Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدِ
dan sesungguhnya
ٱسۡتُهۡزِئَ
telah diperolok-olok
بِرُسُلٖ
pada beberapa Rasul
مِّن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
فَحَاقَ
maka turunlah
بِٱلَّذِينَ
pada orang-orang yang
سَخِرُواْ
(mereka)mencemoohkan
مِنۡهُم
diantara mereka
مَّا
apa
كَانُواْ
yang mereka
بِهِۦ
dengannya
يَسۡتَهۡزِءُونَ
mereka memperolok-olok
وَلَقَدِ
dan sesungguhnya
ٱسۡتُهۡزِئَ
telah diperolok-olok
بِرُسُلٖ
pada beberapa Rasul
مِّن
dari
قَبۡلِكَ
sebelum kamu
فَحَاقَ
maka turunlah
بِٱلَّذِينَ
pada orang-orang yang
سَخِرُواْ
(mereka)mencemoohkan
مِنۡهُم
diantara mereka
مَّا
apa
كَانُواْ
yang mereka
بِهِۦ
dengannya
يَسۡتَهۡزِءُونَ
mereka memperolok-olok
Terjemahan
Sungguh, rasul-rasul sebelum engkau (Nabi Muhammad) benar-benar telah diperolok-olokkan, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemooh mereka (rasul-rasul) apa (azab) yang selalu mereka perolok-olokkan.
Tafsir
(Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu) ungkapan ini mengandung makna yang menghibur hati Nabi ﷺ (maka datanglah) turunlah (kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perolok-olokkan) yang berupa azab; demikian pula siksaan itu akan menimpa orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.
Tafsir Surat Al-An’am : 7-11
Dan jika Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata, "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”
Dan mereka berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?" Dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentu selesailah urusan itu, kemudian mereka tidak diberi penangguhan (sedikit pun untuk bertobat)
Dan jika Kami jadikan rasul itu seorang malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan dia berupa seorang laki-laki) tentulah Kami menjadikan mereka tetap ragu terhadap mereka sebagaimana mereka ragu terhadap diri mereka sendiri.
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah azab kepada orang-orang yang mengolok-olok itu sebagai balasan (azab) terhadap olok-olok mereka.
Katakanlah, "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
Ayat 7
Allah ﷻ berfirman, menceritakan perihal kaum musyrik dan keingkaran serta kesombongan mereka terhadap perkara yang hak, dan sikap menantang mereka terhadap yang hak.
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri.” (Al-An'am: 7)
Yakni mereka melihat turunnya kitab itu dengan mata kepala mereka sendiri, lalu mereka memegangnya.
“Tentulah orang-orang yang kafir itu berkata, ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata’.” (Al-An'am: 7)
Hal ini semakna dengan apa yang diberitakan oleh Allah ﷻ tentang kesombongan mereka terhadap hal-hal yang nyata, yaitu melalui firman-Nya: “Dan jika seandainya Kami membutuhkan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya. Tentulah mereka berkata, ‘sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir’.” (Al-Hijr: 14-15)
Dan sama dengan yang terdapat di dalam firman-Nya:
“Jika mereka melihat gumpalan awan dari langit gugur, mereka akan mengatakan, ‘Itu adalah awan yang bertumpuk-tumpuk (yang akan menurunkan hujan)’.” (At-Tur: 44)
Ayat 8
Firman Allah ﷻ : “Dan mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat’?” (Al-An'am: 8)
Yakni sebagai juru pemberi peringatan bersamanya.
Maka Allah menjawab melalui firman-Nya: “Dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentu selesailah urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikit pun).” (Al-An'am: 8)
Yakni seandainya diturunkan malaikat kepadanya untuk mereka, niscaya akan datang kepada mereka azab dari Allah.
Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya yang lain:
“Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh.” (Al-Hijr: 8) Juga seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 22), hingga akhir ayat.
Ayat 9
Mengenai firman Allah ﷻ : “Dan kalau Kami jadikan rasul itu seorang malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa seorang laki-laki. Dan (kalau Kami jadikan dia berupa seorang laki-laki), tentulah Kami akan menjadikan mereka tetap ragu terhadap mereka (rasul malaikat) sebagaimana mereka sekarang juga ragu terhadap diri mereka sendiri (rasul manusia)” (Al-An'am: 9)
Yakni jika Kami mengirimkan kepada manusia seorang rasul dari malaikat, tentu dia akan berwujud laki-laki (manusia) agar mereka bisa berinteraksi dengannya dan mendapatkan manfaat darinya. Dan seandainya hal itu memang terjadi, niscaya hal itu akan membuat mereka tetap akan ragu sebagaimana mereka sekarang juga ragu terhadap diri mereka sendiri dalam menerima rasul manusia.
Hal ini sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Kalau sekiranya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul’.” (Al-Isra: 95)
Maka ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada makhluk-Nya. Dia mengutus kepada setiap jenis makhluk, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, agar dia dapat mendakwahi mereka dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil manfaat darinya dalam berkomunikasi dan bertanya jawab.
Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain:
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah dan membersihkan (jiwa) mereka.” (Ali Imran: 164), hingga akhir ayat.
Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa seandainya datang kepada mereka seorang malaikat, maka malaikat itu akan mendatangi mereka dalam bentuk (rupa) seorang laki-laki. Karena sesungguhnya mereka tidak akan dapat melihat malaikat dalam bentuk aslinya, karena malaikat diciptakan dari nur (cahaya).
“Sebagaimana mereka ragu terhadap diri mereka sendiri (rasul manusia).” (Al-An'am: 9)
Yakni niscaya Kami membuat mereka bingung tentang apa yang mereka bingungkan terhadap diri mereka sendiri. Menurut Al-Walibi, makna ayat ialah ‘dan tentulah Kami menjadikan mereka ragu terhadap mereka (rasul malaikat)’.
Ayat 10
Firman Allah ﷻ: “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan (azab) terhadap olok-olok mereka.” (Al-An'am: 10)
Makna ayat ini mengandung penghiburan yang ditujukan kepada Nabi ﷺ dalam menghadapi kaumnya yang mendustakannya. Ayat ini juga menjanjikan kemenangan bagi Nabi dan bagi orang-orang yang beriman kepadanya, bahwa akan diperoleh kemenangan dan kebaikan di dunia dan akhirat.
Ayat 11
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu’!” (Al-An'am: 11)
Yakni perhatikanlah (renungkanlah) oleh kalian sendiri dan lihatlah apa yang telah ditimpakan oleh Allah terhadap generasi-generasi terdahulu, yaitu mereka yang mendustakan rasul-rasul-Nya dan mengingkarinya. Mereka mendapatkan azab, balasan, dan siksa di dunia (di samping azab pedih yang telah menunggu mereka di hari kemudian). Dan bagaimanakah Kami selamatkan rasul-rasul Kami beserta hamba-hamba Kami yang beriman.
Allah menjelaskan bahwa ajaran para rasul cenderung ditolak dan rasulnya dicemoohkan oleh manusia yang sombong. Dan sungguh, beberapa rasul sebelum engkau, Muhammad, telah diperolok-olokkan, oleh kaumnya yang sombong dan keras kepala, sehingga turunlah azab berupa bencana alam dan kejadian luar biasa kepada orang-orang yang mencemoohkan itu, supaya mereka menyadari kesalahannya dan mengubah sikapnya. Azab itu ditimpakan sebagai balasan atas olok-olokan mereka terhadap para rasul yang mengajak mereka kepada jalan Allah. Orang-orang kafir lalu diminta untuk mengamati nasib umat manusia sebelumnya yang mendustakan ajaran Allah. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang kafir yang menolak ajakan beriman kepada Allah, Jelajahilah bumi, dengan mengunjungi jejak para nabi dan menelaah kisah umat-umat terdahulu, kemudian perhatikanlah dengan cermat melalui pikiran yang jernih dan hati yang bersih, bagaimana kesudahan, perjalanan hidup dan nasib orang-orang yang mendustakan ajaran Rasulullah itu di dunia'
Sesudah Allah menerangkan kekacauan pikiran orang-orang kafir tentang kerasulan dimana mereka terus menerus mengingkarinya, maka ayat ini menjelaskan, bahwa sikap perlawanan mereka terhadap kerasulan Muhammad serupa dengan perlawanan orang-orang kafir terhadap rasul-rasul Allah pada zaman dahulu. Permusuhan dan penghinaan yang dialami Nabi Muhammad dialami pula oleh rasul-rasul sebelum beliau. Firman Allah:
Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya. (Yasin/36: 30)
Penghinaan orang-orang kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari permusuhan manusia terhadap para rasul sejak zaman dahulu, maka akibat yang mereka hadapi tentulah sama dengan akibat yang dihadapi oleh umat terdahulu. Ayat ini menjelaskan bahwa mereka yang mencemoohkan dan menghinakan para rasul akan ditimpa azab.
Ayat ini menerangkan sunatullah yang berlaku bagi umat manusia di masa dahulu dengan para rasul Allah. Ayat ini juga sebagai penghibur dan pelipur hati Nabi Muhammad, karena penghinaan kaumnya kepadanya, yaitu berita kemenangan terakhir kelak bagi Nabi dan pengikut-pengikut beliau, dan kekalahan musuhnya. Hanya saja kaum Nabi Muhammad tidak akan menerima azab seperti umat-umat yang lalu, yakni kemusnahan dan kebinasaan hidup. Azab yang dijatuhkan kepada mereka tidaklah mengakibatkan kemusnahan dan kehancuran karena Nabi Muhammad adalah "Nabiyyurrahmah", nabi yang membawa rahmat kepada umat manusia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 10
“Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum engkau."
Memperolok-olokkan rasul itu bukanlah kejadian sekarang kepada engkau saja, wahai utusan-Ku. Orang-orang yang kafir pada zaman dahulu pun telah mengolok-olok pula rasul-rasul yang diutus Allah kepada mereka. Terkadang, mereka minta yang tidak-tidak, seperti Bani Israii meminta diperlihatkan Allah ke hadapan mereka atau umat Nabi Sha-lih. Mereka meminta unta dikeluarkan dari dalam batu.
“Maka, turunlah kepada orang-orang yang memperolok-olokkan itu, di antara mereka, (batasan dari) apa yang mereka perolok-olokkan itu."
Sebagian kecil Bani Israii meminta supaya Allah diperlihatkan kepada mereka sebagai olok-olok lalu mereka-mereka yang meminta begitu, habis mati disambar geledek! Kaum Tsamud memperolok-olokkan Nabi Shalih. Mereka minta agar unta dikeluarkan dari dalam batu, unta itu pun dikeluarkan dengan qudrat iradah Allah. Namun, sebagian dari mereka mengkhianati janji lalu mereka menyembelih unta itu. Mereka yang bersalah itu dimusnahkan Allah. Yang tidak bersalah selamat. Itulah sebabnya dikatakan minhum, yang berarti di antara mereka. Allah pun Mahakuasa akan membuat yang seperti itu kepada umat yang memperolok-olokkan engkau ini, wahai utusan-Ku. Namun, rupanya terhadap nabi akhir zaman ini, atau Nabiyur-Rahmah ini, cemeti adzab yang demikian tidak akan diturunkan lagi. Mereka takkan dibinasakan lagi dengan geledek atau angin punting-beliung, tetapi mereka akan ditaklukkan dan dikalahkan, sebagaimana pernah dijawabkan oleh Rasulullah ketika Jibril bertanya kepadanya, ketika beliau pulang dari Thaif sampai berlumuran darah kakinya, mengalir ke terompahnya karena dilempari batu, jibril bertanya, apakah dia suka jika umat itu dihancurkan? Rasulullah hanya menjawab, “Ya Tuhanku, tun-jukilah kiranya kaumku karena mereka tidaklah mengetahui!" Namun, lima orang dari pemuda Quraisy yang mengolok-olok memang binasa sekaligus dalam Peperangan Badar. Inilah yang ditegaskan Allah pada surah al-Hijr ayat 95.
Mengapa sampai mereka memperolok-olokkan? Di antara sebab yang terpenting ialah karena hidup itu sajalah yang lain, tidak mencari perbandirigan di tempat lain. Atau, walaupun ada pergi ke tempat lain, mereka tidak mengambil perbandirigan. Sebagai pepatah bangsa kita, “Diam di laut asin tidak. Diam di rantau tidak meniru." Oleh sebab itu, Allah berfirman,
Ayat 11
“Katakanlah, “Mengembaralah di bumi kemudian pandangilah betapa jadiriya akibat dari orang-orang yang mendustakan.'"
Tinggalkanlah kampung halaman, jangan kamu berpusing-pusing di sini saja. Kalau kamu suka mengembara melihat negeri lain, niscaya akan kamu melihat bekas-bekas runtuhan kota dan negeri. Niscaya akan kamu ingat sejarah kebinasaan negeri-negeri itu yang sebabnya tidak lain karena mereka mendustakan keterangan-keterangan yang dibawa oleh rasul-rasul. Sedangkan hanya semata-mata mendustakan lagi dibinasakan dan dihancurkan Allah sehingga yang tinggal hanya bekas runtuhan, yang dapat kamu saksikan sendiri, apalagi yang mendustakan itu diiringi lagi oleh mengolok-olok, menunjukkan keruntuhan akhlak.
Ayat inilah satu bekal penting bagi tiap-tiap Muslim dan dikuatkan lagi oleh ayat-ayat lain, menyuruh mengembara di bumi dan di samping mengembara itu hendaklah melihat dan memerhatikan, memandang dengan mata hati. Orang Quraisy adalah kaum yang suka berniaga. Mereka berniaga ke Syam, Irak, dan ke sebelah selatan sampai ke Yaman. Namun, mereka hanya mengembara saja karena berniaga, tidak pernah mempergunakan pandangan tentang yang ditemui di jalan. Oleh sebab itu, di dalam ayat ini diasunglah orang untuk mengembara di muka bumi ini, lalu memasang telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat lalu membandirigkan dan mempertimbangkan. Dan, bertanya kepada yang tahu. Dengan luasnya pandangan, dapatlah hati sanubari diperkaya dan bebas dari pandangan sempit. Karena pandangan yang sempit dan jiwa yang kerdil itulah yang kebanyakan menjadikan orang kufur, lambat baru dapat dimasuki oleh kebenaran.
Lalu datanglah sambungan ayat,
Ayat 12
“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah yang ada di semua langit dan bumi?'"
Inilah perintah renungan sesudah perintah pengembaraan di muka bumi. Pergunakanlah penglihatan mata dan pendengaran telinga untuk meninjau dan merenungkan alam yang di keliling kita ini, mulai dari langit di atas sampai bumi di bawah kita.
jika alam cakrawala itu telah diperhatikan dan direnungkan maka berbagai macam pertanyaan akan timbul, “Apakah ini? Dari mana datangnya? Akan ke mana kelaknya? Betapa keadaannya? Terjadi sendirikah dia atau ada yang menjadikan? Dan siapakah aku sebagai manusia, di tengah-tengah alam ini? Di balik segala macam pertanyaan itu pasti datang pertanyaan yang inti, yaitu siapakah yang empunya atau yang menguasai alam ini?" Apa sebab pertanyaan yang sebuah itu menjadi simpulan dari segala pertanyaan? Karena setelah dipandang campuran warna, teraturnya ukuran, terbaginya waktu, terdengarnya bunyi, semuanya itu akan menggetarkan hati dan menimbulkan takjub, heran, serta terharu. Akan datanglah suatu jawaban pasti bahwa memang ada yang menguasai dan mempunyai seluruh langit dan bumi ini. Dan pasti bahwa Dia adalah Mahabesar dan Mahakuasa, kebesaran dan kekuasaan yang tidak dapat diukur oleh manusia yang kecil dan tidak berdaya ini. Maka datanglah jawab itu, dirumuskan oleh lanjutan ayat, “Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah.'" Itulah jarak yang pasti itu.
Matahari beredar menurut waktu yang teratur adalah kepunyaan Allah. Berjuta bintang menghiasi langit adalah kepunyaan Allah. Bumi tempat manusia berdiam, lengkap dengan segala darat dan lautnya, tumbuh-tumbuhan dan binatangnya, dan manusia dapat hidup di daratan bumi itu dengan persediaan rezekinya, itu pun kepunyaan Allah. Bertambah lanjut akal manusia, bertambah cerdas dia berpikir, bertambah pula rasa bahwa daya upaya manusia tidaklah dapat menilai penuh dan menyelami betapa besar kekuasaan itu. Sementara manusia menyelidik sebagian kecil saja, umurnya telah habis sebelum dia dapat mengetahui yang lain. Habis usia manusia dalam menyelidiki, akhirnya dia akan sampai pada kesimpulan bahwa dia tidak tahu.
Setelah pertanyaan dalam batin itu terjawab, yaitu bahwa semua kepunyaan Allah, datanglah lanjutan keterangan yang tidak dapat dimungkiri tentang sifat utama Allah. Lanjutan ayat berbunyi, “Dia telah mewajibkan atas diri-Nya memberikan rahmat."
Inilah satu jaminan Allah yang payah kepala ini buat diangka sehingga harus diterima dengan segala kerendahan hati. Di sini, Allah menjelaskan bahwasanya melimpahkan rahmat kepada hamba-Nya adalah satu kepastian bagi Allah. Apakah artinya Allah menjadikan alam, membentangkan semua langit dan menghamparkan bumi, memberi anugerah hidup kalau Allah tidak mempunyai sifat rahmat, yaitu kasih, sayang, dan cinta.
Engkau boleh masuk dari pintu mana pun yang engkau sukai di dalam menilik seluruh alam ini, tetapi engkau selalu akan tertumbuk pada kasih Allah. Kasih Allah itu meliputi langit dan bumi, meliputi makhluk melata, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan insan sendiri.
Ahli ilmu alam dapat mengatakan bahwasanya alam cakrawala ini terbentang menurut teori daya tarik dan perseimbangan bahwa yang berat jatuh ke bawah dan yang ringan merapung ke atas. Orang boleh mengatakan bahwa beribu-ribu bintang di angkasa luas, terletak dengan teratur, tidak terjadi perbenturan karena ada daya keseimbangan. Namun, kalau direnungkan lebih jauh dan lebih dalam, hakikat dari semuanya itu hanya satu, yaitu rahmat.
Ahli-ahli atom zaman modern mengatakan bahwasanya zat-zat gabungan yang mengelilingi atom yang diriamai proton, mengelilingi neutron dan sebagainya. Itulah yang mengandung tenaga (energi). Kata mereka, proton itu mempunyai lawan yang disebut ant-proton. Orang telah menyelidiki menurut ilmiah betapa dahsyat kekuatan antiproton itu sehingga kalau antiproton bangkit tenaganya, ia dapat memusnahkan seluruh alam ini dalam sekejap mata: “Laksana sekejap mata".
Sejak dunia mulai tercipta, atom itulah yang menjadi anasirnya dan antiproton telah ada sejak semula. Di dalam segala sesuatu telah didapat lawannya. Mengapa kemusnahan dunia itu tidak terjadi? Sebab alam itu ada yang empunya, sebagaimana tersebut di pangkal ayat dan yang empunya itu telah mewajibkan atas dirinya sendiri. Artinya, dia berjanji dengan dirinya akan tetap melimpahkan karunia rahmat-Nya bagi alam seluruhnya. Sejak bagian terbesarnya sampai pada bagian yang sekecil-kecilnya. Mulai dari gajah sampai dengan tungau dan hama, mulai dari matahari dengan satelitnya sampai dengan atom dan satelitnya pula.
Pelajari dan perhatikanlah betapa rahmat itu terlimpah kepada insan dalam segala gaya gerak hidupnya. Rahmat itu terbentang sejak dari masa zat insan diwujudkan, sejak dari masih segumpal nuthfah, mulai bergerak dalam rahim ibu, sampai muncul jadi manusia. Dan setelah lahir, terbentanglah seluruh bumi buat hidup, cukup yang akan dimakan, turun hujan, dan mengalir air buat minum. Dan setelah manusia ada di muka bumi, dia dijadikan khalifah oleh Allah Yang Rahman dan Rahim itu. Untuk melaksanakan kekhalifahan itu manusia diberi akal. Namun, dengan akal saja belumlah cukup rahmat itu Sebab akal saja pun bisa membawa sesat. Kemudian, Allah Yang Rahman mengirimkan utusan rasul-rasul dan nabi-nabi. Semuanya membawa wahyu dan ada yang membawa kitab. Ditunjukkan kepada manusia jalan yang benar dan yang lurus. Sekali-sekali manusia tidak bisa mengendalikan dirinya, lalu dia tersesat. Mes-kipun telah tersesat, kalau bertobat dengan sungguh-sungguh diberi pula tobat. Banyak kesalahan telanjur diperbuat tidak segera dijatuhkan hukuman. Kesalahan bisa dihapuskan pengaruhnya bilamana dituruti dengan berbuat baik. Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang shahih bahwasanya jika Allah berkenan memasukkan hamba-Nya ke dalam surga, pada hakikatnya bukanlah karena amalan hamba itu, melainkan hanya karena rahmat karunia Allah juga. Nikmat surga itu sendiri tidaklah sepadan dengan amalan manusia yang mereka kerjakan dalam masa hidup yang pendek. Misalnya, seorang berusia 70 tahun, beramal dan beribadah dalam dunia ini tidaklah menerus 70 tahun. Shalat seorang Muslim hanyalah lima waktu dan satu waktu sekira-kira 10 menit. Waktu yang lain boleh dipergunakan buat mencari rezeki. Malam hari disediakan untuk tidur istirahat melepaskan lelah, sedangkan pada waktu kecil sebelum baligh, belumlah ada taklif. Padahal, Allah menjanjikan barangsiapa yang beriman dan beramal saleh di kala hidupnya, akan dimasukkan ke dalam surga dan kekal di dalamnya.
Apakah arti usia 70 tahun dengan segala macam kekurangan itu dibandirigkan dengan kekal dalam surga dalam masa yang tidak terbatas lagi? Apakah pemberian karunia Allah yang berlimpah-limpah itu sepadan dengan amal yang kita kerjakan?
Oleh sebab itu, patutlah kita mengakui dengan segala kerendahan hati bahwa segala amal baik yang dapat kita kerjakan, belum dan sekali-kali belum sepadan dengan rahmat yang kita terima dan akan kita terima. Oleh karena itu, jika satu kali hati kita ini terbuka, kelambu kasyaf itu dibukakan oleh Allah, yaitu rahmat Allah yang bernama makrifat sehingga kita dapat berkontak dengan-Nya, bisa bermunajat kepada-Nya, akan berhargalah seluruh kehidupan kita dan berartilah hidup kita. Itulah satu kekayaan ruhani yang dengan emas, perak, atau uang berjuta-juta tidak dapat dihargai.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Allah menegaskan untuk menghilangkan kecemasan kita menghadapi hidup, bahwa memberikan rahmat adalah kewajiban-Nya. Tidak ada kekuasaan lain di atas kekuasaan Allah dan tidak ada yang memerintah Allah berkewajiban, tetapi Allah sendiri. Firman Allah itu diperkuat lagi oleh sabda junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ
Dari Abu Hurairah r.a. berkata dia, berkata Rasuhdiah ﷺ, “Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk ini, Dia telah menuliskan di dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya di atas Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului ke-murkaan-Ku. (HR Bukhari dan Muslim)
Di dalam beberapa hadits lagi ada tersebut bahwasanya Allah menjadikan rahmat itu 100 banyaknya, baru satu yang diturunkan ke bumi, sedangkan yang 99 lagi masih ditahan Allah.
Dari Aku Hurairah r.a. berkata dia; berkata Rasulullah ﷺ, “Allah telah menjadikan rahmat 100 bagian. Ditahan-Nya di sisi-Nya 99 dan diturunkan-Nya ke bumi 1 bagian. Dari bagian yang satu itulah timbulnya berkasih-kasihan seluruh makhluk sehingga seekor binatang mengangkatkan telapak kakiirya dari anaknya karena takut anaknya itu akan terinjak." (HR Bukhari dan Muslim)
Kasih seorang ibu terhadap anaknya sehingga nyamuk seekor pun dihalaunya. Seekor induk ayam melindungi anak-anaknya dengan sayapnya dan menantang apa saja yang hendak mengganggunya, walaupun pengganggu itu seekor gajah yang 100 kali lebih besar darinya. Adalah percikan dari satu rahmat Allah yang diturunkan ke bumi ini.
Rasa kasihan kepada anak kecil dan kepada orang tua yang telah lemah, rasa belas kasihan kepada orang yang lemah atau orang yang sakit dan rasa cinta dan simpati kepada keluarga dan handai taulan, adalah percikan dari sejemput di antara 100 jemput yang diturunkan ke bumi.
Oleh karena itu, disuruhlah setiap kita mengambil sifat Allah itu untuk dijadikan sifat diri. Kalau Allah meliputi alam makhluk-Nya dengan rahmat dan kita insan pun dilimpahi hingga tenggelam dalam rahmat Allah, hendaklah kita menegakkan pula sifat rahmat itu dalam diri kita sendiri. Beberapa hadits menyuruh kita bersifat rahmat kepada penduduk bumi agar yang di langit pun memberi rahmat kita pula.
Dari jarir r.a. berkata dia, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah Allah akan memberikan rah-mat kepada barangsiapa yang tidak memberi rahmat kepada sesama manusia." (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim juga dari Abu Hurairah, suatu waktu Rasulullah ﷺ duduk dalam majelisnya lalu datang cucunya Hasan bin Ali. Kemudian, beliau memangku cucunya itu dan beliau menciumnya dengan penuh kasih mesra. Dalam majelis itu, ada seorang bernama al-Aqra' bin Habis. Melihat Rasulullah mencium cucunya itu, berkatalah al-Aqra', “Aku mempunyai 10 orang anak, tidak seorang pun yang pernah aku cium." Beliau memandang wajah al-Aqra' dengan tenang lalu berkata,
“Barangsiapa yang tidak menyayangi niscaya dia pun tidak akan disayangi." (HR Bukhari dan Muslim)
Bahkan kepada binatang pun kita disuruh sayang. Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah ﷺ bercerita bahwa pernah seorang laki-laki dalam perjalanan di suatu jalanan yang panjang ditimpa kehausan. Kemudian, dia bertemu dengan sebuah sumur. Dia berhenti di sumur itu, lalu minum dan setelah lepas hausnya dia pun pergi hendak meneruskan perjalanan. Rupanya bertemulah di sana seekor anjing yang lidahnya telah terjela ke luar yang hampir menyentuh tanah karena sangat haus. Melihat itu, berkatalah orang itu dalam hatinya, anjing ini sudah sangat haus seperti aku tadi. Dia pun turun kembali ke dasar sumur itu dan mengisi sepatu panjangnya dengan air. Kemudian, dijinjingnya dengan giginya, lalu naik kembali dan diberinya minum anjing itu. Bersyukurlah orang itu kepada Allah karena telah dapat menolong binatang itu maka Allah pun memberi ampun akan dosanya.
Riwayat Abu Hurairah selanjutnya, Ali, di antara sahabat-sahabat yang hadir lalu bertanya, “Ya rasul Allah! Apakah kami mendapat pahala juga karena menolong binatang?" Rasulullah ﷺ Menjawab, “Pada tiap-tiap jantung yang bernapas, ada pahalanya."
Dalam riwayat yang lain, tersebutlah seorang perempuan lacur melihat seekor anjing mengelilingi sebuah sumur sehingga telah terulur-ulur lidahnya saking hausnya. Kemudian, perempuan itu menanggalkan kasut panjangnya dan menyaukkan air untuk minum anjing itu. Dosa perempuan itu pun diampuni Allah.
Dalam riwayat lain lagi tersebut bahwa seorang perempuan mendapat murka besar dari Allah karena dia keluar dari rumahnya lalu dikuncinya pintu dan terkurung kucing kesayangannya di dalam rumah, sampai mati kucing itu kelaparan.
Diriwayatkan lagi oleh Abdurrahman bin Abdullah dari ayahnya bahwa mereka dalam suatu perjalanan mengiringkan Rasulullah ﷺ Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan sarang burung yang ada telurnya baru menetas dua ekor. Kemudian, kami ambil sarang itu dan kami ambil anaknya yang dua ekor itu. Melihat anaknya telah kami bawa, burung itu terbang rendah dekat kami sambil berkeliling melihat anaknya. Pada waktu itu, Rasulullah tiba dan beliau melihat perbuatan kami. Berkatalah beliau, “Siapa yang merebut anak burung ini dari induknya? Kembalikan kepada induknya." Hadits ini dirawikan oleh Abu Dawud.
Dan menurut riwayat Abu Dawud juga, dalam perjalanan itu pula ada seorang sahabat Rasulullah membakar sarang semut. Kemudian, beliau bertanya pula siapa yang membakar. Kami pun menjawab, “Kami!" Maka, beliau pun berkata, “Tidak ada seorang pun yang berhak membakar dengan api kecuali Allah Yang Maha Menjadikan api." Dan menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bersabda Rasulullah ﷺ:
“Pernah seorang Nabi digigit semut. Lalu Nabi itu menyuruh membakar sarang semut tersebu, sehingga habis terbakar. Lalu, datanglah wahyu dari Allah kepada Nabi itu, ‘Sesungguhnya seketika kamu membakar sarang semut itu, engkau telah membakar suatu umat yang sedang bertasbih memuja Allah.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Rasa inilah yang harus tertanam di dalam hati seorang Mukmin. Lantaran itu, hati Mukmin sejati tidaklah akan tahan melihat orang-orang mengejar dan memukuli anjing, tidaklah orang menyalahkannya jika dia tidak suka memeliharanya. Namun mengejar, memukul, dan melempar dengan batu sebab anjing itu mendekat ke pekarangan rumahnya, tidaklah sesuai dengan ruh semangat agama. Memang, satu waktu Rasulullah menyuruh membunuh anjing-anjing dalam Kota Madiriah, tetapi itu karena saat itu berjangkit penyakit anjing gila. Sebab, beliau berkata bahwa ada setan pada anjing pada waktu itu. Kemudian, beliau menyuruh untuk hentikan pembunuhan itu Karena mungkin penyakit itu tidak menular lagi.
Perasaan rahmat yang dilimpahkan Allah ini yang tampak terbentang pada seluruh alam raga, sampai pada pertumbuhan rumput, penyebaran benih, penghidupan manusia, dan segala binatang melata, hendaklah dijadikan pupuk untuk menyuburkan iman kita sehingga rasa benci hilang dari dalam hati. Rasa benci itu hanya mempersempit hati sendiri. Dengan pupuk rahmat itu, kita akan selalu melihat cahaya terang rahmat di sekeliling kita, bahkan ketika kita ditimpa bala bencana, kita belum merasakan rahmat itu. Oleh karena itu, kita diperintahkan bersabar menahan penderitaan. Apabila kita sabar, nanti akan kita pahami bahwa percobaan itu adalah rahmat.
Perasaan inilah yang menanamkan rasa malu tersipu-sipu seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana cerita Nabi Ayyub. Ketika istrinya bertanya kepada beliau, setelah beliau ditimpa malapetaka, mengapa tidak dimohonkannya kepada Allah agar dia segera dilepaskan dari bencana yang menimpanya itu. Nabi Ayyub menjawab, bahwa beliau malu tergesa-gesa memohonkan apa-apa kepada Allah sebab selama ini hanya rahmat saja yang dilimpahkan dari Allah. Mengapa dia akan mengeluh karena cobaan yang hanya sedikit jika dibandirigkan dengan rahmat yang banyak.
Dengan berpikir demikian, terasa bahwa apa pun yang kita kerjakan dalam hidup ini, belumlah sepadan dengan rahmat Allah yang kita terima. Inilah contoh yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ayyub a.s..
MIMPI
Dalam tahanan saya di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, pada petang Kamis malam Jum'at tanggal 27 Mei 1965, bersetuju dengan 25 Muharram 1385, sedang enak tidur kembali sehabis selesai mengerjakan Tahajjud, saya bermimpi bahwa saya mendaki sebuah lereng gunung yang amat curam dan sukar. Namun, pendakian itu dapat saya lalui dengan selamat sampai ke satu lapangan datar yang tidak jauh dari sana terbentang lautan luas nan hijau. Angin rasanya berhembus dan saya pun duduk istirahat berlepas. Tiba-tiba, di dekat saya ada tiga orang. Seorang di antara mereka membaca Al-Qur'an dan yang berdua mendengarkan dengan saksama.
Dibacanya:
“Kataba rabbuka ‘ala nafsihir rahmat"
Ayat rahmat dengan susunan kata seperti ini di dalam Al-Qur'an hanya pada dua tempat, keduanya dalam surah al-An'am ini. Pertama ayat 12 ini yang berbunyi,"kataba ‘ala nafsihir rahmata." (Dia telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri akan memberikan rahmat.)
Yang kedua ialah ayat 54 yang bunyinya, “Kataba rabbukum ‘ala nafsihir rahmata."
“Tuhan kamu telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri akan memberi rahmat."
Sebab itu tidak pernah ada kalimat, “Kataba rabbuka ‘ala nafsihir rahmata," sebagai yang saya dengar dalam mimpi saya itu.
Saya tadiriya hendak menegur bacaan yang salah itu, rabbukum bukan rabbuka. Namun, sebelum saya dapat menggerakkan mulut, menegur kesalahan itu saya telah terburu tersentak Pagi-paginya saya mengambil Al-Qur'an dan saya baca kembali surah al-An aam. Jelas bahwa tidak ada kalimat rabbuka. Yang ada adalah rabbukum.
Timbullah pertanyaan dalam hati saya, apakah mungkin khithaab (tujuan) kata ini di hadapkan kepada diri saya? Bahwa kesedihan dan kedukaan dalam tahanan diobati dengan ucapan itu, walaupun bukan ayat, bahwa saya tidak usah gelisah? Rabbukum adalah khithaab Allah kepada seluruh orang yang beriman kepada Allah dan in syaa Allah, termasuklah saya di dalam lingkungannya hendaknya. Tidak salah ketiga orang itu, seorang membaca dan dua orang menyimak, duduk membacanya dengan suara merdu dekat telinga saya, dan saya terharu.
Pada hari Sabtu, datang membesuklah saudara perempuan saya, Fatimah binti Abdul-karim Amrullah, istri dari guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Lalu saya ceritakan mimpi saya itu kepadanya dan minta supaya dia tanyakan kepada beliau, “Apakah ta'bir dari mimpi saya itu."
Pada keesokan harinya setelah dia datang, disampaikannyalah jawaban beliau. Beliau telah menjawab, “Kalau begitu mimpi Hamka, tandanya bahwa saatnya buat keluar dari tahanan telah dekat. Kalian tak usah susah hati lagi. Dia akan segera pulang. Sabar sajalah kalian."
Itulah jawaban Sutan Mansur dan begitu pula nasihat beliau kepada anak-anaknya (ke-menakan-kemenakan saya).
Saya bermimpi itu tanggal 27 Mei 1965, artinya tepat satu tahun empatbulan (16bulan) saya dalam tahanan. Dan 8 bulan sesudah itu, yaitu tanggal 21 Januari 1966, 19 Ramadhan 1385, saya pun dikenakan tahanan rumah dan persis satu tahun sesudah bermimpi itu (26 Mei 1966) saya dibebaskan sama sekali dari segala tuduhan dan bebas dari tahanan rumah dan tahanan kota. Lamanya dalam tahanan 2 tahun 4 bulan (ditangkap 27 Januari 1964, dibebaskan 26 Mei 1966). Dan setelah keluar, timpa-bertimpalah saya merasakan rahmat Allah atas diri saya, baik yang batin maupun yang lahir. Dan dapatlah saya menunaikan ibadah haji bersama istri dan anak laki-laki saya, Irfan, pada bulan Maret 1968, Dzulhijjah 1387.
Itulah satu pengalaman yang saya rasakan sendiri melalui mimpi berkenaan dengan ayat yang tengah saya tafsirkan ini.
“Sesungguhnya, akan dikumpulkan-Nya kamu kepada hari Kiamat yang tidak ada ragu-ragu tentang itu lagi."
Perjanjian bahwa pada hari Kiamat akan dikumpulkan kembali adalah dalam rangka kasih dan rahmat Allah jua. Rahmat itu tidah hanya di dunia ini saja. Dalam dunia, rahmat yang diriikmati baru satu. Di akhirat akan diterima 99 rahmat lagi yang telah dijanjikan sejak semula.
Di dalam surah as-Sajdah ayat 17, yaitu surah yang biasa dibaca imam pada shalat Shubuh hari Jum'at, Allah berfirman bahwa Dia menyediakan suatu cendera mata, suatu bingkisan istimewa buat menyambut kedatangan hamba-Nya yang patuh melaksanakan perintah Ilahi di kala hidup, sambil menikmati rahmat-Nya. Tidak ada suatu diri pun yang tahu apa lagaknya jenis barang atau cendera mata itu. Bahkan nabi-nabi pun tidak ada yang tahu.
Oleh karena itu, segala pelaksanaan dan penyempurnaan rahmat itu dapatlah kita renungkan dan pikirkan. Jika dalam alam yang lahir ini kita melihat betapa besarnya rahmat, ingat pulalah rahmat yang lebih besar untuk jiwa. Yaitu diberi kita akal, diutus kepada kita nabi-nabi dan rasul-rasul. Kepada nabi-nabi dan rasul-rasul itu diutus pula malaikat membawa wahyu Ilahi. Kemudian, nabi-nabi dan rasul-rasul itu menyampaikan isi petunjuk wahyu itu kepada kita. Dengan wahyu itu, kita dituntun menempuh ash-shirathal mustaqim jalan yang lurus. Dengan wahyu, kita dituntun membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang manfaat dan mana yang mudharat. Supaya kita selamat diantarkan dalam perjalanan itu menempuh pintu gerbang akhirat, melalui maut, melalui alam barzakh lalu menempuh hari Kiamat dari pertimbang-an dan perhitungan (yaumul hisab). Kemudian, akhirnya orang yang menuruti jalan itu selamat sampai ke tempat perhentiannya yang terakhir, yaitu kekal di dalam surga.
Kemudian datangiah lanjutan ayat:
“Orang-orang yang telah merugikan diri sendiri maka mereka itu tidaklah orang-orang yang beriman."
(ujung ayat 12)