Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
تَدۡعُونَ
kamu sembah
مِن
dari
دُونِهِۦ
selain
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
نَصۡرَكُمۡ
menolong kamu
وَلَآ
dan tidak
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka
يَنصُرُونَ
mereka menolong
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
تَدۡعُونَ
kamu sembah
مِن
dari
دُونِهِۦ
selain
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
نَصۡرَكُمۡ
menolong kamu
وَلَآ
dan tidak
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka
يَنصُرُونَ
mereka menolong
Terjemahan
Berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.
Tafsir
(Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri) lalu mengapa aku mempedulikan keadaan mereka.
Tafsir Surat Al-A'raf: 191-198
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (wahai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu.
Maka serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan tangan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah,-kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-Ku, tanpa memberi tangguh (kepada-Ku)" Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan AlKitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.
Dan jika kalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kalian melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. Ayat-ayat ini merupakan sikap ingkar Allah terhadap orang-orang musyrik yang menyembah Allah dan menyembah selain-Nya, yaitu tandingan-tandingan Allah, berhala-berhala dan patung-patung; padahal semuanya itu adalah makhluk Allah, membutuhkan perawatan, dan dibuat oleh manusia; ia sama sekali tidak memiliki sesuatu pun dari urusan itu, tidak dapat membahayakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat melihat, dan tidak dapat membela para pengabdinya.
Bahkan berhala-berhala itu sendiri adalah benda mati, tidak dapat bergerak, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat. Sesungguhnya para penyembahnya sendiri jauh lebih sempurna ketimbang berhala-berhalanya, karena mereka mempunyai pendengaran, penglihatan, dan kekuatan memukul. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. (Al-A'raf: 191) Artinya, apakah kalian mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun, dan selamanya sembahan-sembahan itu tidak akan mampu melakukan hal tersebut.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala lainnya, yaitu: Wahai manusia telah dibuatkan perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Al-Hajj: 73-74) Melalui ayat-ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa sembahan-sembahan mereka, seandainya dikumpulkan semuanya, niscaya tidak akan dapat menciptakan seekor lalat pun. Bahkan seandainya lalat itu merebut sesuatu dari mereka yaitu berupa makanan yang tidak berarti, lalu terbang niscaya mereka tidak mampu mengambil kembali makanan itu darinya. Maka barang siapa yang memiliki sifat dan keadaan seperti itu, mana mungkin dapat dijadikan sebagai sembahan untuk dimintai rezeki dan pertolongannya? Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedangkan berhala itu sendiri dibuat orang (An-Nahl: 20; Al Furqan: 3) Yakni bahkan berhala-berhala itu dibuat dijadikan oleh orang, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat berikut: Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu? (Ash-Shaffat: 95) Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah berfirman: Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. (Al-A'raf: 192) Berhala-berhala itu sama sekali tidak dapat memberikan pertolongan apa pun kepada mereka, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., beliau memecahkan berhala-berhala kaumnya dan mencemoohkannya dengan penghinaan yang berat, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulinya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (Ash-Shaffat: 93) Dalam ayat yang lain disebutkan pula melalui firman-Nya: Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (Al-Anbiya: 58) Hal yang sama pernah dilakukan oleh Mu'az ibnu Amr ibnul Jamuh dan Mu'az ibnu Jabal ketika keduanya masih muda dan telah masuk Islam, yaitu di saat Rasulullah ﷺ telah tiba di Madinah. Keduanya merusak berhala-berhala orang-orang musyrik di malam hari, yaitu dengan memecahkannya dan menjadikannya sebagai kayu bakar buat para janda, agar kaumnya mau mengambil pelajaran dari hal tersebut dan menyalahkan diri mereka sendiri.
Disebutkan bahwa Amr ibnul Jamuh seorang pemimpin di kalangan kaumnya mempunyai sebuah berhala yang menjadi sembahannya, ia selalu memberi berhalanya itu wewangian. Tersebut pula bahwa keduanya selalu datang kepadanya di malam hari, lalu membalikkan berhala itu dengan kepala di bawah dan melumurinya dengan kotoran hewan. Ketika Amr ibnul Jamuh melihat apa yang dilakukan terhadap berhalanya itu, maka ia memandikannya dan memberinya lagi wewangian, lalu meletakkan sebilah pedang di sisi berhala itu seraya berkata kepadanya, "Belalah dirimu!" Mu'az ibnu Amr Ibnu Jamal dan Mu'az ibnu Jabal kembali melakukan hal itu terhadap berhala tersebut dari Amr Ibnul Jamuh pun kembali melakukan hal yang sama (yakni membersihkan dan memberinya wewangian).
Kemudian pada akhirnya keduanya mengambil berhala itu dan mengikatnya bersama bangkai seekor anjing, lalu menggantungkannya dengan seutas tali di atas sebuah sumur yang ada di tempat itu. Ketika Amr ibnul Jamuh datang dan melihat hal tersebut, ia berpikir dan sampailah pada suatu kesimpulan bahwa agama yang dipeluknya itu adalah batil. Lalu ia membacakan sebuah syair:
Demi Allah, seandainya kamu adalah tuhan yang disembah, niscayalah kamu dan anjing tidak dapat dikumpulkan bersama-sama. Akhirnya Amr ibnul Jamuh masuk Islam dan mengamalkan Islamnya dengan baik, lalu ia gugur dalam perang Uhud sebagai seorang yang mati syahid; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada dia dan memberinya pahala yang memuaskannya, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jika kalian menyerunya untuk memberi petunjuk kepada kalian, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruan kalian. (Al-A'raf: 193) Artinya, berhala-berhala itu tidak dapat mendengar seruan orang yang menyerunya. Keadaannya akan tetap sama, baik di depannya ada orang yang menyerunya ataupun orang yang menggulingkannya, seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim yang disitir oleh firman-Nya: Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? (Maryam: 42) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa berhala-berhala itu adalah hamba-hamba Allah juga, sama dengan para penyembahnya.
Dengan kata lain, berhala-berhala itu makhluk juga, sama dengan para penyembahnya. Bahkan manusia jauh lebih sempurna daripada berhala-berhala tersebut, karena manusia dapat mendengar, melihat, dan memukul; sedangkan berhala-berhala tersebut tidak dapat melakukan sesuatu pun dari hal itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah." (Al-A'raf: 195), hingga akhir ayat. Maksudnya, panggillah berhala-berhala itu untuk menolong kalian dari-Ku, janganlah kalian memberi masa tangguh barang sekejap pun untuk itu, dan berupayalah kalian dengan semampu kalian.
Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh (Al-A'raf: 196) Yakni Allah-lah yang melindungiku dan memberikan kecukupan kepadaku, Dialah yang menolongku, hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan hanya kepada-Nya aku berlindung, Dia adalah Pelindungku di dunia dan akhirat. Dia adalah Pelindung semua orang yang saleh sesudahku. Hal ini semakna dengan perkataan Nabi Hud a.s. ketika berkata kepada kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.
Hud menjawab, "Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya Sebab itu, jatankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus." (Hud: 54-56) Semakna pula dengan perkataan Nabi Ibrahim kekasih Allah, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Maka apakah kalian memperhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. (Asy-Syu'ara: 75-78) Sama juga dengan perkataan Nabi Ibrahim kepada orang tuanya dan kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yangmenjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 26-28) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah. (Al-A' rif: 197), hingga akhir ayat. Ayat ini berkedudukan menguatkan apa yang disebutkan sebelumnya, hanya saja dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk khitab (sebagai lawan bicara), sedangkan pada sebelumnya disebutkan dengan ungkapan gaibah (yakni orang yang ketiga). Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. (Al-A'raf: 197) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jika kamu sekalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya.
Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198) Semakna dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kamu sekalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian. (Fathir: 14), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198) Sesungguhnya dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: berhala-berhala itu memandang kepadamu. (Al-A'raf: 198) Yakni menghadapi kamu dengan matanya yang melotot, seakan-akan dapat melihat, padahal berhala-berhala itu benda mati.
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan seperti makhluk yang berakal, sebab memang berhala-berhala mereka itu dibentuk seperti manusia (yakni patung manusia). Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu (Al-A'raf: 198) Dalam ayat ini diungkapkan dengan damir untuk makhluk yang berakal. As-Suddi mengatakan, yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang musyrik (bukan berhala, pent.). Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan dikatakan oleh Qatadah."
Itulah sifat-sifat Allah yang disembah oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya, sedangkan berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik yang sesat, sifatnya seperti diurai pada ayat ini. Dan berhalaberhala yang selalu kamu, yakni orang-orang musyrik penyembah berhala seru selain Allah untuk meminta pertolongan dan beribadah kepada mereka, tidaklah sanggup menolongmu dengan cara apa pun, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri, mereka itu lemah seperti halnya kamu, bahkan lebih lemah dari kamu. Dan wahai para penyembah berhala, sesembahan kamu itu bukan hanya tidak mampu menolong kamu atau membela dirinya. Yang lebih lemah dari itu pun mereka tak mampu. Jika kamu para penyembah berhala menyeru mereka, berhala-berhala itu, untuk memberi petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran, mereka tidak dapat mendengarnya apalagi mengabulkan permintaan itu. Dan engkau wahai Nabi Muhammad lihat mereka, yakni berhala-berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik itu ada di hadapanmu seolah-olah memandangmu, sebab berhala-berhala itu dibuat seakan-akan memandang orang yang di hadapannya dengan mata yang bersinar, padahal mereka tidak melihat, karena se-sungguhnya tidak memiliki mata dan tidak pula hati.
.
Allah ﷻ menegaskan kembali pada kaum musyrikin bahwa berhala-berhala yang mereka harapkan pertolongannya itu tidak dapat berbuat apa-apa bahkan menolong diri mereka sendiri tidak dapat, apalagi menolong diri orang lain. Baik memberi manfaat, maupun menolak kemudharatan, seperti apa yang diperbuat Nabi Ibrahim as. Beliau menghancurkan patung-patung kaumnya, sehingga menjadi berkeping-keping. Patung-patung itu tidak dapat membela diri dan membalas dendam.
Diceritakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Muaz bin Amr bin al- Jamuh beserta Muaz bin Jabal ra, masuk agama Islam ketika Nabi Muhammad, tiba di Medinah. Keduanya masih muda-muda. Pada suatu malam mereka pergi menghancurkan patung-patung orang musyrikin dan dijadikan kayu bakar untuk para janda. Maksudnya agar kaumnya mengetahui dan mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Orang tuanya yang bernama Amr bin al-Jamuh seorang kepala suku, memiliki sebuah patung yang selalu disembahnya dan diberinya wangi-wangian. Pada suatu malam kedua anak muda itu mendatangi patung tersebut. Lalu patung itu dibalikkannya, kepalanya dibawah dan diberinya kotoran manusia. Besok harinya Amr bin Al Jamuh datang ke tempat patung sembahannya, dilihatnya apa yang telah terjadi. Patung itu kemudian dibersihkanya dan diberinya wangi-wangian lalu dia letakkan sebuah pedang di sampingnya. Berkatalah dia kepada patung itu: "Belalah dirimu". Tetapi keesokan harinya kedua anak muda itu kembali mengulangi perbuatannya dan orang tua itupun kembali pula berbuat seperti semula lagi.
Akhirnya kedua anak muda itu mengambil patung itu dan mengikatnya bersama anjing yang mati, lalu diletakkannya di dekat sumur yang dekat dengan tempat itu. Kemudian ketika orang tua itu datang lagi dan melihat apa yang terjadi atas patungnya, sadarlah dia bahwa agama yang dianutnya selama ini adalah agama yang bathil. Kemudian Amr bin Jamuh masuk agama Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Beliau mati syahid dalam Perang Uhud (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal 277).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TAUHID MEMBESARKAN JIWA
Ayat 193
“Dan, jika kamu ajak mereka kepada petunjuk, tidaklah mereka mau menunuti kamu."
Petunjuk asli ialah tauhid maka mereka tidak mau kepada tauhid itu. Mereka bertahan kepada berhala mereka,
“Sama saja atas kamu, apakah kamu ajak mereka ataupun kamu berdiam diri."
Walaupun diajak dan diseru dengan alasan yang kuat, mereka tidaklah akan meninggalkan kebiasaan yang buruk itu. Didiamkan saja pun, mereka tidak juga akan berubah. Sehingga di antara ajakan dengan mulut atau pun didiamkan, menjadi sama saja bagi mereka. Akan tetapi, ayat-ayat yang lain telah menunjukkan bahwa dengan begini bukanlah berarti bahwa hal syirik ini didiamkan saja. Bertambah didiamkan, niscaya penyakit mereka akan bertambah larut. Sebab itu, ayat yang selanjutnya bukanlah berarti menyuruh berdiam diri, melainkan menyuruhkan bekerja terus-menerus menyadarkan mereka.
Ayat 194
“Sesungguhnya yang kamu seru selain dari Allah itu adalah hamba-hamba seperti kamu (juga)."
Inilah salah satu inti ajaran tauhid bagi memerdekakan manusia dari pengertian syirik. Diperintahkan kepada manusia bahwa yang mereka sembah selain dari Allah itu tidaklah lebih keadaannya dari mereka yang menyembah. Kalau dia manusia maka kamu pun manusia. Sama-sama dijadikan Allah daripada air mani yang lata. Mengapa mereka akan kamu katakan lebih daripada kamu? Kalau kamu katakan mereka lebih daripada kamu, sebab mereka orang yang telah lebih dekat kepada Allah, tersebab shalihnya misalnya, mengapa tidak kamu sendiri langsung berbuat amal shalihyang diridhai Allah, sehingga kamu sendiri mencapai martabat yang sama dengan dia? Sama-sama dekat kepada Allah? Kalau yang kamu sembah itu berhala, apa yang kamu takutkan kepada batu atau kayu?
Yang dibuat oleh tangan manusia itu? Kata-kata ayat yang sepatah ini patutlah ditanamkan benar-benar di dalam hati kita, bahwasanya sekalian makhluk adalah sama-sama hamba Allah dengan kita. Pada ayat 188 di atas tadi Nabi Muhammad ﷺ sendiri memelopori menyatakan bahwa dia tidak dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan bagi diri orang lain dan tidak pula dapat menangkis bahaya. Kalau Nabi yang sudah berkata demikian, padahal syahadat kepada Allah selalu diiringkan dengan syahadat kepada Muhammad, apalah artinya lagi makhluk yang lain?
“Maka, (cobalah) kamu senu mereka, supaya memperkenankan permohonan kamu, jika adalah kamu orang-orang yang benar."
Tantangan atau suruhan menyeru mereka yang lain ini bukanlah berarti menyuruhkan, bahkan menjadi melarang karena tidak masuk di akal bahwa mereka sebagai hamba Allah akan sanggup memperkenankan doa manusia.
Kemudian dikatakan bahwa betapa pun dicoba meminta tolong kepadanya atau berdoa kepadanya, tetapi dia tidak dapat mengabulkannya sebab dia tidak ada kekuasaan sama sekali.
Ayat 195
“Apakah ada pada mereka kaki, yang mereka benjolan dengan dia? Atau adakah pada mereka tangan, yang mereka meninju dengan dia? Atau adakah bagi mereka mata yang mereka melihat dengan dia? Atau adakah bagi mereka telinga, yang mereka mendengar dengan dia!"
Sebagai yang dikatakan tadi, manusia-manusia yang setelah mereka mati, kamu jadikan berhala itu, adalah hamba Allah atau makhluk yang sama dengan kamu juga. Sekarang kamu puja dia, kamu jadikan dia berhala. Kadang-kadang kamu ambil kayu atau batu, kamu beri bentuk sebagai manusia yang kamu kenangkan itu lalu kamu puja, kamu sembah dan kamu pertuhan dia. Apa yang dapat mereka kerjakan? Sedang kakinya saja tidak ada berjalan; sebab kaki itu hanya buatan kamu saja. Kamu lebih bisa berjalan, daripadanya. Kaki, tangan, mata dan telinganya, tidak sebuah pun yang dapat dipergunakannya, sebab dia tidak bernyawa. Bagaimana kamu begitu bodoh buat menyembah dan meminta tolong kepada benda mati itu?
Kemudian dengan lebih berani lagi, Nabi ﷺ disuruh mengatakan, “Serulah sekutu-sekutu kami itu." Cara kita sekarang, pasanglah dupa, bakarlah kemenyan, ratib tegaklah memanggil segala barang pujaan itu, wahai berhala anu, hantu pemburu anu, wahai nan di bigak nan di bigau, wahai wali keramat di Luar Batang dan segala tempat atau kubur yang dikeramatkan, wahai arwah kyai anu di kampung anu, habib fulan di kampung fulan, tolonglah kami, perkenankan doa kami. “Kemudian itu cobakanlah tipu dayamu kepada -Ku." Tegasnya cara sekarang, embuskanlah segala macam mantra, segala macam sihir, segala macam tuju permaya untuk menganiaya diriku, dengan pertolongan segala berhala itu.
“Maka, cobalah jangan Aku diberi tempo."
Arti cara sekarangnya ialah, “Cobakanlah pengaruh berhalamu itu kepadaku sekarang juga, jangan aku diberi waktu lagi. Niscaya semuanya itu tidak akan memberi bekas. Semua omong kosong!"
Inilah salah satu didikan kebenaran jiwa tauhid yang dibenarkan dan dihunjani Nabi kepada orang yang beriman. Sampai beliau berani menentang. Orang yang telah teguh tauhidnya, tentu memegang ini. Pegangan orang yang bertauhid ialah bahwa alam tidak memberi bekas.
Pada 1929 ada seorang raja (Kara Eng) di negeri Kajang (Bulukumba, Makassar) bernama: Yahya Daeng Magassing. Beliau Raja di tempat itu.
Menurut adat masa itu, seorang raja di Bugis Makassar mempunyai satu barang pusaka yang diterimanya dari raja-raja dahulu yang dia gantikan. Setelah beliau menjadi raja, barang pusaka itu jatuh ke tangannya.
Barang itu diletakkan di tempat yang mulia, disucikan, diasapi dengan kemenyan, di-bungkus dengan kain kunmg dan tidak boleh dibuka-buka. Semua orang berkepercayaan, bahwa barangsiapa yang membuka bungkusan itu akan mendapat celaka besar. Akan tetapi, Kara Eng Yahya sebelum menjadi raja telah memasuki Perkumpulan Muhammadiyah, menganut paham agama yang bertauhid tulen. Tidak berapa lamasetelah dia menjadi raja, rencananya yang terlebih dahulu ialah membuka bungkusan yang membawa syirik itu. Sebab, inilah yang menyesatkan rakyatnya selama berpuluh tahun. Pada suatu hari bungkusan yang “bertuah" itu dibukanya. Apa isinya? Tidak lain daripada sebuah kepala tongkat. “Kepala tongkat", Tuan!" ujar beliau seketika menceritakan kepada kami. Dia menggelang-gelengkan kepala dan setelah itu dipanggilnyalah orang-orang besar kerajaan-nya, demikian juga guru-guru agama yang di sana dinamai “syara!" atau “syarat". Diperlihatkannya kepala tongkat itu dan dia bertanya, “Apakah ini. Tuan-tuan?"
Semuamenjawab, “Kepala tongkat!" Semua yang hadir disuruhnya memegang, bergeser dari tangan ke tangan, kemudian diletakkan ke atas meja. Dan, beliau berkata, “Telah aku buka barang sakti yang kamu bungkus berpuluh tahun ini, dengan bungkusannya yang telah kotor dan kumai. Ternyata isinya cuma ini, sebuah kepala tongkat. Berpuluh tahun kita telah sesat. Kita mengatakan bahwa inilah “tiang agung" dari kerajaan saya di negeri Kajang ini. Kita semua mengakui diri orang Islam, padahal kita telah musyrik bertahun-tahun. Apalah manfaat dan mudharat yang bisa dibawa oleh sebuah kepala tongkat atas sebuah negeri? Sudah berhari-hari dia saya buka, tetapi badan saya tetap sehat wal afiat.
Negeri kita tetap makmur, sebab saya memerintah bukan atas nama kepala tongkat yang dibungkus, melainkan dengan mengingat segala perintah Allah. Marilah kita bersihkan negeri ini dari segala “kemusyrikan!"
Yang tua-tua marah karena kepala tongkat itu dibuka dari bungkusnya. Sebab, dengan demikian “tuahM atau “perbawa"‘ negeri akan habis. Akan tetapi, Kara Eng Yahya tidak peduli. Akhirnya pihak yang tidak senang melapor kepada pemerintah Belanda, bahwa raja sendiri telah melanggar adat. Mereka namai lambang-lambang itu “gaokang" artinya, kebesaran dan kemuliaan raja yang sangat dimuliakan.
Dengan daya upaya halus atau kasar, Kara Eng Yahya Daeng Magassing diberhentikan dari jabatannya sebagai raja, diganti dengan yang lain. Akan tetapi, kebesaran kepala tongkat itu telah habis musnah dengan sendirinya dan sejak beliau berhenti itu, beliau tidak segan-segan lagi menyatakan dirinya sebagai orang Muhammadiyah, lalu mendirikan cabang Muhammadiyah di negeri Kajang itu, dan beliau sendiri ketuanya, sampai beliau wafat. Beliau adalah salah seorang pelopor pergerakan Islam di Sulawesi Selatan.
Ketika kami bertanya kepada beliau, dari mana didapatnya kepala tongkat itu, beliau katakan bahwa setelah saya selidiki benar-benar, ternyata hadiah kepada nenek moyang saya dari bangsa Portugis, ketika bangsa itu datang ke Sulawesi pada abad keenam belas.
Namun, berhasil juga perbuatan yang berani dari Kara Eng Yahya itu. Sebab, raja-raja di negeri yang lain telah berani pula membuka pusaka-pusaka yang karut, yang sudah persis sebagai berhala itu. Di antaranya ialah Kara Eng Sultan Daeng Raja, di Gantaran dekat Bonthain. Maka, sebelum tahun 1940 “gaokang-gaokang" itu macam-macam; ada kepala tongkat, ada sebilah keris, ada tanduk rusa sepotong, ada buluh seruas dan sebagainya. Dan, sebagian terbesar dari raja-raja, Kara Eng-Kara Eng dan Maradia-Maradia, dan Salewatang di Bugis Makassar itu menjadilah penganut paham tauhid. Alhamdulillah!
Nyatalah bahwa semangat ayat ini yang memengaruhi jiwa Kara Eng Yahya Daeng Magassing, yang membangkitkan beliau membuka bungkusan itu.
Satu cerita lain ialah yang terjadi pada ayah penulis tafsir ini sendiri pada kira-kira tahun 1907, sebelum si penulis lahir ke dunia.
Beliau membaca Mi'raj Nabi Muhammad ke negeri Tanjung Sani. Pada masa itu termasyhurlah bahwa di dalam negeri itu amat banyak ahli sihir atau dukun dan disebut juga datu, yang sihir mereka sangat serkas.
Kalau mereka kenakan sihir itu kepada seseorang, baik bernama tuju atau gayung atau tinggam, orang bisa mati sebentar itu juga. Demikian kepercayaan orang. Ada gayung bernama: “Tangan terhela mayat pun tinggal." Ada pula yang bernama, “Secabik kafan," atau “si untung sudah." Orang sudah memberi nasihat kepada beliau supaya berhati-hati menjaga diri kalau datang ke Tanjung Sani. Beliau pun datang memenuhi panggilan orang. Ketika itu beliau baru saja membuka pengajian mengharamkan rabitah atau beberapa perbuatan suluk yang berlawanan dengan agama, sehingga negeri menjadi ribut, ada yang menerima dan banyak yang marah karena pengajian mereka dibatalkan. Sebab, itu, ketika beliau diundang itu, pihak yang marah melepaskan dendam kepada beliau. Lantai yang akan beliau lalui, digelucaikan dari papannya, sehingga beliau terjatuh tergelincir dan lulus ke bawah surau. Beliau mengerti bahwa beliau telah dianiaya. Beliau mengakui bahwa kakinya sampai luka, syukur tidak ada yang patah. Dengan gagah beraninya beliau naik kembali ke surau dengan sarungnya yang telah kotor kena tanah; lalu beliau buka bajunya, sebab beliau tahu bahwa di antara yang hadir itu ada yang disebut orang datu atau dukun sakti tadi. Beliau buka baju dan beliau berkata, “Di sini saya lihat ada beberapa orang yang ahli obat! Yang hebat ilmunya! Saya penat karena terjatuh. Sebab itu, saya harap kalau ada di antara tuan-tuan yang bisa melekatkan ilmunya kepada saya, cobakanlah!"
Semua orang terdiam.
Beliau berkata kepada kami beberapa tahun kemudian, bahwa ketika dia telah terjatuh itu tidak ada orang yang terkejut atau bersegera datang menolong, padahal dia datang ke sana atas undangan. Sudah disengaja rupanya!
Entah ada orang yang mencobakan ilmu sihir kepada beliau pada malam itu, tidaklah beliau tahu. Cuma beliau mengatakan tidak ada perasaan dan perubahan apa-apa pada dirinya. Akan tetapi, salah seorang muridnya, bernama Muhammad Maksum tidak berapa lama sesudah kejadian itu mati diracun orang. Kata setengah orang pula, mati karena disihir.
Hal ini beliau kisahkan kepada kami kira-kira 40 tahun yang lalu, sesudah saya menceritakan cerita lucu tentang Kara Eng Yahya itu kepada beliau sekembali saya dari Makassar (tahun 1933). Lalu, sebagai anak yang nakal dan termanja saya bertanya, ‘Apakah tidak ada bacaan-bacaan Buya pada waktu itu untuk penangkal bahaya?" Lalu beliau jawab, ‘Ada! Bacaan yang Buya pegang ialah ayat ini dan sadar akan artinya, yaitu:
Ayat 196
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah, yang telah menurunkan kitab dan Dialah yang melindungi orang-orang yang shalih."
Artinya, bahwa yang beliau baca ialah ayat yang tengah kita tafsirkan ini, sebagai lanjutan dari ayat yang sebelumnya.
Sebagai orang yang bertauhid, Rasulullah ﷺ telah mempunyai pendirian yang teguh, bahwasanya berhala atau apa jua pun yang dipuja selain Allah, tidaklah memberi bekas, tidak memberi manfaat dan mendatangkan mudharat. Sebab itu, beliau yakin pula, bagaimana pun beliau menentang pemuja berhala dan berhalanya sendiri, tidak sebuah pun yang akan dapat bertindak, sebab semuanya tidak berkuasa. Kakinya terpaku tak dapat melangkah, matanya terbelalak, tetapi tidak dapat melihat, telinganya seluas tampian, tetapi tidak mendengar.
Oleh sebab keyakinannya telah bulat kepada Allah maka yang lain sudah dianggap tidak ada lagi. Ruh yang telah dekat kepada Allah, tidaklah ragu memandang ketiadaan yang lain. Sebab itu, lanjutan ayat ialah bahwa tempat aku berlindung hanya Allah. Bukan saja Allah dianggap sebagai tempat berlindung, bahkan Dia pun mengirimkan kitab pula untuk tuntunan hidup. Dan, Dia pun menjamin, memelihara dan melindungi orang-orang yang shalih, orang-orang yang berbuat baik. Oleh sebab itu, keberanian menentang berhala, bukanlah keberanian membabi buta, bukan pula karena sombong dan takabur, tetapi keberanian karena ada pedoman. Di ayat ini bertemu tiga perlengkapan ruhani. Pertama, yakin bahwa tempat berlindung hanya Allah. Kedua, yakin kepada tuntunan yang diberikan Allah, sebagai yang kita di zaman modern ini biasa menyebutnya “konsepsi" ada di dalam tangan, yaitu Al-Qur'an. Ketiga, yakin pula bahwa selama kitab yang diturunkan Allah itu diamalkan dengan sebaik-baiknya, tidak satu pun bahaya yang akan menimpa di dalam alam ini, sebab Allah selalu melindungi.
Oleh sebab itu, dapatlah dipahamkan bahwa ayat ini bukanlah diambil akan jadi mantra, meminta khasiat bacaannya. Yang patut dijadikan pegangan hidup, ialah isi ayat. Asal kita beramal baik, menjadi orang shalih, berpegang teguh dengan Kitab Allah, Allah pasti melindungi. Dan, tidak merasa takut akan bahaya, walau mati sekalipun, karena mati dalam pendirian yang demikian, adalah mati syahid.
Itu pulalah sebabnya maksud ayah penulis menyatakan bahwa yang beliau baca ialah ayat tersebut di dalam menghadapi orang-orang yang ditakuti orang karena mereka disebut datu atau dukun itu. Barulah benda, berhala, monyet, beringin, batu besar, keris, dukun atau datu memberi bahaya; kalau sekiranya jiwa orang yang menghadapinya bimbang atau memang tauhid tidak mendalam. Seumpama orang yang takut berjalan di dekat kuburan, dia menampak seakan-akan ada hantu yang mengejarnya dari kuburan itu. Kalau dia berjiwa tauhid, dia berdiri dengan tenang dan dia perhatikan dengan saksama, akan ternyata bahwa yang disangkanya hantu itu lain tidak hanyalah khayat perasaannya sendiri karena takutnya.
Padahal, menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, hantu-hantu itu lebih lagi takutnya kepada manusia, daripada manusia menakuti hantu. Lebih-lebih manusia yang mempunyai kepribadian.
Rasa takut adalah salah satu naluri manusia yang berpokok dari keinginan memelihara hidup. Oleh sebab itu dia telah termasuk naluri, tidaklah dia dapat dihapuskan dari dalam diri. Akan tetapi, dengan ajaran tauhid rasa takut itu disalurkan kepada Yang Satu, yaitu Allah.
Setelah Mekah ditaklukkan, Rasuliailah ﷺ mengeluarkan perintah agar setiap orang memecah atau menghancurleburkan setiap berhala yang masih ada dalam rumah orang masing-masing. Beliau pun memerintahkan sekaligus meruntuh dan menghancurkan berhala yang masih bersandaran di Kasbah. Laata dan Manaata, semuanya dia hancurkan bersama 360 berhala yang lain. Untuk meng
hancurkan berhala ‘Uzza yang besar di dekat kota Mekah, Nabi ﷺ memerintahkan Khalid bin Walid dengan 30 orang tentara berkuda pada lima hari terakhir dari bulan Ramadhan. Setelah dia sampai ke tempat berhala itu, segeralah dia runtuhkan. Dan, setelah selesai tugasnya, dia pun kembali kepada Rasulullah ﷺ. Dan, Rasulullah ﷺ pun bertanya, “Sudahkah engkau runtuhkan?"
Khalid menjawab, “Sudah, ya, Rasulullah!"
“Adakah engkau melihat sesuatu?" tanya Rasulullah ﷺ
“Tidak ada," jawab Khalid.
“Kalau begitu pekerjaanmu belumlah selesai. Segeralah engkau kembali ke sana dan hancurkanlah berhala itu!"
Dengan gemas dan marahnya Khalid kembali ke tempat itu. Dia masuk kembali ke dalam rumah berhala itu. Tiba-tiba keluarlah seorang perempuan tua, hitam warna kulitnya, dan kusut tergerai rambutnya. Itulah juru kunci rumah berhala tersebut. Juru kunci itu menjerit-jerit ketakutan. Khalid segera menyentak pedangnya lalu dipancungnya perempuan tua hitam itu, sehingga terpotong dua. Setelah itu Khalid kembali kepada Rasulullah ﷺ, menceritakan apa yang telah kejadian. Maka, ber-sabdalah Rasulullah ﷺ, “Memang itulah dia yang sebenarnya ‘Uzza. Dia telah putus asa buat disembah lagi di negeri ini."
Inilah kisah menghancurkan berhala ‘Uzza yang tersebut di dalam sejarah. Bagaimana kalau Khalid takut melihat hantu penghuni berhala itu, yang merupakan dirinya sebagai perempuan tua hitam?
Tentu berhala itu masih akan dipandang angker oleh pemujanya. Akan tetapi, Khalid bin Walid bukan Khalid kalau dia takut kepada hantu itu, terus dipancungnya, kudung dua!
Bersamaan dengan perjalanan Khalid itu Rasulullah ﷺ mengutus Amr bin ‘Ash pula untuk menghancurkan sebuah berhala yang dipuja oleh suku Huzail. Setelah Amr sampai ke tempat itu bertemu dia dengan juru kuncinya.
Juru kunci itu bertanya, “Apa maksud engkau?" Amr menjawab, ‘Aku diperintah Rasulullah ﷺ menghancurkan berhala ini!"
Juru kunci menjawab, “Engkau tidak akan sanggup berbuat begitu!" Jawab Amr, “Apa sebab?"
“Berhala itu akan mempertahankan diri," jawab juru kunci.
Lalu, dengan murka Amr menjawab, “Sampai kini engkau masih saja percaya kepada yang karut dan batil itu. Bagaimana dia akan dapat mempertahankan dirinya? Padahal dia tidak mendengar dan tidak melihat?"
Berkata Amr ketika mencerita kejadian itu, “Lalu saya mendekat kepada berhala itu lalu segera saya hancurkan. Setelah itu saya suruh pula kawan-kawan saya menghancurkan rumah pemujaan itu sampai rata dengan tanah. Tidak ada terdapat apa-apa. Maka, saya berkata kepada juru kunci itu, “Sekarang bagaimana engkau lihat? Apa engkau masih percaya?"
Juru kunci menjawab, “Mulai hari ini saya menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada Allah." (aslamtu iiliah)
Setelah itu Rasulullah ﷺ mengutus Sa'ad bin Zaid al-Asyhali pergi meruntuhkan berhala Manaata, berdiri di satu tempat bernama Musyallal, di dekat kampung Qadid. Pemujanya di zaman lampau sebelum Islam ialah Aus dan Khazraj dan Bani Ghassan dan lain-lain. Sa'ad datang ke sana membawa 20 orang tentara berkuda. Sampai di sana bertemu pula dengan juru kunci. Dia pun bertanya, “Apa maksud kalian?"
Sa'ad menjawab, “Hendak meruntuhkan berhala Manaata!"
“Silakan!" kata juru kunci itu.
Dengan tidak ragu-ragu sedikit pun Sa'ad masuk ke dalam rumah pemujaan. Sampai di dalam, tiba-tiba muncul pulalah seorang perempuan tua, hitam, bertelanjang bulat dan rambutnya tergerai lepas, bersorak-sorak, memekik-mekik, dan menampar-nampar dadanya. Maka, berkatalah juru kunci tadi kepada perempuan itu, “Hai, Manaata! Pertahankan dirimu. Orang yang durhaka kepadamu mencoba hendak mengganggumu!"
Perempuan tua yang menakutkan itu tampil hendak menggumuli Sa'ad, tetapi sekali pancung saja, dia pun rubuh. Lalu, Sa'ad mempergunakan kampaknya menghancurkan berhala itu, sehingga menjadi tumpukan puing dan tidak ada apa-apa.
Catatan sejarah tidak menyebut apakah perempuan itu manusia biasa yang dianggap sebagai Manaata? Atau orang-orang gila rawan yang datang ke sana lalu diangkat oleh pe-mujanya sebagai penjelmaan Manaata, sebagai pada berhala ‘Uzza tadi? Atau memang ada hantu yang menjelmakan diri dan menimbulkan takut orang yang lemah pribadi?
Kesemuanya itu mungkin saja. Namun, apa pun ancaman, entah hantu perburu, si gulambai, hantu haru-haru dan sebagainya, tetapi bagi orang-orang beriman sebagai Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Sa'ad bin Zakl al-Asyhali, tidak sebuah juga yang mereka takuti dan mereka tidak gentar menghadapinya. Semua runtuh hancur karena kekuatan tauhid.14.
Tidak ada tempat takutnya seorang Mukmin, melainkan Allah!
Ayat 197
“Dan, mereka yang kamu setu selain dari Dia, tidaklah mereka sanggup menolong kamu; dan tidak pula menolong dini mereka sendini"
Kembali lagi diulangkan tentang kebodohan menyembah dan memuja kepada yang lain itu, yang tadinya telah dikatakan tidak berkaki, tidak bertangan, tidak bermata dan tidak bertelinga. Taruhlah dia berkaki, bertangan, bermata dan bertelinga, tetapi dia tidaklah berdaya apa-apa dan dia tidak dapat menolong, sebab dia hanya benda belaka. Bah kan menolong diri mereka sendiripun, untuk menghindar dari satu bahaya, mereka pun tidak ada daya. Di ayat yang sebelumnya tadi dikatakan, pendirian yang tegas dari Nabi ﷺ, yaitu bahwa pelindung beliau ialah Allah, yaitu Allah yang menurunkan kitab. Maka, Allah menjamin memberikan perlindungan kepada orang yang shalih. Di ayat 197 ini dikatakan lagi bahwa makhluk tidak berdaya. Sekarang ke mana kita hendak pergi, meminta tolong kepada berhala atau sesama manusiakah atau langsung meminta pertolongan kepada Allah?
Lihat Zaadul Ma'ad, jilid 1 oleh Ibnul Qayyim.
Kalau ada orang berkata bahwa ayat 197 sudah memberikan ketegasan bahwa memang ada wali Allah. Orang-orang yang istimewa di sisi Allah karena shalihnya. Sebab itu, kami meminta dengan perantaraannya!
Dengan ayat ini jelaslah kebodohan mereka. Allah dan Rasul membuka pintu bagi semua orang, supaya menjadi wali Allah langsung sendiri mendekati Allah, sedang mereka masih saja mencari perlindungan yang lain. Mereka mengaku memang ada waliullah, tetapi mereka tidak berniat sendiri-sendiri hendak menjadi waiiyullah pula. Allah sendiri yang memanggil, marilah menjadi wali-Ku, tetapi mereka enggan memasuki pintu yang terbuka itu, melainkan hendak memakai perantaraan juga. Padahal, tempat meminta dari orang yang dipandang wali itu tidaklah ada yang lain, hanya Allah juga. Oleh sebab itu musyrik adalah satu kejahilan.
Ayat 198
“Dan, jika kamu seru mereka kepada petunjuk, tidaklah mereka mau mendengarkan,"
Pangkal ayat ini menyatakan betapa sulit menghadapi orang yang telah berurat-berakar kemusyrikan di dalam d iri mereka. M ereka tidak dapat diajak berunding untuk menyadarkan akal mereka yang telah ditutupi oleh ta'ashub, keras kepala mempertahankan pendirian yang salah. Mereka tidak mau mendengarkan, sebab
jiwa mereka telah ditutup oleh pengaruh hawa nafsu. Sebagaimana keadaan kaum Quraisy ketika berhala mereka dicela sedemikian rupa, tidaklah mereka segera meninjau kesalahan pendirian mereka, melainkan bersitegang urat leher mempertahankan pendirian.
“Dan engkau lihatlah mereka itu memandang kepada engkau, padahal mereka tidaklah melihat."
Alangkah tepatnya ungkapan ini. Allah memberi peringatan kepada Rasul-Nya bahwa mereka melihat kepada engkau dengan mata, tetapi hati mereka sendiri tidak ada perhatian kepada engkau. Sehingga bila berpandangan mata, sekali lihat saja sudah diketahui bahwa di dalam jiwa tidak ada kecocokan.
Inilah satu peringatan ayat yang boleh diperdalam lagi, tentang bagaimana timbulnya kontak jiwa karena pertemuan pandangan mata. Keajaiban takdir Allah pada kejadian manusia dapat kita perhatikan pada mata. Mata orang lebih jujur daripada hatinya, tetapi pada matanya selalu terkilas apa yang tersimpan dalam hati itu. Kalau bertemu pandangan mata di antara dua orang yang sama jujurnya walaupun baru satu kali, akan timbullah kecocokan jiwa. Sebab itu, jika bertemu orang yang berjiwa tauhid dengan orang yang berjiwa jujur, mereka tidak akan berpisah lagi selama hayat dikandung badan, walaupun bertemu hanya sekali-sekali. Sebaliknya kalau yang satu bertauhid dan yang satu lagi tidak tentu rebah-tegak, yang dalam istilah sekarang disebut plintat-piintut walaupun bertemu tiap hari, tidaklah akan terjadi kecocokan.
Khadijah yang agung, dalam usia 40 tahun, lagi kaya raya telah meninggal suaminya yang pertama, dan dia belum hendak kawin lagi, meskipun banyak orang yang telah meminang. Akan tetapi, setelah sekali saja dia melihat Nabi kita Muhammad ﷺ dalam usia 25 tahun, lagi miskin pula maka dia sendirilah yang meminang beliau buat menjadi suaminya.
Abu Bakar menjadi pengikut setia dari Rasulullah ﷺ, karena pertemuan mata pada pertemuan pertama dalam permulaan dakwah. Di zaman kita ini terkenallah bahwa perpaduan jiwa Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Mohammad Abduh telah terjadi sejak pertemuan yang pertama, ketika Sayyid Jamaluddin datang mengunjungi Mesir.
Ayat ini menjadi pelajaran penting bagi para mubaligh penyebar dakwah Islam, tentang betapa pentingnya kejujuran dan kebersihan hati yang akan membayang membawa sinar kepada mata, untuk mencari kontak dengan sekalian mata yang di dalam jiwanya ada kejujuran.
Ayat 199
“Ambillah cara memaafkan dan suruhlah berbuat yang ma'ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
Ini suatu pedoman perjuangan yang diperingatkan Allah kepada Rasul-Nya. Tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh di dalam menghadapi pekerjaan besar menegakkan dakwah kepada umat manusia. Pertama: ambillah cara memaafkan.
Dari berbagai macam tafsir, satu kita pilih, yaitu tafsir daripada Hisyam bin Urwah bin Zubair, yang diterimanya dari pamannya, Abdullah bin Zubair. Bahwa, arti ‘afwa di sini ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Tafsir seperti ini terdapat juga daripada Ummul Mukminin Siti Alsyah.
Tegasnya, menurut penafsiran ini, diakui-lah bahwa tiap-tiap manusia itu betapa pun baik hatinya dan shalih orangnya, tetapi pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan. Inilah yang diungkapkan oleh sebuah syair Arab:
Kalau engkau tidak sabar berkali-kali karena melihat kumis orang kotor.
Kesudahannya engkau akan haus terus karena di manakah manusia yang Jcumisnya bersih sama sekali ?
Diumpamakan orang terpaksa berganti-ganti minum dari satu cangkir di dalam perjalanan beramal-ramai, padahal semua sama-sama haus. Tiap-tiap kumis orang-orang yang minum itu tentu ada berdebu. Maka, kalau ada orang yang tidak mau minum karena melihat kumis temannya berdebu, kesudahannya dia akan tetap haus saja, sebab tidak ada kumis yang tidak berdebu.
Dalam pergaulan hidup yang luas atau dalam sekumpulan manusia yang sama cita-cita dan terdapat persamaan paham, berkumpullah banyak manusia dengan masing-masing mempunyai kelebihan, tetapi masing-masing pun mempunyai segi-segi yang lemah, yang kadang-kadang membosankan dan menyinggung perasaan. Hal inilah yang diperingatkan Allah terlebih dahulu kepada Rasul-Nya, bahwa yang demikian akan terdapat pada pengikut-pengikutnya yang beribu-ribu banyaknya itu. Maka, kekurangan-kekurangan pada perangai yang demikian itu, yang tidak mengenai dasar perjuangan, hendaklah memperbanyak maaf. Kalau dalam hal yang seperti ini terlalu bersikap keras, tidaklah ada teman itu yang bersih sama sekali dari cacat.
Kemudian laksanakanlah yang kedua: dan suruhlah berbuat yang ma'ruf.
Di dalam ayat ini ditulis ‘urfi, yang satu artinya dengan ma'ruf, yaitu pekerjaan yang diakui oleh orang banyak atau pendapat umum, bahwa pekerjaan itu adalah baik. Berkali-kali telah kita tafsirkan bahwa kalimat ma'ruf artinya ialah yang dikenal baik; demikian juga kalimat ‘uruf Dikenal baik oleh manusia, dipuji, disetujui, dan tidak mendapat bantahan. Lantaran itu, segala pekerjaan dan usaha yang akan mendatangkan kebaikan bagi diri pribadi dan segi pergaulan hidup bersama, termasuklah dalam lingkungan yang ma'ruf. Sebab itu, daerahnya luas sekali. Nabi Muhammad ﷺ disuruh memerintahkan kepada seluruh manusia atau khususnya kepada semua orang yang beriman, supaya berlomba membuat yang ma'ruf maka dengan demikian cacat dan kekurangan yang ada pada tiap-tiap orang, hendaklah diimbanginya dengan banyak-banyak membuat yang ma'ruf, sehingga masyarakat Islam itu menjadi masyarakat yang lebih menghadapkan perhatiannya kepada yang ma'ruf, berjiwa besar. Tidak hanya cela-mencela di antara satu sama lain, mencari cacat orang, sehingga pekerjaan yang ma'ruf terhambat dari sebab membicarakan kekurangan orang lain.
Kemudian datanglah perintah yang ketiga: dan berpalinglah dari orang-orangyang bodoh.
Maksud berpaling dari orang-orang yang bodoh, ialah karena ukuran yang dipakai oleh orang yang bodoh itu adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal usul yang hanya timbul daripada pikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Mereka hanya memperturutkan perasaan hati, bukan pertimbangan akal. Mereka akan mengemukakan beberapa teori, yang menurut mereka mudah, padahal sukar dijalankan. Itulah kalau orang-orang bodoh itu terdiri daripada pengikut sendiri. Apatah lagi lebih berbahaya kalau orang bodoh itu datang dari pihak musuh. Lidah mereka tidak terkunci, perkataan hanya asal keluar saja. Kadang-kadang sangat menyakitkan hati. Orang-orang bodoh, bisa diperkuda-kuda atau dipergunakan oleh pihak lawan buat mengerjakan pekerjaan yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak akan berusaha menuntut dan mencari kebenaran kalau kebenaran itu hilang. Mereka tidak mengena! apa yang dinamai janji. Dan, mereka tidak mengenal apa yang dinamai kehormatan diri. Mereka mudah menuduh orang yang setia menjadi pengkhianat dan menjunjung tinggi orang jahat karena orang jahat itu dapat memenuhi nafsu mereka. Maka, arti berpaling di sini ialah agar kita berhati-hati dengan bahaya orang-orang yang bodoh, orang yang berukuran singkat itu.
Inilah tiga pokok ajaran yang diberikan Allah kepada Rasul ﷺ di dalam memimpin umatnya, menyatu-padukan pengikutnya, menangkis serangan dan menolak segala bala dan bencana, yang bagi kita, kaum yang ingin menjawab waris dari Rasul akan menjadi pedoman pula buat selama-lamanya.
Berkata Sayyidina Ja'far ash-Shadiq r.a., “Tidak terdapat di dalam Al-Qur'an sebuah ayat yang menghimpun budi yang luhur melebihi ini. Karena akhlak itu dipandang dari segi kekuatan insaniyah terdapat tiga macam. Pertama mengenai akal, kedua mengenai syahwat, ketiga mengenai kebengisan. Yang mengenai akal ialah kebijaksanaan, yaitu menyuruh berbuat yang ma'ruf. Yang mengenai syahwat ialah iffah, menahan hati dan memberi maaf. Sifat bengis ialah syaja'ah, keberanian, yaitu berpaling dari orang yang bodoh-bodoh!"
Dan, kata kita, “Apabila seorang yang merasa dirinya bertanggung jawab dalam mengendalikan umat atau bangsa, dapat memegang teguh ketiga pedoman ini, akan jayatah pimpinannya terhadap umat."