Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
nabi
قُل
katakan
لِّأَزۡوَٰجِكَ
kepada istri-istrimu
إِن
jika
كُنتُنَّ
kamu sekalian
تُرِدۡنَ
kamu menghendaki
ٱلۡحَيَوٰةَ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَزِينَتَهَا
dan perhiasannya
فَتَعَالَيۡنَ
maka marilah
أُمَتِّعۡكُنَّ
akan aku berikan mut'ah kepadamu
وَأُسَرِّحۡكُنَّ
dan akan aku ceraikan kamu
سَرَاحٗا
perceraian
جَمِيلٗا
yang baik
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
nabi
قُل
katakan
لِّأَزۡوَٰجِكَ
kepada istri-istrimu
إِن
jika
كُنتُنَّ
kamu sekalian
تُرِدۡنَ
kamu menghendaki
ٱلۡحَيَوٰةَ
kehidupan
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَزِينَتَهَا
dan perhiasannya
فَتَعَالَيۡنَ
maka marilah
أُمَتِّعۡكُنَّ
akan aku berikan mut'ah kepadamu
وَأُسَرِّحۡكُنَّ
dan akan aku ceraikan kamu
سَرَاحٗا
perceraian
جَمِيلٗا
yang baik
Terjemahan
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, kemarilah untuk kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Tafsir
(Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu) yang pada saat itu jumlah mereka ada sembilan orang; mereka meminta kepada Nabi ﷺ perhiasan duniawi yang tidak dipunyai oleh beliau: ("Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya diberikan kepada kalian mut`ah) yakni mut`ah talak (dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik) aku ceraikan kalian tanpa menimbulkan kemudaratan.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 28-29
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. (Al-Ahzab: 28-29)
Ayat 28
Ini merupakan perintah dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa, ditujukan kepada Rasul-Nya agar Rasul memberitahukan kepada istri-istrinya, hendaknyalah mereka memilih antara diceraikan, lalu bebas kawin lagi dengan lelaki lain yang dapat memberi mereka kesenangan duniawi dan perhiasannya, dan tetap bersabar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang hidupnya begitu sederhana dan apa adanya, tetapi kelak mereka akan mendapat pahala yang berlimpah di sisi Allah bila bersabar.
Ternyata pada akhirnya mereka memilih pahala yang di akhirat. Maka Allah menghimpunkan bagi mereka sesudah itu kebaikan dunia dan kebahagiaan di akhirat. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, bahwa Siti Aisyah radhiyallaahu ‘anhu istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepadanya saat Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan kepadanya agar memberitahukan hal ini kepada istri-istrinya. Istri yang mula-mula didatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah dia sendiri, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya aku akan menuturkan kepadamu suatu urusan, maka janganlah engkau tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum meminta pendapat dari kedua ibu bapakmu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui bahwa kedua orang tuaku (Aisyah) belum pernah memerintahkan kepadaku untuk berpisah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu. (Al-Ahzab: 28), hingga akhir kedua ayat berikutnya. Maka aku menjawab, "Apakah karena urusan itu aku diperintahkan untuk meminta saran kepada kedua orang tuaku? Sesungguhnya aku hanya menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara ta'liq melalui Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu Lalu disebutkan hadis yang semisal, tetapi dalam riwayat ini ditambahkan bahwa setelah itu semua istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Aisyah. Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Ma'mar tidak tegas dalam riwayat ini; adakalanya dia meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah; dan adakalanya dia mengatakan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Aisyah radhiyallaahu ‘anhu pernah menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadanya: Sesungguhnya aku akan mengutarakan kepadamu suatu urusan, maka janganlah engkau memberikan suatu keputusan apa pun tentangnya sebelum kamu meminta persetujuan dari kedua ibu bapakmu.
Aku (Aisyah) bertanya, "Wahai Rasulullah, urusan apakah itu?" Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengulangi sabdanya, dan aku bertanya, "Urusan apakah itu, ya Rasulullah?" Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengulangi sabdanya, dan aku bertanya lagi, "Urusan apakah itu, ya Rasulullah?" Akhirnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat berikut kepadaku, yaitu firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya. (Al-Ahzab: 28), hingga akhir ayat. Maka aku menjawab, "Tidak, bahkan aku tetap memilih Allah, Rasul-Nya, dan pahala di negeri akhirat." Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam gembira mendengar jawabanku itu.
Ayat 29
Telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa ketika ayat takhyir diturunkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memulainya kepadaku. Beliau bersabda: Hai Aisyah, sesungguhnya aku akan mengutarakan suatu urusan kepadamu. Maka janganlah engkau mengemukakan suatu pendapat pun tentangnya sebelum engkau meminta saran dari kedua orang tuamu, Abu Bakar dan Ummu Ruman radhiyallaahu ‘anhu Maka aku bertanya, "Urusan apakah itu, ya Rasulullah?" Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membacakan firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. (Al-Ahzab: 28-29)
Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya aku menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan pahala negeri akhirat; dan untuk menanggapi urusan ini aku tidak perlu meminta saran dari kedua orang tuaku, Abu Bakar dan Ummu Ruman radhiyallaahu ‘anhu" Mendengar jawaban itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersenyum, senanglah hati beliau. Lalu beliau mendatangi kamar-kamar lainnya dan bersabda, "Sesungguhnya Aisyah telah mengatakan anu dan anu." Maka semua istri beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan, "Kami pun sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anhu" Ibnu Abi Hatim meriwayatkannya melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Amr dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Said ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika diturunkan kepadanya wahyu yang berkenaan dengan istri-istrinya, maka mula-mula beliau mendatangiku dan berkata: "Sesungguhnya aku akan menceritakan kepadamu suatu urusan, maka janganlah engkau tergesa-gesa sebelum meminta saran dari kedua orang tuamu. Maka Aisyah bertanya, "Urusan apakah itu, ya Rasulullah? Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Sesungguhnya aku diperintahkan agar mengajukan pilihan kepada kalian. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membacakan kepada Aisyah ayat takhyir hingga kedua ayat berikutnya. Maka Aisyah radhiyallaahu ‘anhu menjawab, "Apakah yang engkau maksudkan dengan ucapanmu yang mengatakan, 'Janganlah engkau tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum meminta saran kepada kedua orang tuamu?' Itu tidak perlu lagi bagiku, karena sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya." Mendengar jawaban itu hati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam gembira, lalu beliau menawar-kan hal yang semisal kepada istri-istri lainnya.
Ternyata mereka semua mengikuti jejak Aisyah radhiyallaahu ‘anhu Mereka memilih Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Sinan Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Abu Shalih alias Abdullah ibnu Shalih, telah menceritakan kepadaku Lais, telah menceritakan kepadaku Uqail, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abdullah ibnu Abu Tsaur, dari Ibnu Abbas r.a yang menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah menceritakan, "Ketika ayat takhyir diturunkan, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mula-mula mendatangiku di antara istri-istrinya, dan bersabda, 'Sesungguhnya aku akan menceritakan suatu urusan kepadamu, tetapi janganlah engkau tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum meminta saran dari kedua orang tuamu'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui bahwa kedua orang tuaku belum pernah memerintahkan kepadaku untuk bercerai darinya.
Kemudian beliau bersabda, bahwa sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menurunkan firman-Nya: 'Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu' (Al-Ahzab: 28), hingga kedua ayat berikutnya." Siti Aisyah menjawab, "Apakah karena urusan ini engkau perintahkan diriku untuk meminta saran dari kedua orang tuaku? Sesungguhnya aku menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan pahala negeri akhirat." Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajukan pilihan yang sama kepada istri-istri lainnya, ternyata semuanya mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anhu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masruq, dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan, "Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajukan pilihan kepada kami, maka kami memilihnya, dan beliau tidak menganggapnya sebagai sesuatu lagi." Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Al-A'masy. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir alias Abdul Malik ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, dari Abuz Zubair, dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa sahabat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu datang dan meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Pada saat itu orang-orang berada di depan pintu rumah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang duduk-duduk menunggu. Sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di dalam rumahnya, beliau tidak mengizinkan Abu Bakar untuk masuk. Kemudian datanglah Umar radhiyallaahu ‘anhu dan meminta izin untuk masuk, tetapi ia pun tidak diizinkan masuk.
Tidak lama kemudian Abu Bakar dan Umar diberi izin untuk masuk, lalu keduanya masuk. Saat itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang duduk, sedangkan semua istrinya berada di sekelilingnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya diam saja. Umar berkata dalam hatinya bahwa ia akan berbicara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam suatu pembicaraan yang mudah-mudahan akan membuat beliau dapat tersenyum. Maka Umar berkata, "Wahai Rasulullah, seandainya anak perempuan Zaid (yakni istri dia sendiri) meminta nafkah kepadaku, pastilah aku akan menamparnya." Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tersenyum sehingga gigi serinya kelihatan, lalu bersabda: Kebetulan mereka pun yang ada di sekelilingku ini meminta nafkah kepadaku.
Maka Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu bangkit menuju tempat Aisyah dengan maksud akan memukulnya. Umar bangkit pula menuju tempat Hafsah dengan maksud yang sama. Lalu keduanya berkata, "Kamu berdua meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam nafkah yang tidak ada padanya?" Tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang keduanya. Dan semua istri beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata, "Demi Allah, kami tidak akan lagi meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sesudah pertemuan ini sesuatu yang tidak ada padanya." Dan Allah menurunkan ayat khiyar, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memulainya dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhu Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku akan menceritakan kepadamu suatu urusan yang aku tidak suka bila engkau tergesa-gesa mengambil keputusan tentangnya sebelum engkau meminta saran dari kedua orang tuamu." Siti Aisyah radhiyallaahu ‘anhu bertanya, "Urusan apakah itu?" Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam membacakan kepadanya firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu. (Al-Ahzab: 28), hingga akhir ayat. Aisyah radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Apakah berkenaan dengan engkau aku harus meminta saran kepada kedua orang tuaku? Tidak, bahkan aku tetap memilih Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya. Dan aku meminta, sudilah engkau tidak menceritakan kepada istrimu yang lain tentang pilihanku ini." Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kejam, melainkan Dia mengutusku sebagai pengajar lagi pemberi kemudahan. Tiada seorang wanita pun dari mereka yang menanyakan kepadaku tentang pilihanmu melainkan aku akan menceritakan kepadanya tentang pilihanmu itu. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini secara tunggal tanpa Imam Al-Bukhari. Imam Al-Bukhari serta Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadis Zakaria ibnu Ishaq Al-Makki dengan sanad yang sama. Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hasyim ibnul Barid, dari Muhammad ibnu Ubaidillah ibnu Abu Rafi', dari Usman ibnu Ali ibnul Husain, dari ayahnya, dari Ali radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajukan pilihan kepada istri-istrinya antara perkara dunia dan akhirat, dan beliau tidak menceritakan masalah talak kepada mereka. Hadis ini berpredikat munqati'.
Dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya, tetapi makna riwayat ini bertentangan dengan makna lahiriah ayat, karena sesungguhnya dalam ayat disebutkan: maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (Al-Ahzab: 28) Artinya, aku akan memberikan kepada kalian hak-hak kalian dan kulepaskan kalian dari ikatan perkawinan.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan orang lain mengawini bekas istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sekiranya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menceraikan mereka saat itu. Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Pendapat yang paling sahih mengatakan boleh, seandainya talak itu benar-benar terjadi, demi terlaksananya perceraian yang dimaksud. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ikrimah mengatakan bahwa pada saat itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mempunyai sembilan orang istri. Lima orang istri dari kalangan kabilah Quraisy, yaitu Aisyah, Hafsah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah. Selain itu adalah Safiyyah binti Huyay An-Nadriyyah, Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah, dan Juwairiyah bintil Haris Al-Mustaliqiyah. Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka dan membuat mereka semua rida dengan pahala-Nya.
-29. 'Namun, jika kamu menginginkan dan lebih memilih Allah dan Rasul-Nya dengan bersabar atas kehidupan yang sederhana ini dan berharap balasan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu. Allah menjanjikan surga bagi siapa saja dari kamu yang tidak meminta hal-hal duniawi kepada Rasulullah. '.
Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ agar menyampaikan kepada istri-istrinya supaya mereka memilih apa yang mereka kehendaki dari dua hal. Pilihan pertama ialah jika mereka menginginkan kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya, maka Nabi tidak mempunyai yang demikian itu, dan beliau tidak mempunyai sesuatu pun yang akan diberikan untuk memenuhi keinginan itu. Oleh karena itu, Nabi akan mentalak mereka dan beliau memberi mut'ah, sebagaimana yang telah disyariatkan agama. Beliau juga akan menceraikan mereka secara baik-baik pula.
Menurut ketentuan Allah, seorang suami yang menceraikan istrinya memberi mut'ah berupa pakaian, uang, atau perhiasan secara sukarela kepada istri yang diceraikannya, sesuai dengan kemampuannya, orang kaya sesuai dengan kekayaannya dan orang miskin sesuai dengan kemiskinannya. Firman Allah:
Dan hendaklah kamu beri mereka mut'ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (al-Baqarah/2: 236)
Allah juga menetapkan bahwa jika seorang suami mentalak istrinya, maka hendaklah ia melepaskan mereka secara baik-baik dan mentalaknya pada waktu suci sebelum dicampuri, agar mereka dapat melaksanakan idah dalam masa yang pendek. Allah berfirman:
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. (ath-thalaq/65:1)
Pada waktu ayat ini turun, Rasulullah mempunyai istri 9 orang, yaitu 'Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti 'Umar, Ummu Salamah, Ummu habibah Ramlah binti Sufyan, Saudah binti Zam'ah, Zainab binti Jahsy, Maimunah binti Hars, safiyyah binti Huyai bin Akhthab, dan Juwairiyah binti al-haris. Dari istri beliau yang sembilan itu, lima orang berasal dari suku Quraisy dan empat orang bukan dari suku Quraisy.
Firman Allah:
Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (at-Tahrim/66: 5).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JUZ 22
RUMAH TANGGA RASULULLAH SAW
Ayat 28
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau, ‘Jika adalah kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan penhiasannya, maka manilah kemani, akan aku benikan kepada kamu mut'ah dan akan aku lepas kamu dengan kelepasan yang indah.'"
Tegasnya supaya Nabi ﷺ memperingatkan kepada istri-istri beliau, jika mereka telah bersuamikan beliau itu adalah karena mengharapkan dunia, kemewahannya, ke-kayaannya, keindahan tempat tinggal dan perhiasan yang memenuhi badan, dari gelang emas, dokoh, anting-anting, subang dan peniti dan gelang kaki dan berbagai macam yang lain yang selalu diingini oleh kaum perempuan; kalau itu yang mereka harap dan inginkan, tidaklah akan mereka dapat dari Nabi ﷺ. Sebab itu marilah kemari, kita beriya-iya, kita berterus terang. Karena kalau demikian tidaklah akan tercapai harapan kalian. Sebab suami kalian adalah seorang Nabi, maka bukanlah dia mengejar dunia dengan perhiasanya, me-lainkan membina umat dengan aqidahnya. Mari kita bercerai saja, dan sebagai adab sopan orang bercerai, akan dibayar uang mut'ah kalian, sebagai pengobat hati. Kita bercerai baik-baik, aku lepaskan kamu dengan berbaik-baik, perpisahan yang tidak akan mengecewakan hati.
Ayat 29
“Akan tetapi Jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat."
Yaitu sudi hidup bersakit karena mengharapkan Allah dan Rasul, hidup dalam per-juangan, hidup dalam cita-cita dan kebahagiaan di hari yang kekal, yaitu hari akhirat. Bukan kesenangan dunia yang hanya sementara belaka,
“Maka sesungguhnya Allah telah menyediakan untuk barangsiapa yang berbuat baik di antara kamu pahala yang besar."
Sebab orang yang menuju semata-mata dunia, hanya dunia itulah yang akan didapat-nya. Dan kepuasan pada dunia itu tidaklah lama, melainkan fana, lekas dapat dan lekas hilang.
Kedua ayat ini dinamai ayat-ayat takhyiir, artinya disuruh memilih. Artinya, bahwa istri-istri Rasulullah ﷺ disuruh memilih, apakah mereka akan memilih kehidupan dunia dengan perhiasannya, atau memilih Allah dan Rasul. Kalau mereka hanya bersuami Rasulullah ﷺ karena memilih dunia, tidaklah harapan mereka akan tercapai, karena Nabi ﷺ berjuang tidaklah karena mengejar dunia dengan perhiasannya, melainkan melakukan dakwah kepada manusia, membawa mereka kepada jalan yang benar, untuk keselamatan mereka dunia dan akhirat. Kalau itu yang mereka cari, marilah kita beriya-iya, mari bercerai secara baik, dan mut'ah, sebagai obat hati karena perceraian akan dibayar sebagaimana patutnya. Tetapi kalau mereka mau sama bersakit, membela Nabi ﷺ dalam dakwah dan mencukupkan dunia apa adanya, marilah kita teruskan hidup berumah tangga ini dengan selamat sampai dipisahkan oleh liang kubur saja.
Setelah ayat ini turun, yaitu setelah satu bulan lamanya Rasulullah ﷺ mengucil, tidak pulang kepada semua istrinya itu, datanglah ayat 28 dan 29 ini. Maka beliau lakukanlah menanyakan kepada istri beliau satu demi satu, manakah yang mereka pilih, dunia dengan perhiasannya atau Allah dan Rasul-Nya. Yang pertama sekali beliau tanyai ialah Aisyah. Kata beliau, “Hai Aisyah! Aku ingin hendak menanyakan sesuatu hal kepada engkau. Tetapi setelah sesuatu hal itu aku sampaikan, lebih baik kau musyawarah terlebih dahulu dengan kedua orang tuamu, baru engkau ambil keputusan."
Lalu Aisyah bertanya, “Apakah dia ya Rasulullah?"
Lalu beliau jawab dengan membaca kedua ayat ini.
Mendengar itu berkatalah Aisyah, “Apakah di dalam mengambil keputusan hendak memilih engkau sendiri aku mesti musyawarah terlebih dahulu dengan kedua orang tuaku? Bahkan aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya dan Hari Akhirat. Tetapi aku harap jika istrimu yang lain menanyakan sikapku, janganlah diberitahukan kepada mereka."
Lalu jawab Rasulullah ﷺ, “Mana saja istri-istriku itu yang bertanya pasti akan aku beritakan pilihanmu itu. Karena Allah ﷻ mengutusku dalam keadaan degil atau mengajak orang lain agar degil pula. Aku diutus ialah untuk mengajar manusia dan untuk memper-mudah jalan."
Setelah selesai menanyai Aisyah dan mendengar pilihannya yang tegas itu, beliau tanyai pulalah istri-istri yang lain. Semuanya sama jawabnya dengan Aisyah, sama memilih Allah dan Rasul dan Hari Akhirat.
Ayat-ayat takhyiir ini sungguhlah bukti yang terang tentang kehidupan Rasul ﷺ dengan istrinya yang sembilan orang itu, yang selalu dijadikan alat buat memukul Islam oleh Zending dan Misi Kristen di mana-mana. Mereka membusuk-busukkan Nabi Islam, bahwa Nabi ﷺ itu adalah seorang yang memperturutkan dorongan syahwatnya sehingga dia beristri banyak dan hidup bermewah-mewah. Dalam kalangan kaum perempuan pun, mereka membuat propaganda buat membenci Islam dan menjauhkan mereka dari Islam, dengan alasan karena Islam membuka pintu poligami, beristri banyak. Sehingga apabila tersebut soal Islam, berbini banyak itulah yang terbayang pada pikiran mereka terlebih dahulu.
Cobalah renungkan! Apakah yang akan diperbuat oleh seorang laki-laki yang tenggelam dalam pengaruh hawa nafsu dan syahwat yang tidak terkendali, kalau dia sampai mencapai kedudukan yang dicapai oleh Muhammad ﷺ, dan kekuasaan yang dapat diperolehnya, sebagaimana yang dicapai oleh Muhammad ﷺ, di antara kaumnya?
Sudah terang, kalau memang dia seorang yang hidupnya memperturutkan syahwat tubuh, bahwa dia akan mengumpulkan gadis-gadis Arab yang cantik dan budak-budak be-lian yang bisa disebut dayang-dayang istana pilihan yang didatangkan dari Persia, atau dari Rum dan dari seluruh sudut Tanah Arab.
Tidaklah sukar baginya mengumpulkan perempuan-perempuan cantik itu dari seluruh penjuru dunia yang dikenal di masa itu. Dan tidaklah sukar baginya untuk mendatangkan ke dalam rumah tangganya segala macam makanan yang enak-enak dan pakaian yang mahal-mahal dan perhiasan yang indah-indah, untuk menyenangkan hati perempuan-perempuan cantik yang dikumpulkan itu, yang tidak ada di masa itu orang lain di seluruh Arab yang akan melebihinya, kalau memang itu maksudnya.
Tetapi apakah memang begitu yang diperbuatnya setelah dia menang dalam per-juangannya?
Atau adakah dia berbuat begitu sejak di kala muda remajanya?
Tidak! Dia tidak berbuat demikian. Bahkan yang terang nyata bahwa nyaris dia ber-cerai dengan istri-istrinya itu, seketika mereka mengerumuninya meminta hidup yang me-wah, sebab mereka merasa bahwa Muhammad ﷺ, akan sanggup demikian kalau dia mau.
Tidak ada bertemu dalam sejarah hidupnya, bahwa dia mengawini seorang perempuan karena cantik jelita. Bahkan tidak pernah dia mengawini seorang perawan, kecuali seorang anak perawan, Aisyah, yang semua orang di waktu itu tahu dia mengawini anak perawan itu bukan karena anak itu, melainkan karena menghargai teman karibnya, sahabat setia utamanya, pilihan istimewanya, yang kemudian akan jadi khalifahnya. Yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq.
Orang yang dikarangkan dusta atas dirinya oleh pembohong-pembohong ini, yang dikatakan tenggelam dalam syahwat tubuh istrinya yang pertama dikawininya telah dekat usia 50 tahun, padahal dia sendiri waktu masih dalam perkembangan muda usia 25 tahun. Sebabnya dia seorang jujur yang diberi orang gelar “al-Amin “, orang yang boleh dipercayai, yang terkenal di antara kaumnya karena sifat-sifat dan jalan hidupnya. Dia hidup dengan perempuan itu sampai perempuan itu wafat dalam kehidupan yang bersih tak ada celanya. Setelah perempuan itu meninggal tetap dia setia mengingatinya, tidak kawin sampai datang seorang perempuan yang telah tua pula, dan perempuan yang telah tua itulah yang meminangkan Aisyah buat beliau. Dan setelah dia hidup dengan Aisyah, perempuan ini pula yang jadi saksi mendengarkan selalu bagaimana puji dan penghargaannya kepada istrinya yang telah meninggal itu.
Jika diadakan penyelidikan dengan saksama tidaklah didapati bahwa Nabi ﷺ me-ngawini seorang pun di antara ibu-ibu orang beriman itu yang tertarik oleh karena ke-cantikannya dan tubuhnya yang menarik. Yang mendorongnya meminang mereka adalah se-mata-mata ingin menghubung silaturahim belaka. Sebagian besar dari ibu-ibu kita itu adalah perempuan-perempuan kematian suami atau kehilangan pembimbing (wali), padahal mereka orang-orang budiman, sedang orang yang pantas jadi suami mereka tidak ada yang datang meminang. Akan teruslah mereka terlantar, kalau bukan Rasulullah yang menyambut nasib mereka.
Saudah binti Zam'ah. Mati suaminya, yaitu anak dari pamannya setelah mereka kembali dari hijrah ke negeri Habsyah (Habsyi). Setelah suaminya itu meninggal, tidak ada lagi orang akan tempatnya menumpangkan nasib. Kalau dia kembali kepada keluarganya nis-caya dia akan dipaksa murtad kembali, atau dia kawin dengan orang yang tidak jodohnya (kufu'), atau ada yang kufu' tetapi tidak suka mengawininya, (Lalu beliau kawini, padahal usia Saudah hampir sama saja dengan usia Khadijah yang telah meninggal).
Hindun binti Abu Umayah, yang lebih terkenal dengan panggilan Ummi Salamah, Meninggal suaminya, Abdullah al-Makhzumi. Suaminya itu pun anak dari pamannya. Dia meninggal karena lukanya dalam Peperangan Uhud. Sedang Ummi Salamah ini pun telah mulai tua. Setelah suaminya, Abu Salamah meninggal, dia dipinang oleh Nabi ﷺ, mulanya dia menolak dengan segala hormatnya, karena dia merasa dirinya sudah tua. Lalu di-obatilah hatinya oleh Rasulullah saw, dengan sabda beliau, “Mohonkanlah kepada Allah ﷻ moga-moga Dia memberi pahala atasmu karena musibah yang menimpa dirimu itu, dan moga-moga pula Allah menggantikan dengan yang lebih baik."
Lalu Ummi Salamah bertanya kepada Rasulullah dengan rasa sedihnya, “Siapa pula lagi orang yang akan lebih baik akan ganti Abu Salamah?"
Rasulullah pun tahu, bahwa sesudah Abu Salamah meninggal, Abu Bakar dan Umar telah meminangnya pula, tetapi pinangan itu ditolaknya juga, karena merasa tidak ada lagi orang yang akan lebih baik dari Abu Salamah. Tetapi Nabi ﷺ, menyatakan pinangan ke-padanya, lalu diterimanya.
Ramlah binti Abu Sufyan, ditinggalkannya ayahnya dan dia hijrah menuruti suaminya ke negeri Habsyi Tetapi sesampai di sana suaminya itu murtad masuk Nasrani, lalu ditinggalkannya istrinya terlunta-lunta di rantau orang tidak ada yang akan melindunginya. Mendengar berita yang sedih itu Rasulullah ﷺ mengirim utusan kepada Najasyi (Negus-Negesti) memohon dengan perantaraan beliau menyampaikan pinangan Nabi saw, kepa-danya. Agar jika dia kembali kelak ke Tanah Arab, kembalinya ialah ke Madinah, bukan ke Mekah kepada ayahnya, Abu Sufyan, yang masih mempertahankan kemusyrikan. Bahkan moga-moga dengan perkawinan ini hubungan yang sangat buruk di antara beliau ﷺ dengan Abu Sufyan selama ini dapat ditukar dengan saling pengertian, yang lama-lama akan membawanya dari syirik kepada hidayah Islam.
Juwairiah binti al-Harits. Al-Harits adalah penghulu dalam kaumnya. Perempuan ini turut tertawan ketika persekutuannya Bani Mushthaliq dapat dikalahkan. Dia diperlakukan Nabi saw, dengan baik, meskipun dalam tawanan. Lalu beliau memerdekakan dia dari tawanan dan dipinangnya dan dikawininya, dan beliau anjurkan pula seluruh kaum Muslimin yang menawan musuh yang kalah itu memerdekakan tawanan mereka masing-masing, karena permusuhan tidak ada lagi. Yang ada sekarang adalah perhubungan keluarga, karena Nabi ﷺ, telah mengawini anak kepala suku Bani Mushthaliq. Ketika telah terjadi perdamaian yang begitu mesra, ayahnya menyuruh pilih ikut kembali ke kampung dengan dia atau tinggal bersama suaminya, Rasulullah ﷺ, di Madinah. Dia telah memilih tinggal bersama suaminya di Madinah.
Hafshah binti Umar bin Khaththab. Meninggal pula suaminya. Setelah lepas iddah-nya, ayahnya meminta Abu Bakar agar menerima nasib putrinya, namun Abu Bakar diam saja. Lalu dianjurkannya pula Utsman agar mengawini putrinya, Utsman pun diam saja. Lalu Umar datang kepada Rasulullah ﷺ mengeluhkan nasibnya. Maka tidaklah Nabi ﷺ mau mengecewakan hati sahabatnya, lalu beliau bersabda, “Hafshah akan dikawini oleh orang yang lebih baik baginya daripada Abu Bakar dan Umar."
Shafiah binti Huyai bin Akhthab al-Israeliyah; ayah Shafiah adalah penghulu dari Yahudi Bani Quraizhah, Setelah dia tertawan dalam Peperangan Khaibar, disuruh Nabi me-milih kembali kepada kaumnya atau beliau memerdekakan lalu beliau kawini, dia telah memilih hidup bersama Nabi ﷺ daripada pulang kepada kaumnya. Kalau bukanlah budi pekerti yang begitu luhur, yang memang telah jadi bagian dari jiwa beliau tidaklah dia akan kawin dengan Shafiah yang badannya pendek yang pernah ditertawakan oleh teman-teman-nya karena pendeknya. Tetapi satu hari beliau dengar salah seorang mereka mencacatnya karena pendek itu. Lalu beliau tegur yang men-cacat itu dengan katanya, “Kau telah meng-ucapkan kata-kata, yang kalau kata itu dilemparkan ke laut, air akan kotor dibuatnya “ Lalu beliau obati hati bekas tawanan yang malang itu dengan perkataan-perkataan yang lemah lembut penuh kasih sayang.
Zainab binti Jahasy, anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya (artinya bahwa dia satu nenek di atasnya dengan beliau, yaitu Abdul Muthalib. Ibunya ialah Umaimah binti Abdul Muthalib. Beliau kawinkan Zainab ini dengan bekas hamba sahaya beliau, lalu beliau angkat jadi anak, yaitu Zaid bin Haritsah. Tetapi Zainab tidak suka kepada Zaid dan Zaid pun tidak merasa mempunyai kekuatan buat menundukkan istrinya. Lalu Nabi mengizinkan Zaid menalaknya. Lalu dia dikawini oleh beliau, karena beliaulah yang bertanggung jawab tentang perkawinannya. Tidaklah tersembunyi bagi Rasulullah ﷺ kecantikan Zainab sebelum dia beliau kawinkan dengan bekas hamba sahayanya itu. Sebab Zainab adalah anak dari saudara kandung perempuan ayahnya, yang berada di hadapan matanya sejak kecil, dan bukanlah lantaran dia terpesona oleh kecantikannya setelah dia besar dan dikawininya.
Zainab binti Khuzaimah, meninggal suaminya, Abdullah bin Jahsy, dalam Peperangan Uhud. Setelah dia jadi janda tidak seorang jua pun sahabatnya yang datang meminang perempuan itu, lalu Nabilah yang mengambilnya jadi istri untuk melindunginya.
Itu semuanya yang disebutkan dalam susunan bohong Zending dan Misi sebagai “hareem" dari Rasulullah' dan yang diikuti pula oleh orang-orang yang melakukan tugas sebagai setengah misi setengah zending. Begitulah jelasnya jiwa Rasulullah ﷺ ketika mengambil istri-istri tetapi disalahartikan oleh mereka. Tidaklah dapat mereka mengambil ke-simpulan lain, selain dari mengatakan bahwa yang mendorong beliau beristri itu semuanya ialah syahwat tubuh dari seorang laki-laki yang tenggelam dalam lumpur nafsu seks.
Istri-istri beliau itu telah tinggal dalam rumah Nabi ﷺ yang tidak terdapat di dalamnya kemewahan sebagaimana yang didapat di rumah kaum Muslimin yang lain di waktu itu atau di rumah tangga kaum musyrikin. Mereka telah menduduki tempat yang mulia dalam mata masyarakat, yang tidak kurang dari kedudukan ratu-ratu, permaisuri atau putri-putri istana, padahal mereka tidak mengecap sedikit pun makanan yang agak mewah atau pakaian yang agak berlebih dari orang kebanyakan, bahkan kurang dari orang kebanyakan. Lalu mereka bermufakat hendak mengemukakan soal serba kekurangan itu kepada Nabi ﷺ, minta supaya nafkah mereka dilebihkan sedikit. Sedang beliau mem-punyai kemampuan dan kesanggupan buat melebihkannya itu. Kalau diambilnya sebagian dari harta rampasan al-fai' yang telah diperuntukkan bagi dirinya, tidak seorang kaum Muslimin yang akan membantah.
Kalau kabar berita tentang takhyiir (menyuruh pilih) ini termasuk berita tersembunyi yang kurang masyhur, kurang dikenal, dapat jugalah dipahamkan kalau tukang-tukang ka-rang berita palsu itu mendapat pintu untuk menyusun bohongnya. Padahal berita ini bu-kanlah berita rahasia tersembunyi, bahkan bertemu dalam Al-Qur'an sendiri bagi barang-siapa yang suka membacanya dan mengerti pula akan sebab-sebab turun ayat (Asbaabut tanziil). Malahan tidaklah ada sebab turun ayat yang lebih masyhur daripada ini di dalam surah al-Ahzaab, “
Apakah maksudnya dengan semua sikap itu? Yaitu menyerukan hidup sederhana pada lahir padahal jiwanya penuh syahwat? Mengapa dia selalu berjihad bersungguh-sungguh di dalam rumah tangganya, bahkan di tengah-tengah kaumnya, kalau dia sendiri tidak percaya atau tidak menganut apa yang dia serukan? Bagaimana dia akan berhasil kalau memang hidup mewah dan menurutkan kelezatan tubuh itu lebih mengisi hatinya daripada cita-citanya?
Jelaslah, bahwa kaum Zending dan Misi yang makan gaji dari penyebaran susunan kata-kata bohong yang tidak dapat diterima akal itu tidaklah berhasil dalam usaha mereka hendak menjatuhkan kebesaran Muhammad saw, atau kebenaran dakwahnya setelah dia wafat. Tetapi sebaliknya bahwa apa yang mereka sangka dapat menjatuhkan, itulah yang menambah kukuhnya bukti bahwa Muhammad ﷺ adalah benar dalam dakwahnya dan percaya akan kebenaran apa yang dia serukan dan dia ikhlas di dalam batinnya sebagaimana ikhlasnya pada lahirnya. Kalau mereka berusaha dalam penyebaran agama mereka hendak membiarkan orang yang dipropa-gandai itu tinggal bodoh, niscaya mereka tidak akan mau lagi membongkar-bongkar soal Nabi dengan istrinya itu, lebih hati-hati daripada menyebarkan dakwahnya yang lain-lain.
Allah Mahatahu, bahwa Muhammad ﷺ bersih dari susunan karangan dusta yang disusun buat menghinakan dia dan menghinakan agama dan umatnya, terutama dalam soal beliau ﷺ dengan istri-istrinya ini. Kalau seseorang itu bercakap dengan penuh kesadaran ilmu dan pikiran sehat, tidaklah mungkin dia akan berkata, bahwa bekas amal dan per-juangan Muhammad saw, ini tidaklah mungkin hasil dari pekerjaan orang yang hidupnya tenggelam dalam syahwat dan menurutkan kehausan nafsu. Dan jika memanglah demikian sifat orangnya, kemudian itu sanggup juga dia menyempurnakan jalan dakwahnya di waktu hidupnya dan masih kekal berkembang sempurna dan kuat diteruskan oleh pengganti-penggantinya (khalifah-khalifahnya), memanglah ini suatu perkara ajaib dalam penciptaan alam yang tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.
Tidaklah kita akan percaya, bahwa sebuah agama yang tinggi kedudukannya, mau juga penganut-penganutnya untuk menyebarkan agama itu dengan mengarangkan berbagai dusta akan undang-undang Allah ﷻ pada menciptakan alam. Dan lebih keji lagi kalau suatu agama yang dipandang tinggi kedudukannya mempergunakan berbagai kebohongan untuk membujuk orang supaya tunduk kepada kalimat Allah ﷻ Tetapi barang maklumlah kiranya, bahwa zending dan missi yang mata pencariannya memang dari sana, pada hakikatnya tidaklah hubungan agama dengan Allah ﷻ dan tidak dengan sesamanya manusia.
Agama mereka tidak lain hanyalah menyembah keinginan tubuh, yang mereka bantah sekeras-kerasnya dengan mulut, tetapi mereka itulah hakikat yang sebenarnya mereka imani seburuk-buruk iman, yang mereka buktikan dengan perbuatan mereka dan perkataan-perkataan mereka."