Ayat
Terjemahan Per Kata
فَأَخَذَتۡهُمُ
maka menimpa mereka
ٱلرَّجۡفَةُ
gempa
فَأَصۡبَحُواْ
maka jadilah mereka
فِي
dalam
دَارِهِمۡ
rumah mereka
جَٰثِمِينَ
mayat-mayat yang bergelimpangan
فَأَخَذَتۡهُمُ
maka menimpa mereka
ٱلرَّجۡفَةُ
gempa
فَأَصۡبَحُواْ
maka jadilah mereka
فِي
dalam
دَارِهِمۡ
rumah mereka
جَٰثِمِينَ
mayat-mayat yang bergelimpangan
Terjemahan
Maka, gempa (dahsyat) menimpa mereka sehingga mereka menjadi (mayat-mayat yang) bergelimpangan di dalam (reruntuhan) tempat tinggal mereka.
Tafsir
(Kemudian mereka ditimpa gempa) gempa bumi yang dahsyat (maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka) mereka mati dalam keadaan bertekuk-lutut.
Tafsir Surat Al-A'raf: 90-92
Dan pemuka-pemuka Kaum Syu'aib yang kafir berkata (kepada sesamanya), "Sesungguhnya jika kalian mengikuti Syuaib, tentu kalian menjadi orang-orang yang merugi.”
Maka gempa (dahsyat) menimpa mereka sehingga mereka menjadi (mayat-mayat yang) bergelimpangan di dalam (reruntuhan) tempat tinggal mereka.
(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Syuaib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di negeri itu, Mereka yang mendustakan Syuaib itulah orang-orang yang merugi.
Ayat 90
Allah ﷻ menceritakan perihal kekerasan kekufuran mereka, juga keangkuhan, kesombongan, kesesatan yang mereka lakukan, dan tabiat hati mereka yang suka menentang kebenaran. Mereka nyatakan hal ini melalui sumpah mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:
"Sesungguhnya jika kalian mengikuti Syuaib, tentu kalian menjadi orang-orang yang merugi.” (Al-A'raf: 90)
Ayat 91
Maka Allah ﷻ berfirman dalam ayat selanjutnya:
“Maka gempa (dahsyat) menimpa mereka sehingga mereka menjadi (mayat-mayat yang) bergelimpangan di dalam (reruntuhan) tempat tinggal mereka.” (Al-A'rif: 91)
Dalam ayat ini Allah ﷻ memberitahukan bahwa mereka ditimpa gempa yang dahsyat, sebagaimana mereka telah membuat Syu'aib dan sahabat-sahabatnya terguncang oleh ancaman mereka yang hendak mengusirnya. Seperti yang disebutkan perihal mereka dalam surat Hud melalui firman-Nya:
“Dan ketika datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu teriakan yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” (Hud: 94)
Kaitannya dengan ayat di atas hanya Allah yang lebih mengetahui.
Ketika mereka melancarkan cemoohan kepada Syu'aib a.s. melalui perkataan mereka, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
“Apakah shalatmu yang menyuruh kamu.” (Hud: 87), hingga akhir ayat.
Maka datanglah teriakan yang mengguntur dan mendiamkan mereka (yakni mematikan mereka).
Dalam surat Asy-Syu'ara Allah ﷻ berfirman menceritakan perihal mereka:
“Kemudian mereka mendustakan Syuaib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang sangat besar.” (Asy-Syu'ara: 189)
Hal tersebut terjadi karena mereka mengatakan kepada Nabi Syu'aib seperti yang disebutkan dalam konteks kisahnya melalui firman Allah ﷻ:
“Maka jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit.” (Asy-Syu'ara: 187)
Allah memberitahukan, bahwa Dia telah menimpakan kepada mereka adzab pada hari mereka dinaungi awan, ketika mereka semuanya dalam keadaan berkumpul.
Semua awan itu berkumpul dan jatuh menimpa mereka pada hari itu juga, yaitu awan yang mengandung percikan dan nyala api serta kobaran yang sangat panas. Lalu suara yang mengguntur datang menimpa mereka dari langit, sedangkan bumi mengalami gempa besar dari bawah mereka, sehingga nyawa mereka dicabut dan mati, sedangkan tubuh mereka kaku.
“Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di (reruntuhan) dalam rumah-rumah mereka.” (Al-A'raf: 91)
Ayat 92
Kemudian Allah ﷻ berfirman:
“Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di negeri itu.” (Al-Araf: 92)
Artinya, setelah tertimpa azab itu mereka seakan-akan tidak tidak pernah mendiami di tanah tempat mereka hendak mengusir Syu'aib dan sahabat-sahabatnya.
Kemudian Allah ﷻ menjawab perkataan mereka melalui firman-Nya:
“Mereka yang mendustakan Syuaib itulah orang-orang yang merugi.” (Al-A'raf: 92)
Tak berselang lama, lalu datanglah gempa yang dahsyat menimpa mereka, sebagai bentuk siksa Allah yang pantas mereka terima, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka. Demikianlah keadaan mereka, sehingga orang-orang yang mendustakan Nabi Syuaib dan menolak ajaran kebenaran yang disampaikannya, dengan siksa yang menimpa mereka itu seakan-akan mereka belum pernah tinggal dinegeri itu dan bersenang-senang di situ, sebab semuanya hancur binasa, tak ada yang tersisa sedikit pun. Tidak ada lagi bekasbekas peninggalan yang dapat menjadi bukti keberadaan mereka. Jika demikian itu kesudahan yang menimpa mereka, maka mereka yang mendustakan Nabi Syuaib, dan mengira bahwa orang yang mengikutinya akan merugi, mereka itulah sebenarnya orang-orang yang rugi karena kehilangan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Keingkaran kepada Allah serta perbuatan menghalangi orang lain untuk menganut agama Allah adalah kejahatan yang amat besar. Orang-orang semacam itu sudah selayaknya mendapat hukuman yang setimpal. Oleh sebab itu, Allah telah menimpakan kepada mereka azab yang berat berupa gempa dan petir yang dahsyat yang membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka, seolah-olah mereka tidak pernah ada di negeri itu.
Kisah Nabi Syuaib ini, selain ditemukan dalam surah al-Araf, juga ditemukan dalam surah Hud/11: 85-95). Akan tetapi ada perbedaan yang menyebutkan nama azab yang ditimpakan kepada kaumnya yang kafir. Dalam Surah al-Araf ayat 91 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa "ar rajfah", yaitu gempa yang dahsyat. Sedangkan dalam Surah Hud ayat 94 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa "Ash shaihatu", yaitu suara keras yang mengguntur. Namun kedua ayat itu tidaklah berlawanan, karena kedua macam azab ini dapat terjadi dalam satu rentetan dan menimbulkan akibat yang sama, suara kilat yang keras dan gempa telah membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka.
Kisah Nabi Syuaib juga terdapat dalam surah asy-Syuara, di sini disebutkan bahwa Nabi Syuaib diutus Allah kepada penduduk negeri Aikah (asy-Syuara/26: 176). Sedangkan dalam surah al-Araf disebutkan bahwa Nabi Syuaib adalah saudara sebangsa dari kaum Madyan, yaitu penduduk negeri Madyan.
Menurut keterangan Ishak Ibnu Basyar yang dikutip dari Ibnu Asakir, mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah memberikan penjelasan sebagai berikut: "Penduduk Aikah adalah orang-orang yang mendiami daerah rawa-rawa yang terletak antara pantai Laut Merah dan negeri Madyan". Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa Nabi Syuaib telah diutus Allah kepada kaumnya yang telah mempunyai hubungan dengan mereka, sampai ke Laut Merah. Kedua kaum mempunyai kesamaan, baik mengenai kekafiran mereka, maupun mengenai berbagai perbuatan maksiat yang mereka lakukan, misalnya ketidakjujuran mereka dalam menimbang dan menakar ketika berjual beli. Nabi Syuaib menyiarkan agama kepada mereka semua. Azab Allah telah menimpa kedua golongan itu dalam waktu yang sama, atau dalam waktu yang berdekatan jaraknya, maka azab yang ditimpakan kepada penduduk Madyan adalah berupa "Ar rajfah", yaitu gempa yang amat dahsyat yang disertai suara gemuruh yang amat keras, sedang azab yang ditimpakan kepada penduduk Aikah adalah berwujud angin samum dan udara yang sangat panas, yang berakhir dengan datangnya gumpalan awan. Mereka lalu berkumpul di bawah awan yang menaungi mereka untuk mendapatkan udara yang sejuk, karena mereka menyangka awan itu akan menurunkan hujan akan tetapi gumpalan awan itu ternyata awan panas yang akan ditimpakan kepada mereka sehingga semuanya mati tertimpa awan panas. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa azab yang ditimpakan kepada kedua golongan itu sama. (Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut ketika menafsirkan surah asy-Syuara).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 88
“Berkata pemuka-pemuka yang menyombong dari kaumnya itu."
Di sini Allah telah memberi petunjuk kepada kita bahwasanya dari kaum Nabi Syu'aib yaitu yang merasa kuat telah merasakan sikap yang menyombong atau membesarkan diri atau menyombongkan diri. Di sini bertemu kalimat ‘istakbaru' yang berarti membesarkan diri atau menyombongkan diri. Orang yang membesarkan diri bukanlah orang besar. Manusia itu sama di hadapan Allah; tidak ada seorang pun yang lebih besar dari yang lain. Apatah lagi kalau dipandang dari segi tubuh. Tinggi manusia hampir sama, besarnya pun hampir sama. Sebab itu, di dalam surah al-Israa' ayat 27, Allah melarang berjalan menyombong di atas permukaan bumi ini, Allah telah memperingatkan bahwa sesungguhnya “engkau tidak akan dapat merobek bumi," betapa pun gagah perkasamu dan “engkau tidak akan dapat menyamai bukit walaupun bagaimana tinggimu." Sebab itu, manusia yang insaf akan hakikat kelemahan dirinya tidaklah akan membesarkan diri.
Orang yang membesarkan diri adalah orang yang lupa daratan, kadang-kadang karena dia memegang kekuasaan. Lantaran kekuasaan itu, dia pun mabuk. Dia menyangka manusia boleh diperlakukannya sekehendak hatinya saja. Lantaran membesarkan diri dan tidak mau kenal bahwa kekuasaan Allah lebih tinggi dari kekuasaannya, mereka pun berkata kepada Syu'aib, “Sesungguhnya akan kami keluarkan engkau hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman beserta engkau dari desa kami." Mereka menyombong lantaran di tangan mereka terpegang kekuasaan dalam negeri. Sebab itu, Syu'aib disuruh memilih salah satu di antara dua. Pertama, segera keluar dari dalam negeri ini bersama sekalian orang yang percaya akan ajarannya atau menjadi pengikut-nya. “Atau kamu sungguh-sungguh kembali kepada agama kami."
Artinya, kalau mereka masih tetap bertahan pada kepercayaan yang baru itu, mereka harus segera keluar dari daerah kekuasaan mereka. Dibuang atau dikucilkan.
Kaum yang sombong itu merasa bahwa iman kepada Allah yang tengah tumbuh ini, bisa dilepaskan saja. Dan, orang kembali pada kekafiran kalau mereka diancam akan dikeluarkan dari kampung halaman, tanah tumpah darah, rumah tangga dan dusun. Karena manusia memang berat akan mehinggal-kan daerah tempat diam sejak kecil. Sebab itu, mereka diancam bahwa kalau mereka tidak kembali kepada agama nenek moyang yang sekarang mereka batalkan itu, mereka tidak akan diizinkan tinggal di kampung itu lagi. Dan, kalau agama yang baru dianut itu dilepaskan, bisalah mereka tinggal tetap di kampung halaman mengerjakan upacara agama yang selama ini dijalankan oleh yang berkuasa.
Anjuran itu telah dijawab oleh Syu'aib dengan tegas,
“Dia berkata,'Bagaimana kalau kami tidak sukar."
Bagaimana kalau kami tidak suka menukar agama? Apakah kami akan kamu usir juga?
Dengan bertanya demikian, Syu'aib sudah mengatakan bahwa menukar agama atau kembali kepada agama jahiliyyah, sudah terang mereka tidak suka. Karena sudah terang tidak suka, sikap apa yang akan mereka ambil terhadapnya dan kaumnya?
Dalam keterangan selanjutnya, Syu'aib sudah menjelaskan apa sebab dia tidak bisa kembali kepada agama jahiliyyah,
Ayat 89
“Sesungguhnya kami telah mengadakan dusta kepada Allah jika kami kembali pada agama kamu, sesudah kami diselamatkan Allah darinya."
Coba pahamkan maksud ayat ini baik-baik!
Apabila Allah telah menganugerahkan jalan kebenaran bahwa yang patut disembah itu hanyalah Allah Yang Maha Esa, tidak bersekutu yang lain dengan Dia, berarti bahwa jika kita telah diberi terang. Di dalam pikiran murni, tidak ada kekacauan lagi. Sebab, yang benar menurut akal yang benar menurut manthiq (logika) dan menurut ilmu berhitung yang tertinggi (wijskunde) bahwa mustahil Maha Penguasa dan Maha Pengatur berbilang. Dia mesti Satu. Kalau manusia telah sampai kepada pengertian ini, dia akan merasa lega dalam pikirannya. Sebab, untuk mencapai rasa bahagia dalam pikiran ialah bila kita sampai kepada hakikat kebenaran.
Seterusnya, apabila dia telah sampai pada tujuan yang demikian, tidaklah dia mau surut lagi kepada yang tidak benar. Sebab itu, orang yang telah mendapat isi pelajaran tauhid tidaklah mau lagi menyembah berhala. Sebab, menyembah berhala artinya adalah mendustai diri sendiri. Ibadah yang dilakukan berbeda dengan yang dipercayai dan diyakini dalam hati, sama artinya dengan “mengada-ada dusta atas Allah." Padahal, Allah telah menyelamatkan yang bersangkutan dari kepercayaan yang karut itu.
“Dan, tidaklah bagi kami akan kembali kepadanya kecuali jika dikehendaki Allah, Tuhan kami."
Renungkanlah arti yang sangat dalam yang terkandung dalam ayat ini; kecuali jika dikehendaki Allah, Tuhan kami. Hati yang telah mendapat tauhid, tidaklah akan mundur lagi kepada suasana musyrik. Perubahan kembali musyrik sesudah tauhid adalah mustahil pada adat. Matahari terbit dari Timur, terbenam ke Barat, Mustahil pada adat matahari berubah jalan kecuali kalau Allah menghendaki yang lain. Demikian pulalah Syu'aib mengatakan kepada kaumnya. Kalau sekali kami telah diberi petunjuk oleh Allah kepada jalan yang benar, mustahil pada adat bahwa kami akan musyrik kembali. Entah kalau Allah menghendaki lain. Sebab, kekuasaan mutlak adalah pada tangan Allah. Untuk menjelaskan dan memantapkan lagi pendirian itu, berkatalah Syu'aib selanjutnya, “Amat luaslah pengetahuan Tuhan kami atas tiap-tiap sesuatu." Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sehingga pun gerak hati kami dan gerak hati tuan-tuan tidak ada yang sembunyi bagi-Nya.
“Kepada Allah-lah kami bertawakal." Dengan kata-kata seperti ini menyerahlah Syu'aib kepada agama yang lama, dia akan diusir bersama dengan sekalian orang yang beriman kepada ajaran yang dibawanya. Dia merasa bahwa kekuatan pertahanan yang lahir tidak ada padanya. Sebagaimana kebiasaan yang selalu terdapat di permukaan alam ini, pihak yang berkuasa merasa sombong dengan kekuasaannya dan tidak mau tunduk kepada kebenaran. Kalau yang berkuasa hendak bertindak mengusir kalau langit hendak jatuh, apalah artinya kekuatan telunjuk hendak menahannya. Sebab itu, sandaran terakhir pada Syu'aib hanya satu jua, yaitu tawakal kepada Allah. Akan diusir, usirlah. Akan dibunuh, bunuhlah, tetapi pendirian yang telah dipilih dan keyakinan yang telah tertanam, tidaklah ada sata kekuatan pun yang dapat menggesernya.
Tawakalnya itu diiringinya dengan doa, memohon agar Allah sendiri “turun tangan".
“Ya Tuhan kami! Bukakanlah kebenaran di antara kami dan di antara kaum kami krnena Engkaulah yang sebaik-baik pembuka kebenaran."
Doa di ujung ayat ini menunjukkan bahwa beliau telah bertemu jalan buntu. Kekuatan beliau sendiri untuk menguasai keadaan tidak ada, beliau tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan karena tampuk negeri terpegang di tangan pemuka-pemuka yang berniat mengusirnya itu. Sedang dia dan orang-orang yang beriman tidak hendak menerima pengusiran itu kalau bukan Allah yang memerintahkan hijrah dan tidak pula mereka hendak menerima paksaan supaya kembali kepada agama yang lama. Sekarang keputusan terakhir adalah kepada Allah sendiri.
Tentu timbul pertanyaan, “Apakah memang sebelum itu Nabi Syu'aib memeluk agama mereka? Kalau tidak, mengapa disuruh kembali? Tentu tidak! Sebagaimana Nabi kita Muhammad ﷺ dari masa kecilnya pun tidak pernah menyembah berhala orang Quraisy meskipun beliau ketika itu belum menjadi rasul. Akan tetapi, karena beliau salah seorang penduduk Mekah dan bergabung dalam pergaulan mereka, tentu dihitungkan orang dia masih memeluk agama mereka. Demikian jugalah Nabi Syu'aib. Sejak semula telah ditanamkan Allah dalam jiwanya rasa tantangan pada perbuatan kaumnya dan tidaklah beliau berbuat sebagaimana yang mereka perbuat. Akan tetapi, timbulnya pertentangan ialah setelah beliau menyatakan pendirian dan mencela perbuatan mereka lalu dia dituduh telah meninggalkan agama nenek moyang dan dipaksa mesti kembali. Seperti itu pulalah maksudnya seketika Nabi Yusuf memberi keterangn kepada kedua kawannya dalam penjara (surah Yuusuf ayat 37), bahwa beliau telah meninggalkan agama kaum yang tidak beriman kepada Allah. Bukanlah berarti bahwa beliau dahulu menyembah berhala.
Ancaman yang keras itu rupanya tidak menggoyangkan pendirian Syu'aib. Dia menambah teguh tawakalnya kepada Allah. Dalam pada itu kaumnya tidak pula berhenti mengancam dan menggertak pengikut-pengikut beliau.
Ayat 90
“Dan, berkata pemuka-pemuka yang taifun dari kaumnya itu, ‘Jika kamu mengikuti Syu'aib, sesungguhnya kamu itu adalah orang-orang yang rugi.'"
Jika Syu'aib tidak dapat diruntuhkan dengan ancaman, pengikutnyalah sekarang yang diancam. Mereka akan rugi kalau terus mengikuti Syu'aib. Seluruh orang terkemuka menyembah berhala, mereka akan tersisih terus-menerus kalau mereka tidak ikut. Semua orang berlomba-lomba mencari kekayaan dengan berbagai macam jalan, dengan sukatan dan timbangan dua ragam sehingga orang lekas kaya sedang mereka masih secara jujur-jujuran saja, tidak pandai menyesuaikan diri. Lantaran itu teranglah mereka akan terus rugi, jatuh miskin. Coba lihat kami, betapa senangnya hidup kami dengan harta benda banyak berlimpah-limpah.
Ayat 91
“Maka, ditimpatah mereka oleh suatu gempa."
Maka, datanglah suatu bencana alam yang hebat menimpa negeri itu. Di dalam ayat ini disebut bahwa gempa besar datang dan di dalam ayat lain disebut pula bahwa adzab yang menimpa orang Madyan ini ialah pekik (jerit) yang sangat keras. Ketika menafsirkan adzab yang menimpa kaum Shalih di ayat 77 sudah juga kita terangkan bahwasanya kedua-duanya ini sama-sama terjadi.
Apabila misalnya suatu gunung berapi meletus dengan dahsyatnya, gempa besar pun timbul, semua bergoyang dan bunyi letusan itu sangatlah kerasnya sehingga menyeramkan,
“Lalu terbenamlah mereka di tempat tinggal mereka."
Apabila suatu letusan dahsyat sudah terjadi, menderulah pekik dari bunyi letusan itu dan bergoyanglah bumi, timbullah gempa dan hati sendiri dan badan sendiri pun jadi berguncang. Tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari bahaya, terbenam tertimbunlah mereka, habis musnah.
Ayat 92
“Orang-orang yang mendustakan Syu'aib, seakan-akan tidak pernah ada di situ."
Artinya, setelah bencana hebat itu datang, habis punah penduduk negeri itu, tidak ada orang tinggal di sana lagi. Hanya yang tinggal bekas-bekasnya saja lagi. Si penentang-pe-nentang dahulu itu tidak bertemu lagi, bekasnya pun tidak, seakan-akan tidak pernah ada mereka di situ dahulunya. Menjadi peringatan pula kepada kaum Quraisy, tempat ayat-ayat ini diturunkan bahwa bekas negeri Madyan yang telah digulung padang belantara itu, yang kelihatan sekarang sepi tak ada manusia, dahulunya adalah suatu negeri yang ramai. Namun, mereka telah musnah.
“Orang-orang yang telah mendustakan Syu'aib adalah mereka orang-orang yang rugi."
Ujung ayat ini adalah membalikkan kenyataan. Karena sebagai tersebut jelas pada ayat 90 di atas tadi, mereka yang telah dibinasakan oleh adzab Allah itu pernah mengatakan bahwa barangsiapa yang mengikuti Syu'aib akan rugi besar sebab tidak menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekarang ternyata bukanlah yang mengikut Syu'aib yang rugi, melainkan yang mendustakan ajarannyalah yang rugi karena harta benda yang tidak halal yang dikumpulkan dengan segala macam tipu daya itu, membuat kusut sesudah bumi Allah selesai. Tidak sepeser pun dapat menebus diri dari siksaan Allah yang datang menimpa.
Ayat 93
“Lalu berpalingtah dia dari mereka dan berkata, ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya telah aku sampaikan kepada kamu segala risalah dari Tuhanku dan telah aku nasihati kamu. Maka, betapalah aku akan bersedih atas kaum yang kafir."
Sebagaimana ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengenai perjuangan Nabi Shalih di akhir juz lalu demikian jugalah pandangan kita tentang seruan terakhir Nabi Syu'aib ini. Yaitu, mungkin beliau katakan sebelum beliau bersama-sama orang-orang yang beriman berangkat meninggalkan negeri itu karena telah datang Isyarat Allah bahwa adzab akan segera datang lalu beliau bertinggal kata. Dan, boleh jadi juga beliau datang kembali ke sana melihat bekas bencana itu, melihat bangkai telah bergelimpangan, untuk jadi ingatan bagi yang hidup. Dan, peringatan kepada yang telah mati itu sendiri sebab ruh mereka mendengar. Seakan-akan beliau berkata, apalah lagi yang akan disesalkan kepadaku jika begini dahsyatnya bencana yang menimpa kamu; bukankah segala risalah perintah Allah telah aku sampaikan, nasihat telah aku berikan asal ada saja kesempatan.