Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱتَّقُواْ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَكُونُواْ
dan jadilah kamu
مَعَ
bersama
ٱلصَّـٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱتَّقُواْ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَكُونُواْ
dan jadilah kamu
مَعَ
bersama
ٱلصَّـٰدِقِينَ
orang-orang yang benar
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah) dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat (dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar) dalam hal iman dan menepati janji untuk itu kalian harus menetapi kebenaran.
Tafsir Surat At-Taubah: 118-119
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan) tobat mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit (pula) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.
Ayat 118
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami keponakan Az-Zuhri (yaitu Muhammad ibnu Abdullah), dari pamannya (Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhri), telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, bahwa Ubaidillah ibnu Ka'b ibnu Malik yang menjadi juru penuntun Ka'b ibnu Munabbih setelah matanya buta mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Malik menceritakan hadits tentang dirinya ketika ia tidak ikut berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk. Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Aku tidak pernah absen dari Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan pun yang dilakukannya, kecuali dalam Perang Tabuk. Hanya dalam Perang Badar aku tidak ikut, dan tidak ada seorang pun yang ditegur karena tidak mengikutinya. Karena sesungguhnya saat itu Rasulullah ﷺ berangkat hanya bertujuan untuk menghadang kafilah orang-orang Ouraisy, tetapi pada akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan musuh mereka tanpa ada perjanjian sebelumnya. Sesungguhnya aku ikut bersama Rasulullah ﷺ dalam malam 'Aqabah ketika kami mengucapkan janji setia kami kepada Islam, dan aku tidak suka bila malam itu diganti dengan Perang Badar, sekalipun Perang Badar lebih dikenal oleh orang daripadanya. Termasuk berita yang menyangkut diriku ketika aku tidak ikut berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk ialah bahwa pada saat itu keadaanku cukup kuat dan cukup mudah, yaitu ketika aku absen dari Rasulullah ﷺ dalam peperangan tersebut.
Demi Allah, aku belum pernah mengumpulkan dua rahilah (unta kendaraan lengkap dengan perbekalannya) melainkan aku mampu mengumpulkannya buat perang itu. Rasulullah ﷺ apabila hendak berangkat menuju suatu medan perang jarang sekali menyebutkan tujuannya, melainkan menyembunyikannya di balik tujuan yang lain. Ketika tiba saat perang itu, maka Rasulullah ﷺ berangkat menuju medannya dalam musim yang panas sekali dan perjalanan yang sangat jauh serta padang sahara yang luas, juga akan menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka Rasulullah ﷺ memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan sesuai dengan musuh yang akan mereka hadapi, dan beliau ﷺ memberitahukan kepada mereka tujuan yang akan ditempuhnya. Saat itu jumlah kaum muslim yang bersama Rasulullah ﷺ sangat banyak sehingga sulit untuk dicatat jumlahnya." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Jarang sekali seorang lelaki yang berkeinginan untuk absen melainkan ia menduga bahwa dirinya pasti tidak diketahui, selagi tidak turun wahyu kepada Nabi ﷺ dari Allah ﷻ yang memberitahukannya. Rasulullah ﷺ berangkat ke medan Perang Tabuk di saat musim buah sedang masak dan naungan yang rindang, sedangkan diriku (Ka'b) lebih cenderung kepada kedua hal ini. Rasulullah ﷺ melakukan persiapan untuk menghadapinya bersama-sama kaum muslim, dan aku pun pergi dengan mereka untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan masih belum dapat menyelesaikan sesuatu pun dari persiapanku.
Lalu aku berkata kepada diri sendiri, 'Aku mampu membuat persiapan jika aku menghendakinya.' Hal tersebut berkepanjangan dalam diriku, sedangkan orang lain terus membuat persiapannya dengan penuh kesungguhan. Hingga pada suatu hari Rasulullah ﷺ dan kaum muslim berangkat, sedangkan aku masih belum menyelesaikan sesuatu pun dari persiapanku. Dan aku berkata kepada diriku sendiri, 'Aku akan membuat persiapanku dalam satu dua hari lagi, lalu aku akan berangkat menyusul Rasulullah ﷺ.' Pada keesokan harinya setelah mereka semuanya pergi, aku pergi untuk membuat persiapanku, tetapi akhirnya aku kembali dalam keadaan masih belum mempersiapkan sesuatu pun dari urusanku itu.
Lalu pada keesokan harinya aku pergi lagi untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan belum menyelesaikan apa-apa. Hal itu berkepanjangan atas diriku, hingga pasukan kaum muslim telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kemudian aku berniat berangkat dan menyusul mereka sebenarnya alangkah baiknya bagiku bila niat tersebut kulakukan, tetapi aku tidak mampu melakukan hal itu.
Sejak saat itu apabila keluar menemui orang-orang sesudah keberangkatan Rasulullah ﷺ, aku selalu dilanda kesedihan, karena aku memandang diriku sendiri tiada lain seperti seseorang yang tenggelam dalam kemunafikannya, atau sebagai seorang lelaki yang dimaafkan oleh Allah ﷻ karena berhalangan. Rasulullah ﷺ tidak menyebut tentang diriku melainkan sesudah sampai di medan Tabuk. Ketika beliau sudah sampai di Tabuk di saat beliau sedang duduk di tengah-tengah kaum muslim, beliau ﷺ bertanya, 'Apakah yang telah dilakukan Ka'b ibnu Malik?' Seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh dua lapis kain burdahnya dan memandang kepada kedua sisi pundaknya,' yakni cenderung kepada duniawi.
Maka perkataannya itu dibantah oleh Mu'az ibnu Jabal, 'Perkataanmu itu buruk sekali. Demi Allah, wahai Rasulullah, sepanjang pengetahuan kami dia adalah orang yang baik.' Rasulullah ﷺ diam." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Ketika sampai kepadaku berita yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ dalam perjalanan pulangnya dari medan Tabuk, maka diriku dilanda kesedihan dan kesusahan, lalu aku mulai berpikir mencari alasan dengan berdusta untuk menyelamatkan diriku dari murka Rasulullah ﷺ pada keesokan harinya. Untuk itu, aku bermusyawarah dengan orang-orang yang pandai dari kalangan keluargaku. Tetapi ketika diberitakan bahwa Rasulullah ﷺ kini telah dekat, maka lenyaplah kebatilan dari diriku, dan kini aku sadar bahwa diriku tidak akan selamat darinya dengan alasan apa pun. Maka akhirnya aku Pada pagi harinya Rasulullah ﷺ tiba. Kebiasaan Rasulullah ﷺ apabila baru tiba dari suatu perjalanan, beliau memasuki masjid terlebih dahulu, lalu salat dua rakaat, setelah itu duduk menghadapi orang-orang. Ketika Rasulullah ﷺ telah melakukan hal itu, maka berdatanganlah kepadanya orang-orang yang tidak ikut berperang, lalu mereka mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepadanya untuk menguatkan alasannya.
Yang melakukan demikian ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah ﷺ menerima lahiriah mereka dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, sedangkan mengenai isi hati mereka beliau serahkan kepada Allah ﷻ. Setelah itu aku tiba dan mengucapkan salam kepadanya, maka ia kelihatan tersenyum sinis kepadaku, lalu bersabda, 'Kemarilah!' Aku berjalan ke arahnya hingga duduk di hadapannya, lalu ia bersabda, 'Apakah yang menyebabkan kamu tidak ikut perang? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?' Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika aku duduk di hadapan selain engkau dari kalangan penduduk dunia, niscaya aku dapat keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, sesungguhnya aku telah dianugerahi pandai berbicara.
Tetapi demi Allah, aku merasa yakin bahwa jika aku berbicara kepadamu pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta hingga aku dapat membuatmu rida, niscaya Allah akan membuat engkau murka terhadap diriku dalam waktu yang dekat (yakni melalui wahyu-Nya yang menerangkan hal sebenarnya). Dan sesungguhnya jika aku mengatakan hal yang sebenarnya kepadamu, niscaya engkau akan murka terhadap diriku karenanya; hanya saja aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan akibat yang terbaik bagiku dalam kejujuranku ini.
Demi Allah, sebenarnya aku tidak mempunyai uzur (halangan) apa pun. Demi Allah, aku belum pernah mengalami keadaan yang luas dan mudah seperti ketika aku tidak ikut perang bersamamu'." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Adapun orang ini, maka ia berkata sejujurnya. Sekarang pergilah hingga Allah memberikan keputusan.’ Maka aku bangkit dan pergi, lalu bangkitlah banyak kaum lelaki dari kalangan Bani Salamah mengikuti diriku, lalu mereka berkata kepadaku, "Demi Allah, kami belum pernah melihat engkau melakukan suatu dosa (kesalahan) pun sebelum ini.
Kali ini engkau tidak mampu mengemukakan alasan seperti apa yang dikemukakan oleh mereka yang tidak ikut perang itu. Padahal dosamu sudah cukup akan dihapus oleh permohonan ampun Rasulullah ﷺ kepada Allah buat dirimu." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, mereka terus-menerus menegurku hingga timbul perasaan dalam hatiku seandainya aku kembali kepada Rasulullah ﷺ, lalu aku berdusta terhadap diriku. Kemudian aku bertanya kepada mereka, 'Apakah ada orang lain yang mengalami seperti apa yang aku lakukan?' Mereka menjawab, 'Ya, engkau ditemani oleh dua orang lelaki yang kedua-duanya mengatakan hal yang sama dengan apa yang telah kamu katakan, lalu dijawab dengan jawaban yang sama seperti yang diutarakan kepadamu.' Aku bertanya, 'Siapakah keduanya itu?' Mereka menjawab, 'Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah Al-Waqifi.' Mereka menceritakan kepadaku perihal dua orang lelaki yang pernah ikut dalam Perang Badar, kedua-duanya adalah orang yang saleh, dan pada diri keduanya terdapat teladan yang baik bagi diriku.
Lalu aku meneruskan perjalananku setelah mereka menceritakan kedua orang itu kepadaku." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah ﷺ melarang kaum muslim berbicara dengan kami bertiga dari kalangan orang-orang yang tidak ikut perang bersamanya. Maka kami dijauhi oleh orang-orang. Sikap mereka berubah total terhadap kami, hingga terasa olehku bahwa bumi yang aku huni ini bukanlah bumi yang pernah aku tinggal padanya dan bukanlah bumi yang aku kenal. Kami tinggal dalam keadaan demikian selama lima puluh hari.
Kedua temanku itu diam saja dan hanya tinggal di dalam rumahnya masing-masing sambil menangis tiada henti-hentinya (menyesali perbuatannya), tetapi aku adalah orang yang paling sabar dan paling tahan dalam menderita di antara mereka. Aku tetap ikut salat berjamaah bersama kaum muslim dan berkeliling di pasar-pasar tanpa ada seorang pun yang mau berbicara kepadaku. Dan aku datang menghadap Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang berada di majelisnya sesudah shalat, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, dan aku berkata kepada diriku sendiri bahwa apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku ataukah tidak.
Kemudian aku salat di dekatnya dan mencuri pandang ke arahnya. Tetapi apabila aku menghadapi salatku, beliau memandang ke arahku, dan apabila aku memandang ke arahnya, maka beliau berpaling dariku. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama kualami, semua orang muslim tidak mau berbicara kepadaku, hingga aku berjalan menelusuri tembok kebun milik Abu Qatadah. yaitu saudara sepupuku dan orang yang paling aku sukai.
Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah dia tidak menjawab salamku. Lalu aku berkata, 'Hai Abu Qatadah. aku memohon kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?'." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Sepupuku itu diam saja." Ka'b ibnu Malik mengulangi salam dan pertanyaannya, tetapi sepupunya itu tetap diam.
Ketika Ka'b ibnu Malik mengulangi lagi hal itu kepadanya, barulah ia menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Maka berlinanganlah air mata Ka'b ibnu Malik, hingga pergi dan meniti jalan dengan bersembunyi di balik tembok. Ketika aku (Ka'b ibnu Malik) sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba aku berjumpa dengan seorang Nabti dari negeri Syam yang biasa mendatangkan bahan makanan untuk dijual di Madinah.
Dia bertanya, "Siapakah yang akan menunjukkan Ka'b ibnu Malik kepadaku?" Maka orang-orang menunjukkan kepadanya rumahku, hingga orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat untukku dari Raja Gassan. Kebetulan aku adalah orang yang pandai baca tulis. Ketika kubaca isinya, ternyata di dalamnya terdapat kata-kata berikut, "Amma ba'du. Sesungguhnya telah sampai kepada kami suatu berita yang mengatakan bahwa temanmu (yakni Nabi ﷺ) telah menjauhimu, dan sesungguhnya Allah tidak menjadikanmu berada di negeri yang semuanya menghina dan menyia-nyiakanmu.
Maka bergabunglah dengan kami, kami pasti akan membantumu." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Setelah kubaca isi surat itu. jiku berkata kepada diriku sendiri. Inipun suatu malapetaka lagi. Lalu aku menuju tempat pembakaran roti. kemudian surat itu aku masukkan ke dalamnya. Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang telah kami sebutkan, tiba-tiba Rasulullah ﷺ yakni utusannya datang kepadaku seraya membawa pesan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan aku agar menjauhi istriku. Aku bertanya, 'Apakah aku harus menceraikannya ataukah harus bagaimana?' Utusan itu menegaskan. 'Tidak, tetapi kamu harus menjauhinya, janganlah kamu mendekatinya." Hal yang sama telah dikatakan pula kepada kedua orang temanku." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku berkata kepada istriku, 'Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkaraku ini menurut apa yang dikehendaki-Nya'." Lain halnya dengan istri Hilal ibnu Umayyah (teman Ka'b yang juga dijauhkan).
Ia datang menghadap Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal adalah orang yang telah berusia lanjut lagi lemah keadaannya, dia pun tidak mempunyai pembantu, apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, tetapi dia tidak boleh mendekatimu." Istri Hilal berkata, "Sesungguhnya dia, demi Allah, tidak mempunyai selera apa pun. Dia, demi Allah, masih terus-menerus menangis sejak peristiwa yang dialaminya sampai sekarang." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu salah seorang istriku ada yang mengatakan kepadaku, 'Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah ﷺ agar istrimu diberi izin untuk melayanimu seperti apa yang diizinkan kepada istri Hilal ibnu Umayyah untuk melayaninya.' Aku berkata, 'Demi Alah, aku tidak mau meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk istriku itu, apakah nanti yang akan dikatakan oleh Rasulullah ﷺ tentang diriku yang masih muda ini bila aku meminta izin kepadanya'." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Kami tinggal selama sepuluh hari dalam keadaan demikian, hingga genaplah lima puluh hari sejak Rasulullah ﷺ melarang orang-orang berbicara kepada kami." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku melakukan salat Subuh pada pagi hari yang kelima puluhnya di atas loteng salah satu rumahku.
Ketika itu aku sedang duduk dalam keadaan seperti apa yang disebutkan oleh Allah, bahwa jiwaku merasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Dalam keadaan demikian aku mendengar suara seruan keras dari atas Bukit Sala' yang menyerukan dengan suara keras sekali, 'Bergembiralah engkau, hai Ka'b ibnu Malik!' Maka aku menyungkur bersujud, dan aku mengetahui bahwa telah datang jalan keluar dari Allah ﷻ, yaitu dengan menerima tobat kami.
Rasulullah ﷺ seusai salat Subuhnya memaklumatkan penerimaan tobat kami oleh Allah ﷻ. Maka orang-orang pun pergi untuk menyampaikan berita gembira itu kepadaku dan kepada kedua orang temanku. Ada seorang lelaki yang memacu kudanya dari kalangan kabilah Aslam, dan seorang lagi berlari menaiki puncak Bukit (Sala') untuk menyerukan hal itu, dan ternyata suara lebih cepat daripada kuda. Ketika datang kepadaku orang yang telah kudengar suaranya menyampaikan berita gembira dari atas bukit itu, maka aku tanggalkan kedua bajuku, lalu kuberikan kepadanya sebagai penghargaan atas jasanya; padahal, demi Allah, aku tidak mempunyai baju lagi yang selainnya pada saat itu.
Lalu aku meminjam dua lapis baju dan kukenakan, lalu aku berangkat dengan tujuan akan menghadap Rasulullah ﷺ. Setiap orang yang aku jumpai secara berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat mereka kepadaku karena tobatku diterima oleh Allah. Mereka mengatakan, 'Selamat dengan penerimaan tobatmu oleh Allah.' Ketika aku memasuki masjid, kujumpai Rasulullah ﷺ sedang duduk dikelilingi oleh orang banyak. Maka Talhah ibnu Ubaidillah berlari kecil datang kepadaku dan menyalamiku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah dialah satu-satunya orang dari kalangan Muhajirin yang bangkit menyambutku." Perawi mengatakan bahwa atas peristiwa itu Ka'b tidak pernah melupakan kebaikan Talhah ibnu Ubaidillah.
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ (dan beliau menjawab salamku), maka kelihatan wajah Rasulullah ﷺ bercahaya karena gembira, lalu bersabda: 'Bergembiralah engkau dengan sebaik-baik hari yang kamu alami sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Aku bertanya, 'Apakah dari sisimu, hai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?' Rasul ﷺ menjawab, 'Tidak, tetapi dari sisi Allah.' Rasulullah ﷺ bila wajahnya bersinar hingga kelihatan seperti bulan purnama, maka hal itu merupakan suatu pertanda bahwa beliau sedang gembira. Ketika aku duduk di hadapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk menunjukkan tobatku, aku melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Peganglah sebagian dari hartamu, hal itu lebih baik bagimu.' Aku berkata, 'Sesungguhnya aku hanya mau memegang bagianku yang ada di Khaibar.' Dan aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan sesungguhnya termasuk tobatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya selagi aku masih hidup'." Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui seseorang dari kalangan kaum muslim yang diuji dengan kejujuran dalam berbicara sejak aku mengucapkan kejujuran itu kepada Rasulullah, yakni dengan hasil yang lebih baik daripada apa yang pernah diujikan oleh Allah kepadaku.
Demi Allah, aku tidak punya niat melakukan suatu kedustaan pun sejak aku mengucapkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ sampai sekarang. Dan sesungguhnya aku berharap semoga Allah ﷻ memelihara diriku dari dusta dalam sisa usiaku."
Ayat 118
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit (pula) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 117-119)
Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Demi Allah, tidak ada suatu nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku sesudah Dia memberiku petunjuk kepada Islam, yakni nikmat yang paling besar artinya bagiku selain dari kejujuranku kepada Rasulullah ﷺ pada hari itu. Karena aku tidak mau berdusta kepadanya, sebab aku akan dibinasakan oleh Allah seperti apa yang telah Dia lakukan kepada orang-orang yang berdusta kepada Rasul ﷺ." Allah ﷻ mengecam dengan kecaman yang sangat keras terhadap orang-orang yang berdusta kepada Rasul ﷺ melalui firman yang diturunkan-Nya, yaitu: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam: sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95-96) Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Kami bertiga adalah orang-orang yang berbeda dengan mereka yang diterima uzurnya oleh Rasulullah ﷺ; ketika mereka tidak ikut perang, lalu Rasulullah ﷺ membaiat mereka dan memohonkan ampun kepada Allah buat mereka.
Sedangkan terhadap kami bertiga, Rasulullah ﷺ menangguhkan urusan kami hingga Allah ﷻ sendiri yang memutuskannya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka.” (At-Taubah: 118) Penangguhan Allah terhadap kami tentang urusan kami itu bukanlah karena pelanggaran kami yang tidak ikut perang, melainkan ditangguhkan dari orang-orang yang mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepada Nabi untuk mempercayainya, lalu Nabi ﷺ menerima alasan mereka."
Hadits ini sahih lagi terbuktikan kesahihannya dan telah disepakati kesahihannya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Az-Zuhri dengan lafaz yang serupa. Hadits ini mengandung tafsir ayat ini dengan penafsiran yang paling baik dan paling detail. Hal yang sama telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dalam tafsir ayat ini, seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Al-A'masy dari Abu Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka.” (At-Taubah: 118) Mereka adalah Ka'b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, dan Mararah ibnu Rabi', semuanya dari kalangan Ansar.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad- Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Semuanya mengatakan bahwa salah seorangnya adalah Mararah ibnu Rabi'ah. Hal yang sama disebutkan dalam salah satu salinan dari kitab Muslim, disebutkan Ibnu Rabi'ah; sedangkan dalam salinan yang lainnya disebutkan Mararah ibnur Rabi'. Di dalam suatu riwayat dari Ad-Dahhak disebutkan Mararah ibnur Rabi', seperti yang terdapat di dalam kitab Sahihain, dan ini adalah yang benar.
Teks hadits yang menyebutkan bahwa mereka (orang-orang dari Bani Salamah) menyebutkan dua orang lelaki yang pernah mengikuti Perang Badar; menurut suatu pendapat, ini merupakan kekeliruan dari Az-Zuhri, karena sesungguhnya keikutsertaan seseorang dari mereka dalam Perang Badar tidak dikenal. Setelah Allah menyebutkan jalan keluar yang telah diberikan-Nya kepada mereka dari kesempitan dan musibah yang menimpa mereka, yaitu diasingkan oleh kaum muslim selama lima puluh hari, dalam masa-masa itu jiwa mereka terasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit oleh mereka.
Semua jalan dan semua pemikiran tertutup bagi mereka sehingga mereka tidak menemukan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan. Tetapi mereka tetap bersabar kepada perintah Allah dan tenang menunggu perintah-Nya serta bersikap teguh, sehingga Allah memberikan jalan keluar bagi mereka berkat kejujuran mereka terhadap Rasulullah ﷺ dalam mengemukakan alasan ketidakikut-sertaan mereka. Mereka mengatakan bahwa ketidakikutsertaan mereka dalam perang bukanlah karena beruzur, sehingga mereka mendapat hukuman selama masa itu. Kemudian pada akhirnya Allah menerima tobat mereka, dan ternyata akibat yang baik bagi mereka adalah berkat kejujuran mereka hingga tobat mereka diterima. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
Ayat 119
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119)
Yakni jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Syaqiq, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud r.a.) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jujurlah kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu membimbing ke arah kebajikan; dan sesungguhnya kebajikan itu membimbing ke arah surga. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kejujuran serta berpegang teguh kepada kejujuran pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (benar). Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu membimbing kepada kedurhakaan; dan sesungguhnya kedurhakaan itu membimbing ke arah neraka. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kebohongan serta bersikeras dalam kebohongannya, pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong (pendusta).”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab shahihnya.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah bahwa ia pernah mendengar Abu Ubaidah menceritakan hadits dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa dusta itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguhan maupun dalam keadaan bersenda gurau. Bacalah oleh kalian firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119) Demikianlah bunyi ayat seperti yang dibacakan oleh Nabi ﷺ. Maka apakah kalian menjumpai padanya suatu rukhsah (kemurahan) bagi seseorang?
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan firman-Nya: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119) Yaitu bersama Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Menurut Ad-Dahhak, bersama Abu Bakar dan Umar serta teman-teman keduanya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Jika engkau ingin bersama orang-orang yang benar, maka berzuhudlah kamu terhadap duniawi, dan cegahlah dirimu dari menyakiti saudara seagamamu.
Penegasan bahwa Allah Maha Penerima tobat diikuti dengan perintah: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh berupaya melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang benar, jujur dalam ucapan, perilaku dan perbuatannya.
Ayat ini berisi kecaman terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang dan memilih bersenang-senang di rumah mereka. Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, yaitu di sekitar kota Madinah, tidak turut menyertai Rasulullah pergi berperang, dan tidak pantas pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu tidak wajar, karena mereka tidak ditimpa kehausan karena panas terik dan sulitnya mendapatkan air, tidak kepayahan dan kelaparan karena terbatasnya makanan ketika berjuang di jalan Allah, dan tidak pula menginjak atau menduduki suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir lantaran keberanian dalam menegakkan kalimat Allah, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, yakni menyebabkan musuh terluka atau terbunuh, kecuali semua itu akan dituliskan oleh malaikat bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan yang layak mendapatkan pahala dari Allah. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Allah menunjukkan seruan-Nya dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, agar mereka tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan rida-Nya, dengan cara menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka. Dan jangan bergabung kepada kaum munafik, yang selalu menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar.
Al-Baihaqi meriwayatkan suatu hadis Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan itu menuntun kepada surga. Sesungguhnya seseorang akan berlaku jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menuntun kepada kejahatan, dan kejahatan itu menuntun ke neraka. Sesungguhnya seseorang itu berlaku dusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta. (Hadis Muttafaq 'Alaih)
Berdusta selamanya terlarang kecuali bila terpaksa, sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau untuk mendamaikan antara pihak-pihak yang ber-sengketa, atau kebohongan seorang lelaki kepada isterinya yang dimaksud-kan untuk menyenangkan hatinya, misalnya dalam memuji kecantikannya, akan tetapi bukan kebohongan dalam masalah keuangan dan kepentingan kehidupan rumah tangga atau lainnya. Dalam hal ini Rasulullah ﷺ telah bersabda:
Setiap kebohongan yang dilakukan oleh seseorang selalu dituliskan sebagai dosanya kecuali bagi seorang yang berbohong sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau kebohongan untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa atau kebohongan yang dilakukan seseorang terhadap isterinya dengan maksud untuk menyenangkan hatinya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad, dari Asma binti Yazid).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PEMBERIAN AMPUNAN
Maka selesailah perjalanan perang ke Tabuk itu, dan pulanglah Nabi ﷺ dan segala Muhajirin dan segala Anshar yang mengikuti beliau.
Perjalanan itu memang berat, sukar, dan jauh sehingga terdapat orang-orang munafik yang mengemukakan beberapa dalih dan alasan agar jangan ikut pergi. Bahkan dalam kalangan yang pergi sendiri, ada munafik yang tidak yakin hatinya akan menang menghadapi orang Rum. Dan, ada orang munafik dalam perjalanan puiang yang berniat jahat hendak membunuh Nabi ﷺ.
Sungguh pun rahasia-rahasia munafik itu telah dibuka dengan beberapa ayat yang telah kita baca dan uraikan di atas, namun perjalanan pergi dan pulang ke Tabuk itu telah membawa hasil yang gemilang. Sebab ada Muhajirin dan Anshar yang setia yang mengikuti beliau dalam perjalanan itu dan sehidup semati dengan Rasul. Memang per-jalanan itu sangat berat, memang banyak keluhan dan kesukaran. Memang berat me-ninggalkan rumah tangga pada saat sukar itu, namun Muhajirin dan Anshar itu masih tetap mengikuti Rasul ﷺ dan setia kepadanya. Ha-langan-halangan mereka singkirkan, betapa pun besarnya. Maka sebagai manusia, niscaya berperanglah Muhajirin dan Anshar itu dalam batin mereka, dan menanglah mereka dalam peperangan batin itu. Maka datanglah firman Allah.
Ayat 117
“Sungguh Allah telah memberi tobat atas Nabi dan Muhajirin dan Anshan yang telah mengikutinya pada saat yang sukar itu"
Syukurlah pada uraian ayat 112 sebelumnya kita telah dapat memahami apa arti tobat. Di dalam hati sanubari kita ini kadang-kadang terjumpa perasaan yang salah, tetapi bukan termasuk dosa. Kita juga merasa bahwa perasaan itu salah. Misalnya, orang yang menahan nafsu setubuh pada malam bulan puasa; itu salah! Karena mengungkung diri mengerjakan “tugas hidup" suami istri di malam hari, padahal Allah mengizinkan. Kesalahan ini diberi tobat oleh Allah.
Dan, kita pun sudah mengerti bahwa sehabis mengerjakan tiang agung dari agama yang menurut hukum fiqih menjadi wajib, yaitu shalat lima waktu. Wajib, artinya bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan berdosa. Namun sehabis mengerjakan pekerjaan baik yang berpahala itu, kita pun masih disuruh Rasulullah ﷺ untuk bertobat. Setelah hal itu kita pahamkan, dapatlah selanjutnya kita memahamkan apa arti tobat yang diberikan Allah kepada Nabi ﷺ Muhajirin dan Anshar yang telah mengikuti beliau de
ngan setia dalam Perang Tabuk ini.
Lihat kembali ayat 44 di atas, Rasulullah ﷺ telah diberi maaf oleh Allah, bahkan di-dahulukan memberi maaf, kemudian baru disesali dengan pertanyaan: “Mengapa engkau beri izin mereka," yaitu orang-orang munafik yang meminta izin buat tidak ikut pergi itu. Ini suatu kesalahan dari Rasul ﷺ, tetapi kesalahan yang tidak berdosa, sebab termasuk pertimbangan pribadi, atau ijtihad yang mungkin salah. Sungguh pun ini suatu yang salah, dia dimaafkan oleh Allah dan diberi tobat
Perjalanan pergi ke Tabuk disebut “saat yang sukar" (sa'atil ‘usrah), musim panas, ke-kurangan perbekalan, sampai bergotong ro-yong, sampai satu unta dikendarai dua sampai tiga orang. Musim buah mulai gugur dan buah yang diharapkan, baru saja mengarang bunga karena pergantian musim panas kepada musim gugur sehingga kurma yang dibawa sebagai bekal sangat sekali dihematkan, dan air pun susah, jabir bin Abdullah, seorang Anshar yang turut dalam peperangan itu mengatakan, “Saat sukar, sukar angkutan, sukar perbekalan dan sukar air."
Ibnu Abbas pernah menanyakan kepada Umar bin Khaththab bagaimana benarkah saat sukar itu. Umar bin Khathtbab menjawab,
“Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ ke Tabuk dalam kekeringan yang sangat sekali. Kami berhenti di satu-satunya perhentian. Maka kami pun ditimpa haus, kering rasanya kerongkongan sehingga leher rasa-rasakan putus sehingga ada orang yang menyembelih untanya, lalu memeras lambung-lambung air di perut unta itu buat diminum. Sampai dari sangat kekeringan itu, Abu Bakar berkata kepada Nabi ﷺ, “Ya, Rasulullah ﷺ! Allah telah menjanjikan doa engkau dikabulkan, sudilah mendoakan kami!" Maka beliau pun berdoa, diangkatnya kedua tangan sambil menengadah dan tidak beliau turunkan tangan beliau, sebelum hujan turun. Tiba-tiba, turunlah hujan besar. Maka, berburu-burulah mereka itu menampung air hujan itu dengan tempat air masing-masing, sampai penuh. Setelah itu hujan pun berhenti. Dan kami periksa, kenyataan bahwa hujan itu jatuh hanyalah di sekitar tempat kami berhenti itu saja." Demikian Umar bin Khaththab menceritakan perasaan mereka di saat sukar itu. (Dirawikan oleh Ibnu Jarir, Fbnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim yang menjamin shahihnya, dan Abu Nu'aim dan al-Baihaqi di dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah dan adh-Dhiyaa' di dalam kitabnya, al-Muhtarah).
Kemudian datanglah sambungan ayat, “Sesudah nyaris terpengaruh hati segolongan dari mereka." Dibukalah terus terang dalam ayat ini, dari sangat sukar yang dihadapi, nya-rislah terpengaruh hati sebagian dari mereka, Muhajirin dan Anshar itu. Dalam bahasa Arab pada ayat disebut kata (ai), kita artikan nyaris, berarti belum jadi sampai terpengaruh, tetapi hampir terpengaruh. Bagaimanapun, rasa kecewa ataupun keluhan-keluhan mesti terasa pada saat sukar. Kehausan, kelaparan, sangat panas dalam perjalanan, tidak seorang pun manusia termasuk Muhajirin dan Anshar itu sendiri, yang tidak akan mengeluh dalam hati dan berkata, “Bilakah kita akan terlepas dari kesengsaraan ini." Sampai karena tidak tahan lagi, Abu Bakar sudah sampai memohonkan kepada Rasulullah ﷺ karena doa beliau mustajab, agar beliau mendoakan mereka. Sekarang terlepaslah mereka dari kesukaran itu, dan mereka pulang ke Madinah dengan selamat. Maka dengan sepenuh cinta kasih-Nya, Allah menyatakan memberi maaf perasaan yang nyaris-nyaris memengaruhi sikap mereka, karena sukarnya yang dihadapi itu. Sebab sudah nyata bahwa iman menghendaki perjuangan yang hebat dalam batin, dan mereka telah lulus dalam perjuangan itu dengan selamat. Sebab itu maka Allah tutup firman-Nya dengan menyatakan kedua sifat-Nya.
“Sesungguhnya Dia kepada mereka adalah belas kasihan, lagi penyayang."
Dia belas kasihan sehingga tidaklah dipandangnya dosa, bahkan dimaafkan dan diberi tobat, kalau hanya keluhan karena panas, keluhan karena haus, keluhan karena kurangnya alat kendaraan. Sebagai juga tiap-tiap Muslim dan hidupnya sehari-hari pada bulan puasa. Bila hari telah petang, matahari hampir terbenam, dia kelihatan muram karena lapar. Atau orang yang mengerang mengeluh karena sakit, karena memang sakit. Allah menyatakan Rauf-Nya, belas-kasihan-Nya kepada hamba-Nya yang sanggup mengatasi kesulitan karena melaksanakan perintah Allah.
Dan Allah Penyayang sehingga penderitaan dan pengorbanan itu dipandang juga oleh Allah sebagai sebagian dari ibadah perhambaan kepada-Nya.
Maka dengan ayat ini teranglah bahwa rata-rata diberi tobat oleh Allah. Orang munafik sekalipun, jika mereka menyesal dan segera mengubah sikap, diberi tobat oleh Allah atas dosa besarnya selama ini. Rasulullah ﷺ pun diberi tobat oleh Allah walaupun hanya salah ijtihad yang kecil saja. Muhajirin dan Anshar yang sebagian nyaris terpengaruh, tetapi tidak jadi terpengaruh karena kuatnya iman mereka, mereka pun diberi tobat oleh Allah. Sebab Allah itu tetap Belas Kasihan dan tetap Penyayang.
Ayat 118
“Dan juga atas orang bertiga yang telah ditinggal di belakang."
Di antara orang-orang yang meminta izin dan uzur itu, yang nyaris terhitung jadi munafik, ialah tiga orang. Di ayat 106 di atas tadi telah diterangkan ada beberapa orang yang urusan mereka ditangguhkan, atau dipulangkan keputusannya kepada Allah sendiri atau tunggu keputusan dari Allah apa nasib mereka. Orang yang bertiga itu ialah Ka'ab bin Malik dari Bani Salmah, Hilal bin Umaiyah dari Bani Auf dan Marrah bin Rabi' dari Bani Amr bin Auf. Nanti akan kita salin sebuah hadits yang diceritakan oleh Ka'ab bin Malik sendiri tentang persoalan tobat yang diberikan kepadanya, menurut ayat ini. Mereka minta izin tidak hendak ikut Perang Tabuk, sebab itu mereka telah ditinggalkan di belakang, tidak diikutsertakan, padahal mereka mengeluarkan alasan yang dicari-cari. Setelah Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Tabuk itu, mereka yang bertiga ini ketika ditanyai oleh Rasulullah ﷺ mengapa tidak pergi, telah mengakiti dengan terus terang bahwa alasan yang mereka kemukakan itu semuanya hanyalah alasan yang dicari-cari saja. Sebenarnya mereka sanggup pergi, tetapi karena malaskah, atau karena merasa malas meninggalkan Madinahkah, mereka minta izin tidak turut. Mendengar jawaban mereka yang demikian, Rasulullah ﷺ tidak mau mengambil keputusan segera tentang nasib mereka, tetapi Rasulullah ﷺ memulangkan keputusan atas mereka kepada ketentuan Allah sendiri. Inilah yang dimaksud dengan mereka yang ditangguhkan pada ayat 106. Dan sementara menunggu keputusan Allah mereka disisihkan dari masyarakat, tidak ditegur sapa. Maka sangatlah mereka berduka cita atas sikap yang ditentukan Rasul ﷺ.
“Sehingga apabila telah sempit bagi mereka bumi ini dengan segala kelapangannya." Kalau awak dipencilkan orang, ke mana-mana pergi tidak ada orang yang mau menegur sapa, niscaya sempitlah bumi tempat tegak, walaupun bagaimana lapangnya."Dan telah picik atas mereka hati mereka sendiri." Hati menjadi picik dan rasanya jadi sempit, pengharapan telah tertutup, semua orang sejak dari Rasul ﷺ sendiri sampai kepada sahabat yang lain, semuanya memutuskan hubungan sehingga timbul perasaan dalam hati, lebih baik mati daripada hidup."Dan telah mereka sangka bahwa tidak ada lagi tempat mengelak dari Allah, kecuali kepada-Nya jua." Artinya, di dalam keadaan yang sudah sangat muram dan gelap itu, harapan satu-satunya yang tinggal hanya satu, yaitu karunia ampunan dari Allah.
Tidak ada tempat mengelak dari murka Allah, hanya kepada Allah jua melindungkan diri. Tidak lari dari ancaman Allah, melainkan mendekat kepada-Nya dan memohon ampun."Kemudian Dia memberi tobat kepada mereka, supaya mereka kembali," Artinya, tobat mereka diterima oleh Allah, sebab mereka benar-benar telah menyesal atas kesalahan yang telah telanjur itu. Lalu kembali kepada jalan yang benar.
“Sesungguhnya Allah, adalah Dia Penerima tobat, lagi Penyayang."
CERITA TIGA ORANG YANG DIKUCILKAN
Inilah satu kejadian sedih mengenai tiga orang sahabat Rasulullah ﷺ itu. Supaya lebih terang duduk perkara dan lebih terasa tafsir ayat, kita salinkan di sini hadits yang dirawi-kan oleh ahli-ahli hadits yang masyhur, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim, demikian juga diriwayatkan oleh ahli-ahli tafsir yang terkenal, dari jalan az-Zuhri. Az-Zhuri berkata, “Telah mengabarkan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'ab bin Malik.
Kisah diri Ka'ab bin Malik.
(Jadi Abdurrahman yang jadi sumber riwayat itu adalah cucu dari Ka'ab bin Malik sendiri. Abdurrahman itu anak dari Abdullah. Dan Abdullah ini anak dari Ka'ab bin Malik yang empunya perasaan dan yang bercerita. Setelah Ka'ab bin Malik tua, matanya buta. Anaknya Abdullah itulah yang selalu membimbingnya di hari tua dan buta itu ke mana berjalan. Abdullah inilah yang bercerita kepada putranya Abdurrahman darihal cerita yang dia terima dari ayahnya itu).
Berkata Abdullah, “Aku dengan Ka'ab bin Malik menceritakan perasaannya ketika dia tidak ikut pergi dengan Rasulullah ﷺ, ke Peperangan Tabuk itu. Kata Ka'ab, ‘Tidak pernah aku ketinggalan di tiap-tiap peperangan yang dipimpin oleh Rasul ﷺ, tetapi Rasulullah ﷺ tidak menyesali seorang pun yang tidak ikut dalam Perang Badar itu, se-bab maksud Rasulullah ﷺ semula adalah mencegat kafilah Quraisy, tetapi kemudian Rasulullah ﷺ bertemu dengan musuh yang tidak diperhitungkan terlebih dahulu dalam Perang Badar.'" (Keterangan kita: Sebab itu tidak hadirnya Ka'ab bin Malik di Perang Badar, tidaklah disalahkan)."Tetapi aku turut menyaksikan bersama Rasulullah ﷺ di malam pertemuan Aqabah, ketika kami membuat janji sumpah setia dengan beliau, sehingga walaupun aku tidak hadir di Perang Badar, aku rasa pertemuan Aqabah itu lebih penting, meskipun Perang Badar lebih disebut orang dan lebih terkenal.
Adapun kisahku ketika tidak ikut dalam Perang Tabuk itu, terus terang aku katakan bahwa ketika itu adalah masa aku lebih kuat, lebih sanggup, kalau aku mau pergi menurutkan beliau. Demi Allah, pada masa itu aku mempunyai dua ekor kendaraan, padahal selama ini aku hanya mempunyai satu. Dan menurut kebiasaan Rasulullah ﷺ kalau akan pergi berperang, beliau sengaja merahasiakan ke jurusan mana beliau akan pergi, tetapi yang sekali ini tidak. Maka pergilah beliau berperang, padahal di waktu itu musim sangat panas, menempuh perjalanan yang amat jauh, dan akan menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka beliau katakan kepada kaum Muslimin ke mana tujuan perang, supaya mereka benar-benar bersiap lengkap. Dan, kaum Muslimin yang mengikut beliau ketika itu sangat banyak sehingga tidak dapat dicatat lagi (nama-nama mereka) di dalam diwan (daftar).'
Berkata Ka'ab bin Malik seterusnya, ‘Maka adalah orang-orang yang ingin menyembu-nyikan diri di waktu itu (supaya jangan ikut), dan menyangka bahwa rahasianya itu takkan terbongkar, asal saja tidak turun wahyu dari Allah membukakannya. Maka Rasulullah ﷺ pun bersiaplah hendak pergi ke peperangar. itu, sedang waktu itu adalah musim memetik buah dan sedang enak berlindung-lindung, dan aku sendiri pun merasa terpaut dengan itu, Rasulullah ﷺ pun mulai berangkat diiringkan oleh Muslimin, sedang aku sendiri mulanya sudah siap-siap mau ikut bersama mereka. Tetapi aku pulang ke rumah dan tidak sebuah pun yang aku kerjakan. Lalu aku berkata kepada diriku, Aku sanggup menuruti, kalau aku mau.'
Begitu sajalah keadaanku, mundur dan maju, sampai Rasulullah ﷺ telah berangkat pagi-pagi dan kaum Muslimin telah mengiringkan beliau, namun aku masih tetap belum juga bersiap. Aku berkata dalam hatiku ketika itu, ‘Dalam sehari dua ini, aku bersiap lalu aku tungkasi beliau.' Beliau telah pergi jauh, sedang aku belum juga bersiap. Aku pulang, aku ragu, sebentar hendak pergi sebentar terhenti, tetapi tidak juga aku berkemas. Begitulah keadaanku sehingga kian lama kian jauhlah rombongan itu berangkat. Sebentar telah timbul ingatanku hendak menuruti, dan masih bisa dituruti. Menyesallah aku sekarang mengapa aku tidak berbuat begitu. Karena akhirnya tidak dapat dituruti lagi karena sudah sangat jauh.
Setelah Rasulullah ﷺ keluar bersama kaum Muslimin dan aku telah tinggal di Madinah dan tidak dapat menuruti beliau lagi, barulah terasa menyesal dan sedih dalam hatiku. Sebab, jika aku telah keluar dan rumah, aku melihat tidak ada orang yang patut aku jadikan teladan, karena yang bertemu hanya orang-orang yang telah tenggelam dalam ke-munafikan, atau orang-orang yang memang telah diberi uzur oleh Allah (karena lemah, sakit, atau karena tidak ada bekal buat pergi). Dan Rasulullah ﷺ sendiri pun rupanya ti-daklah teringat akan daku sehingga beliau sampai di Tabuk. Demi setelah beliau sampai di Tabuk dan duduk dikelilingi kaum Muslimin, timbullah pertanyaan beliau tentang diriku,
‘Mengapa Ka'ab bin Malik?' Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, ‘Dia teiah terikat oleh selimutnya dan mengurus kepentingan dirinya.' Mendengar itu segeralah Mu'adz bin Jabal menegurnya, ‘Perkataanmu itu jahat sekali.' Lalu Mu'adz berkata kepada Rasulullah ﷺ, ‘Menurut pengetahuanku, ya Rasulullah ﷺ, Ka'ab bin Malik adalah seorang yang baik.'
Tetapi, Rasulullah ﷺ diam saja.
Berkata Ka'ab bin Malik seterusnya, ‘Maka setelah sampai kepadaku berita bahwa Rasulullah ﷺ telah menuju pulang dari Tabuk, berkumpullah anak-anakku kepadaku, lalu aku jelaskanlah kepada mereka bahwa aku telah salah, aku telah berdusta, dan aku pun meminta pikiran kepada kaum kerabatku dengan jalan apa aku akan dapat melepaskan diri dari kemurkaan Rasulullah ﷺ apabila beliau kembali esok.
Kemudian setelah dikatakan orang bahwa beliau telah hampir tiba, terhindarlah tabir kebatilan itu dari diriku sehingga mengertilah aku bahwa aku sekali-kali tidak akan terlepas dari kemurkaan Rasulullah ﷺ kecuali hanya dengan satu sikap saja, yaitu bicara dengan beliau secara jujur.
Maka beliau pun tibalah kembali dengan selamat. Kebiasaan beliau, jika pulang dari satu perjalanan, terus ke masjid dan shalat dua rakaat, sehabis itu beliau pun duduk menghadapi orang banyak. Maka setelah beliau duduk menghadapi orang banyak itu, datanglah berduyun-duyun orang-orang yang dahulu meminta izin tidak akan pergi itu, lebih dari 80 orang banyaknya. Semua mengemukakan berbagai alasan dan semuanya diterima oleh Rasulullah ﷺ menurut apa yang mereka katakan dengan mulut, lalu Rasulullah ﷺ memohonkan ampun untuk mereka kepada Allah. Adapun rahasia yang tersembunyi di dalam hati mereka, beliau serahkanlah kepada Allah.
Selesai mereka itu, aku pun datang ke dekat beliau. Setelah aku mengucapkan salam beliau sambut dengan senyum, tetapi senyum bercampur marah. Kemudian beliau panggil aku, ‘Ta'al! (Mari kemari!).' Aku pun datanglah memenuhi panggilannya itu dan duduk menghampiri beliau. Langsung beliau ﷺ bertanya, ‘Apa sebab engkau tidak jadi ikut? Bukankah engkau telah membeli tunggangan?'
Lalu aku menjawab, ‘Ya Rasulullah ﷺ! Kalau sekiranya aku ini berhadapan dengan orang lain dari ahli dunia, sangguplah aku mengeluarkan diri dari kemurkaan dengan berbagai uzur, dan mengemukakan berbagai dalih alasan. Dan aku pun tahu, demi Allah, kalau aku kemukakan percakapan yang dusta, engkau akan menerima juga, dan engkau pun kembali senang kepadaku. Tetapi kalau aku berbuat begitu, akhirnya Allah akan menimbulkan benci engkau juga kepadaku. Sebenarnya aku tidak ikut pergi itu, tidaklah ada halangan apa-apa dan tidak ada uzur. Demi Allah, belum pernah selama ini aku mencapai kesanggupan, kesehatan, dan kemampuan, sebagaimana yang aku rasai di waktu aku tidak turut bersama engkau itu, ya Rasulullah ﷺ!'
Maka berkatalah Rasulullah ﷺ, ‘Dia ini telah bercakap dengan jujur, sekarang pergilah dan tunggulah apa keputusan Allah tentang engkau.'
Mendengar jawab beliau itu, aku pun tegak lalu keluar. Berkerumunlah mengelilingiku beberapa orang dari Bani Salimah, dan mereka ikuti aku sambil berkata, ‘Kami tahu, engkau belum pernah berbuat kesalahan selama ini. Mengapa engkau segan memohon uzur kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang lain tadi?
Kalau engkau berbuat sebagai mereka, tentu Rasulullah ﷺ pun akan memohonkan ampun untukmu kepada Allah, dan dengan demikian hapuslah kesalahanmu itu/ Begitulah selalu mereka katakan kepadaku dan mereka sesali aku, sehingga nyaris aku tertarik meng-iyakan perkataan mereka, untuk datang kembali kepada Rasulullah ﷺ, lalu berdusta kepada diriku sendiri.
Kemudian bertanya aku kepada mereka, ‘Ada pulakah teman lain yang keadaannya sama dengan aku ini?'
Mereka jawab, Ada memang. Mereka datang kepada Rasulullah ﷺ, mengaku terus terang seperti engkau ini pula, dan mereka pun disuruh beliau menunggu keputusan Allah seperti engkau disuruh menunggu.'
‘Siapakah mereka?' tanyaku.
Mereka menjawab, ‘Marrarah bin Rabi dan Hilal bin Umaiyah al-Waqifi.'
Mereka telah menyebut kepadaku dua nama orang yang terkenal, yaitu dua orang yang saleh, dan keduanya turut dalam Perang Badar. Maka hilang jugalah ragu hatiku karena dua orang itu adalah contoh yang baik bagiku.'
Berkata Ka'ab bin Malik selanjutnya, ‘Dan dilaranglah oleh Rasulullah ﷺ manusia menghubungi kami bertiga, tidak boleh ber-cakap-cakap dengan kami. Maka menjauhlah orang dari kami. Sehingga berubahlah rasanya bumi ini bagiku, bukan bumi yang biasa aku injak lagi. Begitulah nasib kami bertiga sampai lima puluh malam lamanya. Adapun kedua temanku itu, mereka tetap saja dalam rumah, duduk, dan tidak keluar-keluar. Adapun aku adalah yang paling tabah di antara kami. Aku tetap keluar, aku tetap pergi shalat berjamaah bersama kaum Muslimin dan masuk pasar. Tetapi, tidak seorang jua pun yang mau menegurku.
Suatu hari, aku datang kepada Rasulullah ﷺ dan aku ucapkan salam, sedang beliau da-lam majelisnya sesudah shalat. Bertanyalah aku dalam hatiku, bergerakkah agaknya bibir beliau dan aku coba mengintip-intip. Kalau aku sedang menoleh ke jurusan lain, beliau rupanya melihat aku, tetapi kalau aku sengaja melihat wajah beliau, beliau pun menoleh ke tempat lain. Setelah begitu lamanya aku disisihkan oleh Muslimin, satu waktu berjalanlah aku menuju dinding pekarangan Abu Qadatah. Dia adalah anak pamanku dan orang paling aku sayangi. Aku ucapkan salam untuknya.
Demi Allah, salamku tidak dijawabnya! Lalu aku katakan kepadanya, “Wahai Abu Qatadah! Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini pun mencintai Allah dan Rasul-Nya?' Tetapi pertanyaanku tidak dijawabnya. Sekali lagi aku ulang bertanya, tidak juga dijawabnya. Aku ulangi sekali lagi, Abu Qatadah! Adakah engkau tahu bahwa aku pun mencintai Allah dan Rasul-Nya/ Baru dia menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu/
Air mataku titik mendengar jawabannya itu, maka berpalinglah aku dari tempat itu dan aku lampaui dinding pekarangannya dan pergi.
Sedang aku berjalan seorang diri di dalam pasar Madinah itu, tiba-tiba datanglah seorang Nabthi penduduk Syam, yaitu saudagar-saudagar penjual makanan ke Madinah, Dia bertanya kepada seseorang, ‘Sukakah tuan menunjukkan kepadaku yang mana Ka'ab bin Malik?' Lalu, orang-orang mengisyaratkan kepada Nabthi itu bahwa akulah Ka'ab bin Malik.
Maka orang itu pun datanglah mendekatiku dan menyerahkan sepucuk surat. Yaitu surat dari Raja Ghassan. Aku buka surat itu, karena aku memang pandai menulis dan membaca, dan aku baca surat itu:
Amma Ba'du. Sesungguhnya telah sampai berita kepada kami bahwa sahabat engkau itu telah dingin terhadap engkau. Padahal Allah tidaklah akan membiarkan engkau di negeri kehinaan dan tidaklah engkau orang terbuang-buang. Lekaslah datang kepadaku, akan aku sambut engkau dengan baik'
Setelah surat itu aku baca, aku berkata, ‘Ini pun suatu bencana!' Aku robek surat itu, aku lemparkan ke tanah dan aku injak
Setelah berlalu 40 malam dari malam yang 50 itu, tiba-tiba datanglah suruhan Rasulullah ﷺ menemuiku dan berkata Rasulullah ﷺ memerintahkan bahwa engkau harus memi-sah dari istrimu. Aku bertanya, ‘Aku ceraikan atau apa yang akan aku perbuat?' Suruhan itu menjawab, ‘Menjauh saja darinya dan jangan mendekat.' Kepada kawan senasibku itu pun datang juga perintah demikian. Maka kukatakan kepada istriku, ‘Pulanglah engkau ke rumah orang tuamu, dan tetaplah di sana sampai datang keputusan dari Allah tentang keadaanku ini.' Adapun istri Hilal bin Umaiyah, dia datang sendiri menghadap Rasulullah saw,, lalu dia berkata, ‘Hilal telah tua dan tak berdaya lagi, ya Rasulullah saw,, dan tidak pula ada khadam yang akan melayaninya, bolehkah aku mengkhadaminya?' Beliau ﷺ menjawab, Tidak aku larang engkau mengkhadaminya, cuma jangan mendekatkan diri kepadanya.' Maka berkata pula perempuan itu, ‘Demi Allah, sejak itu dia telah berdiam diri saja di rumah. Demi Allah, ya Rasulullah saw, sejak hari engkau menentukan hal itu tidak berhenti dia menangis, sampai hari ini.'
Mendengar kelapangan yang telah diberikan Rasulullah ﷺ untuk Hilal, berkatalah beberapa keluargaku kepadaku, ‘Bagaimana kalau engkau pun memohonkan izin pula ke-pada Rasulullah ﷺ, supaya dikhidmati istrimu, seperti Hilal telah dikhidmati istrinya?' Maka aku jawab, “Demi Allah, aku tidak akan memohonkan itu kepada Rasulullah ﷺ Sebab aku tidak tahu apa akan jawabnya nanti, sebab aku ini masih muda/
Begitulah keadaan kami sampai 10 malam pula sehingga cukuplah 50 malam sejak orang dilarang bercakap dengan kami. Kemudian digenap malam kelima puluh itu, shalat Shu-buhlah aku di salah satu perkarangan dari rumah kami. Maka sedang aku duduk dalam keadaan seperti yang disebutkan Allah dalam ayat-Nya, yaitu sempit rasanya hidup ini dan picik rasanya bumi, padahal begini luasnya, tiba-tiba terdengar olehku seseorang bersorak di lereng Bukit Sala' dengan sekeras-kerasnya suaranya, ‘Hai Ka'ab bin Malik! Bergembiralah engkau!' Mendengar suara itu gemetar tubuhku, lalu aku meniarap sujud, dan tahulah aku bahwa saat kelepasan dari Allah rupanya telah datang. Rasulullah ﷺ rupanya
telah mempermaklumkan kepada orang banyak pada waktu shalat shubuh bahwa Allah telah memberi tobat kami. Maka banyaklah orang datang mengucapkan selamat kepada kami, dan kepada kedua temanku itu pun datang orang membawa kabar gembira itu.
Maka seorang di antara orang-orang yang datang itu, datang dengan kudanya berlari kencang menuju aku dan terus ke lereng bukit menyorakkan berita itu, yang gemanya lebih cepat dari lari kuda. Dan setelah pembawa berita itu datang dan aku dengar suara-nya, tidak tahan aku, segera aku buka baju yang sedang aku pakai dan aku lekatkan kepada tubuhnya. Demi Allah, di waktu itu bajuku hanya yang sehelai itu saja. Baru aku teringat, sehingga aku terpaksa meminjam baju lain buat datang menghadap Rasulullah ﷺ. Di tengah jalan orang menemui aku se-bondong demi sebondong mengucapkan se-lamat gembira, sebab aku telah diberi tobat. Mereka suruh aku segera masuk masjid buat mendengarkan sendiri dari mulut Rasulullah ﷺ. Aku masuk dan aku dapati beliau sedang duduk dalam masjid, dikelilingi orang banyak. Baru saja aku masuk, berdirilah Thalhah bin Ubaid mengelu-elukan daku, menjabat tanganku, dan mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada Muhajirin lain yang sampai seperti Thalhah itu menyambut aku sehingga selamanya tidaklah dapat aku lupakan.'"
Berkata Abdurrahman, “Selama hayatnya, tidaklah nenekku Ka'ab itu lupa akan Thalhah bin Ubaid!"
Berkata Ka'ab bin Malik, “Setelah aku ucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, maka dengan wajah yang bersinar terang lantaran suka cita, berkatalah beliau, ‘Bergembirlah engkau dengan berita baik ini, suatu hal yang belum pernah dan tidak akan pernah engkau rasai sejak engkau dilahirkan ibumu ke dunia/
Lalu aku bertanya, ‘Berita gembira ini dari engkaukah, ya Rasulullah saw, atau dari Allah?'
Beiiau jawab, ‘Malahan dari Allah sendiri.'
Dan beliau, Rasulullah ﷺ, apabila hatinya senang, bersinar-sinarlah wajah beliau laksana sepotong bulan purnama. Kami semuanya mengenal itu padanya. Maka setelah aku duduk di hadapan beliau, berkatalah aku, ‘Ya Rasulullah ﷺ, sebagai bukti dari tobatku, biarlah seluruh harta bendaku aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.'
Tetapi beliau jawab, ‘Pegang baik-baik sebagian dari hartamu itu, itulah yang lebih baik buat engkau.' Lalu, aku jawab, ‘Yang akan aku pelihara sebagian itu ialah bagianku yang aku terima di Khaibar dahulu.' Dan kataku pula, ‘Ya Rasulullah ﷺ, Allah telah membebaskan daku dari penderitaan ini karena aku bercakap dengan jujur. Dan sebagai bagian dari tobatku pula, ya Rasulullah saw, aku berjanji tidak akan bercakap, kecuali percakapan yang jujur dan sebenarnya sampai aku meninggal."
Dan kemudian berkatalah pula Ka'ab bin Malik, “Maka demi Allah, tidaklah aku me-ngetahui seorang pun dari Muslimin yang diberi percobaan oleh Allah karena jujurnya di dalam percakapan, sejak hal itu aku terangkan kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana percobaan yang dicobakan Allah kepadaku. Demi Allah, sejak aku bercakap demikian di hadapan Rasulullah ﷺ, tidak pernah aku, sampai sekarang, walaupun satu patah kata mengatakan kata dusta. Moga-moga begitulah hendaknya di dalam segenap sisa umurku ini. Dan, diturunkan Allah-lah ayat, “Sesungguhnya Allah telah memberi tobat atas Nabi dan Muhajirin dan Anshar sampai kepada akhir hayatnya; dan beradalah kamu bersama orang-orang yang benar.'"
Kemudian Ka'ab bin Malik meneruskan katanya, “Maka demi Allah! Tidaklah ada suatu nikmat yang dinikmatkan Allah kepadaku sejak Allah memberi hidayahku dengan Islam yang lebih besar rasanya dalam diriku dan pada kejujuran tuturku di hadapan Rasulullah ﷺ itu. Syukurlah aku tidak sampai mengarang
dusta kepadanya itu. Padahal Allah telah berkata, ‘Mereka akan bersumpah dengan nama Allah, apabila kamu telah kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kamu dari mereka, karena mereka itu adalah kotor.'—Sampai kepada firman-Nya, ‘Mereka itu adalah fasik.'"
Selanjutnya berkata Ka'ab, “Dan kami bertiga telah dikebelakangkan dari urusan orang-orang yang lain yang datang membawa alasan dan dalih itu, mereka bersumpah dan beliau baiat mereka dan beliau mohonkan ampun untuk mereka. Sedangkan urusan kami bertiga ditangguhkan menunggu keputusan Allah. Jadi, maksud firman Allah bahwa urusan kami dibelakangkan, bukanlah karena kami tinggal di belakang tidak ikut dalam Perang Tabuk."
Sekian salinan bebas dari hadits Ka'ab bin Malik tentang perkaranya itu, yang amat baik menjadi cermin perbandingan kita untuk memiliki jiwa orang yang telah dalam imannya, Yang tidak berasa menyesal menderita hukuman, dikucilkan 50 hari lamanya, sebab dia telah bercakap yang benar dan jujur. Dan, tidak mau mengubah kejujurannya dan me-nukarnya dengan kebohongan, untuk kesenangan yang hanya pada zahir saja. Dan, akhir-nya dia mendapat puncak nikmat jiwa dari Allah, yang sebagai dikatakan kepadanya oleh Rasulullah ﷺ sendiri bahwa sejak engkau lahir di dunia, inilah puncak kemuliaan yang dilimpahkan Allah kepada Ka'ab, yaitu mereka bertiga karena jujur diberi tobat yang khusus dengan wahyu langsung dari Allah.
Pelajaran lain yang kita dapat dari ayat ini ialah bahwa terhadap orang yang benar-benar menuju jalan yang diridhai Allah, Rasulullah ﷺ dengan bimbingan Allah melakukan di-siplin yang keras, Sehingga kadang-kadang tidak ada tolak ansurnya. Dalam kejadian ini kita berjumpa tiga orang yang martabat mereka telah tinggi dalam iman, Ka'ab bin Malik hadir dalam baiat Aqabah di antara Anshar dengan Rasul, dan yang berdua lagi, yaitu Hilal bin Umaiyah dan Marrarah bin Rabi, dua orang Anshar yang telah turut di kedudukan di sisi Rasul. Oleh karena ketinggian martabat iman mereka, tidaklah mereka mau berdusta. Mereka katakan terus terang bahwa mereka tidak pergi ke Tabuk menurutkan Rasulullah ﷺ bukanlah karena suatu halangan yang penting, hanyalah karena semata-mata kela-laian saja. Orang-orang yang telah tinggi martabat imannya itu tidak mau berdusta, walaupun mereka tahu ada akibat yang akan mereka terima, yaitu kemurkaan Rasulullah ﷺ. Dan memang mereka telah dikucilkan dari masyarakat selamat 50 hari menunggu keputusan Allah. Bukan main penderitaan batin selama 50 hari itu. Malahan Ka'ab bin Malik sampai dirayu oleh Raja Ghassan, salah seorang Raja Nasrani masa itu, memintanya segera saja datang ke Ghassan, dan akan disambut dengan baik. Tetapi dia tetap bertahan pada pendirian dan iman yang teguh.
Di sinilah bedanya orang Mukmin dengan munafik. Orang-orang munafik datang ke hadapan Rasulullah ﷺ mengemukakan berbagai dalih yang dusta. Rasulullah ﷺ te-rima alasan mereka dan Rasulullah ﷺ mohonkan bagi mereka ampun, karena perkataan mereka yang bohong itu. Sebab Rasul hanya menilik yang zahir, tidak mengetahui yang batin. Bagi orang munafik mendalih-dalih mudah saja, sebab mereka hanya ingin kesela-matan diri dalam saat itu.
Hal-hal yang seperti ini kerapkali kita lihat dalam kehidupan orang besar Islam. Ketika terjadi Haditsu! Ifki, yaitu kabar fitnah yang disiarkan oleh kaum munafik untuk meruntuhkan nama baik Siti Aisyah sebagai tersebut di dalam surah an-Nuur. Setelah wahyu Allah turun membersihkan Aisyah dari tuduhan munafik itu, dijatuhkanlah hukuman Hadd Qadzaf, pukulan dera 80 kali kepada orang-orang yang ternyata turut menuduh. Salah seorang sahabat yang mulia, yaitu Hassan bin Tsabit turut kena dera. Padahal penyebar kabar bohong yang pertama dan utama, yaitu Abdullah bin Ubay, tidak didera.
Maka pengucilan 50 hari Ka'ab bin Malik dan kedua temannya, sedang orang-orang munafik yang mengarang-ngarangkan alasan dusta, diterima saja. Atau Hassan bin Tsabit dihukum dera karena terbawa-bawa menyebar fitnah, sedang Abdullah bin Ubay tidak diapa-apakan, dapatlah kita pahamkan dengan sedalam-dalamnya, hukuman atau kucilan yang beliau jatuhkan kepada orang-orang yang beriman itu, bukanlah hukum, melainkan alat-alat belaka untuk mempertinggi lagi mutu iman mereka. Dan, bagi sahabat-sahabat itu sudahlah nyata bahwa mereka lebih suka menerima hukum kemurkaan Nabi, karena masih dianggap umat dan sahabatnya yang beriman, daripada tidak dijatuhi hukuman karena dipandang bukan orang yang beriman.
Sebab itu, berfirmanlah Allah pada lanjutan ayat,
Ayat 119
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan beradalah kamu bersama orang-orang yang benar."
Meskipun kadang-kadang berat ujian yang akan ditempuh, takwa hendaklah ditegakkan terus. Ka'ab bin Malik dan kedua temannya, sebagai orang-orang yang beriman telah mempertahankan takwa, walaupun untuk mereka telah menderita sementara, dikucilkan 50 hari. Mereka saksikan orang-orang yang berbohong dapat melepaskan diri dari kesulitan dan mereka kalau bercakap jujur akan dimurkai. Namun mereka tetap tidak mau masuk golongan munafik yang berbohong untuk melepaskan diri. Ombak dan gelombang kehidupan menurun dan menaik. Angin kadang-kadang menjadi badai dan ribut besar, dan kadang-kadang mereda. Kejujuran kadang-kadang meminta pengorbanan dan penderitaan, tetapi mereka tetap bertahan pada kejujuran. Mereka tetap mengambil pihak dan memilih hidup bersama dalam daftar orang yang benar dan jujur. Kadang-kadang orang munafik naik daun karena munafiknya. Ka'ab bin Malik tidak mau memilih pihak jadi barisan munafik, sebab meskipun pada zahir munafik kelihatan senang, namun apa saja yang mereka bangun, apa saja yang mereka tegakkan, namun hati mereka akan tetap ber-goncang dan ragu kepada diri sendiri, baru akan hilang goncangan hati itu, kalau hati itu sendiri telah terpotong-potong. Ka'ab bin Malik dan orang-orang yang menempuh jalan yang benar itu berpendirian, biarlah kelihatan pada zahir oleh orang lain kita menderita, asal batin kita sendiri merasa bahagia sebab kita tetap berdiri pada yang benar. Yang benar akhirnya akan tegak terus. Maka sampailah dia di puncak kebahagiaan, apabila kebenarannya diakui Allah, bahwa bagaimanapun susahnya menegakkan kebenaran, tirulah Ka'ab bin Malik dan kedua temannya, yaitu hendaklah kamu selalu berdiri di pihak yang benar.
***
(120) Tidaklah (pantas) bagi penduduk Madinah dan orang-orang yang sekeliling mereka, dari arab-arab kampung bahwa mencecer dari Rasulullah ﷺ, dan tidak pula menjauhkan diri mereka dari dirinya. Demikian (karena) sesungguhnya tidaklah akan menimpa kepada mereka dahaga dan tidak kelelahan dan tidak kelaparan pada jalan Allah, dan tidak mereka menginjak suatu penginjakan yang menimbulkan marah orang kafir, dan tidak mereka mencapai suatu kepayahan dari musuh, melainkan dituliskan untuk mereka dari sebab itu sebagai suatu amal yang saleh. Sesungguhnya Allah tidaklah mengabaikan ganjaran untuk orang-orang yang berbuat kebaikan.
(121) Dan tidak (pula) mereka membelanjakan suatu perbelanjaan yang kecil dan tidak pula yang besar, dan tidak mereka melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan untuk mereka. Karena akan diganjari mereka oleh Allah dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan itu.
Pada ayat 113 di atas tadi telah diterangkan bahwasanya Nabi dan orang-orang yang beriman tidaklah mungkin mau memintakan ampun buat orang-orang musyrikin, walaupun orang musyrikin itu keluarga mereka sedarah. Mengapa tidak mungkin? Ialah sebab mereka beriman kepada Allah, sedang Allah telah menentukan bahwa Dia tidak akan memberi ampun orang yang mempersekutukan yang lain dengan Dia. Adakah mau Nabi dan orang yang beriman melanggar ketentuan Allah yang telah pasti itu karena hanya urusan keluarga? Adakah orang beriman lebih mementingkan keluarga daripada batas pasti ketentuan Allah?
Sekarang datang pula ayat yang serupa pangkalnya.
Ayat 120
“Tidaklah (pantas) bagi penduduk Madinah dan orang-orang yang sekeliling mereka, dari anak-anak kampung bahwa mencecer dari Rasulullah ﷺ dan tidak pula menjauhkan din mereka dari dirinya."
Artinya, tidaklah mungkin, tidaklah pantas dan tidaklah patut kejadian bahwa penduduk Madinah, yang telah dijadikan oleh Allah menjadi Pusat Kekuasaan Islam, dan telah pula menjadi ibu kota, sehingga namanya yang dahulunya Yatsrib telah ditukar menjadi Madinatur Rasul (Kota Nabi); demikian juga Arab kampung atau badui yang berdiam di sekeliling wilayah Madinah, yang pasar mereka ke Madinah, sebagai kabilah Muzainah, Juhainah, Asyja', Aslam, dan Ghiffar. Semuanya itu tidaklah ada yang patut berdiam diri atau berpangku tangan saja jika perintah Rasulullah ﷺ buat berperang telah datang. Ayat ini menegaskan menjadi wajib bagi penduduk kota Madinah di waktu itu, dan Arab keliling Madinah supaya turut memanggul senjata jika nafiri peperangan Rasulullah ﷺ sudah tiba. Dan tidaklah pantas mereka lebih mementingkan diri mereka daripada diri Nabi ﷺ Cobalah pikirkan bahwa ketika pergi ke Perang Tabuk saja misalnya, usia Nabi sudah lebih 60 tahun, artinya sudah terhitung tua. Sampai hatikah kamu, padahal kamu mengaku beriman, membiarkan Nabi pergi dalam usia selanjut itu, sedang kamu mencecer, tinggal di belakang, tidak turut berjuang bersama beliau?
“Demikianlah, (karena) sesungguhnya tidaklah akan menimpa kepada mereka dahaga dan tidak kelelahan dan tidak kelaparan pada jalan Allah." Tiga hal ini yang kebanyakan menghambat hati orang untuk turut berperang mengikuti Rasulullah saw,. Pertama, takut kehausan dan dahaga, karena menempuh padang pasir yang kering, dan sangat sukar untuk mendapatkan air. Kedua, ialah lelah atau penat, rangkit seluruh badan karena digoncangkan kendaraan tunggangan. Ketiga, ialah kelaparan, baik karena kurangnya persediaan yang dibawa, sepferti di dalam Peperangan Tabuk yang jauh itu, ataupun karena memang makanan di dalam perjalanan tidaklah sama memuaskannya dengan makanan di rumah. “Dan tidak mereka menginjak suatu penginjakan yang menimbulkan marah orang kafir." Yaitu penyerbuan yang diserbukan kepada negeri orang kafir itu sehingga dapat negeri itu diinjak, dikalahkan dan diduduki, yang menyebabkan kafir itu marah lalu melawan, lalu terjadi pertempuran, dan akhirnya kafir itu kalah."Dan tidak mereka mencapai suatu kepayahan dari musuh." Sebab musuh itu pun tentu tidak segera menyerah, melainkan melawan, menyerbu, menikam, menyerang dan bertahan pula, sehingga pihak kita pun ada yang mati ataupun luka-luka. Semuanya itu adalah risiko atau akibat yang pasti, yang akan ditemui dalam satu peperangan. Haus, lelah, dan lapar, masuk ke daerah musuh dan berperang, membunuh ataupun terbunuh. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah terbuang percuma.
“Melainkan dituliskan untuk mereka dari sebab itu sebagai suatu amal yang saleh." Semuanya itu adalah usaha yang baik, pekerjaan yang tidak sia-sia dan terbuang percuma. Tiap-tiap pejuang rela haus, lelah, dan lapar, menyerbu ke negeri musuh sampai bertem-pur, sebab musuh marah negeri mereka diinjak, dan bersedia pula menderita luka enteng atau parah, dan bersedia menerima maut dan syahid. Semuanya adalah amal yang saleh, mendapat catatan suci, yaitu menegakkan jalan Allah. Dan, jalan Allah itu tidaklah akan tegak, kalau orang tidak bersedia mengorbankan segala-galanya, terutama kepentingan diri sendiri.
Di dalam ayat ini diutamakanlah seruan kepada penduduk Madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Sebab Madinah ibu kota di waktu itu, dan Nabi berkedudukan di sana, mengatur siasat di sana. Maka tidaklah layak penduduk Madinah sendiri dan orang kampung sekelilingnya berpangku tangan, bahkan hendaklah mereka menjadi inti teras dari Angkatan Perang Islam itu.
Lalu sebagai kunci ayat, berfirmanlah Allah,
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengabaikan ganjaran untuk orang-orang yang berbuat kebaikan."
Oleh sebab semuanya itu baik haus atau lelah, lapar atau bertempur, membunuh atau terbunuh, adalah amal yang baik di sisi Allah, maka ganjarannya pun tidak diabaikan oleh Allah. Dengan ujung ayat kalimat muhsinin, yang berarti orang-orang yang berbuat baik. Maksudnya ialah bahwa segala amalan itu dikerjakan dengan kesungguhan, bersungguh-sungguh dan hati-hati, bukan serampangan, dan selalu ditingkatkan mutunya.
Meskipun ayat ini turun khusus kepada penduduk Madinah di kala Nabi ﷺ hidup, namun dia adalah perintah berjihad kepada kaum Muslimin. Berkata Imam Auza'i dan Abdullah bin Mubarak dan beberapa ulama tabi'in yang lain, “Ayat ini adalah perintah buat seluruh Muslimin sampai hari Kiamat."
Ayat 121
“Dan tidak (pula) memeka membelanjakan suatu pembelanjaan yang kecil dan tidak pula yang besar, dan tidak mereka melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan untuk mereka."
Sebagai sambungan penguat dari ayat terdahulu. Karena pada ayat 120 di atas tadi dibayangkan kepayahan badan dan habisnya tenaga, karena haus, payah, lapar. Sekarang diikuti lagi dengan mengorbankan harta benda. Kadang-kadang harta keluar, tenaga pun diberikan. Kadang-kadang badan berhalangan, tetapi harta keluar. Kadang-kadang hanya satu sukat kurma sebagai bilangan yang kecil, atau 4.000 keping emas sebagai bilangan yang besar. Kadang-kadang melintasi lembah demi lembah memotong jarak beratus kilometer, sebagai jarak di antara Madinah dari catatan Allah. Sebagai selalu kita katakan: ‘Tidak ada suatu pengorbanan pun yang terbuang dengan sia-sia." Lalu Allah jelaskan lagi,
“Karena akan diganjari mereka oleh Allah dengan yang lebih baik dan apa yang telah mereka amalkan itu."
Di dalam satu ayat kita telah bertemu bahwa menanamkan kebaikan sebuah saja, akan diberi ganjaran oleh Allah dengan sepuluh kali lipat. Di lain waktu suatu amalan laksana menanam bibit; satu bibit bercabang tujuh, satu cabang berbuah seratus. Dan, di waktu yang lain dikatakan tidak terhitung, berlipat ganda banyaknya. Kita misalkan perjuangan para sahabat Rasulullah ﷺ yang mengorbankan tenaga di zaman hidup Rasulullah ﷺ dan mengeluarkan nafkah, menghadapi peperangan Badar dan Uhud, Ahzab, Futuh Mekah Nawazin, Tabuk, dan lain-lain. Pikirkanlah berapa lipat ganda pahala yang mereka terima dalam alam Barzakh sekarang ini, setelah 14 abad mereka meninggal dunia, namun Islam masih tetap menjalar dan mengalir di atas permukaan bumi.
Itulah bekas yang mereka tinggalkan. Betapa lagi ganjaran yang mereka dapati di akhirat.
Inilah salah satu tumpuan harapan bagi Mukmin akan beramal saleh. Satu kebajikan bukanlah menumbuhkan timbalan semata-mata satu kebajikan pula. Melainkan sam-bung-bersambung dan tetap hidup. Di atas dunia hidup bekasnya, sampai hari Kiamat, meskipun pelopor-pelopor yang pertama tadi sudah hancur tulang dalam kubur. Dan di alam lain, alam akhirat akan mendapat pula ganjaran, yang di dunia ini tidak dapat kita menentukan nilai harganya.
Dan semuanya itu hanyalah dengan kesediaan payah yang sedikit. Tidaklah ada artinya kepayahan dan mengorbanan itu, sangatlah sedikitnya, apabila ditimbang berapa hasil ganjaran yang akan diterima kemudian.