Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلنَّهَارِ
dan siang
إِذَا
apabila
جَلَّىٰهَا
menampakkannya
وَٱلنَّهَارِ
dan siang
إِذَا
apabila
جَلَّىٰهَا
menampakkannya
Terjemahan
demi siang saat menampakkannya,
Tafsir
(Dan siang apabila menampilkannya) yaitu menampakkan matahari yang semakin meninggi.
Tafsir Surat Asy-Syams: 1-10
Demi matahari dan cahayanya dipagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. (Asy-Syams: 1) Yakni sinarnya di waktu pagi.
Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Waduhaha," artinya seluruh siang hari, bukan hanya pagi hari saja. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar ialah bila dikatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut matahari dan siang hari, karena sinar matahari yang terang terdapat di siang hari. dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Mujahid mengatakan mengiringinya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Maksudnya, mengiringi siang hari.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Yaitu malam hilal; bila mentari terbenam, hilal baru kelihatan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa bulan mengiringi matahari pada pertengahan bulan pertama, kemudian sebaliknya matahari mengiringi bulan dan bulan mendahuluinya pada pertengahan bulan yang terakhir. Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah apabila bulan mengiringi matahari di malam Lailatul Qadar.
Firman Allah Swt: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila cuacanya cerah. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Yakni apabila siang hari menerangi semuanya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ahli bahasa Arab menakwilkan hal ini dengan pengertian siang hari apabila mengusir gelapnya malam hari. Dikatakan demikian karena konteks kalimat menunjukkan kepada pengertian ini.
Menurut hemat kami, seandainya orang yang berpendapat demikian menakwilkan dengan pengertian tersebut sebagaimana takwilnya terhadap firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) tentulah hal ini lebih utama dan lebih shahih bila diterapkan kepada firman-Nya: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4) Maka takwilnya akan kelihatan lebih baik dan lebih kuat; hanya Allah-lah Yang Mengetahui. Karena itulah maka Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 2) Adapun Ibnu Jarir, dia memilih pendapat yang merujukkan semua damir kepada matahari dalam semua kalimat itu, mengingat mataharilah yang menjadi subjek pembicaraan.
Para ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4) Yaitu apabila malam menutupi matahari saat matahari tenggelam, maka seluruh cakrawala menjadi gelap. Baqiyyah ibnul Walid telah meriwayatkan dari Safwan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Zi Hamamah yang mengatakan bahwa apabila malam hari tiba, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Hamba-hamba-Ku telah ditutupi oleh makhluk-Ku yang besar," malam hari takut kepada Allah, dan memang Allah yang telah menciptakannya lebih berhak untuk dia takuti.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan langit serta pembinaannya. (Asy-Syams: 5) Ma di sini dapat diartikan sebagai ma masdariyah, sehingga artinya menjadi 'dan langit serta bangunannya'. Ini menurut pendapat Qatadah. Dapat pula ia dianggap sebagai huruf yang bermakna man, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Dan langit serta Tuhan yang membangunnya. Ini menurut pendapat Mujahid; kedua pendapat tersebut saling berkaitan.
Dan yang dimaksud dengan bina-iha ialah bangunannya yang tinggi. sebagaimanayang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). Adz-Dzariyat: 47-48) Demikian pula firman Allah Swt: dan bumi serta penghamparannya. (Asy-Syams: 6) Mujahid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan penghamparannya. (Asy-Syams: 6) Yakni segala makhluk yang terdapat di dalamnya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah bagian-bagiannya. Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Ats-Tsauri, Abu Saleh, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya, dan inilah pendapat yang terkenal dan dianut oleh kebanyakan ulama tafsir, juga yang terkenal dikalangan ahli bahasa. Al-Jauhari mengatakan bahwa tahautuhu sama dengan dahawtuhu, artinya aku telah menghamparkannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. (Asy-Syams: 7) Yaitu penciptaannya yang sempurna dengan dibekali fitrah yang lurus lagi tegak, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Rasulullah ﷺ telah bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi. Sebagaimana hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan utuh, maka apakah kamu pernah melihatnya ada yang cacat? Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui riwayat Abu Hurairah, sedangkan di dalam Sahih Muslim disebutkan melalui riwayat Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i, dari Rasulullah ﷺ Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (menyimpang dari kebatilan dan cenderung kepada perkara hak).
Kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agamanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Yakni Allah menerangkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan, kemudian memberinya petunjuk kepadanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Allah telah menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ats-Tsauri.
SaMd ibnu Jubair mengatakan bahwa Allah mengilhamkan (menginspirasikan) kepadanya jalan kebaikan dan keburukan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dalam jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa dan Abu ‘Ashim An-Nabil, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Azrah ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Aqil, dari Yahya ibnu Ya'mur, dari Abul Aswad Ad-Daili yang mengatakan bahwa Imran ibnu Husain mengatakan kepadanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia sehingga mereka bersusah payah melakukannya? Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dan telah digariskan oleh takdir yang terdahulu atas mereka.
Ataukah merupakan sesuatu yang bergantung kepada penerimaan mereka terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ kepada mereka dan yang telah diperkuat oleh hujjah sebagai alasan terhadap mereka?" Maka Abul Aswad Ad-Daili menjawab, "Tidak demikian, sebenarnya hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka oleh takdir Allah.'" Imran ibnu Husain bertanya, "Maka apakah hal itu bukan termasuk perbuatan aniaya?" Abul Aswad Ad-Daili mengatakan bahwa ia merasa sangat terkejut terhadap pertanyaan itu.
Maka ia menjawab, "Tiada sesuatu pun melainkan dia adalah makhluk-Nya dan menjadi milik-Nya, tiada seorang pun yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka kerjakan." Imran ibnu Husain berkata, "Semoga Allah meluruskanmu, sesungguhnya aku bertanya kepadamu tiada lain untuk memberitahukan kepadamu bahwa pernah ada seorang lelaki dari Bani Muzayyanah atau Bani Juhainah datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia yang mereka bersusah payah menanggulanginya.
Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dalam takdir yang terdahulu, ataukah hal itu merupakan sesuatu yang mereka terima dari apa yang disampaikan oleh Nabi mereka kepada mereka, lalu diperkuat dengan hujah atas diri mereka?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak demikian, sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka. Lelaki itu bertanya lagi, "Lalu apakah gunanya kita beramal?" Rasulullah ﷺ menjawab, bahwa barang siapa yang diciptakan oleh Allah untuk mengerjakan salah satu di antara keduanya, maka Allah menyiapkannya untuk itu, dan hal yang membenarkan ini dalam Kitabullah adalah firman-Nya yang mengatakan: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Azrah ibnu Sabit dengan sanad yang sama.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10) Takwil makna ayat dapat dikatakan bahwa sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan dirinya dengan taat kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang hina. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id ibnu Jubair. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. (Al-Ala: 14-15) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 10) Yakni membenamkannya, menguburnya, dan menghinakannya dengan tidak mengikuti jalan petunjuk, hingga terjerumuslah dia ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala Dapat juga makna ayat ditakwilkan dengan pengertian berikut, bahwa beruntunglah orang yang jiwanya dibersihkan oleh Allah, dan merugilah orang yang jiwanya ditakdirkan kotor oleh Allah subhanahu wa ta’ala Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Abu Zur'ah, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abu Malik alias Amr ibnul Haris, dari Amr ibnu Hisyam, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (Asy-Syams: 9) Maka beliau ﷺ bersabda: Beruntunglah jiwa orang yang di sucikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadits Abu Malik dengan sanad yang sama. Juwaibir yang disebutkan dalam perawi hadits ini adalah Ibnu Sa'id, orangnya berpredikat matruk, dan lagi Adh-Dhahhak belum pernah bersua dengan Ibnu Abbas.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bila bacaannya sampai pada ayat ini, yaitu firman-Nya: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Maka beliau ﷺ menghentikan bacaannya, lalu berdoa: Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya, dan (Engkau) adalah sebaik-baik yang menyucikannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Humaid Al-Madani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdullah Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Muhammad Al-Gifari, dari Hanzalah ibnu Ali Al-Aslami, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Lalu beliau ﷺ berdoa: Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya; dan sucikanlah jiwaku, Engkau sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau Pemiliknya dan Yang Menguasainya.
Mereka tidak ada yang mengetengahkannya dari jalur ini. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Saleh ibnu Sa'id, dari Aisyah , bahwa ia merasa kehilangan Nabi ﷺ di tempat peraduannya, lalu ia mencarinya dengan meraba-rabakan tangannya (dalam kegelapan malam), dan tangannya memegang diri Nabi ﷺ yang saat itu sedang melakukan sujud seraya berdoa: Ya Tuhanku, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya dan Engkan adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya. Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini secara munfarid. Hadits lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS, dari Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan. Ibnu Zaid mengatakan, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kami doa-doa tersebut, dan sekarang kami mengajarkannya kepada kalian. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadits Abu Mu'awiyah, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS dan Abu Usman An-Nahdi, dari Zaid ibnu Arqam dengan lafal yang sama."
Demi siang apabila menampakkannya, yakni menampakkan matahari. Siang yang terang menjadi waktu bagi manusia untuk beraktivitas. 4. Demi malam apabila menutupinya sehingga suasana menjadi gelap gulita. Malam menjadi waktu istirahat bagi manusia guna mengembalikan kekuatan untuk kembali beraktivitas esok hari.
Selanjutnya Allah bersumpah dengan siang dan malam. Siang menampakkan matahari, sedangkan malam menyembunyikan matahari. Dengan ini, Allah memberikan isyarat tentang sistem perputaran bulan dan bumi terhadap matahari sebagai penanda waktu bagi manusia. Perputaran bumi terhadap matahari menimbulkan sistem penanda waktu syamsiah sedang perputaran bulan terhadap bumi menimbulkan penanda waktu qomariyah. Pergerakan ketiga benda langit ini yang begitu terstruktur tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ASY-SYAMS
(MATAHARI)
SURAH KE-91,15 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Demi matahari dan cahaya siangnya." (ayat 1)
Karena apabila matahari telah mulai terbit, kian lama dia akan kian tinggi dan kian memancar pulalah cahaya siangnya. Dalam ayat ini ada disebut waktu Dhuha, yaitu sejak cahaya matahari mulai berangsur panas, sampai matahari di pertengahan langit. Waktu itu disebut waktu Dhuha. Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma mengatakan bahwa matahari dijadikan persumpahan oleh Allah agar kita perhatikan terbitnya dan terbenamnya, karena dia adalah makhluk yang besar dan dahsyat. Dan Allah ambil pula cahaya siangnya jadi persumpahan karena cahaya itu menjadi sumber kehidupan dan penerang mencari petunjuk dalam alam ciptaan Allah yang luas ini.
Ayat 2
“Demi bulan apabila dia mengikutinya." (ayat 2)
Yang dimaksud bulan mengikuti matahari ini ialah di saat-saat bulan purnama. Waktu itulah bulan penuh sebagaimana adanya kelihatan dari muka bumi, sehingga malam pun mendapat sinaran dari bulan sepenuhnya pula sejak matahari terbenam sampai fajar menyingsing. Oleh sebab itu persumpahan Ilahi tertuju di sini bukan semata kepada bulannya, tetapi kepada perbandingan cahayanya dengan cahaya matahari.
Ayat 3
“Demi siang apabila menampakkannya." (ayat 3)
Apabila hari telah bertambah siang, bertambah jelaslah matahari itu, bahkan adanya matahari yang jelas itulah yang menyebabkan adanya siang. Karena di waktu itulah matahari memancarkan cahaya menjadi lebih jelas. Sehingga jelaslah dalam ayat ini betapa pentingnya cahaya itu bagi seluruh alam di muka bumi ini. Dan kepentingan kita di hadapan cahaya itu bertambah lagi karena ayat yang berikutnya.
Ayat 4
“Demi malam apabila menutupinya." (ayat 4)
Dengan datangnya malam, matahari tersimpan lebih dahulu, kita pun dapat beristirahat dari kelelahan siang.
Ayat 5
“Demi langit dan apa yang mendirikannya." (ayat 5)
Siapakah yang membina langit yang demikian indah, yang kadang-kadang dinamai kubah hijau; demi indah permainya di siang hari ketika awan beriring ke tepi, bukan berarak ke tengah. Dan lebih indah lagi bila kelihatan di malam hari dengan hiasan bintang-bintang, tidak pernah membosankan mata memandang, lebih-lebih bagi mereka yang berperasaan halus.
Ayat 6
“Demi bumi dan apa yang menghamparkannya." (ayat 6)
Alangkah dahsyatnya kejadian bumi itu, siapakah yang menghamparkannya sehingga manusia dapat hidup di dalam bumi terhampar itu? Di kedua ayat ini, ayat lima dan ayat enam; dikatakan apa untuk mencari siapa!
Untuk menegaskan dari apa kepada siapa, datanglah ayat selanjutnya.
Ayat 7
“Demi diri dan apa yang menyempurnakannya." (ayat 7)
Sesudah kita disuruh memerhatikan matahari dan bulan, siang dan malam, langit dan bumi dan latar belakang segala yang nyata itu, dalam filsafat dinamai fisika; kita disuruh mencari metafisikanya, sampai hendaknya kita menginsafi bahwa segala-galanya itu mustahil terjadi dengan sendirinya. Semuanya teratur, mustahil tidak ada yang mengatur. Untuk sampai ke sana, sesudah melihat alam keliling, hendaklah kita melihat diri sendiri: Siapakah Aku ini sebenarnya? Aku lihat matahari dan bulan itu, siang dan malam itu, langit dan bumi itu, kemudian aku pikirkan. “Aku yang melihat ini sendiri, siapakah adanya?" Mula-mula yang kita dapati ialah, “Aku Ada!" Bukti bahwa aku ada ialah karena aku berpikir. Aku ada, karena aku bertanya. Sesudah Aku yakin akan ada-nya aku, datanglah pertanyaanku terakhir: secara kebetulankah Aku ada ini? Secara kebetulankah aku ini berpikir? Dan apa artinya Aku ada ini? Siapakah aku? Apakah tubuh kasar ini, yang dinamai fisika pula? Kalau diriku hanya semata-mata tubuh kasar ini, mengapa satu waktu berhenti bernapas dan orang pun mati? Dan barulah sempurna hidupku karena ada gabungan pada diriku ini di antara badan dan nyawa. Dan nyawa itu pun adalah sesuatu yang metafisika, di luar indra! Maka lanjutlah pertanyaan, Apa dan siapakah yang menyempurnakan kejadianku itu?" Di sinilah kita mencari Allah Maha Pencipta, setelah kita yakin akan adanya diri kita. Di sinilah terletak pepatah terkenal, “Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, niscaya kenallah dia akan Tuhannya."
Ayat 8
“Maka menunjukkanlah Dia."
Allah yang mendirikan langit menghamparkan bumi, dan menyempurnakan kejadian insan. Diberi-Nya ilham “kepadanya" yaitu kepada diri insan tadi.
“Akan kejahatan dan kebaikannya." (ujung ayat 8)
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.