yang mengikatkan diri di tiang-tiang masjid, seperti yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan teman-temannya.
Segolongan lainnya tidak melakukan hal tersebut, mereka adalah ketiga orang yang telah disebutkan di atas. Lalu turunlah ayat yang menyatakan bahwa mereka yang mengikatkan dirinya diterima tobatnya, sedangkan tobat yang lainnya ditangguhkan, hingga turun ayat selanjutnya, yaitu firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar.” (At-Taubah: 117), hingga akhir ayat.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas.” (At-Taubah: 118), hingga akhir ayat.
Seperti apa yang akan disebutkan nanti dalam hadis mengenai Ka'b ibnu Malik.
Firman Allah ﷻ: “Adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima tobat mereka.” (At-Taubah: 106) Artinya, mereka berada di bawah pemaafan Allah, jika Dia menghendakinya buat mereka. Dan jika Dia menghendaki yang lain, maka Dia pun akan melakukannya terhadap mereka. Akan tetapi, rahmat Allah mengalahkan murka-Nya.
“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 106)
Allah Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak menerima azab, dan Maha Mengetahui tentang orang yang berhak mendapat pemaafan. Maha Bijaksana Dia dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya; tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Selain terdapat kelompok yang mengakui dosa-dosa mereka lalu dianjurkan untuk bertobat dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, ada pula orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; mungkin Allah akan mengazab mereka, karena mereka tetap dalam kedurhakaan, dan mungkin Allah akan menerima tobat mereka, jika mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Allah Maha Mengetahui orang yang bertobat secara tulus, Mahabijaksana dalam menetapkan keputusanNya.
Sebagian manusia ada yang mengakui dosa-dosa mereka lalu bertobat dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, sehingga tobatnya diterima Allah, ada yang menangguhkan tobatnya sampai ada keputusan Allah, dan ada pula yang jahat dan terus bertambah jahat, misalnya orang-orang munafik. Hal ini terbukti di antara orang munafik itu ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana pada orang-orang yang beriman, untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orangorang yang beriman yang sudah mantap imannya, serta dengan tujuan menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah, yakni memerangi umat Islam, dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti akan senantiasa bersumpah palsu dengan berkata, Kami hanya menghendaki kebaikan dengan membangun masjid ini. Mereka tidak menyadari bahwa Allah Maha Mendengar dan Allah menjadi saksi, yakni mengetahui dengan pasti bahwa mereka itu pendusta dalam sumpahnya. Allah Maha Mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi dalam hati setiap orang.
Tiga orang yang tidak ikut ke medan perang bersama Rasulullah saw, yaitu Murarah bin Rabi, Ka'ab bin Malik dan Hilal bin Umayyah, padahal dalam hati mereka ada keinginan untuk menggabungkan diri, akan tetapi hal itu tidak dapat mereka lakukan, dan ketidakikutsertaan mereka itu bukan karena kemunafikan. Setelah Rasulullah ﷺ kembali dari medan perang, mereka berkata kepadanya, "Kami tidak mempunyai halangan apa-apa, kemangkiran kami adalah merupakan kesalahan semata." Dan mereka tidak menyatakan permintaan maaf atas kesalahan itu. Mereka tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan kawan-kawannya.
Karena adanya penegasan Allah dalam ayat ini bahwa tobat mereka itu ditangguhkan, maka Rasulullah ﷺ melarang kaum Muslimin lainnya untuk bergaul dan duduk bersama mereka. Rasulullah ﷺ juga memerintahkan kepada mereka bertiga untuk menjauhi isteri-isteri mereka, dan menyuruh isteri-isteri tersebut kembali kepada keluarga mereka, sampai turunnya firman Allah yang menegaskan diterimanya tobat mereka, seperti tersebut di atas.
Penangguhan tersebut mengandung dua kemungkinan, apakah Allah akan mengazab mereka ataukah Dia akan menerima tobat mereka, bila mereka bertobat. Dengan demikian, baik mereka ataupun orang-orang lain tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diri mereka. Apakah tobat mereka ada gunanya, sehingga Allah sudi menerima tobat mereka sebagaimana yang terjadi pada kawan-kawan mereka yang telah bertobat dan mengakui kesalahan mereka. Ataukah Allah akan menimpakan azab kepada mereka di dunia dan di akhirat kelak sebagaimana yang ditetapkan-Nya terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang karena kemunafikan mereka.
Penangguhan ini mengandung hikmah, supaya dalam hati mereka timbul rasa gelisah dan sedih, kemudian mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin lainnya diperintahkan untuk menjauhi dan mengasingkan mereka, sebagai pelajaran terhadap mereka bahwa setiap orang yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri dan tidak memperdulikan kepentingan umum, serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya patut mendapat pelajaran.
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang dapat memperbaiki keadaan hamba-Nya, Dia mendidik hamba-Nya cara membersihkan diri dari segala keburukan, baik secara perorangan maupun berkelompok. Allah Mahabijaksana dalam menetapkan hukum-hukum-Nya yang jelas dan bermanfaat bagi mereka dalam perbaikan dan peningkatan diri, apabila mereka benar-benar menaati peraturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Salah satu dari kebijaksanaan Allah ialah penangguhan adanya ketegasan diterima atau tidaknya tobat mereka. Hal tersebut bila dibaca atau didengar berulang kali oleh orang-orang mukmin lainnya niscaya akan menimbulkan ketakutan dalam hati mereka untuk berbuat semacam itu. Sudah barang tentu, hal ini merupakan semacam pendidikan dan pelajaran yang baik bagi umat seluruhnya, lebih-lebih bagi mereka yang melakukan kesalahan yang sama.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 103
“Ambillah dari harta benda mereka sebagai sedekah."
Pada khususnya yang disebut mereka di sini ialah golongan yang tersebut di ayat yang sebelumnya tadi, yaitu orang yang masih campur aduk baginya di antara amalan yang baik dengan yang buruk, tetapi dia sadar akan kekurangan dirinya dan ingin perbaikan. Tadi Allah telah menjanjikan bahwa semoga Allah dapat memberi tobat kepada mereka. Berfirmanlah Allah dalam ayat ini; salah satu usaha guna menaikkan orang yang masih terletak di tengah itu sehingga bisa mencapai martabat lebih tinggi, yaitu pengikut orang-orang yang mendahului yang mula-mula dengan baik, ialah supaya Rasulullah ﷺ meng-ambil sebagian tertentu dari harta benda mereka untuk sedekah. Lalu di lanjutan ayat diterangkan hikmah pengambilan itu. “Untuk membersihkan mereka dan menyucikan mereka dengan dia."
Di ayat ini dinyatakan suatu rahasia penting yang amat dalam, salah satu sebab mengapa manusia itu menjadi degil, sampai ada juga yang masih senang mencampur aduk amal baik dengan amal buruk, dan tidak juga insaf, sehingga akhirnya bisa jatuh jadi munafik atau fasik. Sebab yang terutama ialah pengaruh harta.
Ada dua tabiat yang tumbuh pada manusia karena keinginan memiliki harta. Pertama, tamak atau loba; kedua, bakhil atau kikir. Mau mengaut dan mengumpul sebanyak-banyaknya, dan mau mengeluarkan kembali sesedikit-sedikitnya. Perangai-perangai yang lain pun timbul adalah karena kedua perangai dasar yang utama ini. Biar mengecoh dan menipu asal mendapat laba. Biar bohong dan kadang-kadang timbul hati dengki melihat orang lain mendapat banyak. Kadang-kadang tak keberatan menganiaya orang lain, asal harta orang itu jatuh ke tangan awak. Yang paling rendah ialah menipu dan mencuri. Semuanya ini adalah kekotoran di dalam jiwa manusia karena pengaruh harta. Dia terdapat dalam ukuran kecil pada pribadi, dan dia terdapat dalam ukuran besar pada bangsa-bangsa. Sehingga perang di antara bangsa dan bangsa, atau penjajahan bangsa kuat atas bangsa lemah, atau pemerasan tenaga manusia atas manusia, atau revolusi si lemah tertindas kepada si kuat penindas berasal dari perebutan harta ini. Sehingga di zaman kita ini terkenallah ajaran Karl Marx, yang menyimpulkan bahwa seluruh kegiatan
hidup manusia di dalam segala bidang tidak lain ialah karena memperebutkan hak milik. Marx mengatakan bahwa sejak manusia mulai memakai istilah “ini aku punya" dan “itu engkau punya", sejak zaman itulah timbulnya pertentangan di antara yang mempunyai de-ngan yang tidak mempunyai. Sebab itu Marx mengambil kesimpulan bahwa pertentangan di antara yang berpunya dengan yang tidak mempunyai, adalah hukum besi sejarah yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Baru akan habis semuanya itu apabila tidak ada lagi kata-kata “ini aku punya" dan “itu engkau punya".
Sebagaimana telah dimaklumi, Karl Marx memperhitungkan soal ini dari segi kebendaan (materialisme) semata-mata. Dia tidak mengakui ada lagi segi di balik benda. Dia tidak mengakui adanya Allah, atau agama, atau moral, dan lain-lain yang bersifat kejiwaan. Tetapi Marx juga ingin perbaikan keadaan. Maka ujung dari ajaran Marx untuk memperbaiki keadaan itu ialah dengan melalui pertentangan tadi, dalam ajaran dia-tektika, yang akhirnya mencapai kepada habisnya segala pertentangan, karena kelas yang mempunyai itu habis dimusnahkan oleh kelas yang tidak mempunyai apa-apa. Untuk itu hendaklah si tidak punya, yang bernama proletar merebut kuasa dari kelas si berpunya. Setelah kekuasaan didapat hendaklah diadakan pemerintahan diktator proletariat, yaitu gabungan kelas buruh dan tani. Dengan cara diktator, dicabut segala hak tiap-tiap pribadi dari mempunyai dan semua menjadilah hak kepunyaan pemerintahan yang berkuasa. Dan diktator proletariat itu tetap dipertahankan, sampai kelak datang masanya, sesudah mela-lui sosialisme, mencapai komunisme, itulah dia menurut Marx dan orang-orang yang me-mercayainya, suatu zaman surga dunia yang gilang-gemilang, di mana kata hak milik tidak ada lagi.
Tidak ada yang mempunyai khusus, sebab
ngan seluruh rakyat, pihak-pihak Komando Penumpasan mengakui terus-terang bahwa pekerjaan mereka menumpas bahaya itu berjalan dengan lancar pada daerah-daerah yang di sana agamanya kuat.
Niscaya bahaya besar itu tidak akan terulang lagi apabila umat Islam dengan sadar menjalankan dan mempraktikkan ajaran agamanya, seperti 14 pokok yang diuraikan di atas itu. Sebab tidak ada di antara kita yang merasa dari umat Islam yang tidak cemas kalau-kalau hal yang ngeri itu berulang kembali. Maka untuk membendungnya tidak lain ialah mengamalkan ajaran agama dengan kesadaran, apatah lagi jika diperkuat oleh negara.
Sekarang kita teruskan tafsir.
“Dan shalawatkanlah atas mereka, (karena) sesungguhnya shalat engkau itu adalah membawa tenteram bagi mereka." Sesudah Rasulullah ﷺ diperintahkan Allah untuk mengambil atau memungut sedekah (zakat) mereka yang beriman itu, disuruhlah lagi Rasul ﷺ memberi shalawat bagi mereka, artinya mendoakan mereka kepada Allah agar mereka diberi karunia, berkat dan rahmat dari Allah, karena doa Nabi atau shalawat Nabi bagi mereka itu adalah akan menambah tenteram hati mereka, membuat mereka berasa bahagia sebab sedekah mereka disambut baik oleh Nabi.
Dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Auf, bahwa Nabi ﷺ apabila datang kepada beliau suatu kaum mengantarkan zakat, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, berilah shalawat atas si fulan."
Maka kata Abdullah bin Abi Aufa selanjutnya, “Datang pula ayahku membawa sede-kahnya, lalu beliau ucapkan pula:
“Ya Allah, berilah shalawat atas keluarga Abi Aufa." (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut riwayat dari an-Nasa'i pernah juga seketika seorang mengantarkan zakat seekor unta yang bagus, beliau ucapkan:
“Ya Allah, beri berkatlah padanya dan pada untanya" (HR an-Nasa'i)
Oleh sebab itu, Imam Syafi'i pun bertafwa bahwa imam (kepala negara) kalau menerima zakat baiklah dia menuruti sunnah Nabi ﷺ ini, yaitu mendoakan pembawa zakat itu, mo-ga-moga diberi Allah pahala dan diberi berkat.
Di dalam ayat ini Allah menyatakan kepada Rasul-Nya bahwasanya shalawat atau doa dari Nabi ﷺ yang beliau berikan ketika beliau menyambut penyerahkan sedekah atau zakat itu, adalah membawa tenteram bagi hati mereka. Hilanglah segala jerih payah mereka itu, jika mereka datang membawa zakat, disambut Rasul ﷺ dengan muka jernih dan dia didoakan. Muka jernih dan shalawat dari Rasul ﷺ itu menyebabkan barang yang berat menjadi ringan, dan yang jauh menjadi hampir. Mereka akan sudi selalu berzakat dan berkorban, karena sambutan Rasul ﷺ yang baik itu.
Soal yang tampaknya kecil ini jadi bincangan juga di kalangan ulama. Setengah me-ngatakan hanya sunnah, tetapi ada juga yang mengatakan wajib. Meskipun tampaknya kecil, namun dia menjadi, satu teladan yang baik bagi kita umat Islam yang mengurus sendiri soal-soal agama kita, misalnya dengan membentuk panitia-panitia atau perkumpulan yang memungut zakat dan membagikan kepada yang mustahak, yakni agar disambut dengan baik si pemberi zakat itu, ditunjukkan muka yang jernih, diiringkan dengan doa, yaitu suatu servis atau penyelenggaraan yang berpokok dari agama. Adakah tidak patut dihormati dan dihargai orang yang telah sudi mengeluarkan sebagian hartanya karena demi menjunjung tinggi perintah Allah, pada zaman ini, yaitu zaman tidak ada khalifah lagi yang berhak memungut dengan paksa kepada yang tidak mau dan amal terserah kepada kesadaran beragama seseorang? Mereka sendiri yang mengantarkan zakat dengan sukarela kepada panitia.
Di penutup ayat berfirmanlah Allah,
“Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Sesudah Allah memerintahkan Rasul-Nya supaya sedekah umat-Nya dengan shalawat dan doa untuknya, Allah mengatakan bahwa Dia mendengar. Artinya, shalawat Nabi untuk umat itu didengar oleh Allah, sebab itu akan dikabulkan-Nya. Maka bertambah tenteramlah hati si Mukmin tadi. Dan Allah pun mendengar suara tobat hamba-Nya—yang bertali dengan ayat sebelumnya—yaitu merasa menyesal karena selama ini, amalnya masih campur aduk saja di antara yang buruk dan yang baik. Dan, Allah pun mengetahui akan keikhlasan hati mereka dengan mengeluarkan harta itu, karena insaf bahwa harta itu Allah-lah yang sebenarnya punya, dan dia hanya mengambil manfaat karena izin Allah, sekarang dia belanjakan kepada jalan yang diridhai oleh Allah yang empunya dia.
Kemudian datanglah susulan ayat untuk menghilangkan lagi segala sisa kebimbangan dari hati Mukmin bahwa asal ikhlas, tobat mereka diterima dan sedekah mereka disambut dengan ucapan shalawat oleh Nabi. Maka berfirmanlah Allah,
Ayat 104
“Apakah mereka tidak mengetahui bahwasanya Allah akan menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengambil sedekah-sedekah, dan bahwasanya Allah adalah Dia memberi tobat dan Penyayang,"
Dengan kunci ayat seperti ini berupa pertanyaan, seakan-akan berkatalah Allah kepaaa hamba-hamba-Nya: “Teruslah tobat, keluarkanlah zakat, jangan menunggu lama lagi, sebab pintu Allah selalu terbuka menunggu kedatanganmu."
Dengan tobat, dosa yang lama telah disesali; dengan sedekah, perubahan jiwa telah dibuktikan. Maka cinta kasih Allah pun ber-kelimpahanlah, niscaya jiwa kian lama kian bersih.
Dirawikan sebuah hadits oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah marfu'; bersabda Nabi ﷺ.
“Tidaklah bersedekah seseorang kamu dengan suam sedekah dan hasil usaha yang halal dan baik, sedang Allah tidaklah menerima melainkan yang baik. Melainkan sedekah itu akan disambut oleh Allah Yang Rahman dengan tangan kanan-Nya, meskipun hanya sebiji kurma, maka akan suburlah, dia dalam telapak tangan Ar-Rahmaan. sehingga akan lebih besar dari sebuah gunting, sebagaimana menternakkan seorang kamu akar, seekor anak kudanya atau anak untanya." (HR Muslim dan Bukhari)
Sesudah itu datanglah perintah beramal.
Ayat 105
“Dan katakanlah, ‘Beramallah kamu, maka Allah akan me…kan amalan kamu dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.'"
Inilah lanjutan tuntunan Allah kepada orang yang telah bertobat. Langkah pertama dari tobat ialah bersedekah, yakni membebaskan dan membersihkan dan menyucikan jiwa dari pengaruh hatta benda selama ini memperbudak diri. Sesudah itu janganlah berhenti sehingga itu saja, melainkan terus beramal karena nilai kehidupan ditentukan oleh amalan yang bermutu. Maka tidaklah boleh ada Mukmin yang kosong waktunya dari amal. Amal itu tidaklah akan lepas dari perhatian Allah dan Rasul dan orang yang beriman.
Amal artinya ialah pekerjaan, usaha, perbuatan atau keaktifan hidup. Di dalam surah al-lsraa' ayat 84 yang turun di Mekah, Allah berfirman,
“Katakanlah, ‘Tiap-tiap orang beramal menurut bakatnya. Tetapi Allah engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan"‘ (al-Israa': 84)
Setelah dipertaiikan dengan ayat ini, dapatlah kita ketahui bahwa Allah menyuruh kita bekerja menurut bakat dan bawaan, menurut tenaga dan kemampuan. Bekerjalah menurut bakat itu, tidak usah dikerjakan pekerjaan lain yang bukan tugas kita, supaya umur jangan habis percuma. Pergaulan hidup manusia menghendaki dalam segala simpang siurnya. Bertani, beternak, memburuh, ber-kuli, menjadi tentara, menjadi negarawan, menjadi pengarang, menjadi pedagang. Ayah mendidik anak, ibu memelihara rumah tangga, murid belajar, guru mengajar. Walau tukang arit rumput atau membuka perusahaan besar. Walaupun menjadi nakhoda kapal atau pilot pengemudi pesawat terbang, dan sopir pembawa mobil. Dokter mengobati orang, perawat merawat orang sakit, ahli hukum menegakkan hukum. Apatah lagi, bertambah kemajuan hidup manusia, bertambah pula timbul kejuruan dalam hal-hal yang khas. Timbullah spesialisasi. Maka ayat yang tengah kita tafsirkan ini, dipersambungkan dengan ayat 84 surah al-lsraa' tadi, menjadilah rangsangan yang hebat dari Allah melarang kita malas dan membuang-buang waktu. Mutu pekerjaan harus ditingkatkan dan selalu memohon petunjuk dari Allah, dan kalau dari mata pekerjaan itu kita beroleh re-jeki, keluarkanlah zakatnya atau sedekah tathawwu'-nya. Terkadang, walaupun kita tidak dapat memberikan bantuan uang kepada orang lain, senyum simpul dan muka jernih saja pun sudahlah menjadi sedekah. Di satu hadits yang shahih Nabi pun bersabda bahwa menghindarkan duri, atau pecahan kaca, atau paku yang bisa membocorkan ban mobil orang yang lalu lintas, sudah termasuk sedekah juga.
Pikirkanlah ini dan tilik dengan kacamata zaman modern. Ayat ini dengan tegas menyuruh kita mempertinggi produksi, dan tiap-tiap kita mestilah produktif, mengeluarkan hasil, dan tahu di mana tempat kita masing-masing. Tidak ada pekerjaan yang hina, asal halal, dan asal tidak melepaskan diri dari ikatan dengan Allah.
Pada suatu hari dalam perlawatan saya ke Sarawak (1960), sesudah saya memberikan beberapa kali penerangan agama, datanglah orang berduyun-duyun ke tempat penginapan saya, banyak yang membawa botol berisi air tawar, meminta agar saya mau memantra-kan karena menginginkan berkah. Ada pula perempuan menggendong anaknya, minta saya embus ubun-ubun anaknya, supaya dapat berkat. Di samping itu, ada pula beberapa orang datang minta diajarkan doa-doa buat diamalkan. Maka terpaksalah saya menerangkan arti amal. Kemudian saya terangkan bahwa doa adalah satu ranting saja dari keseluruhan amal. Amal ialah usaha dan bekerja. Kerjakanlah segala cabang pekerjaan saudara dengan sungguh-sungguh dan jaga agar jangan sampai tercampur dengan yang haram. Walaupun saudara hanya seorang tukang pangkas rambut, ataupun seorang tukang jahit pakaian, pertinggilah mutu pekerjaan itu. Usaha saudara mempertinggi mutu pekerjaan itu, yang terlebih dahulu memerhatikannya ialah Allah sendiri, kemudian itu Nabi ﷺ kita, kemudian itu tiap-tiap orang yang beriman. Kalau sekiranya saudara hanya asyik membaca doa dan menyangka bahwa itulah yang amal, sedang pekerjaan yang lain untuk hidup, untuk umat dan bangsa saudara abaikan, maka negeri saudara ini tidaklah akan lepas-lepas dari penindasan dan penjajahan bangsa asing.
Bagi teman-teman di Sarawak itu keterangan demikian rupanya dianggap baru, sebab menurut paham selama ini, amal itu ialah doa.
Membaca dan memahamkan kedua ayat ini, yaitu ayat 104 yang menyatakan bahwa Allah sudi menerima tobat dan sudi menerima sedekah atau zakat, hendaklah disena-paskan dengan ayat 105 selanjutnya yang menyuruh beramal. Bagaimana kita akan bisa mengeluarkan zakat kalau kita tidak berusaha dan beramal? Oleh sebab itu, paham yang salah dan tersesat, yang kebanyakan diajarkan oleh ahli-ahli tasawuf yang telah terbelok jauh dan tujuan Islam, sehingga mengartikan bahwa berdoa-doa dan duduk membaca wirid-wirid dan munajat, itulah yang disebut amal, tidaklah sesuai dengan ruh Islam.
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah memerhatikan amal kita. Kita tidak lepas dari mata Allah. Dan di waktu Rasul ﷺ hidup, beliau pun melihat. Dan kaum yang beriman pun melihat. Sebab itu orang yang beriman, kalau dia beramal tidaklah perlu memukul canang, menyorakkan ke hilir mudik bahwa saya berjasa dan saya kerja keras. Walaupun bekerja diam-diam di tempat sunyi, namun akhirnya pekerjaan yang baik itu akan diketahui orang juga. Memang kadang-kadang sesama manusia ada yang dengki, iri hati dan tidak mau mengakui jasa baik seorang yang bekerja. Janganlah hal itu dipedulikan, sebab penghargaan dari Allah dan Rasul ﷺ dan orang yang beriman, adalah yang lebih tinggi nilainya dari hanya hasrat dengki manusia.
Dan cobalah pikirkan dengan tenang, kita bekerja yang baik, beramal yang saleh dalam dunia ini, lain tidak, karena memang yang baik itulah yang wajib kita kerjakan.
Di balik yang baik adalah buruk, jalan tengah di antara baik dan buruk tidaklah ada. Dan kita harus berusaha supaya jangan bekerja campur aduk baik dan buruk. Itu pula sebabnya maka sendi dari amal itu wajib dipupuk, yaitu iman. Iman yang subur niscaya menimbulkan amalan yang baik.
“Dan akan dipulangkan kamu kepada yang Mengetahui apa yang gaib dan yang nyata, maka akan dibe…kan-Nya kepada kamu apa yang pernah kamu kerjakan itu"
Allah selalu memerhatikan amalmu. Za-himya diketahui Allah, batinnya pun diketa-hui-Nya. Gaibnya dan nyatanya, kulit pengubar luar dan teras yang ada di dalam. Dan nanti di akhirat akan diberitakan Allah bagaimana mutu amal itu, jujurkah atau curangkah. Di waktu itu tidak bisa bersembunyi lagi.
Tadi dikatakan, Allah memerhatikan. Rasul ﷺ memerhatikan, dan orang Mukmin pun memerhatikan. Niscaya Rasul sebagai manusia dan orang Mukmin pun kadang-kadang hanya melihat yang kulit saja, yang gaib mereka tidak tahu. Kadang-kadang ada juga orang Mukmin yang memerhatikan, melihat bahwa pekerjaan kita itu tidak ikhlas. Tetapi dia tidak sanggup membuka mulut mengatakan terus terang. Tetapi di hadapan Allah terlebih-lebih tidak dapat main-main. Tidak pun ada rahasia dan mutu amal itu akan dibuka oleh Allah.
Pada ayat 94, peringatan ini pun telah diberikan kepada orang munafik yang datang menyatakan uzur karena tidak turut pergi ke Peperangan Tabuk. Di ayat itu dinyatakan bahwa Rasul ﷺ dan orang yang beriman tidak percaya lagi kepada mereka, sebab Allah telah mengabarkan kecurangan mereka. Sungguh pun begitu, Allah dan Rasul dan orang-orang yang beriman akan melihat dan memerhatikan amal mereka juga. Akan tetapi di dalam ayat ini diberi ketegasan kepada orang-orang yang tobat. Kalau mereka telah tobat benar-benar, iringilah dengan sedekah. Kemudian, hendaklah beramal. Jadi bukan lagi semata-mata terserah kepada mereka, sebagai ayat 94, tetapi menjadi anjuran yang tegas, sebab mereka telah bersungguh-sungguh.
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
Ayat 106
“Dan orang-orang yang selain itu, akan ditangguhkan mereka kepada ketentuan Allah."
Orang-orang yang lain lagi, yaitu orang orang yang mencari dalih mengelak dari tanggung jawab itu. Ada orang munafik yang diterangkan pada ayat 94, datang mengambil muka mengatakan uzur, mereka tidakdipercaya dan akan dilihat dahulu bukti amalan mereka. Ada lagi orang lain yang insaf bahwa amalan mereka campur aduk saja selama ini dan ingin perbaikan din dan bertobat. Tobat mereka diterima, mereka disuruh mengeluarkan zakat atau disuruh beramal, karena amal mereka mendapat perhatian dari Allah. Sekarang ada lagi yang lain. Tidak datang mengemukakan uzur, tidak pula datang menyatakan tobat dan tidak pula menampakkan amal. Bercakapyang menentang pun tidak sehingga orang tidak dapat menduga bagaimana pendirian mereka yang sebenarnya. Maka orang semacam ini, terserahlah perkara mereka kepada ketentuan Allah.
Sebab itu tidaklah perlu orang-orang beriman memusingkan soal mereka. Soal mereka dikembalikan, atau diserahkan bulat kepada keputusan Allah. “Boleh jadi diadzab-Nya mereka dan boleh jadi diberi-Nya tobat atas mereka." Secara tegasnya, urusan orang yang demikian terserahlah di antara mereka dengan Allah. Orang lain janganlah terlalu mencampuri urusan itu, sebab segala sesuatunya sudah jelas, mungkin mereka berlarut-larut dalam kemunafikan, tidak juga ada kesadaran, niscaya adzab Allah-lab yang akan mereka terima. Boleh jadi pula lama-lama mereka pun insaf; sebab orang lain yang mengambil muka telah ditolak Rasul ﷺ, dikatakan bahwa mereka tidak dipercayai lagi, sebab rahasia mereka telah dibuka oleh Allah sendiri. Dan yang lain pula telah datang menyatakan tobat, padahal tobatnya diterima, sedekah dan zakatnya diambil, bahkan diiringkan pula dengan shala-wat dan dianjurkan buat memperbanyak amal. Kalau mereka itu tinggal begitu-begitu saja, tidak ada perubahan, niscaya adzab Allah-lah yang akan mereka terima. Dan kalau mereka insaf, tentu mereka tobat dan tobat itu akan diterima Allah.
Kalimat murjauna, yang kita artikan bahwa soal mereka ditangguhkan atau diserahkan pada ketentuan Allah. Kalimat murjauna ini pecahan dari mashdar (Afj) raja'-an. Boleh dipahamkan artinya bahwa urusan ini dita'khirkan, bukan soal kita manusia yang pokok, tetapi terserah pada ketentuan Allah. Kalimat inilah yang telah menimbulkan suatu madzhab pikiran dalam Islam, bernama Murji-ah Madzhab pikiran ini timbul
demikian hebatnya ketika terjadi pertentangan hebat di antara kaum muktazilah dengan Asy'ariyah, orang itu Islam juga, tetapi fasik. Orang Khawarij sangat sekali tegas pendirian mereka, memutuskan bahwa orang itu kafir. Satu paham lagi dari Muktazilah, dipelopori oleh Washil bin Atha, mengatakan bahwa orang itu “baina wa baina", di antara Islam dengan kafir. Islam benar bukan, kafir benar pun tidak. Maka datanglah madzhab paham Murji-ah mengatakan urusan demikian di-irja'-kan atau dipulangkan saja kepada Allah. Dan ujung ayat menjelaskan lagi hak mutlak Ilahi.
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Mahabijaksana."
Ujung ayat ini menutup pintu bagi orang-orang yang beriman, supaya dia jangan terlalu membuang waktu memperkatakan, orang lain, mengapa orang lain itu tidak menegaskan pendirian, mengapa dia tidak segera tobat, mengapa sedikit keluar zakatnya, dan lain-lain sebagainya. Kalau kita terlalu banyak membincang tentang orang lain, amalan kita sendiri akan terbengkalai. Allah yang mengetahui isi batin manusia. Pengetahuan kita kurang tentang itu. Dan Allah lebih bijaksana. Kadang-kadang orang yang pada mulanya kita sangka keras bubutan, sukar diberi pengertian, dengan takdir Allah tiba-tiba bertemu saja dia dengan satu sebab yang akan membawa perubahan dirinya.
Kita manusia tidaklah dapat mengetahui latar belakang keadaan orang lain, hanya Allah yang tahu. Misalnya, di dalam suatu pertemuan seseorang menyatakan sesuatu pendapat yang amat bertentangan dengan orang lain, bahkan bertentangan dengan kebiasaan selama ini.
Dia selama ini penyabar, tiba-tiba dia sekarang marah-marah saja sehingga terjadi ribut. Orang tidak tahu apa sebabnya, tetapi Allah lebih tahu. Ada sebab yang lain, yang tidak diketahui orang, yang menyebabkan dia bersikap begitu. Misalnya, sebelum pergi ke pertemuan itu dia berkelahi dengan istrinya. Dia sendiri tidak sadar bahwa kemarahannya di rumah, telah memengaruhi sikapnya dalam rapat.
Oleh sebab itu, ada beberapa soal dalam kehidupan manusia ini yang ketentuannya hendaklah kita pulangkan kepada Allah, atau di antara dia dan Allah. Sedangkan urusan jiwa kita sendiri dengan Allah, gejala-gejala nafsu, syahwat, marah, hiba hati, tinjauan atas sesuatu hal, kita sendiri pun merasa betapa sulitnya yang menyebabkan kita kadang-ka-dang tidak mengerti, apatah lagi buat mempertimbangkan keadaan orang lain, entah dia akan diadzab entah dia akan diberi tobat.
Menurut tafsir Ibnu Abbas, demikian juga dari Mujahid dan ikrimah dan adh-Dhahhaaq, maksud ayat murjauna, atau mereka yang ditangguhkan ini, ditujukan kepada tiga orang yang terkenal, yaitu Ka'ab bin Malik, Marrarah bin ar-Rabi, dan Hilal bin Umaiyah, yang turut pula termasuk orang-orang yang tidak ikut pergi ke Peperangan Tabuk. Oleh karena mereka terus terang bahwa perbuatan mereka itu hanya karena kelalaian dan malas, tidak mencari-cari dalih dusta, maka keputusan memberikan ampun terhadap mereka ditang-guhkan, artinya diserahkan pada keputusan Allah sendiri. Kelak akan didapati keterang-annya yang lebih luas pada tafsir ayat 117 dan 118.