Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
فَرَّقُواْ
(mereka) memecah belah
دِينَهُمۡ
agama mereka
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
شِيَعٗا
bergolong-golong
لَّسۡتَ
tidaklah kamu
مِنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
فِي
dalam
شَيۡءٍۚ
sesuatu/sedikitpun
إِنَّمَآ
sesungguhnya hanyalah
أَمۡرُهُمۡ
urusan mereka
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
ثُمَّ
kemudian
يُنَبِّئُهُم
Dia menerangkan kepada mereka
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَفۡعَلُونَ
mereka perbuat
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
فَرَّقُواْ
(mereka) memecah belah
دِينَهُمۡ
agama mereka
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
شِيَعٗا
bergolong-golong
لَّسۡتَ
tidaklah kamu
مِنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
فِي
dalam
شَيۡءٍۚ
sesuatu/sedikitpun
إِنَّمَآ
sesungguhnya hanyalah
أَمۡرُهُمۡ
urusan mereka
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
ثُمَّ
kemudian
يُنَبِّئُهُم
Dia menerangkan kepada mereka
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَفۡعَلُونَ
mereka perbuat
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun engkau (Nabi Muhammad) tidak bertanggung jawab terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) hanya kepada Allah. Kemudian, Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya) oleh sebab mereka bercerai-berai di dalamnya, yaitu mereka mengambil sebagian peraturannya dan meninggalkan sebagian lainnya (dan mereka menjadi berpuak-puak) menjadi bersekte-sekte dan masalah agama. Menurut suatu qiraat artinya mereka berpecah-belah dan meninggalkan agamanya yang harus mereka peluk, mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani (tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka) janganlah engkau menghalang-halangi mereka. (Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah) Dialah yang mengurusnya (kemudian Allah memberitahukan kepada mereka) di akhirat kelak (apa yang telah mereka perbuat) Allah memberikan balasan kepada mereka. Ayat ini telah dinasakh dengan turunnya ayat saif/ayat yang memerintahkan berperang.
Tafsir surat Al-An’am: 159
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.
Ayat 159
Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan.” (Al-An'am: 159)
Demikian itu karena orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani berselisih pendapat sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus, lalu mereka terpecah belah menjadi banyak golongan dan sekte.
Ketika Allah ﷻ telah mengutus Nabi Muhammad ﷺ, maka Allah ﷻ menurunkan firman berikut kepadanya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka.” (Al-An'am: 159), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Umar As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid yang menulis surat kepada Abbas ibnu Kasir, telah menceritakan kepadaku Al-Laits, dari Tawus, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan makna ayat ini:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka.” (Al-An'am: 159)
Mereka bukan termasuk golonganmu, yakni mereka adalah ahli bid’ah ahli syubhat, dan ahli dalalah (sesat) dari kalangan umat ini. Tetapi sanad hadits ini tidak shahih karena sumbernya tidak dapat dipastikan. Meskipun hadits ini bukan palsu, tetapi predikat marfu'-nya hanyalah dugaan (ilusi) belaka, mengingat hadits ini diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Al-Laits (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Tawus, dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Abu Hurairah telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan umat ini. Abu Galib telah meriwayatkan dari Abu Umamah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan.” (Al-An'am: 159)
Mereka adalah orang-orang Khawarij.
Telah diriwayatkan pula dari Abu Umamah secara marfu', tetapi predikatnya tidak shahih. Syu'bah meriwayatkan dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Syuraih, dari Umar r.a, bahwa Umar pernah berkata kepada Siti Aisyah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan.” (Al-An'am: 159)
Bahwa mereka adalah ahli bid'ah. Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, predikatnya gharib, tidak sah dikatakan marfu'. Makna lahiriah ayat bersifat umum mencakup semua orang yang memecah belah agama Allah dan bertentangan dengan ajaran-Nya, karena sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk untuk memenangkan agama yang benar atas agama lainnya, dan syariat yang dibawa oleh Rasul adalah satu, tidak ada pertentangan padanya serta tidak ada pemecah belah.
Maka barang siapa yang berselisih pendapat mengenainya: “Dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan.” (Al-An'am: 159)
Yakni menjadi bersekte-sekte, seperti yang terjadi dalam agama-agama lain yang memiliki banyak kelompok, kecenderungan, dan kesesatan. Maka sebenarnya Allah menjauhkan Rasulullah ﷺ dari apa yang mereka lakukan. Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (Asy-Syura: 13)
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Kami golongan para nabi semuanya bersaudara, agama kami satu.”
Yaitu mengikuti jalan yang lurus seperti yang disampaikan oleh para rasul semuanya yaitu, menyembah Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun, dan berpegang kepada syariat rasul yang terakhir. Maka hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan tersebut dinamakan kesesatan dan kejahilan serta hawa nafsu, sedangkan para rasul menjauhkan dirinya dari hal tersebut. Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka.” (Al-Anam: 159)
Adapun firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Al-An'am: 159)
Semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi’ah, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Hajj: 17)
Kemudian Allah menjelaskan tentang kelembutan-Nya dalam keputusan hukum-Nya dan keadilan-Nya kelak di hari kiamat.
Penjelasan tentang nasib orang kafir pada hari Kiamat yang terdapat pada ayat di atas dilanjutkan dengan penjelasan tentang ada kelompokkelompok sesat pada ayat ini. Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya'padahal agama pada awalnya hanya satu, yaitu agama tauhid, sebagaimana sabda Nabi , Kami, para nabi, bagaikan anakanak satu ayah dari ibu yang berbeda, agama kami satu. 'dan mereka menjadi terpecah dalam golongan-golongan dengan mengikuti hawa nafsunya sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan masing-masing di mana setiap golongan berbangga dengan golongannya sendiri, sedikit pun bukan tanggung jawabmu, wahai Nabi Muhammad, atas mereka. Kamu telah melaksanakan tugas kerasulanmu, sementara mereka memilih jalan kekafiran. Hati mereka telah terkunci untuk menerima kebenaran. Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah. Allah yang akan memutuskan nasib mereka, maka janganlah kamu bersedih atas kekafiran mereka. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. Tentang dosa-dosa mereka dan balasan terhadap mereka pada hari Kiamat nanti. Berkaitan dengan hari pembalasan, Allah menjelaskan tentang anugerah-Nya yang agung terhadap orang mukmin yang berbuat baik. Barang siapa berbuat kebaikan, walaupun sedikit, akan men-dapat balasan sepuluh kali lipat, bahkan bisa lebih dari itu sampai tujuh ratus kali lipat dari amalnya, karena Allah Mahakaya. Hal itu jika amal baik tersebut disertai dengan keikhlasan dan sesuai dengan aturan agama Islam. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya sebagai bentuk keadilan Allah. Mereka sedikit pun tidak dirugikan atau dizalimi. Allah tidak akan berbuat zalim sedikit pun terhadap hambahamba-Nya, seperti mengurangi pahala atau menambahkan dosa yang tidak diperbuat. Dialah Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang.
kekuasaan dan ini terjadi semenjak permulaan Islam sampai sekarang.
2. Fanatik kebangsaan (rumpun keturunan), karena setiap bangsa dan rumpun keturunan (ras) tidak senang dikuasai oleh yang lain.
3. Fanatik mazhab dan pendapat tentang pokok agama dan cabang-cabangnya.
4. Fatwa agama menurut pikiran dan selera saja. Karenanya banyak orang yang berani memberikan fatwa di dalam agama Islam, padahal ia belum bisa mengambil suatu hukum dari Al-Qur'an dan hadis.
5. Usaha dan tipu daya memecah belah dari kelompok musuh-musuh Islam, sehingga banyak hadis maudhu' (palsu) disebabkan mereka yang dapat mempengaruhi umat (pemimpin Islam) mempergunakannya sebagai dalil-dalil agama Islam.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 159
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-betahkan agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan, bukanlah engkau daripada mereka, pada apa jua pun."
Kalau di ayat 153 telah dijelaskan bahwa jalan yang benar dan lurus hanya satu dan jalan yang lain berapa pun banyaknya, tidak lain hanyalah membawa perpecahan maka di ayat ini dijelaskan lagi, walaupun semua orang telah masuk ke jalan yang satu itu, jalan ash-shirathal mustaqim, jalan yang ditempuh nabi, semua perpecahan akan timbul lagi kalau setelah masuk ke dalam jalan itu lalu jalan itu ditinggalkan dan menempuh jalan sendiri-sendiri. Orang membuat kelompok sendiri-sendiri dalam jalan yang satu itu sehingga tidak disadari mereka menjadi berpecah sesudah bersatu. Dengan demikian, agama yang satu menjadi pecah-belah sehingga timbul golongan-golongan. Di dalam ayat ini Allah telah memberi peringatan kepada Rasul-Nya, “Bukanlah engkau daripada mereka, pada apa jua pun." Artinya, sekalian golongan itu pada hakikatnya telah terlepas daripada pimpinan Rasul, sebab Rasul tidak boleh berpihak pada salah satu daripada golongan-golongan itu, walaupun tiap-tiap golongan akan mendakwakan bahwa pihak merekalah yang diakui oleh Rasul.
Menurut penafsiran dari setengah penafsiran salaf, ayat ini adalah mengenai kepada Ahlul Kitab yang telah terdahulu. Karena agama yang asal hanyalah satu, yaitu agama tauhid. Agama itulah yang ditegakkan oleh Ibrahim, Musa, dan Isa. Namun, kemudian oleh pengikut-pengikut yang datang di belakang, agama yang asli itu telah dipecah-belah, ada yang menyebut mereka Yahudi dan ada yang menyebut mereka Nasrani, masing-masing mengatakan bahwa mereka adalah di pihak yang benar lalu satu golongan memusuhi golongan yang lain. Dan ahli tafsir yang lain menerangkan bahwa ayat ini adalah peringatan khusus pada umat Muhammad ﷺ sendiri, yang persatuan mereka dalam satu aqidah akan terpecah-belah oleh karena timbulnya bermacam pendapat, lalu timbul tambahan-tambahan yang bukan-bukan, yang disebut bid'ah, tiap-tiap golongan mendakwakan, merekalah yang benar, dan yang lain salah semuanya.
Kalau direnungkan kedua penafsiran ini, dapatlah digabungkan menjadi satu. Kalau di-tafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah Ahlul Kitab, dapat juga diterima, sebab ayat ini ialah sesudah menerangkan persamaan Wasiat Sepuluh Al-Qur'an dengan Wasiat Sepuluh dalam Taurat. Dan penafsiran pun tidak salahnya jika dilanjutkan kepada umat Muhammad sendiri, sebab memang ada peringatan khusus kepada umat Muhammad yang jelas tersebut di dalam surah Aali ‘lmraan ayat 105 yang melarang berpecah-belah dan berselisih-selisih sesudah datang keterangan, sebagai telah terjadi kepada Ahlul Kitab yang dahulu. Pendeknya ke mana pun hendak dibawa ayat ini, teranglah yang menjadi intinya memberi peringatan keras tentang bahaya perpecahan. Baik dalam kalangan Ahlul Kitab maupun kalangan umat Muhammad.
Ibnu Abbas berkata, “Sebelum Muhammad ﷺ diutus Allah, Yahudi dan Nasrani telah berselisih-selisih. Setelah Muhammad diutus datanglah ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan' ini."
Abu Hurairah berkata bahwa tujuan ayat ini ialah kepada umat Muhammad ini. Dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu juraij, ath-Thabrani, dan lain-lain, Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah ahli bid'ah dan ahli ahwaa' (beragama menurut hawa nafsu sendiri) yang terdapat dalam umat ini. Dan keterangan ini pun dikuatkan suatu hadits yang dirawikan Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di dalam kitabnya Syu'abui Iman yang diterima dari Umar bin Khaththab, bahwa Nabi ﷺ pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, ialah orang-orang yang empunya bid'ah, dan yang memperturutkan hawa nafsu dalam beragama dan orang-orang yang membawakan kesesatan (dhalalah) daripada umat ini. Mereka itu tidak ada bagi mereka tobat. Wahai Aisyah, tiap-tiap orang yang berdosa, bisa diberi tobat, kecuali tukang-tukang bid'ah dan tukang hawa nafsu. Mereka tidak diberi tobat. Aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun lepas diri dariku."
Arti hadits ini bukanlah bahwa mereka telah tahu bahwa perbuatan mereka telah terang bid'ah dan sudah jelas bagi mereka bahwa mereka memang salah lalu mereka kembali pada kebenaran dan tobat, lalu tobat mereka tidak diterima. Bukanlah demikian makna hadits ini. Namun, maksudnya ialah bahwa mereka tidak mau tobat karena mereka tetap menyangka bahwa mereka di pihak benar.
Sekianlah yang tertulis di dalam Tafsir ad-DurruI Mantsur.
Di dalam menafsirkan ayat ini, ahli-ahli tafsir membawakan pula sebuah hadits dari beberapa jalan riwayat. Satu di antara hadits itu berbunyi:
“Telah berpecah-belah Yahudi kepada 71 atau 72 pecahan dan berpecah-belah Nasrani kepada 71 atau 72 pecahan, dan akan berpecah belah umatku kepada 73 pecahan." (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Dan satu hadits lagi, dirawikan oleh Abu Dawud juga dari hadits Mu'awiyah begini bu-nyinya:
“Ketahuilah bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan kami lalu berkata, ‘Sesungguhnya dari Ahlul Kitab yang sebelum kamu telah berpecah-belah 72 agama dan agama yang ini pun akan berpecah-belah pula menjadi 73. Dan yang 72 akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, yaitu al-Jamaah. (HR Abu Dawud)
Dan ada pula tambahan dalam satu riwayat yang lain:
“Dan sesungguhnya akan keluar pada umatku suatu kaum yang mengiringkan kepada mereka hawa nafsu itu sebagaimana anjing mengiringkan tuannya. Tidak ada yang tinggal lagi urat-urat dan tidak pula bagian-bagian anggota tubuh, melainkan dimasukinya."
Yaitu anjing yang mengikuti tuannya itu menggigit tuannya, sehingga menjalarlah segala penyakit anjing itu ke seluruh bagian tubuh orang yang digigitnya itu.
Dan pada sebuah hadits lain yang dirawikan oleh Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin al-Ash. Begini pula bunyinya:
“Sesungguhnya akan datanglah kepada umatku sebagaimana yang telah datang kepada Bani Israil, jejak terompah menuruti jejak terompah. Dan bahwa Bani Israil telah terpecah-belah kepada 72 agama dan akan terpecah belah pula umatku kepada 73 agama, semuanya akan masuk neraka, kecuali agama satu saja." Lalu mereka bertanya, “Siapakah dia (yang satu itu), ya, Rasulullah." Beliau menjawab, “Yaitu barangsiapa yang ada dia menuruti aku dan sahabat-sahabatku." (HR at-Tirmidzi)
Demikianlah hadits tentang perpecahan-perpecahan 71 atau 72 Ahlul Kitab dan 73 umat Muhammad ﷺ itu tersebut dalam tafsir-tafsir dan di dalam kitab-kitab hadits, dengan berbagai lafazh, dan lagi riwayat lain yang tidak kita salinkan dalam tafsir yang kecil ini, sebab artinya dalam bahasa kita adalah sama.
Sekarang, marilah kita bicarakan hadits-hadits yang dapat menambah jelas ayat ini untuk kita pahamkan lebih mendalam. Mula-mula sekali, di dalam ayat ini kita bertemu pengakuan dari Allah dan Rasul sendiri bahwa dalam tiap agama akan terdapat berbagai ragam jalan pikiran atau yang disebut ra'yi.
Imam Malik pernah berkata, “Rasulullah ﷺ telah meninggal dan telah sempurna urusan ini semuanya dan lengkap. Maka, yang mestinya kita ikut ialah jejak yang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ dan sekali-kali jangan diikut ra'yi (pendapat orang). Karena, apabila engkau ikuti pendapat seseorang, akan datang pulalah seorang yang lain dengan ra'yi-nya pula, yang lebih kuat ra'yi-nya dari ra'yi engkau lalu engkau ikuti pula. Pada pandanganku hal ini tidak akan habis-habisnya."
Yang dimaksud ra'yi oleh Imarn Malik di sini ialah yang bersangkut dengan sekalian urusan agama, mengenai aqidah, ibadah, dan halal haram. Bukan yang berkenaan dengan dunia dan kepentingan negara, siasat, dan pelaksanaan hukum. Sebab, dalam hal yang berkenaan dengan urusan-urusan dunia itu, Imam Malik mempunyai suatu ajaran yang bernama al-mashalihil mursalah, yaitu ke-muslihatan umum, yang memang jadi tujuan juga oleh diutusnya Rasul. Oleh sebab itu, Asy-Syatibi di dalam kitabnya al-sham pada bab IX menyatakan bahwa mujtahid yang menggunakan ijtihadnya di dalam masalah-masalah ijtihadiyah tidaklah kena oleh ayat ini.
Tentu saja tidak kena para mujtahid itu oleh ayat ini. Karena kalau mereka kena, tentu agama menjadi sempit. Padahal dalam perkembangan zaman, banyak timbul soal yang wajib diselesaikan secara ijtihad, yang pada zaman Rasul sendiri sebelum ada. Masalah ijtihadiyah ialah masalah yang tidak ada nash padanya, dan belum pernah ulama yang dahulu, terutama salaf, memperbincangkan soal itu.
Ijtihad dalam hal fiqih, yang berarti memahamkan agama telah dimulai oleh ulama-ulama yang dahulu. Sejak sahabat-sahabat sampai kepada tabiin dan ulama mutaqaddimin sudah ada ijtihad. Namun, ulama-ulama yang dahulu itu selalu mengatakan bahwa pendapat i j tihad mereka adalah zhann i belaka, tidak pasti dan tidakyakin. Keempat Imam sama saja bunyi seruan mereka, yaitu pendapat mereka hanya boleh dipakai bila kenyataannya berlawanan dengan Al-Qur'an dan hadits. Imam Syafi'i terkenal dengan perkataan beliau:
“Kalau terdapat hadits yang shahih (benar) maka itulah madzhabku."
Maka yang menimbulkan perpecahan bukanlah beberapa ijtihad, tetapi apabila suatu hasil ijtihad telah dipegang dengan yakin, dan tidak boleh ditinjau atau diubah lagi. Kemudian, timbul berbagai madzhab dan tiap madzhab mengatakan bahwa pihak merekalah yang benar. Kadang-kadang, ternyata pendapat seorang mujtahid itu setelah diselidiki dengan saksama, berbeda dengan maksud suatu hadits yang shahih. Hadits shahih itu tidak dipakai orang karena orang telah memegang hasil ijtihad imamnya, dengan tak mau beranjak lagi.
Dan ... timbul perpecahan!
Imam-imam yang berempat tidaklah berselisih. Mereka sendiri hormat-menghormati di dalam pendapat masing-masing dan dapat bertolak angsur. Namun, pengikut yang datang di belakang telah pecah, seakan-akan madzhab menjadi suatu agama tersendiri, sampai menjadi pembicaraan di kalangan madzhab Hanafi, apa bolehkah seorang laki-laki bermadzhab Hanafi kawin dengan seorang perempuan bermadzhab Syafi'i. Di negeri Mekah sendiri, pusat perhimpunan kiblat kaum Muslimin, pernah beratus tahun lamanya terjadi shaiat berjamaah di Masjidil Haram empat imam bergilir pada tiap waktu karena pengikut madzhab yang ini tidak mau mengikut imam madzhab yang itu, sebab amalan dalam soal furu' ada perbedaan berkecil-kecil. Barulah pada 1925 setelah negeri Mekah ditaklukkan oleh Ibnu Sa'ud, shaiat berjamaah di Masjidil Haram dijadikan hanya satu kali pada tiap waktu. Sebelum itu, menurut cerita orang-orang tua, penganut madzhab Hanafi akan duduk saja menganggur ketika jamaah dengan imam madzhab lain, dan mereka baru mau shaiat setelah imam mereka tampil ke muka, yaitu yang paling penghabisan.
Pengetahuan kita tentang pecah-pecahan pula agar gelar Sayyid itu jangan hanya boleh dipakai oleh keturunan ‘Alawi, melainkan boleh juga dipakai oleh keturunan yang lain. Bertahun-tahun lamanya timbul dendam yang sangat mendalam di antara kedua belah pihak. Dan penjajah Belanda “tidak keberatan" campur tangan.
Dan terkadang timbul perselisilan yang membawa perpecahan karena masalah furu' (ranting) yang membawa juga pada permusuhan dan dendam kesumat. Misalnya saat timbul perselisihan tentang sunnah atau tidaknya melafazkan niat (ushalli) saat hendak memulai shalat. Atau tentang bid ah tidaknya berdiri (qiyam) membaca “Marhaban" ketika memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ Atau tentang sunnah atau bid'ahkah membaca talqin, yaitu mengajarkan beberapa ajaran pada mayat sesudah dikuburkan. Dan tumbuh juga perpecahan dan bergolong-golongan ketika memperbincangkan sampaikah atau tidak apabila seorang membaca surah Yaasiin, lalu menghadiahkan pahalanya membaca itu pada orang yang telah mati.
Di sinilah kita berjumpa suatu ujung yang sulit. Kalau soal-soal demikian tidak dibicarakan, timbullah kebekuan dalam agama dan terhentilah penyelidikan mencari mana yang lebih dekat kepada sunnah, artinya terhentilah penyelidikan agama secara ilmiah. Namun biasanya pula, kalau telah mulai dibicarakan, timbullah perselisihan, ada yang membantah dan ada yang mempertahankan. Kemudian, timbul ta'ashshub. Berkeras mempertahankan pendirian, baik pendirian mempertahankan maupun pendirian merombak. Di sinilah asal-usul berkaum muda dan berkaum tua. Maka, timbullah apa yang diperingatkan Allah dalam Al-Qur'an dijelaskan oleh Nabi dalam hadits tadi, yaitu berpecah-belah dan bergolong-golongan.
Namun, haruslah kita dengan teliti dan saksama memahami ayat-ayat dan hadits-hadits ini. Agama ‘bukan melarang kita membahas dan menyelidiki soal-soal agama, ushul dan furu', ijtihadiyah dan khilafiyah. Agama bukan melarang itu, bahkan menganjurkannya. Sebab kita disuruh berpikir, berpaham, dan mempergunakan akal. Yang dilarang adalah memaksakan pendapat sendiri kepada orang lain atau dengan paksa mempertahankan pendirian sendiri dan memandang musuh atau lawan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Dan lebih celaka lagi kalau perselisihan paham dalam soal-soal yang demikian sudah dijadikan latar belakang politik, untuk mempertahankan kedudukan golongan. Apalagi kalau sudah saling mengafirkan.
Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan, Nabi Muhammad tidaklah masuk ke dalam salah satu dari partai atau golongan yang telah berpecah-belah itu, walaupun masing-masing mempertahankan bahwa merekalah yang paling dekat kepada Nabi. Barulah Nabi masuk kembali kepada golongan itu apabila mereka telah masuk kembali. Bersatu bukanlah persatuan paham yang dipaksakan; bersatu ialah hormat-menghormati sebab Nabi sendiri di dalam hadits-hadits yang kita salinkan tadi tetap menyatakan bahwa, walaupun telah berpecah menjadi 73 partai, semuanya itu masih tetap beliau sebut “umati" umatku!
Dalam sejarah Islam terkenal timbul golongan Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, Asy'ari-yah, al-Maturidiyah, dan golongan yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Kalau ta'ashshub golongan telah memuncak, masing-masing mengatakan bahwa pihak merekalah yang lebih benar dan pihak yang lain adalah salah belaka. Padahal kalau kita analisa, dapatlah disimpulkan bahwa pada tiap-tiap golongan itu ada yang benar dan ada yang salah. Karena semuanya adalah hasil pendapat. Kalau pintu untuk bertukar pikiran telah ditutup dengan ta'ashshub, masih bisalah selalu ada peninjauan untuk memperbaiki mana yang salah dan menyetujui mana yang benar. Sebab Nabi sendiri pun telah bersabda:
“Tidaklah akan berkumpul umatku di atas suatu yang sesat."
Artinya, tidak ada golongan yang telah memutuskan bahwa jalan yang akan mereka tempuh ialah jalan sesat!
Meskipun Syria dan Lebanon itu sama-sama Arab, sama-sama Syam karena di Syria lebih banyak penduduk Islam dan Lebanon lebih banyak penduduk Kristen, penjajah Pe-rancis berusaha memecah belah kedua negeri ini. Keduanya merdeka, tetapi pecah. Dan di Lebanon dalam jumlah penduduk yang 1 juta itu terdapat 40 persen orang Kristen dan 60 persen orang Islam. Padahal maksud negara-negara penjajah, terutama Perancis hendak membuat negara itu bercorak Kristen. Untuk itu dihembuskan perpecahan di antara golongan-golongan Islam, yaitu Ahlul Sunnah, Syi'ah dan Duruz. Dan oleh karena pandainya penjajah melakukan jarumnya, mereka pun mengakuilah adanya perpecahan itu. Merasalah golongan Sunni bahwa mereka lain dari Syi'ah dan Syi'ah lain dari Duruz. Karena mereka terpecah, golongan yang terbesar ialah yang 40 persen, bukan yang 60 persen.
Penjajah Perancis di negeri-negeri Islam Afrika Utara (Tunisia, Marokko, dan Aljazair) menanamkan pula perpecahan di antara golongan Arab dengan golongan Barbar. Dengan jalan demikian, mereka dapat dijajah.
Beratus tahun di antara Persia (Iran) dan Arab bermusuhan karena berlainan madzhab. Namun, pada 1931 ketika terjadi Kongres Islam di Palestina, ulama-ulama Ahlus Sunnah telah mempersilakan mujahid madzhab Syi'ah yang terkenal dari Najaf (Irak) menjadi imam shalat berjamaah, yaitu Mauiana al-Kasyif al-Ghitha' Padahal ketika perselisihan diperdalam, Ahlus Sunnah amat keberatan menjadi makmum terhadap Syi'ah.
Hal yang luar biasa ini telah terjadi sebab pemuka-pemuka Islam itu telah insaf bahwa tangan lainlah yang memecahkan mereka. Bukan mereka yang pecah.
Contoh kecil dalam hal itu pernah juga terjadidilndonesia.SayyidAlibinAbdurrahman al-Habsyi Kwitang pernah menjadi imam shalat Idul Fitri di tanah lapang, padahal pada pendapat beliau lebih baik (afdhal) di masjid saja. Almarhum Kiai HA Wahid Hasyim pernah juga pada 1950 menjadi imam shalat Id di tanah lapang Gambir Jakarta. Namun, setelah perselisihan golongan diperhebat kembali di antara yang afdhal ke tanah lapang dan yang afdhal ke masjid saja, pernah kejadian berkali-kali (seumpama pernah kejadian di Tegal) bahwa ada orang shalat di dalam masjid dengan imam dan khatibnya sendiri, padahal tanah lapang (alun-alun) itu adalah di hadapan masjid. Memang di Tanah Jawa, alun-alun adalah di muka masjid. Tentu kita dapat mengatakan bahwa kalau misalnya Nabi kita Muhammad ﷺ hidup, tentu beliau tidak akan ikut pada kedua sembahyang itu. Karena kedua pihak sama mengerti pendapat masing-masing dan dapat dimusyawaratkan dengan baik, kalau tidak ada ta'ashshub, atau dengan keras mempertahankan golongan.
Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya satu yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya. Sehingga perpecahan bertambah hebat. Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya. Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga. Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik. Pedoman ini telah diberikan Allah pula di dalam surah al-Hujuraatayat 11. Yaitu, supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain dan segolongan perempuan jangan menghina golongan perempuan yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalannya yang lebih baik daripada amalan si penghina itu.
Lantaran kita kaum Muslimin yang datang di belakang ini pun karena meninjau kembali beberapa keterangan dari orang-orang dahulu yang banyak membicarakan soal 73 partai ini. Seumpama Ibnu Hazmin dalam al-Fashl atau as-Safarani di dalam kitab aqidahnya, bahwa Amir Syakib Arsalan sendiri di dalam komentarnya atas kitab HadhiruI Alamil Islamy pun menuruti cara itu. Yaitu ketika menerangkan 73 golongan dalam Islam lalu disebut:
Golongan Syfah itu terdiri dari Syi'ah Itsna ‘Asyariyah, Syi'ah Isma'iliyah, Syi'ah Qaramithah, Kaisaniyah, Zaidiyah, dan lain-lain. Adapun Mu'tazilah itu terdiri dari sekian banyak. Kemudian, dihitung pula beberapa pecahannya. Adapun Khawazij itu terdiri dari Hururiyah dan Ibadiyah dan ... lalu didaftarkan pula beberapa nama sehingga semuanya jadi berjumlah 72. Kemudian, diterangkan bahwa Ahli Sunnah wal Jama'ah ialah ini! Padahal orang Syi'ah membuat pula daftar demikian dan pada penutupnya mereka mengatakan bahwa yang benar hanya satu, yaitu madzhab Ahlul Bait.
Moga-moga berdekatlah paham penulis tafsir ini dengan kebenaran. Pada pendapat penulis jika Rasulullah ﷺ menyebut bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan, artinya ialah akan terdapat banyak sekali per-simpang-siuran pikiran. Kita teringat bahwa di dalam pemakaian bahasa Arab, yang berlaku juga dalam Al-Qur'an bahwa kalimat tujuh atau tujuh puluh adalah menunjukkan banyak, bukan berarti tepat tujuh puluh buah. Karena ini bukan kelompok, hanyalah penggolongan pikiran maka jalan pikiran yang banyak ber-simpang-siur itu bisa sesat semua, kecuali mana yang berpegang teguh pada apa yang dipegang Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya.
Oleh sebab itu, supaya pikiran kita yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai dengan kehendak Rasulullah ﷺ. Kita pakailah akal, ijtihad mashalihil mursalah, qiyas, istihsan dan sebagainya. Dengan demikian, kita mengharapkan selalu semoga hasil yang kita usahakan itu sesuailah hendaknya dengan kehendak Allah dan Rasul. Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkannya. Karena barangkali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki. Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah. Karena, kerap kali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.
Dan masing-masing kita memperdalam iman dan memperbanyak amal. Dan masing-masing kita tidak merasa golongan tersendiri. Namun, masing-masing kita sadar bahwa Nabi kita Muhammad ﷺ tetap mengatakan bahwa kita semuanya ini adalah “umati" umatku semua. Tersebutlah di ujung ayat,"
Lain tidak peikaia meieka itu kepada Allah-tah. Kemudian Dia akan memberitakan kepada meieka apa yang meieka keijakan."
Mari kita hormati kebebasan pikiran, biarpun sampai lebih dari 73 macam, asalkan semua bukan mendakwakan dia yang paling benar, melainkan semuanya berusaha mencari yang lebih benar. Berpadu dan bersatu, saling menolong, mempertahankan kemerdekaan agama dan tanah air, menolak penjajahan dan menentang segala campur tangan asing yang akan merusak binasakan quwwah yang ada dalam Islam.
MEMECAH BELAH AGAMA PADA ZAMAN MODERN
Segala yang kita urai paparkan sebelumnya, adalah hasil penyelidikan atas buah pikiran ahli-ahli tafsir yang telah terdahulu. Namun, pada zaman modern ini timbul lagi keadaan-keadaan baru yang membawa pecah-belahnya kekuatan Islam, secara baru pula. Orang bukan lagi berpecah-belah pada madzhab di dalam agama atau firqah-firqah yang terkenal, yang menimbulkan nama Mu'-tazilah, Khawarij, Syfah, Murji'ah, dan seba-gainya, yang telah tersebut namanya dalam sejarah perkembangan pikiran Islam. Karena meskipun timbul madzhab dan firqah dalam Islam, perselisihan hanya terjadi dalam suasana sesama sendiri, dalam melakukan taat kepada Allah. Misalnya di antara ketaatan memegang yang tertulis, yaitu madzhab salaf dan kebebasan memakai pikiran, yaitu Mu'tazilah.
Banyak terdapat aliran filsafat, baik mengenai urusan kenegaraan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Terdapat berbagai paham dan ajaran dengan berbagai nama. Seumpama sosialisme, komunisme, liberalisme, pragmatisme, demokrasi, dan sebagainya. Orang-orang yang masih mengakui beragama Islam tetapi tidak mengkaji sedalam-dalamnya ajaran Islam sendiri, lalu meminjam atau mempertahankan ideologi-ideologi yang lain itu dan meninggalkan syari'at Islam sendiri. Mereka mengambil sosialisme sebagai dasar negara mereka karena dunia sekarang katanya sedang diliputi oleh paham sosialisme. Bahkan ada di antara peniru itu yang berkata bahwa ajaran Islam tidak sesuai lagi dengan zaman. Ajaran Islam hanya sesuai dengan masyarakat Arab, tidak cocok dengan masyarakat kita. Padahal sosialisme yang mereka ambil alih dari ajaran orang lain terpaksa juga terkadang mereka sesuaikan dengan iklim negeri mereka sendiri.
Dengan sendirinya, mereka berpecah-belah dari agama Islam dan pindah demikian saja pada ajaran lain. Padahal ajaran lain itu hanya buatan manusia yang bisa berubah karena perubahan ruang dan perubahan waktu.
Ada pula yang mengakui bahwa beberapa ajaran dari ideologi lain itu sesuai dengan Islam. Karena ajaran itu sesuai dengan Islam, mereka tinggalkan Islam itu sendiri dan mereka pilih ajaran lain itu. Padahal kalau mereka berpikir sehat, kalau memang ajaran lain itu ada sebahagian yang sesuai dengan Islam, mengapa tidak Islam saja mereka pertahankan dan lengkapi mana yang kurang dari segi pelaksanaan? Itulah sebabnya, kerap kali terdapat orang Islam yang taat mengerjakan shalat lima waktu, padahal mereka mempertahankan nasionalisme yang sempit. Itu pula sebabnya, ada ulama yang berpidato di muka umum dengan mengemukakan beberapa ayat dan hadits Nabi untuk membela sosialisme atau komunisme.
Islam adalah satu ajaran yang datang dari langit, mengandung syari'at, ibadah, muamalah (kemasyarakatan), dan kenegaraan. Semua datang dari satu sumber, yaitu tauhid, kepercayaan kepada Allah. Ia tidak boleh dipreteli, misalnya dijalankan shalatnya saja, tetapi kenegaraannya diambil dari ajaran lain. Dituruti aturan nikah kawinnya saja, padahal ajaran ekonominya dikesampingkan. Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari islam, kafirlah orangnya, walaupun dia masih shalat.
Bahaya yang menimpa Islam sekarang ialah bahwa penganutnya sendiri meninggalkan ajarannya, lalu memakai ajaran lain. Mencela dan mengatakan Islam tidak sesuai dengan zaman modern, tetapi orang-orang itu masih juga mengakui dirinya orang Islam. Mereka berpecah-belah dari agamanya dan membentuk kelompok sendiri di dalam mengekor kepada paham lain.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap amal dan perbuatan yang baik.
Ayat 160
“Dan barang siapa yang datang dengan satu kebajikan maka untuknya adalah sepuluh kali ganda."
Sesudah menerangkan perpecah-belahan yang membawa timbulnya golongan-golongan, Allah menerangkan bahwa Rasulullah ﷺ tidaklah masuk kepada salah satu golongan mana pun. Masing-masing diri dalam masing-masing golongan bertanggung jawab sendiri tentang pendiriannya di hadapan Allah dan Allah kelak akan menerangkan duduk perkara yang sebenarnya sejelas-jelasnya. Sekarang dengan ayat ini diperintahkan kita masing-masing memperbanyak berbuat baik. Buktikanlah pendirian yang diyakini kebaikannya dengan amalan yang baik pula.
Artinya ialah barangsiapa yang datang kepada Tuhannya pada Hari Kiamat dengan sifat-sifat yang baik, yang telah dicapkan kepada dirinya oleh imannya, dibuktikan pula iman itu dengan amal yang shalih maka dia akan mendapat ganjaran atau pahala atau balasan dari sisi Allah dengan sepuluh ganda kebaikan. Satu dia berbuat baik, sepuluh ganda gantinya dari Allah. Sebab kesudian berbuat amal yang baik ialah dari sebab di dalam jiwa sendiri memang telah tertanam keinginan berbuat baik.
Pada umumnya kita bertemu, baik di dalam Al-Qur'an ataupun penjelasan di dalam hadits bahwa suatu kebaikan akan dibalas sepuluh kali ganda. Namun, tersebut di dalam surah al-Baqarah: ayat 261, bahwa orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seumpama menanam satu benih biji, yang bertangkai tujuh dan tiap-tiap satu tangkai berbuah seratus, menjadi satu biji yang ditanam akan memberikan hasil 700 buah biji lagi. Selanjutnya, diterangkan bahwa Allah akan melipatgandakan lagi bagi siapa yang dikehendaki-Nya, Dan di dalam surah al-Baqarah ayat 245 dan di dalam al-Hadid: ayat 11 dan surah al-Taghabun: ayat 17 terdapat keterangan yang sama bahwa barangsiapa yang sudi meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, Allah berjanji akan membayarnya kembali berlipat ganda. Apabila dipertemukan ketiga macam ayat ini, kita mendapat kesimpulan bahwasanya seorang yang berbuat suatu kebaikan maka sekurang-kurangnya dia akan mendapat balasan dari Allah sepuluh ganda. Dan ke atasnya sampai berlipat ganda bahkan sampai sangat banyak. Sebab perkataan dari 700 adalah arti daripada sangat banyaknya ganda yang akan diberikan Allah. Sebab, cara orang menafkahkan harta benda itu memang bertingkat-tingkat pula. Keikhlasan memberi, menjaga perasaan yang diberi, kadang-kadang diberikan dengan rahasia, bukan karena ingin cari nama, atau memulai terlebih dahulu mengeluarkan harta supaya dituruti oleh teman yang lain, lepas dari mengharapkan balasan di belakang hari. Semua itu ada tingkatannya. Kadang-kadang seorang yang kurang mampu, tetapi karena ikhlasnya diberikannya agak banyak jika dibandirigkan kekuatannya yang terbatas itu. Niscaya dia akan mendapat pahala lebih besar dari orang kaya raya yang memberikan di bawah dari kepatutan menilik kepada kekayaannya.
Misalnya ada seorang yang kekayaannya hanya satu juta, lalu dia memberikan dua ratus ribu. Tentu pahaia orang ini lebih besar dibandirigkan orang yang kekayaannya seratus juta, sedangkan dia hanya memberi satu juta. Meskipun pada jumlah tampak di lahir, lebih banyak satu juta daripada dua ratus ribu. Dalam salah satu perlombaan mengeluarkan harta guna membelanjai jalan Allah, Abu Bakar pernah memberikan seluruh harta bendanya dan Umar memberikan separuh dari kekayaannya.
Uang sepuluh rupiah di tangan seorang fakir miskin jauh lebih mahai harganya daripada uang satu juta di tangan seorang yang multi miliuner. Kalau si miskin memberikan uang sepuluh rupiah itu untuk jalan Allah, artinya dia memberikan sepiring nasi yang akan dimakannya. Sedangkan orang kaya yang memberikan satu juta belum berarti apa-apa jika dibandirigkan dengan yang tinggal dalam tangannya. Memberikan harta dengan hati gembira untuk membangunkan kebajikan, baik di dalam keadaan miskin maupun keadaan mampu karena mengharapkan balasannya di akhirat, lebih baik daripada mengeluarkan sambil bersungut dalam hati, walaupun di muka kelihatan manis juga. Namun, batas paling sedikit daripada ganjaran yang akan diberikan Allah ialah satu dibalas sepuluh. Dan ke atasnya tidaklah ada batasnya, entah tujuh ratus entah lebih. Oleh sebab itu, ketika sampai di akhirat untuk menerima balasan itu, segala orang akan ditimpa oleh penyesalan, walau dia orang yang dermawan sekalipun. Melihat penggandaan pahala yang diterima, mereka akan menyesal, mengapa hanya sekian aku memberi dahulunya, sedangkan aku sanggup memberi lebih. Padahal begini besar ganjaran yang diterima lantaran pengurbanan yang aku berikan dahulu itu.
Dan datanglah sambungan ayat, “Dan ba-rangsiapa yang datang dengan satu kejahatan maka tidaklah dia akan diganjari, melainkan seumpamanya." Artinya, barangsiapa yang datang di akhirat menghadap Allah dengan
sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam diri karena kufur atau berbuat perbuatan-perbuatan keji dari munkar, ganjaran siksaan yang akan diterimanya setimpal dengan keja-hatannya itu. Sudah sewajarnyalah bahwa suatu kejahatan meninggalkan bekas yang buruk dalam jiwa, itulah yang akan dibalas dengan adil oleh Allah.
“Sedang mereka tidaklah akan dianiaya."
(ujung ayat 160)