Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan tidak
وَجَدۡنَا
Kami mendapati
لِأَكۡثَرِهِم
bagi kebanyakan mereka
مِّنۡ
dari
عَهۡدٖۖ
janji
وَإِن
dan sesungguhnya
وَجَدۡنَآ
Kami mendapati
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
لَفَٰسِقِينَ
sungguh orang-orang fasik
وَمَا
dan tidak
وَجَدۡنَا
Kami mendapati
لِأَكۡثَرِهِم
bagi kebanyakan mereka
مِّنۡ
dari
عَهۡدٖۖ
janji
وَإِن
dan sesungguhnya
وَجَدۡنَآ
Kami mendapati
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
لَفَٰسِقِينَ
sungguh orang-orang fasik
Terjemahan
Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Tafsir
(Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka) maksudnya kebanyakan umat manusia itu (memenuhi janji) menunaikan janji mereka tatkala tiba saat pemenuhannya (Sesungguhnya) ditakhfifkan dari anna (Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik).
Tafsir Surat Al-A'raf: 101-102
Itulah negeri-negeri (yang telah Kami binasakan), Kami ceritakan sebagian kisahnya kepadamu. Dan sesungguhnya rasul-rasul mereka benar-benar telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya. Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang kafir.
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ayat 101
Allah menceritakan berita kaum Nuh, Hud, Saleh, Luth, dan Syu'aib kepada Nabi-Nya ﷺ. Dia pun menceritakan pembinasaan terhadap orang-orang kafir dan penyelamatan yang Dia lakukan terhadap orang-orang yang beriman, dan Allah ﷻ telah memberikan alasan-Nya kepada mereka bahwa Dia telah menjelaskan kepada mereka perkara yang hak melalui hujah-hujah yang disampaikan oleh para rasul.
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Itulah negeri-negeri (yang telah Kami binasakan).” (Al-A'raf: 101)
Wahai Muhammad.
“Kami ceritakan sebagian kisahnya kepadamu.” (Al-A'raf: 101) Yakni kisah-kisah mereka
“Dan sesungguhnya rasul-rasul mereka benar-benar telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata.” (Al-A'raf: 101)
Yaitu hujjah-hujjah yang membuktikan kebenaran mereka dalam semua yang mereka sampaikan kepada kaumnya masing-masing, seperti juga yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
“Itulah beberapa berita tentang negeri-negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad). Di antara negeri-negeri itu sebagian masih ada bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah. Dan Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Hud: 100-101)
Mengenai firman Allah ﷻ:
“Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya.” (Al-A'raf: 101)
Huruf ba pada ayat ini mengandung makna sababiyah (kausalita). Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak beriman kepada apa yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka, karena kedustaan mereka terhadap kebenaran sejak pertama kali disampaikan kepada mereka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Atiyyah rahimahullah. Dan ini merupakan pendapat yang baik seperti halnya firman Allah:
“Dan apakah yang memberitahukan kepada kalian bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman. Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya.” (Al-An'am: 109-110), hingga akhir ayat.
Ayat 102
Karena itulah dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang kafir. Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka.” (Al-A'raf: 101-102)
Yakni kebanyakan dari umat-umat terdahulu.
“Memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-A'raf: 102)
Artinya sesungguhnya Kami menjumpai kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik yang menyimpang dari jalan ketaatan dan keteladanan serta menyimpang dari janji yang telah mereka ambil, yaitu janji yang membuat mereka diciptakan dan telah difitrahkan di dalam diri mereka.
Janji itu telah diambil dari mereka sejak mereka masih berada di dalam tulang sulbi, yaitu bahwa Tuhan dan Penguasa mereka adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Lalu mereka mengikrarkan janji itu dan bersaksi terhadap diri mereka sendiri mengenainya, tetapi mereka melanggar janji itu dan meninggalkannya di belakang mereka. Kemudian mereka menyembah selain Allah tanpa ada dalil dan bukti yang membenarkannya.
Baik ditinjau dari segi rasio maupun syara' dan menurut fitrah yang sehat pun hal tersebut jelas ditentang. Lalu datanglah para rasul yang mulia, mulai dari yang pertama hingga yang terakhir, semuanya melarang hal tersebut, seperti yang disebutkan di dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Allah ﷻ telah berfirman dalam hadits qudsi: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang benar), kemudian datanglah setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya, dan setan mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.”
Di dalam kitab Shahihain disebutkan: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” Allah ﷻ telah berfirman di dalam ayat lain, yaitu:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku’!" (Al-Anbiya: 25)
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, ‘Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah’?" (Az-Zukhruf: 45)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu." (An-Nahl:36)
Dan ayat-ayat lainnya yang semakna.
Tetapi ada yang mengemukakan tafsirnya sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya.” (Al-A'raf: 101)
Sebagaimana Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal itu telah diketahui oleh Allah ﷻ sejak hari mereka mengikrarkan janji kepada-Nya. Dengan kata lain, mereka tidak akan beriman karena sikap mereka yang demikian itu telah diketahui oleh Allah sejak zaman azali.
Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b, dari Anas, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir. As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Tetapi mereka tidak beriman (juga) kepada apa yang telah mereka dustakan sebelumnya.” (Al-A'raf: 101)
Menurutnya hal tersebut ialah pada hari ketika Allah mengambil janji dari mereka, lalu mereka beriman secara paksa. Sedangkan menurut Mujahid, ayat ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
“Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali.” (Al-An' am: 28), hingga akhir ayat.
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji sedikit pun, berupa komitmen terhadap keimanan yang Kami pesankan kepada mereka melalui para rasul dan nalar yang sehat (Lihat: Surah alA'ra'f/7: 172). Begitu juga dengan janji-janji yang lain. Sebaliknya yang Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang benar-benar fasik, menyimpang dan keluar dari ketaatan kepada Allah. Setelah mereka, yaitu para rasul tersebut, kemudian Kami utus Musa dengan membawa bukti-bukti yang menunjukkan kebenarannya dalam menyampaikan wahyu Kami, kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu dengan sikap zhalim dan takabbur mereka mengingkari buktibukti itudan melecehkannya serta menghalangi orang lain untuk mempercayainya. Karena itulah mereka, akhirnya, berhak mendapat azab Allah. Maka perhatikanlah wahai Nabi Muhammad dan siapa pun yang mau menggunakan akalnya, bagaimana kesudahan dan akhir perjalanan orang-orang yang berbuat kerusakan, antara lain Firaun yang Allah tenggelamkan di Laut Merah, dengan mendustakan kebenaran dari Allah dan menghalangi-halangi orang dari jalan-Nya.
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah mendapati kebanyakan umat-umat terdahulu tidak suka menepati janji, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.
Mengenai "janji" yang dimaksud dalam ayat ini, ada beberapa penafsiran para ulama. Di antaranya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan janji tersebut ialah fitrah asli yang diberikan Allah kepada setiap insan, yaitu kecenderungan yang mendorong manusia untuk kembali kepada Tuhannya pada waktu ia menghadapi kesulitan; atau bersyukur kepada-Nya pada waktu terhindar dari kesulitan atau memperoleh kesenangan hidup. Akan tetapi mereka tetap dalam keingkaran dan kemaksiatan. Sebaliknya, kenikmatan dan kelapangan hidup tidak pula mendorong mereka untuk bersyukur kepada Allah, bahkan mereka tidak mengakui nikmat tersebut sebagai karunia dan rahmat daripada-Nya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "janji" dalam ayat tersebut ialah sifat yang asli atau fitrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia, yaitu kecenderungan kepada kepercayaan tauhid, iman kepada kemahaesaan-Nya dan hanya menyembah kepada-Nya, serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun juga. Akan tetapi kenyataannya, mereka telah meninggalkan fitrah, dan melemparkan kepercayaan tauhid, bahkan mempersekutukan Allah, tanpa menghiraukan seruan-seruan para rasul serta keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang dikemukakan. Mereka hanya menuruti kehendak hawa nafsu, serta bisikan setan belaka, bertentangan dengan fitrahnya yang suci. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
Allah ﷻ berfirman: "Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku beragama tauhid; kemudian datanglah setan lalu memalingkan mereka dari agama semula, serta mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah dihalalkan bagi mereka". (Riwayat Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Rasulullaah ﷺ bersabda:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian ibu-bapaknyalah yang menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi". (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian jelas apabila manusia telah menyimpang dari kepercayaan tauhid, maka hal itu adalah disebabkan pengaruh dari luar, bukan fitrah yang dibawa dari kandungan ibunya, yang dikaruniakan Allah pada setiap insan.
Adapun sifat fasik yang disebut dalam ayat ini ialah seseorang melakukan berbagai maksiat secara berulang-ulang, tanpa menghiraukan nasihat dan ajaran agama serta hukum dan ancamannya.
Perlu diperhatikan bahwa firman Allah dalam ayat ini mengatakan bahwa kebanyakan mereka itu fasik. Ini memberi pengertian bahwa umat-umat yang terdahulu itu tidak semuanya fasik dan meninggalkan kepercayaan tauhid yang merupakan fitrah suci yang dikaruniakan Allah kepada setiap hamba-Nya. Bahkan sebagian dari mereka tetap dalam fitrah sucinya, sehingga kedatangan para rasul yang membawa agama tauhid segera mereka sambut dengan baik, dan mereka senantiasa menjauhkan diri dari segala macam kemaksiatan dan kemusyrikan. Mereka inilah yang senantiasa mendampingi para rasul dalam menghadapi ancaman dan gangguan dari orang-orang kafir, dan mereka pulalah yang selalu diselamatkan Allah bersama Rasul-Nya dari azab dan malapetaka yang ditimpakan kepada kaum yang fasik itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TIMBUL, BERKEMBANG, DAN HANCURNYA SUATU UMAT
Ayat 94
“Dan, tidaklah Kami utus seorang nabi pun pada suatu negeri melainkan Kami kenakan kepada penduduknya kesusahan dan kemelaratan, supaya mereka mau merendahkan diri."
Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya kedatangan seorang rasul ke dalam suatu negeri, sekali-kali bukanlah hendak membawa yang enak-enak saja. Dia mencetuskan pikiran perubahan baru. Dia menentang jahiliyyah dan syirik.
Oleh sebab itu, pasti terjadi keguncangan, pertentangan yang baru dengan yang lama. Kedua belah pihak, baikyang menentang ajaran rasul, atau pun yang telah beriman kepadanya, pastilah menghadapi ketegangan dan keguncangan sehingga timbullah kesusahan dan kemelaratan. Kesusahan karena yang kufur mempertahankan kekufuran dengan mati-matian dan yang beriman menegakkan iman dengan mati-matian pula sehingga kadang-kadang terjadi perkelahian bahkan sampai kepada peperangan. Kemelaratan, termasuk kemiskinan karena masyarakat yang lama mulai guncang. Di ujung ayat diterangkan bahwa kesusahan dan kemelaratan ini hendaknya menyebabkan mereka itu, umat tadi, sama merendahkan diri dan insaf lalu mendekatkan diri kepada Allah. Karena memang susah dan melarat itu dapat mendidik jiwa manusia menjadi kebal dan bertambah mendalam imannya.
Ayat ini menjadi peringatan yang khusus kepada umat yang telah percaya kepada Muhammad dalam masa permulaan dakwah. Pengikut-pengikut yang mula-mula yang disebut as-Sabiqunai awwalun, sampai menderita berbagai macam kesusahan, seumpama Yasir dan ibunya, Bilal dan lain-lain, sampai ada yang berpindah dua kali rombongan ke Habsyi dan sampai akhirnya berpindah pula ke Madinah. Dan, sampai di Madinah tidak berhenti berperang karena selalu hendak ditindas dan dihambat pertumbuhan agama itu oleh musuh. Boleh dikatakan kesusahan dan kemelaratan itu tidak henti-hentinya selama tiga belas tahun. Tiga tahun di Mekah dan sepuluh tahun di Madinah. Orang yang insaf, kesusahan dan kemelaratan itu akan menambah “gemblengan" iman mereka, sedang orang yang kafir akan bertambah kafir juga,
Ayat 95
“Kemudian, Kami gantikanlah kebaikan itu di tempat keburukan sehingga mereka berkembang-biak."
Artinya, sesudah menempuh berbagai kesulitan, kesusahan dan kemelaratan, keadaan akan kembali pulih, yang buruk akan hilang berganti dengan baik. Umat yang telah menerima seruan Nabi akhirnya menang, kesusahan tidak ada lagi, musuh-musuh sudah dapat dikalahkan, dan pengikut rasul-rasul tadi telah dapat hidup aman, negeri telah subur, perniagaan telah lancar, dan perasaan telah gembira sehingga mereka sempat berkembang-biak, dan anak cucu meneruskan hidup, menerima pusaka suka-duka nenek moyang. “Dan mereka berkata,—yaitu anak cucu yang datang kemudian—'Sesungguhnya kemelaratan dan kesenangan telah menyentuh bapak-bapak kami."‘ Artinya, orang tua-tua dahulu yang mencencang, melatih negeri itu, yang berjuang bersama-sama rasul-rasul menegakkan iman, sudah tidak ada lagi. Maka, datanglah anak cucu atau generasi demi generasi yang telah hidup senang menerima hasil usaha nenek moyang. Mereka hanya mengenangkan sejarah nenek moyang saja bahwa nenek moyang itu pernah susah dan pernah senang. Duduk tegak mereka mengaji sejarah orang dahulu, tetapi tidak berusaha lagi buat memelihara dan melanjutkan. Mereka mengeluh apabila menceritakan perjuangan nenek moyang yang pahit dan mereka dengan gembira menceritakan kemenangan mereka mengatasi kesulitan, tetapi mereka hanya bercerita saja.
Sebagaimana telah bertemu suatu masa pada kita umat Muhammad saw, sendiri yang dengan asyik menceritakan perjuangan rasul Allah dan sahabat-sahabat beliau, sampai sejarah selanjutnya, bahwa Islam pernah menaklukkan Spanyol, Islam pernah mencapai puncak kejayaan lalu kita banggakan sejarah itu padahal usaha kita sendiri sebagai sambungan usaha mereka yang telah terdahulu itu tidak ada.
“Lalu Kami siksa mereka dengan tiba-tiba sedang mereka tidaklah sadar."
Mereka telah merasa lengkap cukup, hidup telah senang karena pusaka usaha nenek moyang. Ikhtiar yang baru tidak ada lagi, semangat sudah mulai lemah, kemewahan mulai meracun jiwa. Mereka tidak sadar bahwa sewaktu-waktu keadaan bisa berbalik dan bahaya bisa saja datang. Maka, ayat ini adalah satu peringatan kemasyarakatan yang bisa saja terjadi dalam segala zaman. Menyangka diri telah kuat lalu berlaku aniaya kepada sesama manusia. Tiba-tiba angin berputar ternyata bahwa yang disangka kuat itu hanyalah suatu tumpukan rumah-rumahan pasir di tepi pantai. Pasang pun naik maka rumah-rumahan tadi tidak bertemu lagi sebab sudah runtuh dibawa pasang surut.
Kemudian datang lagi peringatan Allah
Ayat 96
“Dan jika penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, sesungguhnya akan Kami bukakan kepada mereka berkat dari langit dan bumi."
Keimanan dan takwa kepada Allah membukakan pintu rezeki. Kalau orang telah beriman dan bertakwa, pikirannya sendiri terbuka, ilham pun datang. Sebab, iman dan takwa itu menimbulkan silaturahim sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerja sama yang baik sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dengan demikian, turunlah berkat dari langit dan menyemburlah berkah dari bumi. Berkah itu dua macamnya, yaitu yang hakiki dan yang maknawi. Yang hakiki ialah yang berupa hujan membawa kesuburan bumi maka teraturlah tumbuhan dan keluarlah segala hasil bumi. Atau terbukalah pikiran manusia menggali harta dan kekayaan yang terpendam dalam bumi itu, seumpama besi, emas, perak dan logam yang lain atau mengatur perkebunan yang luas, menyuburkan ekonomi seumpama kopra, getah dan benang emas, palm dan lain-lain. Yang maknawi ialah timbulnya pikiran-pikiran yang baru dan petunjuk dari Allah, baik berupa wahyu yang dibawakan oleh rasul atau ilham yang ditumpahkan Allah kepada orang-orang yang berjuang dengan ikhlas. Dan, dengan iman dan takwa, pusaka nenek moyang bisa dipertahankan.
“Akan tetapi, mereka telah mendustakan maka Kami siksalah mereka dengan sebab apa yang telah mereka usahakan."
Artinya, berkah dan nikmat itu bisa dicabut Allah kembali karena iman dan takwa tidak berpengaruh lagi atas jiwa penduduk negeri itu. Meskipun hujan turun juga menurut musimnya, bukan lagi kesuburan yang akan dibawanya, melainkan banjir yang menghalau melicintandaskan segala apa yang telah ditanam. Misalnya, karena tiap-tiap orang tidak ada iman dan takwa, mereka berebut agar lekas kaya, lalu mereka tebangi hutan sekeliling mereka hingga terjadi erosi.
Hanyut bunga tanah, kersang tanah, bila hujan terjadi banjir, di musim panas sumur-sumur kering.
Inilah yang pernah digambarkan dengan jelas di dalam Al-Qur'an surah Saba', tentang penduduk negeri Saba' yang makmur. “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur." Negeri yang subur dan Allah Yang Pengampun. Kesuburan tanah mereka yang bertali dan berkelindan dengan ketaatan mereka kepada Allah sehingga mereka dapat mengatur perairan dan waduk (bendungan) yang teratur. Akan tetapi, setelah anak cucu mendapati bekas usaha orangtua, hidup dengan senang dan mewah di atas tanah yang subur, semuanya malas memelihara baik-baik pusaka itu sehingga bendungan jadi rusak dan kebun-kebun yang subur menjadi bertambah susut penghasilannya. Lalu, mereka berganti jadi orang perantau. Namun, perantauan kian lama kian jauh sehingga kampung pangkalan jadi tinggal dan akhirnya negeri Saba' musnah, penduduknya habis pindah, porak-poranda.
Kalau iman dan takwa tidak ada lagi, sila-turahim sesama manusia pun padam bahkan berganti dengan perebutan kekayaan untuk diri sendiri, biar orang lain teraniaya. Akhirnya, meskipun mereka dapat menggali kekayaan, mereka pergunakanlah kekayaan itu buat menindas yang lemah. Sebagaimana di zaman sekarang orang menggali pertambangan mangan dan uranium, untuk bahan membuat bom atom atau senjata nuklir yang lainnya.
Di dalam ayat ini kita melihat pedoman hidup yang jelas bahwasanya hidup beriman dan bertakwa semata-mata karena hendak mengejar masuk surga di akhirat bahkan ter-lebih dahulu menuju berkah yang berlimpah-ruah dalam dunia ini. Ayat ini menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi kait-berkait, tali-bertali dengan kemakmuran iman. Betapa pun melimpahnya kekayaan bumi yang telah dapat dibongkar manusia, tidaklah dia akan membawa berkah kalau iman dan takwa tidak ada dalam jiwa. Maka, segala bencana yang menimpa suatu umat, bukanlah dari salah orang lain melainkan dari sebab usaha yang salah. Timbul kesalahan karena iman dan takwa tidak ada lagi.
Ayat 97
“Maka, merasa amankah penduduk negeri-negeri itu bahwa datang kepada mereka siksaan Kami di waktu malam padahal mereka sedang tidur."
Ayat 98
“Atau, menasa amankah penduduk negeri-negeri itu bahwa datang kepada mereka siksaan Kami menjelang tengah hari padahal mereka sedang bermain-main?"
Kedua ayat ini memberi ingat bahwa tiap-tiap penduduk negeri itu hendaklah selalu waspada. Umat-umat yang dahulu yang menentang rasul-rasul itu bukan saja lalai dan lengah karena adanya nikmat bahkan mereka menentang dan mendustakan rasul-rasul. Dalam dunia yang luas ini pun kerap kali orang lupa diri karena adanya nikmat itu. Padahal, di tiap-tiap sudut bumi ini ada saja “skrup-skrup" persediaan Allah buat menghancurkannya. Ombak bisa bergulung riak membawa topan, hujan bisa berubah menjadi banjir menghanyutkan negeri, panas terik bisa menghancurkan tanaman.
Belalang bisa datang berjuta-juta memusnahkan buah-buahan dan daun-daun yang masih muda, gunungberapi bisa memuntahkan lahar dan mengalirkan maut kepada penduduk. Waktu datangnya tidak menentu, entah tengah malam sedang kita enak-enak tidur, entah menjelang tengah hari sedang manusia bermain-main. Selain hancurnya negeri-negeri yang tersebut dalam riwayat itu, kita teringat betapa dahsyatnya letusan Gunung Vesuvius sehingga tenggelamlah negeri Pompey di Italia sedang orang-orang masih ramai di tengah pasar; bertemu kembali manusia-manusia yang telah tertimbun itu setelah 1000 tahun kemudian. Ada yang sedang berjual-beli, ada yang sedang mengobrol di kedai kopi—moga-moga kita diampuni Allah—dan ada yang sedang melakukan perbuatan cabul.
Apakah manusia merasa aman? Apakah manusia tidak berpikir bahwa semuanya itu bisa kejadian? Bagaimanakah nasib mereka kalau bahaya datang sedang mereka tidak ber-siap untuk menghadapinya?
Kadang-kadang adzab itu datang dengan perantaraan manusia sendiri karena manusia dengan manusia telah dipenuhi rasa benci. Seumpama negeri-negeri yang diserang oleh musuhnya dengan tiba-tiba sebagaimana yang dilakukan bala tentara Jepang di Pulau Mutiara atau Pearl Harbour kepada tentara Amerika yang menyebabkan Perang Dunia Kedua. Maka, kalau terhadap serangan tiba-tiba dari musuh kita wajib waspada, apatah lagi kita pun wajib lebih waspada dari serangan adzab Allah yang menguasai seluruh langit dan bumi ini. Jika suatu negeri mengadakan persediaan senjata penangkis serangan udara dari musuh maka jiwa pun harus dipersenjatai dengan senjata iman dan takwa.
Ayat 99
“Adakah mereka merasa aman dari siasat Allah? Maka tidaklah ada yang (merasa) aman dari siasat Allah melainkan kaum yang rugi."
Di dalam ayat yang disebut makr yang kita di sini mengartikan siasat. Yaitu sebagaimana yang ada di atas telah kita bayangkan tadi bahwa di seluruh permukaan bumi ini terdapat beberapa skrup-skrup dan pesawat, yang satu waktu, dari kawan bisa dijadikan menjadi lawan kita. Makr itu bisa juga diartikan tipu daya. Akan tetapi, karena kata tipu daya yang dipakai untuk manusia sudah membayangkan yang buruk maka buat Allah kita artikan siasat. Tuan A. Hassan dalam tafsir beliau al-Furqan mengartikannya “percobaan Allah". Namun, setelah para pembaca mengerti penafsiran kata makr Allah dengan luas, setelah melihat sekalian pesawat berbahaya yang ada di sekeliling kita selalu, dapatlah para pembaca mengerti mengapa kita memberi arti makr di sini dengan siasat. Syukur kalau ada kata lain yang lebih tepat, untuk arti makr di ayat ini. Maka, di dalam ayat ini diterangkan bahwa orang yang berlalai diri, berlengah daripada mark atau siasat Allah itu tidak lain daripada orang yang rugi juga. Laksana orang yang berniaga di waktu harga barang sedang membubung naik di pasaran. Dibelinya barang misalnya dengan harga 100 rupiah, dia merasa senang sekali sebab dapat dijualnya dengan harga dua ratus rupiah. Padahal, setelah dibelinya lagi barang yang baru, harga sudah 200 rupiah pula.
Disangkanya dagangan berlaba padahal pokok tua (modal) telah termakan. Dia habiskan waktunya untuk kemewahan dunia sehingga dia terlalai padahal dia lupa bahwa umurnya kian sehari bukan kian bertambah melainkan kian susut.
Ayat 100
“Apakah tidak jelas oleh orang-orang yang mewarisi bumi sesudah ahlinya bahwa kalau Kami mau, niscaya Kami siksalah mereka dengan sebab dosa-dosa mereka."
Artinya, apakah orang yang datang kemudian, menggantikan umat yang telah terdahulu, yang dibinasakan dengan siksa Allah atau telah hilang dengan sewajarnya bahwa Allah pun bisa berbuat begitu kepada mereka, dengan sebab dosa mereka? Apakah kalau pada umat yang datang di belakang, bertemu sebab-sebab yang membinasakan umat yang dahulu itu, mereka sangka bahwa Allah tidak sanggup berbuat begitu pula kepada mereka?
Ayat ini adalah anjuran yang sangat mendalam untuk mengetahui sejarah zaman lampau. Karena umat yang lampau itu bukan saja umat Tsamud, ‘Ad, Madyan, Aikah atau umat Nabi Luth; bahkan banyak lagi bangsa-bangsa yang lain. Kita dengan ayat ini disuruh mempelajari sebab-sebab timbulnya suatu umat dan sebab-sebab runtuhnya kemudian. Kita dapat mempelajari sejarah bangsa Mesir, Yunani, Romawi, dan lain-lain. Bahkan sekarang ini, ayat ini yang dahulunya untuk peringatan kepada kaum Quraisy, dapat pula menjadi peringatan kepada kita sendiri, umat Islam zaman sekarang. Islam dalam sejarahnya telah pernah mencapai puncak zaman kegemilangan. Thariq bin Ziyad telah membawa angkatan perang Islam pertama melalui Jabal Thariq memasuki semenanjung Iberia, tanah Andalusia. Sampai 700 tahun lamanya orang Islam bermegah di negeri itu, memancangkan suatu beradaban dan kebudayaan yang tinggi. Akan tetapi, setelah 700 tahun di sana, yaitu dua kali lipat dari lamanya Belanda menjajah Indonesia, anak cucu dari pembuka pertama itu telah jatuh pamornya, hancur kekuasaannya, sehingga bukit di tepi pantai seketika Raja Abu Abdillah, Raja Bani Ahmar yang me-merintah di Granada yang terakhir, bukit tempat dia meratapi kedaulatannya yang hilang lenyap ketika terpaksa meninggalkan negeri itu, disebut namanya sekarang ‘Airmata Arab yang Terakhir".
Mengapa sampai demikian? Satu negeri yang telah jadi kepunyaan sendiri 700 tahun terpaksa ditinggalkan? Dan yang masih tinggal di negeri itu dipaksa mengalih agama dari Islam kepada Katolik? Sehingga sampai sekarang bertemu masjid yang telah diganti jadi gereja? Menara tempat adzan diganti jadi tempat mendengungkan lonceng?
Ialah karena telah tepat kepada anak cucu yang kemudian sebagai yang dikatakan pada ayat 95 di atas tadi, yaitu mereka hanya menceritakan suka duka nenek moyang pa-dahal mereka sendiri tidak memelihara baik pusaka nenek moyang itu. Kejatuhan bangsa Arab Spanyol itu ialah sebagian besar karena perpecahan sesama sendiri yang satu mem-fitnah yang lain; daripada berdamai dengan kawan seagama, ada yang lebih suka mengambil muka kepada kerajaan Kristen Spanyol yang baru tumbuh. Akhirnya mereka ditundukkan satu per satu. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika raja-raja Spanyol dan Castillie dan Aragon menundukkan satu amir Islam di satu negeri, dia dibantu oleh amir Islam yang lain. Kemudian setelah amir pertama tadi kalah, mudahlah bagi raja Kristen mematahkan amir bekas pembantunya itu.
Kemudian di ujung ayat Allah berfirman,
“Dan, Kami cap hati mereka tantanan mereka tidak mau mendengar."
Ujung ayat ini menyebut lagi bahwa kalau bahaya sudah hendak datang, bagaimana pun diberikan peringatan, tetapi kaum yang hendak kena kutuk itu tidak mau menerimanya sebab hati mereka sudah dicap, sudah disegel sehingga tertutup buat menerima pengajaran. Berkali-kali peringatan sudah disampaikan bahwa bahaya sudah di hadapan pintu, tetapi mereka tidak mau mendengarkan. Ini kerap kali kejadian di dalam sejarah Islam sendiri. Sejarah terakhir ialah ketika di pertengahan abad ke-19 yang lalu, Sayyid Jamaluddin al-Afghani memberi ingat kepada raja-raja Islam di Turki, Iran, Afghanistan, dan lain-lain tentang bahaya kejahatan penjajahan Barat, terutama Inggris, tentang maksud Barat melancarkan Perang Salib dengan cara baru, Namun, peringatan beliau tidak didengarkan bahkan majalahnya, Al-Urwatul Wutsqa, yang diterbitkan di Kota Paris, dilarang masuk ke dalam beberapa negeri Islam oleh raja-raja Islam karena hasutan penjajah. Malahan dibuat propaganda bahwa Sayyid Jamaluddin al-Afghani itu adalah seorang perusak agama, seorang yang tidak teguh memegang agama, seorang filsuf yang membawa paham sesat. Sehingga sampai zaman kita sekarang ini, masih ada golongan Islam yang berpendirian begitu terhadap Sayyid Jamaluddin dan muridnya Syekh Muhammad Abduh.
Akhirnya, beliau meninggal dalam kesedihan dan kerajaan Turki Osmani sebagai pertahanan paling akhir runtuh dipersokokkan (dikeroyok) oleh kerajaan-kerajaan Eropa pada Perang Dunia I; dan negeri-negeri Arab sebagai benteng Islam, jatuh satu demi satu ke bawah kuasa Inggris dan Peran cis. Bahkan pada satu waktu Mekah dan Madinah sen-diri pun di bawah pengaruh seorang kolonel Inggris, bernama Sir Lawrence, sebab pintar-nya mendekati raja Arab yang gila kekuasaan, yaitu Raja Husin. Kemudian, sesudah Perang Dunia II, tujuh negara Arab tidak dapat mempertahankan diri ketika bumi Palestina direbut dan dijadikan negeri orang Yahudi, bernama Israel atas bantuan negara-negara Barat.
Inilah sejarah suka duka kaum Muslimin seluruh dunia, sebagai pemerintah pewaris pusaka Nabi. Mereka tidak hancur sebagai kaum ‘Ad dan kaum Tsamud dan mereka masih ada di dunia ini, satu miliar jumlahnya sekarang. Namun, sungguh pun demikian, mereka masih bisa bangun kembali sebab Al-Qur'an sebagai pangkalan tempat bertolak berpikir masih ada dan satu noktah pun belum berubah.
Jelaslah bahwa ayat-ayat ini bukan semata menceritakan umat-umat dahulu kala dengan sebab-sebab keruntuhannya saja, tetapi dijadikan perbandingan untuk dipikirkan oleh umat yang datang kemudian. Sebab, sunnatullah atau hukum sebab dan akibat dalam sejarah maka tetap berlaku setiap zaman.
Ayat 101
“Negeri-negeri itu Kami ceritakan kepada engkau berita-beritanya dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan ketenangan-ketenangan, tetapi mereka tidak mau pencaya kepada apa yang telah mereka dustakan terlebih dahulu. Demikianlah Allah mencap atas hati orang-orang yang kafir."
Ayat ini pada pokoknya ialah sebagai pengobat hati kepada Nabi kita Muhammad ﷺ bahwasanya telah diuraikan oleh Allah kisah rasul-rasul yang dahulu itu kepada bahwa rasul-rasul itu telah cukup memberi keterangan, tetapi masih banyak kaum mereka tidak mau percaya sebab mereka telah menolak pokok segala ajaran yaitu kembali kepada Allah, kembali kepada tauhid. Itulah yang telah terlebih dahulu mereka dustakan sehingga keterangan yang lain, betapa pun kuatnya, mereka toiak semua. Maka, jika sekarang kejadian juga yang begini dari kaum Quraisy, janganlah engkau bersusah hati wahai utusan-Ku sebab memang hati orang yang kafir itu telah dicap.
Ayat 102
“Dan, tidaklah Kami dapati kebanyakan mereka menepati janji."
Orang yang dicap hati mereka sehingga menjadi kafir itu atau mereka menjadi kafir lalu dicap hati mereka ialah karena mereka tidak menepati janji. Apakah janji itu? Di ayat 172 kelak akan bertemu asal mula janji itu. Yaitu sejak kita masih dalam guliga di dalam tulang punggung nenek kita Adam, kita telah berjanji bahwa Tuhan kita ialah Allah, tidak ada yang lain. Dan, setelah manusia lahir ke dunia ini, bersamaan dengan tumbuh akalnya, tumbuh pulalah kesadaran tentang adanya kekuasaan tertinggi pengatur alam ini. Percaya kepada Allah Yang Esa adalah fitrah murni dalam jiwa manusia. Bertambah dipelajari rahasia kebesaran alam ini, bertambah ingatlah manusia akan janji asli yang tidak disadari lagi itu bahwa memang ada Penguasa Maha Tinggi, janji itu ada dalam lubuk jiwa. Akan tetapi, kalau orang telah kafir, janji itu tidak ditepatinya ataupun dia bersorak sekeras suara mengingkari adanya Allah. Yang disorakinya bukan orang lain melainkan dirinya sendiri.
“Namun sesungguhnya, Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."
(ujung ayat 102)