Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يُتَوَفَّوۡنَ
(mereka) diwafatkan/meninggal dunia
مِنكُمۡ
diantara kamu
وَيَذَرُونَ
dan (mereka) meninggalkan
أَزۡوَٰجٗا
isteri-isteri
يَتَرَبَّصۡنَ
hendaklah mereka menangguhkan
بِأَنفُسِهِنَّ
dengan diri mereka
أَرۡبَعَةَ
empat
أَشۡهُرٖ
bulan
وَعَشۡرٗاۖ
dan sepuluh (hari)
فَإِذَا
maka apabila
بَلَغۡنَ
mereka sampai
أَجَلَهُنَّ
masa (iddah) mereka
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِيمَا
tentang apa
فَعَلۡنَ
mereka perbuat
فِيٓ
pada
أَنفُسِهِنَّ
diri mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ
menurut yang patut
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
dengan apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٞ
Maha Mengetahui
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يُتَوَفَّوۡنَ
(mereka) diwafatkan/meninggal dunia
مِنكُمۡ
diantara kamu
وَيَذَرُونَ
dan (mereka) meninggalkan
أَزۡوَٰجٗا
isteri-isteri
يَتَرَبَّصۡنَ
hendaklah mereka menangguhkan
بِأَنفُسِهِنَّ
dengan diri mereka
أَرۡبَعَةَ
empat
أَشۡهُرٖ
bulan
وَعَشۡرٗاۖ
dan sepuluh (hari)
فَإِذَا
maka apabila
بَلَغۡنَ
mereka sampai
أَجَلَهُنَّ
masa (iddah) mereka
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِيمَا
tentang apa
فَعَلۡنَ
mereka perbuat
فِيٓ
pada
أَنفُسِهِنَّ
diri mereka
بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ
menurut yang patut
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
dengan apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
خَبِيرٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Orang-orang yang wafat) atau meninggal dunia (di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka menangguhkan), artinya hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh), maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai yang hamil, maka idah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu, menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya, (mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan (secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 234
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.
Ayat 234
Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Hukum ini berlaku pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya dan juga istri-istri yang belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung di dalam ayat ini.
Hadits berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah dan dinilai shahih oleh Imam At-Tirmidzi, yaitu: Bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka (yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan masalah ini dengan rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru, maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan penuh; menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat mahar mitsil (mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan dan disesuaikan menurut jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah)nya tanpa ada pengurangan dan penggelapan, dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat mewarisi (dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq." Mendengar hal itu Abdullah ibnu Mas'ud sangat gembira.
Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq." Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun ia melahirkan bayinya dalam selang waktu yang sebentar sesudah kematian suaminya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Talaq: 4)
Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini merupakan gabungan dari kedua ayat di atas.
Pendapat ini merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadits yang menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadits ini diketengahkah di dalam kitab Shahihain melalui berbagai jalur periwayatan. Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) meninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya.
Menurut riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah kematian suaminya. Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk para pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari." Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ dan menanyakan kepadanya masalah tersebut.” Maka beliau ﷺ memberikan jawabannya kepadaku, bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, dan beliau ﷺ memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku suka."
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu merujuk kepada hadits Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadits Subai'ah. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua temannya menekuni hadits Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.
Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita adalah separuh dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had yang di jalani oleh budak wanita adalah separuh dari hukuman had yang di jalani oleh seorang wanita merdeka. Maka demikian pula dalam masalah idah, yaitu separuh dari idah wanita merdeka. Tetapi di kalangan ulama seperti Muhammad ibnu Sirin dan sebagian kalangan mazhab Zahiri dikatakan bahwa dalam masalah idah ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal adanya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya.
Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain keduanya mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya empat bulan sepuluh hari adalah karena barangkali rahimnya telah terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak. Di dalam hadits Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab shahihain dan kitab lainnya disebutkan seperti berikut: “Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, lalu menjadi alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan karena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah peniupan ruh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda kehidupan.”
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu dilakukan tiupan ruh ke dalam tubuh janin." Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Abul Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada empat bulan?' Abul Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan ruh ke dalam tubuh janin'." Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Berangkat dari atsar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad (budak perempuan yang mempunyai anak dari tuannya) sama dengan idah wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: “Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah empat bulan sepuluh hari.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, dari Qutaibah, dari Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya menerima hadits ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadits ini.
Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadits ini. Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepada hadits ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz.
Hal ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Muminin. Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya. Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta Ats-Tsauri dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad melakukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali , Ibnu Mas'ud, ‘Atha’, dan Ibrahim An-Nakha'i. Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Al-Laits, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur serta jumhur ulama.
Al-Al-Laits mengatakan, "Seandainya suami ummul walad meninggal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu sudah cukup untuk idahnya." Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalangan wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan." Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama satu bulan tiga hari."
Firman Allah ﷻ: “Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.” (Al-Baqarah: 234)
Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya ihdad (belasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadits di dalam kitab Shahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy Ummul Muminin, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama empat bulan sepuluh hari.”
Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits dari Ummu Salamah: Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi ﷺ menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau ﷺ bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus di jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."
Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka wanita itu memasuki sebuah rumah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu. Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan kebanyakan mati (karena baunya yang sangat busuk). Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bahwa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah.” (Al-Baqarah: 240), hingga akhir ayat.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian dalam pembahasannya. Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhiasan berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorongnya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak raji'. Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang ditalak ba'in? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat. Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak berhaid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir, mengingat keumuman makna ayat.
Ats-Tsauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya mengatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka empat bulan sepuluh hari.”
Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud (tunduk patuh kepada hukum Allah). Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta Ats-Tsauri memasukkan ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas masalah hukum dan cabang-cabangnya.
Firman Allah ﷻ: "Kemudian apabila telah habis masa idahnya.” (Al-Baqarah: 234) Yakni masa idahnya telah habis, menurut Adh-Dhahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas. “Maka tidak ada dosa bagi kalian.” (Al-Baqarah: 234) Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri. “Membiarkan mereka berbuat.” (Al-Baqarah: 234) Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan masa idahnya.
Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila seorang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah menghabiskan masa idahnya, maka tidak ada dosa atas dirinya untuk menghias diri dan mempercantik diri serta menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah dimaklumi.
Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (Al-Baqarah: 234) Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik. Telah diriwayatkan hal yang serupa dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As-Suddi.
Ayat ini menjelaskan idah cerai mati agar tidak ada dugaan bahwa idah cerai mati sama dengan cerai hidup. Dan orang-orang yang mati di antara kamu, yakni para suami, serta meninggalkan istri-istri yang tidak sedang hamil, hendaklah mereka, para istri, menunggu atau beridah selama empat bulan sepuluh hari termasuk malamnya, sebagai ketentuan syarak yang bersifat qadar (pasti). Kemudian apabila telah sampai akhir atau selesai masa idah mereka, yakni para istri yang ditinggal mati suaminya, maka tidak ada dosa bagimu, wahai para wali dan saudara-saudara mereka, yakni tidak menghalangi dan melarang mereka mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri yang sebelumnya dilarang ketika masih dalam masa idah, menurut cara yang patut dan sesuai dengan agama dan kewajaran, seperti berhias, menerima pinangan, menikah, dan aktivitas lainnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, baik yang kamu sembunyikan maupun yang kamu tampakkan. Ayat ini menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang masih dalam masa idah. Dan tidak ada dosa bagimu, wahai kaum laki-laki, meminang perempuanperempuan itu yang masih dalam masa idah, baik idah cerai mati maupun karena ditalak tiga, selain yang ditalak raj'i (satu atau dua), dengan sindiran, seperti ucapan, Aku suka dengan perempuan yang lembut dan memiliki sifat keibuan, atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati untuk melamar dan menikahinya jika sudah habis masa idahnya. Demikian ini karena Allah mengetahui bahwa kamu tidak sabar sebagai lelaki akan menyebut-nyebut keinginanmu untuk melamar dan menikahinya kepada mereka, yakni perempuan-perempuan tersebut setelah habis idahnya. Tetapi janganlah kamu, wahai laki-laki, membuat perjanjian, baik secara langsung maupun tidak langsung namun terkesan memberi harapan untuk menikah dengan mereka, yakni perempuanperempuan yang masih dalam masa idah, secara rahasia, yakni hanya diketahui berdua, kecuali sekadar mengucapkan kata-kata sindiran yang baik. Dan janganlah kamu, wahai para lelaki, menetapkan akad nikah kepada perempuan yang ditinggal mati suaminya atau ditalak tiga sebelum habis masa idahnya, sebab akad nikahmu akan dianggap batal. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni ketertarikanmu kepada perempuan itu untuk segera menikahinya, maka takutlah kepada-Nya, dari melanggar hukum-hukum-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun atas kesalahan akibat kelemahan dirimu, Maha Penyantun dengan memberimu kesempatan bertobat.
Idah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Walaupun ayat ini kelihatannya umum (mencakup semua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya) namun ada pengecualian yaitu yang tidak dalam keadaan hamil. Sebab untuk wanita hamil, telah ada hukum yang lain pada ayat yang lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240. Selama masa idah ia tidak boleh berhias, mempersiapkan diri menerima pinangan atau memberi janji untuk menerima pinangan. Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali karena hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui kebersihan rahimnya (hamil atau tidak hamil), juga digunakan sebagai masa berkabung. Manakala ia tidak hamil maka ia wajib berkabung menghormati tali hubungan suami istri baik terhadap mendiang suami maupun terhadap keluarga suaminya. Ia harus berkabung selama ia dalam idah. Setelah habis masa empat bulan sepuluh hari tersebut dibolehkan membuat segala sesuatu tentang dirinya menurut cara yang wajar, umpamanya menerima pinangan, keluar rumah dan perbuatan lain yang tidak bertentangan dengan agama.
Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat ini menegaskan bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan sebaik-baiknya yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Wanita-wanita pada masa jahiliah melakukan masa berkabung selama satu tahun penuh dan tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh makan makanan yang enak dan tidak boleh pula memperlihatkan diri di muka umum. Bahkan pada sebagian kelompok masyarakat kaum wanita yang menjalani masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh lebih berat dari apa yang dilakukan oleh orang di masa jahiliyah, seperti: terus menerus menangis dan meratap. Tidak boleh menghias dirinya dan lain sebagainya. Melakukan masa berkabung ini bukan karena kematian suaminya saja, tetapi karena kematian anak pun mereka berkabung secara demikian. Maka tepat apa yang diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang kematian suami tidak boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian famili lainnya tidak boleh lebih dari tiga hari.
Penyimpangan dari ketentuan ini harus dihindari karena Allah Maha Mengetahui segala apa yang dikerjakan manusia.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
IDDAH BERKABUNG
Ayat 234
“Dan orang-orang yang meninggal dari antara kamu, sedangkan mereka meninggalkan istri-istri, hendaklah istri-istri itu menahan diri mereka empat bulan sepuluh hari ..".
Artinya, laki-laki yang meninggal dunia, sedangkan dia beristri maka istri itu menahan diri atau berkabung, lamanya empat bulan sepuluh hari. Inilah yang dinamai iddah wafat atau iddah berkabung.
Menurut riwayat, orang zaman jahiliyyah pun mempunyai cara berkabung demikian yang setahun lamanya. Selama setahun itu istri yang ditinggalkan mati oleh suaminya itu berkurung di dalam rumah, tidak boleh keluar-keluar, tidak boleh berhias, bahkan tidak boleh mandi-mandi, sehingga sampai ada yang berbau busuk. Maka, datanglah peraturan ini, iddah karena berkabung kematian suami hanya empat bulan sepuluh hari.
Selama empat bulan sepuluh hari itu, hendaklah si istri menyatakan duka citanya dengan meninggalkan segala lagak berhias, tidak memakai yang harum-harum (wangi-wangian), dan tidak bercelak mata. Menurut fatwa Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Syafi'i, jika misalnya perempuan yang sedang berkabung itu menderita sakit mata sehingga terpaksa memakai celak, bolehlah dipakainya celak itu pada malam hari, sedangkan setelah hari siang, hendaklah segera dihapusnya.
Cara berkabung begini hanya ditentukan untuk menghormati kematian suami saja oleh perempuan yang kematian suami. Adapun dalam hal lain, misalnya kematian saudara, kematian ayah dan ibu, berkabung hanya diizinkan tiga hari.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Aisyah, berkata dia bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidaklah halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari yang akhir bahwa berkabung atas mayat lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari."
Kemudian, tersebut pula dalam satu hadits yang dirawikan oleh al-Baihaqi bahwasanya Abu Sufyan meninggal dunia maka puteri beliau Ummul Mu'minin, ibu kita Ummu Habibah berkabung pula sampai tiga hari. Setelah genap tiga hari, beliau panggil seorang dayangnya lalu dimintanya wangi-wangian dan di-minyakinyalah kepalanya lalu berkata beliau, “Demi Allah, aku tidaklah memerlukan harum-haruman ini. Cuma aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda dari atas mimbar bahwa tidaklah halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, berkabung atas suatu kematian lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari." Demikian juga diriwayatkan orang ketika istri Rasulullah yang seorang lagi, yaitu Zainab binti Jahasy, kematian saudara laki-lakinya. Beliau ini pun berkabung sampai tiga hari. Dan, pada hari keempat beliau minta pula wangi-wangian dan beliau berkata sebagaimana perkataan Ummu Habibah itu pula bahwa beliau tidaklah memerlukan harum-haruman sebab beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda dari atas mimbar bahwa perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hanya berkabung tiga hari kecuali terhadap kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.
Pada hari berkabung yang empat bulan sepuluh hari itu janganlah dia memakai sutra dan pakaian-pakaian yang bernama berhias dan memakai perhiasan emas dan perak. Di waktu itu, tanggalkanlah dukuh dan gelang.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat, “Maka, apabila telah sampai janji mereka itu," telah habis masa iddah berkabung empat bulan sepuluh hari, “tidaklah mengapa atas kamu, pada apa yang mereka perbuat pada diri mereka dengan sepatutnya." Sehabis iddah wafat empat bulan sepuluh hari itu maka tidaklah perlu kamu yang lain, yang menjaga dan memeliharanya selama dia dalam iddah jika dia berhias kembali. Jika dia memakai baju yang bagus, memakai perhiasan emas perak, berbedak dan berlangir, asal saja dengan patut, yaitu berhias secara orang baik-baik, jangan sebagai orang “genit" yang dengan cara kasar hendak mencari-cari laki. Sekali lagi, di sini terdapat bil ma'ruf, dengan sepatutnya: menjadi dalil yang kuat betapa pandangan mata orang umum pun turut menentukan sopan santun seseorang. Kemudian, dikunci lagi dengan ayat,
“Dan Allah terihadap apa yang kamu kerjakan adalah sangat tahu,"
(ujung ayat 234)