Ayat
Terjemahan Per Kata
بَلۡ
bahkan
نَحۡنُ
kami
مَحۡرُومُونَ
orang-orang yang menghalangi
بَلۡ
bahkan
نَحۡنُ
kami
مَحۡرُومُونَ
orang-orang yang menghalangi
Terjemahan
Bahkan, kita tidak memperoleh apa pun.”
Tafsir
(Bahkan kita dihalangi) dari memperoleh buahnya disebabkan kita telah menghalang-halangi orang-orang miskin dari memperoleh bagiannya.
Tafsir Surat Al-Qalam: 17-33
Sesungguhnya Kami telah menguji mereka- (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, lalu kebun itu diliputi malapelaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.
Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)." Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)? Mereka mengucapkan, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, "Aduhai, celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampui batas.
Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu, sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. Ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menggambarkan perihal orang-orang kafir Quraisy yang telah diberi anugerah oleh Allah kepada mereka berupa rahmat yang besar, dan Allah telah memberi mereka nikmat yang tak terperikan besarnya, yaitu dengan diutus-Nya Nabi Muhammad ﷺ kepada mereka. Tetapi mereka membalas semuanya itu dengan mendustakan dia, menolaknya, dan memeranginya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sesungguhnya Kami telah menguji mereka. (Al-Qalam: 17) Yakni kaum musyrik Mekah, Kami uji mereka. sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun. (Al-Qalam: 17) Yaitu kebun-kebun yang mempunyai berbagai macam pohon-pohon yang berbuah, yang darinya dihasilkan berbagai macam jenis buah-buahan.
ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. (Al-Qalam: 17) Mereka telah bersumpah di antara sesamanya, bahwa mereka benar-benar akan memetik (memanen) buahnya di malam hari agar tiada seorang fakir pun mengetahuinya dan tiada seorang pun yang meminta-mintanya. Dengan demikian, maka hasilnya bertambah berlimpah bagi mereka, dan mereka tidak mau menyedekahkan sebagian darinya barang sedikit pun. dan mereka tidak mengucapkan, "Insya Allah, " (Al-Qalam: 18) Yakni dalam sumpah mereka tidak disebutkan kata pengecualian yang dikembalikan kepada kehendak Allah, yaitu kalimat 'Insya Allah.
'Karena itulah maka Allah tidak memperkenankan sumpah mereka; untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat berikutnya: lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. (Al-Qalam: 19) Artinya, kebun mereka ditimpa oleh wabah dan bencana dari langit. maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. (Al-Qalam: 20) Ibnu Abbas mengatakan bahwa kebun itu menjadi hitam legam bagaikan malam yang gelap gulita. As Sauri dan As-Suddi mengatakan bahwa semisal dengan sawah yang telah dituai, yakni tinggal dedaunan dan bulir-bulirnya yang kering kerontang.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Ahmad ibnus Sabah, bahwa telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Zazan, dari Umar ibn uSabih, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan maksiat, karena sesungguhnya seseorang hamba melakukan perbuatan dosa, lalu ia benar-benar dihalangi dari rezeki yang telah disiapkan untuknya sebab perbuatan dosanya itu. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. (Al-Qalam: 19-20) Mereka telah dihalangi dari kebaikan yang dihasilkan dari kebun mereka disebabkan dosa mereka.
lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. (Al-Qalam: 21) Yakni ketika fajar telah menyingsing, sebagian dari mereka memanggil sebagian yang lainnya untuk pergi guna memanen hasil kebun mereka. "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya. (Al-Qalam: 22) Maksudnya, jika kalian hendak memanen buahnya. Mujahid mengatakan bahwa pohon yang ditanam oleh mereka adalah buah anggur. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. (Al-Qalam: 23) Yaitu dengan saling berbicara di antara sesama mereka dengan suara yang pelan-pelan agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh orang lain.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala Yang Mengetahui semua rahasia dan apa yang dibisikkan oleh mereka dengan sesamanya menjelaskan apa yang mereka perbincangkan dalam pembicaraan mereka yang berbisik-bisik itu, melalui firman berikutnya: Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan, "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu. (Al-Qalam: 23-24) Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, bahwa jangan kamu biarkan hari ini seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan keberangkatan mereka: Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). (Al-Qalam: 25) Yakni mereka pergi dengan langkah yang tegap dan cepat. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin). (Al-Qalam: 25) Mereka berangkat dengan langkah penuh keyakinan dan kesungguhan.
Menurut Ikrimah, dengan langkah yang disertai dengan rasa kemarahan. Asy-Sya'bi mengatakan bahwa makna firman-Nya: dengan niat menghalangi. (Al-Qalam: 25) Yaitu agar tidak diketahui oleh orang-orang miskin. Menurut As-Suddi, Hard adalah nama kota tempat tinggal mereka, tetapi tafsiran As-Suddi ini terlalu jauh menyimpang. padahal mereka mampu (menolong orang-orang miskin itu). (Al-Qalam: 25) Yakni mampu untuk memanen hasil kebunnya menurut dugaan dan sangkaan mereka. Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). (Al-Qalam: 26) Ketika mereka sampai di kebun mereka dan telah menyaksikannya dengan mata kepala mereka sendiri dalam keadaan seperti -apa yang telah digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebelumnya.
Yaitu kebun yang tadinya tampak hijau, subur, lagi banyak buah-buahannya, kini telah menjadi hitam legam seperti malam yang gelap gulita, tiada sesuatu pun yang dapat diambil manfaatnya dari kebun itu. Maka mereka berkeyakinan bahwa jalan yang mereka tempuh itu sesat, dan bukan jalan menuju kebun mereka. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan) (Al-Qalam: 26) Yakni kita telah menempuh jalan yang keliru, bukan menempuh jalan yang menuju ke arah kebun kita.
Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Kemudian mereka menyadari akan kekeliruan dugaan mereka dan mereka merasa yakin bahwa itu adalah kebun mereka sendiri. Karena itulah mereka mengatakan: bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).(Al-Qalam: 27) bahkan memang inilah kebun kita, tetapi kita tidak beruntung dan tidak mendapatkan hasil apa pun darinya. Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka. (Al-Qalam: 28) Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b, Ar-Rabi' ibnu Anas, Adh-Dhahhak, dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah seorang yang paling bijaksana dan paling baik dari mereka.
Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)? (Al-Qalam: 28) Mujahid, As-Suddi, dan Ibnu Juraij mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)? (Al-Qalam: 28) Yakni mengapa kalian tidak mengucapkan insya Allah sebelumnya? As-Suddi mengatakan bahwa istisna mereka di masa itu berupa tasbih. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang dimaksud ialah ucapan seseorang insya Allah. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah seseorang yang paling bijaksana dari mereka mengatakan, "Mengapa kalian tidak bertasbih kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang telah Dia limpahkan dan Dia berikan kepada kalian?" Mereka mengucapkan, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. (Al-Qalam: 29) Maka barulah mereka menunaikan ketaatan di saat tiada gunanya lagi upaya mereka, kini mereka menyesali perbuatan mereka di saat nasi telah menjadi bubur.
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. (Al-Qalam: 29-30) Yaitu sebagian dari mereka mencela sebagian yang lain atas sikap mereka yang bersikeras tidak mau memberi kaum fakir miskin dari hasil panen mereka. Maka tiadalah jawaban sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain kecuali mengakui kesalahan dan dosa mereka sendiri.
Mereka berkata, "Aduhai, celakalah kita, sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampui batas." (Al-Qalam: 31) Yakni kami benar telah berbuat kesalahan, berbuat aniaya, dan melampaui batas sehingga kita tertimpa musibah ini. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita. (Al-Qalam: 32) Menurut suatu pendapat, mereka menginginkan dengan kesadaran dan tobat mereka itu agar diberi ganti dengan kebun yang lebih baik di dunia ini.
Dan menurut pendapat yang lain, mereka mengharapkan pahala dari Allah di negeri akhirat. Hanya Allah-lah Yang lebih Mengetahui. Kemudian sebagian ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah penduduk negeri Yaman. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka dari suatu kota yang dikenal dengan nama Darwan, terletak enam mil dari kota Sana'. Menurut pendapat yang lainnya lagi, mereka adalah penduduk negeri Habsyah, dan bahwa bapak moyang mereka telah mewariskan kebun itu kepada mereka, dan mereka adalah dari golongan Ahli Kitab.
Di masa lalu bapak moyang mereka mempunyai perjalanan hidup yang baik dalam mengolah kebunnya. Dari hasilnya mereka mengembalikan sebagiannya untuk pengolahan kebun itu sendiri sesuai dengan keperluannya, dan sebagian yang lainnya mereka simpan buat makan setahun anak-anak mereka, sedangkan sisanya mereka sedekahkan. Ketika bapak mereka meninggal dunia, lalu kebun itu diwarisi oleh anak-anaknya. Maka berkatalah anak-anaknya, "Sesungguhnya bapak kita dahulu bodoh, karena dia telah membelanjakan sebagian dari hasil kebun ini untuk kaum fakir miskin.
Maka seandainya kita hentikan pembelanjaan itu, niscaya akan bertambah melimpahlah hasil yang kita peroleh nanti." Tatkala mereka bertekad untuk melaksanakan niatnya, maka dihukumlah mereka dengan kebalikan dari apa yang mereka perkirakan. Allah melenyapkan dari tangan mereka semua modal mereka, keuntungan dan sedekah yang biasanya dikeluarkan, semuanya ludes, tiada sesuatu pun yang tersisa bagi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Seperti itulah azab (di dunia). (Al-Qalam: 33) Yakni seperti itulah azab bagi orang yang menentang perintah Allah dan bersikap kikir terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya dan apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya, menghalangi hak kaum fakir miskin dan orang-orang yang memerlukan bantuannya, menukar nikmat Allah dengan kekafiran terhadap-Nya.
Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (Al-Qalam: 33) Artinya, itulah siksaan dunia sebagaimana yang kamu dengar, dan azab akhirat jauh lebih berat daripada itu. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Baihaqi melalui jalur Ja'far ibnu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain ibnu Ali ibnu AbuTalib, dari ayahnya, dari kakeknya telah disebutkan: Bahwa Rasulullah ﷺ telah melarang memetik hasil buah di malam hari dan melakukan panen di malam hari."
25-27. Dan setelah semuanya siap termasuk segala peralatan yang dibutuhkan, maka berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi orang-orang miskin mendapatkan pemberian hasil kebun mereka, padahal mereka mampu menolongnya. Maka betapa terkejutnya ketika mereka melihat kebun itu ternyata telah binasa, mereka pun berkata, ?Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat dengan merencanakan sesuatu yang buruk, akhirnya rusaklah kebun kita, bahkan kita tidak memperoleh apa pun.?28-29. Setelah melihat kenyataan tersebut, berkatalah salah seorang yang paling bijak di antara mereka, ?Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa rencana kamu itu sungguh buruk, semestinya kamu merencanakan hal yang baik lagi terpuji, tapi mengapa kamu malah tidak bertasbih kepada Tuhanmu dengan mengucapkan 'lnsya Allah'? Rupanya ketika itu para pemilik kebun tersebut sadar, karena itu mereka mengucapkan,?Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim dengan rencana buruk tersebut, semestinya kami bersyukur dengan berbagi kepada fakir miskin atas hasil kebun kami.?.
Akhirnya mereka sadar dan yakin bahwa yang terbakar itu memang kebun mereka, dan berkata, "Kita tidak tersesat ke kebun yang lain, ini memang kepunyaan kita. Karena kita telah berdosa dengan tidak mengikuti apa yang telah digariskan oleh bapak kita pada setiap memetik hasil kebun, maka Allah memusnahkan kebun ini.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AKIBAT NIAT YANG SALAH
Ayat 26
“Maka tatkala telah mereka lihat kebun-kebun itu."
Telah berubah sama sekali daripada apa yang mereka tinggalkan semalam. Buah-buahan yang subur, atau hasil bernas yang sedianya akan diketam pada hari itu tidak ada bertemu, bahkan sudah licin tandas, tidak ada lagi sisa-sisanya, yang subur telah berganti dengan tanah yang hangus, mereka pun tercengang-cengang, lalu mereka berkata,
“Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang tersesat jalan."
Artinya bahwa adalah di antara mereka itu yang setelah melihat keadaan demikian, karena bingungnya menyangka bahwa mereka tersesat jalan; bukan di sini kebun kita. Kebun kita tidak begini. Kebun kita tanah subur, bukan tanah hangus. Tetapi ada yang sadar, bukan mereka tersesat jalan. Kebun masih kebun itu, tanah masih tanah itu.
Ayat 27
“Bahkan kita ini telah diharamkan (dari hasilnya)."
Diharamkannya tidak diberi kesempatan oleh Yang Mahakuasa buat mengambil hasil dari kebun atau sawah ladang kita sendiri. Orang yang berkata ini rupanya sudah mulai insaf apa yang telah kejadian.
Ayat 28
“Berkata seorang yang di tengah-tengah diantara mereka."
Di dalam pepatah Melayu orang seperti ini disebut “Yang tinggi kelihatan dari jauh, yang terdekatmula bertemu." Biasanya orang seperti itu ialah orang yang dituakan, yang berpikiran lanjut, yang terletak di tengah karena usianya dan tenaganya. Dia belum terlalu tua sehingga tenaganya sudah berkurang, dan tidak pula terlalu muda sehingga pengalamannya masih belum banyak. Biasanya orang-orang seperti inilah yang dikemukakan dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat petani dan peladang. Dia berkata,
“Bukankah sudah aku katakan kepadamu, supaya kamu bertasbih kepada Allah."
Orang yang terletak di tengah-tengah inilah yang mengetahui duduk persoalan, Makanya kejadian seperti ini ialah karena mereka sudah melupakan Allah sehingga tidak lagi mengucapkan tasbih, mengucapkan kesucian kepada-Nya. Melihat kebun sudah banyak hasilnya, yang diingat hanya keuntungan. Rasa syukur kepada Ilahi tidak ada. Dan rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang menderita lapar dan miskin sudah hilang. Sebab itu jiwa tergoncang karena pukulan Allah ini. Memang selalu kejadian bahwa di saat manusia itu lupa hubungannya dengan Allah percobaan pun datang, bala atau malapetaka datang timpa-bertimpa.
Peringatan orang yang tegak di tengah-tengah mereka itu menyebabkan sebagian mereka menjadi insaf, lalu
Ayat 29
“Berkata mereka, Amat sucilah Tuhan kami."
Insaf mereka mendengar peringatan pemimpin itu lalu mereka mengucapkan “Subhanallah!" dan sadarlah mereka akan kesalahan selama ini; kesombongan, bangga dengan kekuatan dan kekayaan padahal belum dalam tangan dan lupa kepada fakir miskin. Lantaran itu mereka mengaku,
“Sesungguhnya kami inilah yang zalim."
Kalau orang telah mengaku bahwa dialah yang zalim, dia yang aniaya, dia yang salah, itulah alamat bahwa dia telah bersedia tobat. Itulah titik terang bagi hari depannya.
Ayat 30
“Lalu yang sebagian dari mereka menghadapi yang sebagian lagi, dalam keadaan salah-menyalahkan."
Ini adalah yang belum insaf, inilah orang yang celaka. Tiba malapetaka tidak mau menyelidiki dari mana sebab-musababnya, lalu yang sebagian menyalahkan yang lain. Padahal itulah perbuatan yang tiada berguna. Barang yang telah hancur tidaklah akan dapat diperbaiki lagi.
Ayat 31
“Mereka berkata, “Wahai, celakalah kita! Sesungguhnya kita ini memang telah melampaui batas."
Mereka telah insaf dan menyesali diri sendiri. Mereka telah mengaku bahwa mereka telah keterlaluan, bertindak menurut kehendak hawa nafsu sendiri, sehingga peraturan sopan santun dan perikemanusiaan tidak dipedulikan lagi.
Ayat 32
“Mudah-mudahan kiranya Tuhan kita mengganti untuk kita dengan yang lebih baik daripadanya."
Untuk itu kita akan memperbaiki kembali perangai dan niat kita yang buruk dan kita akan bekerja lebih hati-hati, dan kita akan menebarkan kasih sayang kepada fakir dan mi4in.
“Sesungguhnya kita kepada Tuhan kita sangat mengharapkan."
Yang sangat diharapkan itu ialah ampunan dari Allah.
Ayat 33
“Seperti demikian itulah adzab!"
Artinya, begitulah cara Allah menurunkan adzab-Nya, dengan tidak disangka, dengan tiba-tiba. “Dan sesungguhnya adzab akhirat adalah lebih besar." Karena di akhirat itu sesal tidak berguna lagi, tobat pun tidak diterima.
“Jikalau adalah mereka mengetahui."
Dan yang memberitahukan hal itu adalah Allah Ta'aala sendiri dengan perantaraan Rasul-Nya.
Kepercayaan kepada hari akhirat itu adalah bagian dari iman kita.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan salah satu sebab orang menjadi kafir, ialah karena salah niat. Dan dari ayat-ayat yang mengambil perumpamaan dari orang-orang berkebun atau bersawah ladang ini, dapatlah kita maklumi bahwa kehidupan beragama bukanlah semata-mata takwa kepada Allah, beribadah menyembah Allah. Ibadah kepada Allah berjalin berkelindan dengan rasa kasih sayang kepada sesama manusia, bahkan kepada sesama makhluk. Menanamkan niat yang jahat, tidak akan memedulikan hidup orang yang melarat adalah mendustakan agama yang paling hebat.