Ayat
Terjemahan Per Kata
هُوَ
Dia
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَكُمۡ
menciptakan kalian
فَمِنكُمۡ
maka diantara kamu
كَافِرٞ
kafir
وَمِنكُم
dan antara kamu
مُّؤۡمِنٞۚ
orang yang beriman
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
بَصِيرٌ
Maha Melihat
هُوَ
Dia
ٱلَّذِي
yang
خَلَقَكُمۡ
menciptakan kalian
فَمِنكُمۡ
maka diantara kamu
كَافِرٞ
kafir
وَمِنكُم
dan antara kamu
مُّؤۡمِنٞۚ
orang yang beriman
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِمَا
terhadap apa
تَعۡمَلُونَ
kamu kerjakan
بَصِيرٌ
Maha Melihat
Terjemahan
Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tafsir
(Dialah Yang menciptakan kalian maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang beriman) menurut asal kejadiannya, kemudian Dia mematikan kalian, lalu Dia menghidupkan kalian dalam keadaan seperti itu. (Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan).
Tafsir Surat At-Taghabun: 1-4
Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan bumi; hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tuj uan) yang benar, Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nyalah kembali(mu).
Dia mengetahui apa yang ada di langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Surat ini merupakan akhir dari surat Musabbihat; dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa semua makhluk bertasbih menyucikan Tuhan yang telah menciptakan mereka dan yang memiliki mereka. Untuk itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: hanya Allah-lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian. (At-Taghabun: l) Yaitu hanya Dialah Yang mengatur semua makhluk lagi terpuji dalam semua yang diciptakan dan yang ditetapkan-Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Taghabun: l) Artinya, apa pun yang dikehendaki-Nya pasti ada, tanpa ada yang menolak atau menghalang-halangi-Nya, dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan ada yang beriman. (At-Taghabun: 2) Yakni Dialah Yang menciptakan kamu dalam gambaran seperti ini karena Dia menghendaki kamu seperti itu, maka sudah dipastikan adanya orang yang beriman dan orang yang kafir.
Dia Maha Melihat siapakah yang berhak mendapat hidayah (petunjuk) dan siapakah yang berhak mendapat kesesatan (dari kamu). Dia Maha Menyaksikan semua amal perbuatan hamba-hamba-Nya, dan kelak Dia akan mengadakan pembalasan terhadap mereka atas semuanya itu dengan pembalasan yang sempurna. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman selanjutnya: Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (At-Taghabun: 2) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) benar. (At-Taghabun: 3) Yaitu dengan adil dan bijaksana. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu. (At-Taghabun: 3) Yakni Dia menjadikan indah rupa dan bentukmu, semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)ww seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu? (Al-Infithar: 6-8) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu, lalu membaguskan rupamu serta memberi rezeki dengan sebagian yang baik-baik. (Al-Mumin: 64), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan hanya kepada-Nyalah kembali (mu). (At-Taghabun: 3) Yakni dipulangkan dan dikembalikan. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang pengetahuan-Nya yang meliputi semua makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi serta semua jiwa. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (At-Taghabun: 4).
Dialah yang menciptakan kamu dalam bentuk yang sebaik-baiknya, lalu di antara kamu ada yang kafir, karena mengikuti hawa nafsu; dan di antara kamu juga ada yang mukmin, karena Allah memberikan petunjuk dan manusia menggunakan akal dan nuraninya. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan sehingga tidak satu pun perbuatan manusia yang tidak diketahui-Nya. 3. Dia menciptakan langit tujuh lapis dan menciptakan bumi tujuh lapis dengan tujuan yang benar sehingga tidak sia-sia, Dia membentuk rupamu dengan tujuan yang baik untuk kemaslahatan kamu, lalu memperbagus rupamu supaya kamu bersyukur dan kepada-Nya tempat kembali dengan dikumpulkan di mahsyar.
Ayat ini menerangkan bahwa Allahlah yang menciptakan semua yang ada menurut kehendak-Nya. Allah berfirman:
Allah pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu. (az-Zumar/39: 62)
Pada dasarnya manusia ketika dilahirkan dalam keadaan fitrah, tetapi sebagian dari manusia itu memilih kekafiran yang bertentangan dengan fitrahnya dan sebahagian lagi memilih iman sesuai dengan tuntutan fitrahnya, sebagaimana sabda Nabi saw:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Maka kedua orang tualah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Andaikata manusia itu mau memikirkan kejadiannya dan kejadian yang ada di alam raya ini, pasti cukup menjadi jaminan bagi manusia untuk kembali kepada yang hak dengan memilih iman, dan mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya. Akan tetapi, manusia itu tidak sadar dan insaf atas semuanya itu, sehingga terjadilah perpecahan, mengingkari Tuhan yang menciptakannya, serta nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya. Selayaknya manusia itu menginsafi bahwa Allah melihat segala yang dikerjakannya, dan di akhirat nanti dia akan diberi balasan terhadap semua itu. Yang baik dibalas dengan surga, sedangkan yang jahat dibalas dengan siksaan dan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, sejahat-jahat tempat kediaman, sebagaimana Allah berfirman:
Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (al-Furqan/25: 66).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AT-TAGHAABUN
(BERUGI-RUGI)
SURAH KE-64,18 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-18)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
POKOK AJARAN TAUHID
Sepintas lalu kita lihat susunan permulaan surah at-Taghaabun ini menyerupai surah- surah yang diturunkan di Mekah, padahal dia diturunkan di Madinah. Ialah karena dia memperingatkan tentang kebesaran Allah dan menjuruskan keyakinan kepada tauhid, Keesaan Allah.
Ayat 1
“Mengucapkan tasbih kepada Allah apa yang ada di segala langit dan apa yang ada di bumi."
Sebagaimana telah banyak ditafsirkan pada pangkal-pangkal dari surah yang lain yang serupa dengan ini, bahwa bertasbih atau mengucapkan kesucian kepada Allah apa saja yang berada di semua lapisan langit dan di permukaan bumi, namun tasbihnya itu tidaklah terdengar oleh telinga, melainkan terdengar oleh perasaan manusia yang halus. Keindahan yang terkandung dalam suara dari manusia adalah satu segi terpenting dari akal manusia. Manusia bukan saja berpikir, tetapi juga merasakan.
Dimisalkan seseorang yang berdiri di tepi lautan yang luas, memasang penglihatan dan pendengaran terhadap alam sekelilingnya. Dia akan mendengar perpaduan suara deburan ombak, desiran angin, nyanyian burung dan berbagai bunyi yang lain. Pendengaran menjadi bertambah tajam kalau perasaan bertambah diperhalus. Di sinilah ahli-ahli musik yang besar dapat menyusun lagu-lagu yang dinyanyikan oleh alam, memuja Allah, sampai pun bunyi jatuhnya hujan di tengah malam, bunyi halilintar yang laksana membelah bumi.
Dari atas kapal udara kelihatan awan berarak indah sekali, kadang-kadang awan itu merata serata lautan dan batas yang sampai jauh; terasa benar dalam hati bahwa awan itu berarak adalah karena mengucapkan kesucian kepada Allah Rabbul ‘alamin. Sungguhlah kedua pancaindra yang penting ini, yaitu penglihatan dan pendengaran dapat membawa ma'rifat yang mendalam tentang hubungan alam dengan Allah pencipta. Semuanya bertasbih. “Bagi-Nya segala kekuasaan." Artinya ialah bahwa kekuasaan seluruhnya adalah mutlak Allah yang empunya. “Puji-pujian pun demikian pula." Artinya ialah bahwa segala kekuasaan dalam alam ini hanya Allah sendiri yang punya, tidak diserikati oleh yang lain. Yang patut menerima pujian atas segalanya ini pun hanya Dia pula.
Al-Mulku dan al-Hamdu di dalam ayat ini memakai alif laam, pada pangkal kalimat. Menurut peraturan bahasa Arab, alif dan laam yang terdapat di sini diberi nama Alif laam Jinsiyah. Artinya apabila di muka kedua kalimat itu telah diletakkan alif dan laam, ialah bahwa segala macam kekuasaan termasuk di situ. Segala macam pujian, apa saja pun pujian itu, baik pujian besar-besaran atau kecil, sekecil-kecilnya, Allah sajalah yang mempunyainya. Tidak ada yang sebenar berkuasa selain Allah, tidak ada yang sebenarnya patut menerima pujian selain Allah.
Dimisalkan kekuasaan seorang raja atau seorang presiden. Kekuasaan yang diperolehnya hanya pada batas-batas yang sangat terbatas. Sebelum dia diangkat jadi raja atau jadi presiden, tidaklah dia berkuasa. Dan kalau dia berhenti atau mati, habislah kekuasaan itu. Dan di dalam berkekuasaan penuh itu sangat terbataslah kekuasaan yang diberikan kepadanya. Demikian juga puji- pujian, Bagaimana pun besarnya seorang raja atau seorang presiden, namun sebagian besar pujian yang mereka terima, tidak lain daripada mujamalah (mengambil muka) dari orang bawahan.
“Dan Dia di atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan."
Maha Menentukan adalah arti yang tepat dari Qadiir, Allah sebagai Yang Mahakuasa juga menentukan segala sesuatu, baik panjang pendeknya, lamanya, jauhnya, dekatnya dan sebagainya. Pada perjalanan matahari dan bulan,
“Tidaklah matahari diperbolehkan mengejar bulan dan tidaklah malam mendahului siang, dan semuanya berenang di dalam falak" (Yaasiin: 40)
Perjalanan bumi mengelilingi matahari dalam qadar yang tertentu dalam sehari semalam, sampai kepada jamnya, menitnya dan detiknya teratur, semuanya itu adalah ketentuan.
Apabila bertambah mendalam ilmu pengetahuan manusia tentang alam yang ada di sekelilingnya, akan bertambah yakinlah dia bahwa segala sesuatu ini adalah menurut ketentuan yang pasti dari Allah. Kalau tidak demikian, bukanlah ilmu namanya. Kadang- kadang ketentuan itu dinamai juga undang- undang alam. Tetapi dalam kalangan orang beragama lebih tepat disebut dengan istilah, Sunnatullah.
Ayat 2
“Dialah yang menciptakan kamu; maka di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu ada yang beriman."
Artinya ialah bahwa ketika Allah menciptakan manusia itu, diberi-Nya pula manusia itu akal dan pikiran; buat digunakannya mempertimbangkan di antara buruk dan baik, manfaat dan mudharat. Akal itu jadi alat bagi manusia untuk menilai di antara yang benar dengan yang salah. Maka untuk kesempurnaan perjalanan hidup itu, tidaklah cukup akal saja yang diberikan, malahan diturunkan pula syari'at, dikirim dan diutus pula nabi-nabi dan rasul-rasul untuk menyampaikan bimbingan dari Allah sendiri. Tetapi tidaklah semua orang langsung percaya, melainkan ada juga yang kafir, yaitu orang-orang yang tak mau menggunakan akalnya secara lurus.
“Dan Allah dengan apa jua pun yang kamu kerjakan Maha Melihat."
Artinya ialah bahwa segala gerak-gerik manusia di dalam hidupnya mencari kebenaran itu tidaklah lepas dari penelitian Allah. Mana yang bersungguh-sungguh dan jujur dalam mencari kebenaran, niscaya akan diberi petunjuk oleh Allah, dan siapa yang hanya memperturutkan hawa nafsunya dan membelakangi akalnya yang murni, niscaya akan tersesat ke dalam lembah kekafiran. Itulah sebabnya maka Nabi ﷺ memohonkan petunjuk langsung dari Allah. Seumpama sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi kepada salah seorang sahabatnya,
“Ya Allah, bimbinglah akan daku atas mengingat Engkau dan bersyukur kepada Engkau dan beribadah dengan baik terhadap Engkau."
Ayat 3
“Dia telah menciptakan semua langit dan bumi dengan kebenanan."
Pendirian dan pembangunan alam yang begitu besar, luas, lebar ini bukanlah terjadi di luar dari kebenaran. Berdirinya bukit-bukit dan gunung, terbentangnya laut dan mengalirnya sungai, turunnya hujan dan menguapnya air hingga menjadi awan, semuanya itu adalah menurut garis kebenaran.
Nabi kita Muhammad ﷺ diberikan Allah wahyu tentang kebenaran itu, dengan firman Allah yang jadi ucapan dari Nabi ﷺ,
“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan semuanya ini dengan batil."
Artinya tidaklah dijadikan di luar kebenaran. Kebenaran itulah yang dicari dan menemui hakikat kebenaran itulah yang menjadi tujuan dari hidup. Mengetahui rahasia kebenaran itu sebagaimana mestinya, itulah dia ilmu.
Terbentangnya tanah yang tidak begitu luas, lalu disirami oleh hujan, kemudian tumbuhlah tanaman berbagai ragam, itu pun kebenaran. Tulang binatang seperti sapi dan kerbau besar berisi penuh, berbeda dengan tulang burung yang lunak dan kosong, itu pun kebenaran, Bintang-bintang yang bermiliar-miliar di langit, di ruang angkasa, dan tidak ada yang jatuh bahkan tersusun teratur, tidak beranjak sesudah berjuta tahun, itu pun kebenaran. “Dan Dia telah membentuk rupa-rupa kamu, maka sangatlah dibaguskannya rupa kamu itu." Ini pun suatu kebenaran! Bentuk rupa manusia, raut wajahnya, adalah gabungan di antara keindahan dengan kesempurnaan. Apabila kesempurnaan dan keindahan telah bergabung, itu pun adalah hakikat dari kebenaran. Lebih dari empat miliar manusia penghuni dunia di masa kini (era Buya Hamka-edt.). Alangkah kayanya Allah! Karena semuanya mempunyai raut muka sendiri dengan kecantikannya sendiri dan kesempurnaannya sendiri.
“Dan kepada-Nyalah kamu akan kembali."
Sudah beribu-ribu juta yang datang dan pergi, kemudian datang satu rombongan lagi, satu generasi lagi, lalu pergi pula, kembali kepada Allah. Satu keajaiban kekayaan Allah, tidak ada rupa yang berulang datang, tidak ada suara yang diulang lagi. Yang ada dahulu berbeda dengan yang sekarang dan apabila yang sekarang pergi pula, dan datang lagi angkatan yang baru, mereka pun tidak serupa dengan yang telah pergi. Semuanya membawa wajah sendiri, keindahan sendiri, kecantikan sendiri, identitas (pertandaan) sendiri. Benar-benar menunjukkan kekayaan Allah.
Apabila ajal telah sampai, jasmani ini dikembalikan ke tanah, rupa yang dipakai selama hidup pun hilang ke balik bumi, yang tinggal hanya kenangan, dan akan datang lagi pribadi baru dengan rupa yang baru. Semua wajah itu diatur Allah dengan sebaik-baiknya dan semua pribadi itu akan kembali kepada Allah apabila datang waktunya.
Ayat 4
“Dia mengetahui apa saja yang ada di sekalian langit dan di bumi,"
Amat luaslah Kerajaan Allah dan berjalan dengan teratur. Tidak mungkin kalau Allah tidak mengetahuinya, di mana kekurangannya dan bagaimana perlengkapannya. Seumpama matahari yang telah berjuta tahun demikian saja panasnya, tidak pernah redup, mustahillah ketetapan demikian berjalan kalau bukan karena ilmu Allah meliputi semuanya. “Dan Dia pun mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan." Sehingga bagi Allah tidaklah ada yang dapat dirahasiakan oleh kita manusia. Pandangan Allah menembus ke dalam sanubari kita sendiri, di mana akan kita sembunyikan. Sebab itu tidaklah dapat kita berdusta di hadapan Allah. Berdusta di hadapan Allah samalah artinya dengan mendustai diri sendiri. Itulah sebabnya maka seluruh perhatian dan ingatan, lahir dan batin, luas dan dalam hendaklah kita hadapkan kepada Allah belaka.
“Dan Allah Maha Mengetahui dengan apa yang tersembunyi di dalam dada-dada."
Ayat-ayat ini keempatnya memberi keinsafan bagi manusia bahwa dia tidaklah hidup terpencil di alam dunia ini. Ayat-ayat ini memberi manusia pengertian akan hakikat wujudnya dunia ini, serta bagaimana pertaliannya dengan alam sekelilingnya, dia bertali tidak terpisah. Pusat penemuan diri dengan alam keliling ialah dalam satu Kekuasaan Mutlak dari Allah.
***
(5) Apakah tidak datang kepada kamu berita dari hal orang-orang yang kafir dahulu itu; maka telah mereka derita akibat buruk perbuatan mereka dan bagi mereka adalah adzab yang pedih.
(6) Yang demikian itu adalah karena, datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan keterangan-keterangan, lalu mereka katakan, “Apakah manusia yang akan menunjuki kita?" Maka mereka pun kafir dan mereka barpaling, dan Allah tidaklah memerlukan mereka; dan Allah adalah Mahakaya, Maha Terpuji.
(7) Menyangka buruk orang-orang yang kafir itu bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, “Tidaklah demikian, sungguh kamu akan dibangkitkan, kemudian itu akan diberitahukan sungguh-sungguh kepada kamu apa yang kamu kerjakan itu; yang demikian itu bagi Allah sangatlah mudah.`
(8) Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul- Nya dan cahaya yang Kami turunkan; dan Allah atas apa-apa yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui.
(9) (Ingatlah) hari yang akan dikumpulkan-Nya kamu di hari berkumpul, itulah hari berugi-rugi. Dan barangsiapa yang beriman dengan Allah dan beramal yang saleh, Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan dimasukkan-Nya dia ke dalam surga-Nya yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya selama-lamanya; demikian itulah kemenangan yang besar.
(10) Dan orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, itulah penghuni-penghuni neraka, kekal mereka di dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat 5
“Apakah tidak datang kepada kamu berita dari hal orang-orang yang kafir dahulu itu"
Ayat bersifat pertanyaan untuk menarik perhatian. Sama juga dengan peringatan seorang ayah kepada anaknya yang telah terlanjur berbuat suatu kesalahan, “Bukankah sudah aku katakan?" Sebab perkabaran dari hal orang-orang yang hidup di zaman lampau, penting artinya untuk diperhatikan oleh manusia yang datang di belakang. Memang jalan kejadian berbeda-beda, namun perangai adalah sama di tiap-tiap diri manusia. Bahwa orang yang tidak mengikuti jalan yang benar, adalah berakibat kesengsaraan atau siksaan dan adzab Allah. “Maka telah mereka derita akibat buruk perbuatan mereka" yaitu kerusakan dan kehancuran. Berbagai-bagai siksaan yang didatangkan Allah, ada yang ditimpa bencana taufan, ada yang dihalau angin puyuh, ada yang dihancurkan gempa bumi, ada yang ditunggangbalikkan negeri mereka, sehingga hanya bekasnya saja yang ditemukan kemudian.
“Dan bagi mereka adalah adzab yang pedih."
Tentulah yang dimaksud bermula dengan ayat ini ialah kaum penentang yang terdapat di Madinah, ataupun kaum musyrikin yang sengaja selalu menentang dakwah yang dilakukan Rasulullah. Tetapi maksud dan isi ayat akan selalu menjadi peringatan bagi umat manusia di setiap zaman, yaitu bahwa orang-orang yang menolak kebenaran yang disampaikan Allah dengan perantaraan Rasul, pasti akan menerima akibat yang buruk, dan di akhirat akan mendapat adzab siksaan yang pedih.
Ayat 6
“Yang demikian itu."
Adzab siksaan yang diderita oleh orang yang menolak kebenaran itu, “Adalah karena datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan keterangan-keterangan, lalu mereka katakan, ‘Apakah manusia yang akan menunjuki kita?'" Inilah sebab dari kebinasaan mereka. Yaitu bahwa umat-umat yang telah dahulu itu didatangi oleh rasul-rasul. Rasul-rasul itu telah membawa keterangan yang lengkap, alasan yang cukup dan keterangan yang tidak dapat dibantah oleh akal yang sehat, terutama tentang hubungan manusia dengan Allah. Allah menjadi Pencipta Alam, dan Allah pula yang menentukan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebab itu hendaklah manusia tadi mengenal Tuhannya dan mengabdikan diri kepada-Nya. Tetapi orang-orang kafir itu tidak menilai apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, melainkan yang mereka nilai ialah Rasul itu sendiri. Mereka bertanya, “Mengapa manusia yang dijadikan Allah utusan?" “Maka mereka pun kafir." Mereka tidak mau menerima seruan Nabi itu, sebab Nabi itu hanya manusia! Siapakah yang mereka kehendaki jadi Rasul Allah? Bani lsrail telah pernah meminta kepada Nabi Musa, supaya mereka dapat melihat Allah dengan jahratan, yaitu supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri. Dan ada juga (lihat surah al-Baqarah, ayat 55; dan lihat surah an-Nisaa', ayat 153). Dan ada pula yang meminta supaya Malaikat yang diutus menjadi rasul, jangan hanya manusia, (lihat surah al-An'aam ayat 9, surah al-Israa' 95). “Dan mereka berpaling," atau membuang muka, tidak mau mendengarkan seruan rasul-rasul itu. Padahal apa yang mereka sembah? Mereka bukan langsung menyembah Allah, melainkan menyembah berhala yang mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri, dari kayu, dari batu, dari tembaga dan sebagainya. Kadang-kadang pohon kayu yang mereka sembah, “Dan Allah tidaklah memerlukan mereka." Sebab walaupun mereka berpaling membuang muka, bukanlah Allah yang memerlukan mereka. Meskipun mereka mendurhaka, namun hamba Allah yang taat, setia dan cinta kepada Tuhannya masih banyak. Misalkanlah yang taat setia dan cinta itu tidak ada lagi, namun makhluk Allah yang lain, sepenuh isi ketujuh langit dan bumi masih bertasbih kepada Allah setiap waktu, sebagaimana dikatakan di permulaan ayat.
“Dan Allah adalah Mahakaya, Maha Terpuji."
Allah Mahakaya, sebab itu Dia tidak memerlukan pujian. Cuma akal budi manusia yang berpikiran sehat jualah yang merasa perlu taat kepada Allah. Dan Allah itu Maha Terpuji; cuma yang bodoh, bebal, dongok, dungu, dan sontok akal sajalah yang tidak akan memuji kepada-Nya.
Ayat 7
“Menyangka buruk orang-orang yang kafir itu bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan."
Kalimat za'ama berarti ialah menuduh. Sebab itu kita maknakan di sini sangkaan buruk orang-orang yang kafir. Tegasnya ialah bahwa persangkaannya itu salah. Tidak kena-mengena dengan kebenaran.
“Katakanlah!"Olehmu hai Rasul! “Tidaklah demikian!" Artinya ialah bahwa persangkaan kamu itu salah, “Sungguh kamu akan dibangkitkan!" Artinya ialah bahwa persangkaan kamu itu salah.
“Katakanlah!" olehmu hai Rasul! “Tidaklah demikian!" Sesudah kamu mati, kelak akan tiba masanya kamu pasti akan dibangkitkan dari kematian dan akan dihidupkan kembali. “Kemudian itu akan diberitahukan sungguh-sungguh kepada kamu apa yang kamu kerjakan itu."
Dengan ujung ayat ini dijelaskan bahwa segala amal usaha yang diperbuat di waktu hidup di dunia ini, tidaklah akan habis di dunia ini saja, setelah manusia itu mati. Semuanya telah tercatat dengan nyata di sisi Allah ﷻ Kelak perkara ini akan dibuka kembali dan akan dinilai, baik dan buruknya, pahala dan dosanya, ikhlas atau culasnya. Manusia boleh lupa apa yang dikerjakannya kemarin, tetapi Allah tidak lupa apa yang dikerjakan oleh manusia berpuluh tahun yang telah lalu.
“Yang demikian itu bagi Allah sangatlah mudah."
Sedangkan dengan alat-alat dokumentasi, simpanan yang baik dan kemajuan alat-alat teknologi, manusia sudah dapat menyimpan suara yang pernah diucapkan berpuluh-puluh tahun yang lalu, dengan tape recorder, dengan microfilm, dengan alat-alat lain, apalagi bagi Allah yang Dia itu sumber segala ilmu.
Ayat 8
“Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya."
Kalau sudah diterima keterangan bahwa Allah adalah Mahakaya dan Maha Terpuji, dan Allah akan membuka kembali perkara yang sudah berlalu ribuan tahun, dan Kekuasaan-Nya tidak terbatas, tidaklah ada jalan yang lebih baik bagi manusia untuk keselamatan dirinya, kecuali hanya satu, yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beriman kepada Allah ialah dengan bimbingan yang dibawa oleh Rasulullah itu sendiri, karena dialah yang diutus Allah buat menunjukkan jalan bagaimana caranya mendekat kepada-Nya dan bagaimana cara mencapai ridha-Nya. “Dan cahaya yang Kami turunkan." Cahaya yang Kami turunkan itu ialah Al-Qur'an, wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Sebab Allah tidaklah dapat dilihat dengan mata dan Rasulullah ﷺ sendiri pun sudah lama meninggal, tetapi cahaya yang diturunkan Allah itu tetaplah menjadi satu dokumen yang asli, yang tidak pernah berubah, yang ditinggalkan oleh Rasul itu untuk pegangan bagi manusia.
“Dan Allah dengan apa-apa yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui"
Kalau di ujung ayat yang terdahulu dikatakan bahwa segala yang diamalkan oleh manusia di dunia ini akan diberitahukan nilainya oleh Allah di akhirat, maka dalam ayat ini dijelaskan pula sekali lagi bahwa segala gerak-gerik kita, sikap dan tingkah laku, amal dan perbuatan kita, semuanya diketahui oleh Allah. Kalau kita insaf akan hal yang demikian itu, yaitu meskipun kita tidak melihat Allah, namun Allah pasti melihat kita. Dengan demikian maka kita tidak akan melepaskan ingatan dari Allah kepada yang lain, untuk membimbing sendiri perjalanan hidup menempuh jalan yang diridhai Allah, kita berbuat ihsan, yaitu berusaha terus membuat apa yang kita kerjakan kian lama kian membaik.
Ayat 9
“(ingatlah) hari yang akan dikumpulkan-Nya kamu di hari berkumpul."
Artinya ialah diperingatkan kepada manusia bahwa akan datang hari Kiamat. Hari itu semua makhluk akan dikumpulkan, makhluk sejak yang pertama, sejak Adam dan Hawa datang ke dunia, sampai makhluk yang penghabisan kelak. Bukan saja manusia, bahkan malaikat, jin dan iblis pun akan dikumpulkan. Itulah Yaumul Jam'i, salah satu dari nama hari Kiamat “Itulah hari berugi-rugi;" kekecewaan bagi orang yang di masa hidup membuang umur tidak jelas, lalu datang keputusan Allah bahwa dia dimasukkan ke dalam neraka. Nyatalah bahwa hidupnya yang telah lampau itu kerugian belaka.
Kata taghaabun menurut keterangan Ibnu Abbas, “Suatu kaum diadzab ke dalam neraka, suatu kaum diberi nikmat masuk surga. Yang mendapat adzab merasa kecewa dan yang mendapat nikmat merasa bahagia."
Suatu tafsir lagi menurut yang tersebut dalam Tafsir ar-Razi, “Di hari itu penganut kebenaran menyesali penganut kesesatan, yang memegang petunjuk menyesali yang menempuh jalan salah, ahlul iman menyesali ahlul kufur." Penyesalan dari pihak yang beruntung kepada yang buntung itulah yang dinamai taghaabun.
Alhasil adalah bahwa kata taghaabun terdapat dalam hal jual beli, yaitu ada orang yang perniagaannya beruntung dan ada pula yang merugi. Dengan jelas Allah berfirman tentang orang kafir yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat, atau membeli kesesatan dengan petunjuk; niscaya selalulah dia merugi.
Penerjemah-penerjemah Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia menerjemahkan taghaabun dengan berbagai ungkapan,
1) Terjemah Al-Qur'an Departemen Agama, “Ditampakkan (kesalahan-kesalahan)."
2) Al-Furqaan A. Hassan, “Ternyata kecurangan."
3) Terjemahan Angkatan Darat, “Ternyata kecurangan."
4) Terjemahan H. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin Hs., “Hari tipu-menipu."
5) Terjemahan di dalam tafsir Turjumanul- Mustafiid, buah tangan Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fanshuri as-Singkili, dalam abad ketujuh belas, “Hari berugi-rugi."
Lalu saya lihat dan banding-bandinglah kitab-kitab tafsir: at-Thabari, ar-Razi, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, an-Nasafi, al-Syaukani, al-Kasysyaf oleh Zamakhsyari, dan beberapa tafsir yang lain, maka terdapatlah kesimpulan, bahwa pokok kata yang asal dari taghaabun ialah ghaban, yang mengandung beberapa arti. Arti utama yang khusus ialah ketika berjual-beli barang, karena salah pilih, disangka barang bermutu baik, rupanya terbeli barang yang kurang bermutu. Dalam hal ini, maka arti yang dipakai oleh al-Ustadz Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin Hs, agak dekat kepada kebenaran, tetapi kurang tepat.
Kita katakan kurang tepat, karena tidaklah pernah terjadi tipu-menipu dalam urusan akhirat di antara manusia yang taat dengan manusia yang berbuat maksiat. Cuma manusia yang berbuat maksiat jugalah yang salah pilih.
Apatah lagi di antara Allah dengan hamba-Nya, pun tidaklah terjadi tipu-menipu. Sejak semula Allah telah menyampaikan kepada seluruh manusia dengan perantaraan Rasul-Nya, bahwa barangsiapa yang taat mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan taat pula menghentikan larangan-Nya, pastilah dia akan dimasukkan ke dalam surga. Tetapi sayang orang yang fasik itu tertipu oleh hawa nafsunya sendiri jua, sehingga akhirnya pada hari Kiamat, hasil kerugianlah yang didapatnya. Sebab itu dapatlah dikatakan bahwa ulama tua dalam kurun ke-17 Masehi (kurun ke-11 Hijriyah), Syekh Abdurrauf al-Fanshuri yang lebih mendekati kepada kebenaran apa yang beliau terjemahkan tentang taghaabun itu, yaitu, “Hari berugi-rugian."
Kata-kata yang beliau pilih ini, “berugi-rugian" tepat dengan bahasa Melayu yang biasa dipakai di daerah Sumatera. Yaitu dipakai untuk orang yang telah berusaha dengan mengeluarkan belanja banyak, misalnya seseorang yang mengadakan kenduri besar akan menunggu seseorang yang sangat dihormati dari negeri jauh. Penyambutan telah disediakan dengan besar-besaran, belanja telah di-keluarkan banyak sekali, pelampang, janur, marawa, gaba-gaba, pintu gapura semuanyatelah dipasang. Semua orang yang patut-patut telah siap menunggu. Tetapi malang sekali di hari yang telah ditentukan menurut janji itu, orang yang ditunggu-tunggu tidak datang. Kecewa lantaran Tamu Agung itu tidak datang, sedang belanja telah banyak keluar telah membawa kecewa yang sangat. Waktu yang demi-kian itulah disebut “berugi-rugi."
Meskipun taghaabun adalah bab Tafaa'ul yang memfaedahkan bagi musyarakah (serikat), yang berarti sama-sama rugi, yang boleh diartikan bahwa kedua pihak sama rugi, baik yang masuk surga maupun yang masuk neraka. Namun tafaa'ul dengan makna musyarakah tidaklah dapat dipasangkan di sini. Ahli bahasa menjelaskan juga bahwa kadang-kadang bab Tafaa'ul itu ada juga dengan makna mujarrad (individu). Seumpama (jud iiil) “Ta'alallah" yang berarti Amat Suci Allah, dan Mahatinggi Allah.
Maka saya pilihlah arti Taghaabun sebagai yang diartikan atau diterjemahkan oleh ulama besar Indonesia abad ke-17, Syekh Abdurrauf Al-Fanshuri, “Itulah hari berugi-rugi."
Di hari berkumpul itu kelak akan jelas dirasai akibat oleh orang-orang yang fasik, kafir dan ahli maksiat bahwa hidupnya di dunia yang hanya ditipu oleh sesuatu yang harga telah terbayar mahal, yaitu dengan tenaga dan seluruh umur, disangka mutunya tinggi, sesampai di akhirat itu kelak baru diketahui bahwa hidup yang telah lalu itu hanya berugi- rugi saja. Betapa tidak, nikmat surga Jannatun Na'im yang dijanjikan Allah mereka lihat sendiri dengan mata, tetapi mereka tidak masuk ke sana, melainkan dihalaukan ke neraka.
Zamakhsyari menyalinkan sebuah hadits, demikian bunyinya.
“Tidaklah seorang hamba Allah yang dimasukkan ke dalam surga melainkan diperlihatkan kepadanya tempat duduknya dalam neraka, yang sedianya akan dimasukinya kalau dia berbuat jahat; sehingga bertambah syukurlah dia. Dan tidak pula seorang hamba yang dimasukkan ke dalam neraka, melainkan diperlihatkan kepadanya tempat duduknya dalam surga, jika sekiranya dia berbuat kebajikan; sehingga bertambah penyesalannya."
Ahli-ahli tafsir itu pun memberi ingat bahwa soal yang diperkatakan di sini ialah soal berugi-rugi yang akan dirasakan di akhirat kelak. Adapun di dunia ini dalam urusan mengejar harta benda dunia, bisa saja orang berugi-rugi. Namun kalau usia masih panjang kerugian hari ini bisa ditimbali lagi dengan laba. Tetapi kalau berugi-rugi itu dirasakan di akhirat kelak, tidaklah dapat diperbaiki lagi. Dia adalah akibat dari kesalahan hidup di dunia, yang tidak dapat diulangi lagi.
Itu sebabnya maka ujung ayat masih memberikan harapan bagi kita untuk memperbaiki diri ketika masih hidup ini, ketika kesempatan masih ada. “Dan barangsiapa yang beriman dengan Allah dan beramal yang saleh, Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya." Yaitu karena iman kepada Allah yang diiringi dengan perbuatan, iman dibuktikan dengan amal yang saleh, yang berarti bahwa dia sendiri telah mengubah jalan hidup dari yang buruk kepada yang baik, sementara masih hidup, kesalahan-kesalahan yang lama itu akan ditutupi, atau dalam bahasa sehari-hari “akan dipandang tidak ada saja oleh Allah." “Dan akan dimasukkan-Nya dia ke dalam surga-Nya yang mengalir di bawahnya sungai-sungai" tempat yang penuh dengan nikmat, kesuburan dan kenyamanan. “Kekal mereka di dalamnya selama-lamanya." Sebagai tempat istirahat sejati untuk merasakan nikmat Ilahi yang kekal abadi.
“Demikian itulah kemenangan yang besar."
Kemenangan yang besar dan sejati itulah yang jadi tujuan dari tiap-tiap orang yang beriman, sehingga mereka sanggup menderita berbagai kesengsaraan, rintangan dan halangan dalam hidup ini, karena iman dan keyakinan yang tidak pernah padam akan karunia Allah.
Ayat 10
“Dan orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, itulah penghuni-penghuni neraka."
Itulah orang-orang yang berugi-rugi tadi, “Kekal mereka di dalamnya," karena kesalahan memilih jalan.
“Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali."
Berlindung dirilah kita kepada Allah daripada akibat yang demikian.