Ayat
Terjemahan Per Kata
فَأَكۡثَرُواْ
lalu mereka banyak berbuat
فِيهَا
didalamnya
ٱلۡفَسَادَ
kerusakan
فَأَكۡثَرُواْ
lalu mereka banyak berbuat
فِيهَا
didalamnya
ٱلۡفَسَادَ
kerusakan
Terjemahan
lalu banyak berbuat kerusakan di dalamnya (negeri itu),
Tafsir
(Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu) dengan melakukan pembunuhan dan kelaliman lainnya.
Tafsir Surat Al-Fajr: 1-14
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Samud yang memotong batu-batu besar di lembah dan kaum Fir 'aim yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.
Al-Fajr merupakan suatu hal yang telah dimaklumi, yaitu subuh, menurut Ali, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujaliid, dan As-Suddi. Diriwayatkan pula dari Masruq dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa makna yang dimaksud dengan fajr ialah fajar Hari Raya Idul Ad-ha, yaitu sepuluh malam terakhir. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah shalat yang dikerjakan di saat fajar (shalat fajar), sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah.
Dan menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah seluruh siang hari; ini menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas. Mengenai sepuluh malam, makna yang dimaksud ialah tanggal sepuluh bulan Zul Hijjah; sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf. Di dalam kitab Sahih Bukhari telah disebutkan dari Ibnu Abbas secara marfu': -: Tiada suatu hari pun yang amal saleh lebih disukai oleh Allah padanya selain dari hari-hari ini.
Yakni sepuluh hari pertama dari bulan Zul Hijjah. Mereka (para sahabat) bertanya, "Dan juga lebih utama daripada berjihad di jalan Allah?" Rasulullah ﷺ menjawab: Dan juga lebih utama daripada berjihad di jalan Allah, terkecuali seseorang yang keluar dengan membawa hartanya untuk berjihad di jalan Allah, kemudian tidak pulang selain dari namanya saja. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama dari bulan Muharam, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ibnu Jarir, tetapi tidak menisbatkannya kepada siapa pun sumber yang mengatakannya.
Abu Kadinah telah meriwayatkan dari Qabus ibnu Abu Zabyan, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam yang sepuluh. (Al-Fajr: 2) Bahwa yang dimaksud adalah sepuluh malam yang pertama dari bulan Ramadan; tetapi pendapat yang benar adalah yang pertama tadi. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Iyasy ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na'im, dari Abuz Zubair.
dari Jabir. dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya malam yang sepuluh itu adalah malam yang sepuluh bulan Zul Hijjah, dan al-watr (ganjil) adalah hari 'Arafah, sedangkan asy-syaf'u (genap) adalah Hari Raya Kurban. Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Raff dan Abdah ibnu Abdullah, masing-masing dari keduanya dari Zaid ibnul Habbab dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Zaid ibnul Habbab dengan sanad yang sama. Semua perawi yang disebutkan dalam sanad ini tidak mempunyai cela; tetapi menurut hemat penulis, predikat marfu' dari matan hadits ini tidak dapat diterima begitu saja; Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Dalam hadits di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-watr ialah hari 'Arafah karena jatuh pada tanggal sembilan Zul Hijjah, dan yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah Hari Raya Kurban karena ia jatuh pada tanggal sepuluh. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Adh-Dhahhak. Pendapat kedua.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu Khalid, dari Wasil ibnus Saib yang mengatakan bahwa ia telah bertanya kepada ‘Atha’ tentang makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Apakah yang dimaksud adalah shalat witir yang biasa kita kerjakan? ‘Atha’ menjawab, "Bukan, tetapi yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah hari Arafah, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Hari Raya Ad-ha." Pendapat ketiga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari An-Nu'man ibnu Abdus Salam, dari Abu Sa'id ibnu Auf yang menceritakan kepadaku di Mekah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair berkhotbah, lalu berdirilah seorang lelaki mengatakan, "Wahai Amirul Muminin, terangkanlah kepadaku makna syaf'u dan watru.
Maka Abdullah ibnuz Zubair menjawab, bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203) Dan yang dimaksud dengan al-watru ialah apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosapula baginya. (Al-Baqarah: 203) Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Murtafi", ia pernah mendengar Ibnuz Zubair mengatakan bahwa asy-syaf'u adalah pertengahan hari-hari tasyriq, sedangkan al-watru ialah akhir hari-hari tasyriq. Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui riwayat Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yakni seratus kurang satu; barang siapa yang menghafalnya, maka ia masuk surga; Dia adalah Esa dan menyukai yang esa.
Pendapat keempat. Al-Hasan Al-Basri dan Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa semua makhluk adalah genap dan ganjil; Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut makhluk-Nya. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Mujahid. Tetapi pendapat terkenal yang bersumber dari Mujahid menyebutkan sebagaimana pendapat yang pertama. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Esa, sedangkan kamu adalah genap. Dan dikatakan bahwa asy-syaf'u adalah shalat Isya (genap rakaatnya), sedangkan shalat yang witir (ganjil) adalah shalat Magrib.
Pendapat kelima. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Yahya, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah sejodoh, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Allah subhanahu wa ta’ala Abu Abdullah telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Allah adalah al-watru; sedangkan makhluk-Nya adalah asy-syaf'u alias genap, yakni laki-laki dan perempuan (jantan dan betina). Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah disebut asy-syaf'u (genap), langit dan bumi, daratan dan lautan, jin dan manusia, matahari dan rembulan, demikianlah seterusnya.
Mujahid dalam hal ini mengikuti pendapat yang dikatakan oleh mereka sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Adz-Dzariyat: 49) Yakni agar kamu mengetahui bahwa yang menciptakan makhluk yang berpasang-pasangan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Pendapat keenam. Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa bilangan itu ada yang genap dan ada yang ganjil.
Pendapat yang ketujuh sehubungan dengan makna ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui jalur Ibnu Juraij. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ suatu hadits yang menguatkan pendapat yang telah kami sebutkan dari Ibnuz Zubair. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Ziyad Al-Qatwani, telah menceritakan kepada kami Zaid Al-Habbab, telah menceritakan kepadaku Iyasy ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na' im, dari Abuz Zubair, dari Jabir, bahwa rasulullah ﷺ telah bersabda: Asy-syaf'u adalah dua hari dan al-watru adalah hari yang ketiganya.
Demikianlah hadits ini dikemukakan, yakni dengan lafal tersebut. tetapi bertentangan dengan lafal yang telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Imam Ahmad, Imam An-Nasai, dan Ibnu Abu Hatim, juga apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta selain keduanya mengatakan bahwa shalat itu ada yang rakaatnya genap seperti empat rakaat dan dua rakaat ada juga yang ganjil seperti shalat Magrib yang jumlah rakaatnya ada tiga, yang boleh dibilang shalat witir di (penghujung) siang hari.
Demikian pula shalat witir yang dilakukan di akhir tahajud yang terbilang witir malam hari. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah. dan Imran ibnu Husain sehubungan dengan firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa yang dimaksud adalah shalat-shalat fardu, yang antara lain ada yang genap bilangan rakaatnya dan ada pula yang ganjii. Tetapi atsar ini munqathi lagi mauquf, lafaznya hanya khusus menyangkut shalat fardu.
Sedangkan menurut yang diriwayatkan secara muttasil lagi marfu' sampai kepada Nabi ﷺ menyebutkan dengan lafal yang umum (yakni shalat fardu dan juga shalat sunat). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Hammam. dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, bahwa seorang syekh dari ulama Basrah pernah menceritakan kepadanya sebuah hadits dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang makna asy-syaf'u dan al-watru. Maka beliau ﷺ menjawab: Maksudnya adalah shalat, sebagian darinya ada yang genap (rakaatnya) dan sebagian yang lain ada yang ganjil. Demikianlah yang tertera di dalam kitab musnad. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Affan dan dari Abu Kuraib alias Ubaidillah ibnu Musa, keduanya dari Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari seorang syekh, dari Imran ibnu Husain.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa alias Imam At-Tirmidzi, dari Amr ibnu Ali, dari Ibnu Mahdi dan Abu Dawud, keduanya dari Hanimam, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari seorang ulama Basrah, dari Imran ibnu Husain dengan sanad yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadits Qatadah.
Dan Khalid ibnu Qais telah meriwayatkannya pula dari Qatadah. Telah diriwayatkan pula dari Imran ibnu Isam, dari Imran ibnu Husain sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Menurut hemat penulis, Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam Ad-Dab"i seorang syekh dari kalangan penduduk Basrah, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi ﷺ, lalu disebutkan hal yang semisal.
Demikianlah yang penulis lihat di dalam kitab tafsirnya, dia menjadikan syekh dari Basrah itu adalah Imran ibnu Isam sendiri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Qais, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan makna asy-syaf'u dan al-watru. Beliau ﷺ bersabda: Maksudnya ialah shalat, di antaranya ada yang genap dan di antaranya ada yang ganjil (rakaatnya). Dalam riwayat ini tidak disebutkan syekh yang tidak dikenal itu, dan hanya disebutkan Imran ibnu Isam Ad-Dab'i sendiri, dia adalah Abu linarah Al-Basri Imam masjid Bani Dabi'ah.
Dia adalah orang tua dari Abu Jamrah Nasr ibnu Imran Ad-Dab'i. Qatadah dan putranya (yaituAbu Jamrah) dan Al-Musanna ibnu Sa'id serta Abut Tayyah alias Yazid ibnu Humaid telah mengambil riwayat darinya. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam Kitabus Siqat sebagai salah seorang yang berpredikat siqah, dan Khalifah ibnu Khayyat menyebutkannya di kalangan para tabi'in dari kalangan penduduk Basrah. Dia adalah seorang yang terhormat, mulia, dan mempunyai kedudukan di sisi Al-Hajjaj ibnu Yusuf.
Kemudian Al-Hajjaj membunuhnya di dalam Perang Ar-Rawiyah pada tahun 82 Hijriah, karena ia bergabung dengan Ibnul Asy'as. Pada Imam At-Tirmidzi tiada lagi hadisnya selain dari hadits ini; tetapi menurut hemat penulis, predikat mauquf hadits ini hanya sampai kepada Imran ibnu Husain, lebih mendekati kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Dan Ibnu Jarir tidak memutuskan dengan tegas mana yang dipilihnya di antara pendapat-pendapat tersebut di atas mengenai masalah genap dan ganjil ini.
Firman Allah Swt: dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah malam hari apabila telah berlalu. Dan Abdullah ibnuz Zubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Yakni bilamana berlalu sedikit demi sedikit, atau sebagian demi sebagian. Mujahid, Abul Aliyah, dan Qatadah telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Zaid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Yaitu apabila berjalan.
Pendapat ini dapat ditakwilkan sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, yakni telah berlalu. Dapat pula ditakwilkan bahwa makna yang dimaksud dengan berjalan ialah tiba. Juga dapat dikatakan bahwa takwil ini lebih sesuai, mengingat ia menjadi lawan kata dari firman-Nya: Demi fajar. (Al-Fajr: 1) Karena sesungguhnya makna fajar itu ialah datangnya siang hari dan berlalunya malam hari. Maka apabila firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan malam bila tiba. (Al-Fajr: 4) ditakwilkan dengan pengertian 'datangnya malam hari', berarti makna yang dimaksud ialah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah bersumpah dengan menyebut datangnya siang hari dan berlalunya malam hari, juga dengan datangnya malam hari dan berlalunya siang hari.
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. (At-Takwir: 17-18) Hal yang sama telah dikatakan oleh Adh-Dhahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: dan demi malam bila berjalan. (Al-Fajr: 4) Yakni bila berlangsung. Lain pula dengan Ikrimah, ia mengatakan bahwa dan demi malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Bahwa makna yang dimaksud ialah malam Juma', yaitu malam Muzdalifah; demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Kasir ibnu Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Dikatakan, "Teruskanlah perjalananmu, wahai orang yang mengadakan perjalanan di malam hari, dan jangan sekali-kali kamu menginap kecuali di Jam'un." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. (Al-Fajr: 5) Maksudnya, bagi orang yang mempunyai akal dan pemikiran.
Sesungguhnya akal dinamakan hijr (pencegah) karena ia mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan dan mengeluarkan ucapan yang tidak layak baginya. Dan termasuk ke dalam pengertian ini Hijir Baitullah (Hijir Ismail) karena mencegah orang yang melakukan tawaf dari menempel di temboknya yang termasuk rukun Syami. Termasuk pula ke dalam pengertian ini Hijrul Yamamah (daerah Yamamah yang dilindungi), dan dikatakan, "Hakim telah menahan si Fulan," bila si hakim mencegahnya dari melakukan aktivitasnya. dan mereka berkata, "Hijran Mahjura," (semoga Allah menghindarkan bahaya ini dari saya). (Al-Furqan: 22) Semuanya itu termasuk dalam satu bab dan mempunyai makna yang berdekatan.
Sumpah ini yang menyebutkan waktu-waktu ibadah dan juga ibadah itu sendiriseperti haji, shalat, dan lain sebagainyatermasuk berbagai jenis dari amal taqarrub yang dijadikan sarana oleh hamba-hamba-Nya yang bertakwa lagi takut kepada-Nya serta rendah diri kepada-Nya untuk lnendekatkan diri mereka kepada Zat-Nya Yang Mahamulia. Setelah menyebutkan ibadah dan ketaatan mereka, lalu disebutkan oleh firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Al-Fajr: 6) Mereka adalah orang-orang yang membangkang, angkara murka, sewenang-wenang, pendurhaka terhadap Allah, mendustakan rasul-rasul-Nya lagi mengingkari kitab-kitab-Nya.
Maka Allah menyebutkan bagaimana Dia membinasakan mereka dan menghancurkan mereka serta menjadikan mereka sebagai pelajaran dan kisah-kisah umat yang durhaka. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 6-7) Mereka adalah kaum 'Ad pertama, yaitu keturunan dari 'Ad ibnu Iram ibnu Aus ibnu Sam ibnu Nuh, menurut Ibnu Ishaq. Mereka adalah kaum yang diutus kepada merekaNabi Hud a.s., lalu mereka mendustakannya dan menentangnya. Maka Allah menyelamatkannya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari kalangan mereka.
Dan Allah membinasakan mereka dengan angin yang sangat dingin lagi sangat kuat, yang terus-menerus menimpa mereka selama tujuh malam delapan siang hari. Maka kamu lihat kaum itu mati semuanya di tempat tinggal mereka seperti batang-batang pohon kurma yang lapuk, maka apakah kamu masih melihat adanya sisa-sisa dari mereka? Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan kisah mereka di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat agar dijadikan pelajaran bagi orang-orang mukmin kehancuran yang telah menimpa mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 7) Berkedudukan sebagai 'ataf bayan untuk menambah keterangan perihal identitas mereka, dan firman-Nya: yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 7) karena mereka menempati kemah-kemah yang terbuat dari bulu, kemudian ditegakkan dengan tiang-tiang yang kuat lagi kokoh. Mereka terkenal sangat kuat di masanya dan paling besar tubuhnya. Untuk itulah rasul mereka (yaitu Nabi Hud a.s.) mengingatkan mereka akan nikmat tersebut dan memberi petunjuk kepada mereka agar nikmat tersebut dijadikan sebagai sarana bagi mereka untuk taat kepada Tuhannya yang telah menciptakan mereka.
Hal ini disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-A'raf: 69) Dan firman Allah Swt: Adapun kaum 'Ad, maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, "Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami? Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? (Fushshilat: 15) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (Al-Fajr: 8) Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka di negeri mana pun, karena mereka memiliki kekuatan yang dahsyat, keras, lagi perawakan mereka besar-besar.
Mujahid mengatakan bahwa Iram adalah suatu umat di masa dahulu, yakni kaum 'Ad pertama. Qatadah ibnu Di'amah dan As-Suddi mengatakan bahwa sesungguhnya Iram adalah ibu kota kerajaan kaum 'Ad. Ini merupakan pendapat yang baik, jayyid, lagi kuat. Mujahid, Qatadah, dan Al-Kalabi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang mempunyai bangunan-bangunanyang tinggi. (Al-Fajr: 7) Mereka adalah suku nomaden dan tidak pernah menetap dalam suatu tempat.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya mereka disebut zatul- 'imad karena perawakan mereka sangat tinggi. Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama dan menolak pendapat yang kedua, dan ternyata dia benar. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain. (Al-Fajr: 8) Ibnu Zaid mengatakan bahwa domir yang ada merujuk kepada 'imad karena ketinggiannya yang tidak terperikan, dan ia mengatakan bahwa mereka telah membangun bangunan-bangunan yang tinggi di atas bukit-bukit pasir, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain.
Lain halnya dengan Qatadah dan Ibnu Jarir, keduanya merujukkan damir yang ada kepada kabilah. Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka di masanya. Pendapat inilah yang benar, sedangkan pendapat Ibnu Zaid dan orang-orang yang mengikutinya lemah. Karena seandainya makna yang dimaksud adalah seperti yang ditakwilkan oleh mereka, tentulah bunyi ayat bukan lam yukhlaq, melainkan lamyu'mal mi'sluha fil bilad.
Dan sesungguhnya bunyi ayat adalah seperti berikut: yang belum pernah diciptakan (suatu kabilah pun) seperti mereka di negeri-negeri lain. (Al-Fajr: 8) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari orang yang telah menceritakan hadits ini kepadanya, dari Al-Miqdam, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Maka beliau ﷺ bersabda: Adalah seseorang dari mereka (kaum 'Ad) dapat mengangkat sebuah batu yang amat besar (seperti bukit), lalu ia memikulnya dan menimpakannya kepada suatu penduduk desa, maka binasalah mereka. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad, dari Saur ibnu Zaid Ad-Daili yang mengatakan bahwa ia pernah membaca sebuah prasasti kuno yang bunyinya seperti berikut, "Akulah Syaddad ibnu Ad, akulah yang meninggikan bangunan-bangunan yang tinggi.
dan akulah orang yang hastaku sama besarnya dengan tubuh satu orang; dan akulah orang yang menyimpan perbendaharaan sedalam tujuh hasta, tiada yang dapat mengeluarkannya selain umat Muhammad ﷺ" Menurut hemat saya, pendapat apa pun dari yang telah disebutkan di atas, baik yang mengatakannya sebagai bangunan-bangunan tinggi yang mereka bangun, atau menganggapnya sebagai tiang-tiang rumah mereka di daerah pedalaman, ataukah menganggapnya sebagai senjata yang dipakai mereka untuk berperang atau menggambarkan ketinggian seseorang dari mereka.
Semuanya itu pada garis besarnya menunjukkan bahwa mereka adalah suatu umat yang disebutkan di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja yang penyebutan mereka dibarengi dengan kisah kaum Samud, sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Dan mengenai orang yang mengira bahwa firman-Nya: (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 7) Bahwa makna yang dimaksud adalah suatu kota yang adakalanya kota Dimasyq seperti apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab dan Ikrimah, atau menganggapnya kota Iskandariah seperti yang diriwayatkan dari Al-Qurazi, atau dianggap kota lainnya.
Maka pendapat-pendapat ini masih perlu diteliti kebenarannya; karena bila diartikan demikian, mana mungkin dapat sesuai dengan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangun an-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 6-7) Jika hal itu dijadikan sebagai badal atau 'ataf bayan, maka tidak sealur dengan konteks pembicaraannya. Karena sesungguhnya yang dimaksud dalam topik pembicaraan ayat ini tiada lain memberitakan tentang kebinasaan suatu kabilah yaitu 'Ad, dan azab yang ditimpakan oleh Allah kepada mereka sebagai pembalasan dari-Nya, tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya.
Dan makna yang dimaksud bukanlah menceritakan perihal suatu kota atau suatu kawasan. Sesungguhnya kami ingatkan hal ini tiada lain agar jangan ada orang yang terpedaya oleh berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh sebagian ulama tafsir sehubungan dengan ayat ini. Yang diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Iram adalah suatu kota yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang dibangun dengan bata emas dan perak gedung-gedung, rumah-rumah, dan taman-tamannya.
Dan bahwa batu kerikilnya dari intan dan mutiara, sedangkan tanahnya dari kesturi, dan sungai-sungainya mengalir, sedangkan buah-buahannya berjatuhan; rumah-rumahnya tiada berpenghuni, tembok-tembok dan pintu-pintunya dalam keadaan terbuka, tetapi tiada seorang pun yang ada di dalamnya. Dan bahwa kota tersebut berpindah-pindah; adakalanya di negeri Syam dan adakalanya di negeri Yaman, dan adakalanya berpindah ke negeri Iraq, dan lain sebagainya.
Maka sesungguhnya kisah seperti ini termasuk dongengan-dongengan Israiliyat, yang tiada kenyataanya, dan termasuk yang dibuat oleh orang-orang Zindiq dari kalangan mereka, yang sengaja dituangkan untuk memperdaya akal orang-orang yang bodoh agar mau percaya dengan kisah buatan mereka. As-Salabi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pernah ada seorang lelaki Badui yang bernama Abdullah ibnu Qilabah hidup di masa mu'awiyah.
Lelaki Badui itu pergi mencari beberapa ekor untanya yang lepas; ketika ia sedang mencarinya kemana-mana, tersesatlah ia di suatu daerah. Dan tiba-tiba ia menjumpai suatu kota yang besar dengan tembok-temboknya yang tinggi dan pintu-pintu gerbangnya yang besar. Lalu ia memasukinya dan menjumpai di dalamnya banyak hal yang mendekati, seperti apa yang telah kami sebutkan diatas, yaitu kota emas.
Lalu lelaki itu kembali dan menceritakan kepada orang-orang apa yang telah dilihatnya, maka orang-orang beramai-ramai pergi bersama dia menuju ke tempat yang disebutkannya, dan ternyata mereka tidak melihat sesuatu pun di tempat tersebut. Ibnu Abu Hatim telah menyebutkan kisah mengenai kota Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi ini dengan kisah yang panjang sekali. Dan kisah ini tidak shahih sanadnya.
Seandainya memang shahih sampai kepada lelaki Badui tersebut, maka barangkali lelaki Badui itu membuat-buatnya; atau dia terkena semacam penyakit kejiwaan yang menimbulkan ilusi berbagai macam hal, sehingga ia menganggap bahwa ilusinya itu suatu kenyataan, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Dan faktor inilah yang memastikan tidak sahnya kisah lelaki Badui itu. Hal ini hampir sama dengan apa yang di beritakan oleh kebanyakan orang yang kurang akalnya, yang tamak kepada keduniawian.
Mereka beranggapan bahwa di dalam perut bumi terdapat banyak emas, perak dan berbagai macam permata, yaqut, mutiara, dan keajaiban (teka-teki) yang besar. Akan tetapi, mereka beranggapan bahwa untuk mencapainya ada banyak hambatan yang harus dilenyapkan terlebih dahulu agar dapat diambil. Karenanya mereka banyak menipu harta orang-orang kaya dan orang-orang yang lemah lagi kurang akalnya (yang mau membelanjakan hartanya untuk tujuan itu) sehingga mereka yang melakukan praktek demikian, memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Mereka mengilusikan kepada orang-orang yang mereka perdaya, bahwa biaya itu untuk membeli dupa, ramu-ramuan, dan lain sebagainya yang diada-adakan oleh mereka, padahal kenyataanya hanyalah tipuan belaka. Akan tetapi, yang pasti memang di dalam tanah banyak terdapat harta-harta yang terpendam, yang dahulunya adalah bekas-bekas peninggalan masa jahiliah dan masa Islam pertama. Maka barang siapa yang berhasil mendapatkannya, ia dapat memindahkannya.
Adapun mengenai harta terpendam seperti apa yang digambarkan oleh dugaan mereka, hal itu hanyalah dusta dan buat-buatan belaka., dan tidak benar sama sekali bahwa hal itu dapat dipindahkan atau dapat diambil oleh orang yang menemukannya. Hanya Allah-lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Dan mengenai pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala: (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 7).
dapat ditakwilkan sebagai nama suatu kabilah atau suatu negeri (kota) yang dihuni oleh kaum Ad, yang karenanya lafal Iram tidak menerima tamyin. Pendapat ini masih perlu diteliti, karena makna yang dimaksud oleh konteks cerita hanyalah menceritakan tentang kabilah. untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: dan kaum Samud yang memotong batu-batu besar di lembah. (Al-Fajr: 9) Yakni mereka memotong batu-batu yang ada di lembah tempat mereka.
Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa mereka mengukirnya dan melubanginya. Hal yang sama di katakan oleh Mujahid, Qatadah. Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid. Dan termasuk kedalam pengertian kata ini bila dikatakan mujtabin nimar, artinya bila mereka melubanginya. Dan dikatakan wajtabassauba bila seseorang membukanya (memotongnya); oleh karena itulah maka kantong dalam bahasa Arab disebut al-jaib. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin. (Asy-Syu'ara: 149) Dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan kisah ayat ini menyebutkan ucapan seorang penyair: ...
... Ingatlah segala sesuatu selain Allah pasti lenyap (binasa) sebagaimana telah lenyap suatu kabilah dari Syanif dan Marid. Mereka telah mengukir dan memotong batu-batu gunung dengan tangan-tangan yang keras dan lengan-lengan yang kekar. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Arab, dan tempat tinggal mereka adalah di lembah Al-Qura. Kami telah menyebutkan kisah kaum 'Ad secara rinci di dalam tafsir surat Al-A'raf, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak. (Al-Fajr: 10) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-autad ialah bala tentaranya yang mendukung dan menguatkan kedudukannya. Menurut suatu pendapat, Firaun bila menghukum mengikat kedua tangan dan kedua kaki si terhukum pada pasak-pasak besi, lalu digantungkan dengannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, bahwa dia mematok tangan dan kaki terhukum pada pasak-pasak, yakni dipasung.
Hal yang sama di katakan oleh Said ibnu Jubair dan Al-Hasan dan As-Suddi. As-Suddi menyebutkan bahwa Firaun mengikat seorang lelaki pada tiap-tiap tangan dan kakinya ke pasak-pasak, kemudian menggelindingkan sebuah batu besar ke atas tubuhnya hingga si lelaki terhukum itu hancur karenanya. Qatadah mengatakan, telah sampai suatu kisah kepada kami, bahwa Fir'aun mempunyai mainan berupa pasak-pasak dan tambang-tambang yang di letakkan di dalam suatu tempat yang mempunyai naungan.
Sabit Al-Bannani telah meriwayatkan dari Abu Rafi'. bahwa Fir'aun dijuluki Zul Autad karena dia memasang cmpat pasak untuk istrinya yang kedua tangan dan kedua kakinya diikat pada pasak-pasak itu. Lalu diatas punggung istrinya diletakkan sebuah batu penggilingan yang besar, hingga istrinya mati (karena ia beriman kepada Musa a.s). Firman Allah Swt: Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lain mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. (Al-Fajr: 11-12).
Yakni angkara murka, angkuh, lagi senang menebarkan kerusakan di muka bumi dan menyakiti orang lain. karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. (Al-Fajr: 13). Yaitu Allah menurunkan kepada mereka azab dari langit dan hukuman yang tiada seorang pun dapat menolaknya dari kaum yang durhaka itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Al-Fajr: 14). Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mendengar dan melihat, yakni mengawasi semua amal perbuatan makhluk-Nya dan kelak Dia akan menimpakan balasan-Nya terhadap masing-masing, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Dan kelak Dia akan memberdirikan semua makhluk di hadapan-Nya, lau dia memutuskan hukum-Nya terhadap mereka dengan adil, dan memberikan pembalasan kepada masing-masing sesuai dengan apa yang berhak diterimanya. Dia Mahasuci dari perbuatan aniaya dan melampaui batas. Imam Ibnu Abu Hatim dalam hal ini telah mengetengahkan sebuah hadits yang gharib sekali dan sanadnya masih perlu di teliti kesahihannya.
Untuk itu ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Abul Hawari, telah menceritakan kepada kami Yunus Al Hazza, dari Abu Hamzah Al-Bisani, dari Mu'az ibnu Jabal yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Wahai Mu'az., sesungguhnya orang mukmin itu menjadi tawanan Tuhan yang Hak. wahai Mu'az., sesungguhnya orang mukmin itu tidak dapat terbebas dari ketakutannya dan tidak merasa aman dari kekhawatirannya sebelum ia meninggalkan jembatan Jahanam berada di belakang punggungnya (telah melaluinya dengan selamat).
Wahai Muaz., sesungguhnya orang mukmin itu diikat oleh Al-Qur'an terhadap kebanyakan nafsu syahwatnya dan terhadap hal-hal yang membinasakan dirinya karena terjerumus ke dalamnya dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala maka Al-Qur'an adalah penunjuk jalannya, takut kepada Allah adalah alasannya, dan rindu kepada-Nya merupakan kendaraannya, shalat adalah gua perlindimgannya, puasa adalah bentengnya, sedekah adalah kebebasannya, dan kejujuran (kebenaran) adalahpemimpinnya, malu adalahpembantunya, dan Allah subhanahu wa ta’ala dibelakang itu semuanya selalu mengawasinya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus Al-Hazza dan Abu Hamzah merupakan perawi yang tidak dikenal; Abu Hamzah meriwayatkan dari Muaz berpredikat mursal, seandainya hanya dikatakan dari Abu Hamzah saja tentulah baik.
Yakni seandainya hadits ini hanyalah semata-mata perkataan Abu Hamzah saja, tentulah baik (karena berarti seadanya, mengingat Abu Hamzah tidak mengalami masa Mu'az ibnu Jabal). Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Safwan ibnu Amr, dari Aifa', dari Ibnu Abdul Kala'i, bahwa Aifa' pernah mendengarnya sedang memberi pelajaran kepada orang banyak, yang antara lain ibnu Abdul Kala'i mengatakan bahwa sesungguhnya neraka Jahanam itu mempunyai tujuh buah tanggul, sedangkan sirat berada di atas semiianya itu.
ia mengatakan bahwa lalu semua makhluk ditahan di tanggul yang pertama. dan dikatakan kepada mereka: Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya. (Ash-Shaffat: 24) Lalu mereka dihisab tentang shalat mereka dan mereka dimintai pertanggung jawaban mengenainya. Maka binasalah karenanya orang-orang yang binasa dan selamatlah karenanya orang-orang yang selamat. Apabila mereka telah sampai di tanggul yang kedua, maka dihisablah mereka terhadap amanatnya, apakah mereka menunaikannya dan apakah mereka mengkhianatinya.
Maka binasalah orang-orang yang binasa dan selamatlah orang-orang yang ditakdirkan selamat. Dan apabila mereka telah sampai di tanggul yang ketiga, maka mereka dimintai pertanggung jawaban tentang hubungan persaudaraan, apakah mereka menjalinnya ataukah memutuskannya. Maka binasalah orang-orang yang binasa dan selamatlah orang-orang yang selamat. Ibnu Abdul Kala'i melanjutkan kisahnya, bahwa rahim (persaudaraan) pada hari itu menjulur ke udara diatas neraka Jahanam seraya berdoa "Ya Allah, barangsiapa yang menghubungkan diriku, maka hubungilah dia.
Dan barangsiapa yang memutuskan aku, maka putuskanlah dia." Ibnu Abdul Kala'i mengatakan bahwa itulah yang dimaksud oleh firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Al-Fajr: 14) Demikianlah menurut apa yang diketengahkan dari atsar ini secara apa adanya, tetapi Ibnu Abu Hatim tidak menyebutkannya secara lengkap."
lalu mereka dengan kezalimannya banyak berbuat kerusakan, dosa, dan maksiat dalam negeri itu. 13. Karena kesewenangan dan kezaliman mereka itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka. Allah membinasakan kaum 'Ad dengan topan yang sangat dingin selama tujuh malam berturut-turut; kaum 'amud dengan suara menggelegar dan petir yang menyambar (Lihat:Fussilat/41:16; al-H'qqah:/69:6'7); dan Fir'aun beserta tentaranya ditenggelamkan di Laut Merah.
Di samping itu, mereka telah melakukan kerusakan di muka bumi, seperti menindas kaum yang lemah bahkan membunuh siapa saja yang mereka kehendaki.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
COBA PERHATIKAN!
Ayat 6
“Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat kepada kaum ‘Ad?"
Ayat ini memperingatkan betapa hebatnya adzab Allah kepada kaum ‘Ad, salah satu kabilah Arab zaman purbakala yang telah punah.
Ayat 7
“(Yaitu) Iram yang empunya kemegahan?"
Mereka adalah satu kaum yang besar, kuat, lagi gagah.
Ayat 8
“Yang belum pernah diadakan bandingannya di negeri-negeri itu."
Al-‘Imaad yang kita artikan kemegahan, berarti juga tonggak-tonggak di tengah kemah yang besar-besar dan teguh, yaitu ketika kaum ‘Ad datang menjarah dan menaklukkan negeri-negeri dan kabilah lain.
Ayat 9
“Dan kaum Tsamud yang mengangkut batu gunung ke lembah itu."
Kaum Tsamud kabilah Arab purbakala juga, telah punah. Diutus Allah kepada mereka Nabi Shalih. Mereka pun kaya dan megah saking kaya dan megahnya, mereka sanggup memahat batu-batu gunung buat mendirikan rumah-rumah yang besar dan megah.
Ayat 10
“Dan Fir'aun yang mempunyai bangunan-bangunan teguh."
Sampai kepada zaman kita sekarang ini masih dapat kita lihat bekas-bekas bangunan- bangunan yang didirikan oleh para Fir'aun di Mesir yang telah berlalu puluhan abad silam. Baik di tanah rendah Mesir ataupun di Mesir Hulu, seperti Luxor di Aswan, ataupun Piramida di tepi Kota Kairo sekarang.
Ayat 11
“Yang berbuat sewenang-wenang di negeri-negeri itu."
Berbuat sesuka hatinya, sampai mengaku diri menjadi tuhan yang maha kuasa di atas dunia ini.
Ayat 12
“Maka mereka perbanyaklah di dalamnya kerusakan."
Kepandaian insinyur dan arsitektur telah ada di waktu itu. Sampai sekarang kita lihat bekas bangunan Fir'aun yang telah beribu tahun sangat hebat. Tetapi yang mereka bangun hanya benda, tetapi yang mereka runtuhkan ialah budi pekerti. Keadilan mereka tukar dengan kezaliman, kebenaran mereka tukar dengan kebatilan. Sehingga segala pem-bangunan lahir itu tegak di atas kehancuran nilai perikemanusiaan.
Betapa jadinya? Datanglah hukum yang pasti dari Allah.
Ayat 13
“Maka dicurahkanlah oleh Tuhanmu kepada mereka cambuk siksaan."
Binasa kaum itu semuanya.
Ayat 14
“Sesungguhnya Tuhanmu tetap di tempat pengawasan."
Artinya, selama manusia masih ada dan hidup di alam dunia ini, di muka bumi ini; semua kezaliman, kebatilan, kemegahan yang menimbulkan sombong dan angkuh, tidaklah lepas dari pengawasan Allah. Satu waktu Dia akan memukulkan adzab-Nya pula, sebagaimana telah dipukulkan-Nya umat yang telah terdahulu itu.