Ayat
Terjemahan Per Kata
خَلَقَ
Dia menciptakan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
مِن
dari
صَلۡصَٰلٖ
tanah liat
كَٱلۡفَخَّارِ
seperti tembikar
خَلَقَ
Dia menciptakan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
مِن
dari
صَلۡصَٰلٖ
tanah liat
كَٱلۡفَخَّارِ
seperti tembikar
Terjemahan
Dia telah menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.
Tafsir
(Dia menciptakan manusia) yakni Nabi Adam (dari tanah kering) tanah kering yang apabila diketuk akan mengeluarkan suara berdenting (seperti tembikar) seperti tanah liat yang dibakar.
Tafsir Surat Ar-Rahman: 14-25
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan penciptaan manusia, bahwa Dia telah menciptakannya dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia telah menciptakan jin dari nyala api, yakni bagian yang paling ujung dari nyala api.
Demikianlah menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas; dan hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Zaid. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dari nyala api. (Ar-Rahman: 15) Maksudnya, dari nyala api yang terbaik, yakni ujungnya yang biru. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dari nyala api. (Ar-Rahman: 15) Yaitu dari inti api; hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah digambarkan-Nya kepada kalian (yakni tanah liat). Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Muhammad ibnu Rafi' dan Abdu ibnu Humaid, keduanya dari Abdur Razzaq dengan sanad yang sama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 16) Tafsirnya sama dengan yang sebelumnya.
Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. (Ar-Rahman: 17) Yakni kedua tempat terbitnya matahari di musim panas dan musim dingin, kedua tempat terbenamnya matahari di musim panas dan musim dingin. Dan dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari. (Al-Ma'arij: 40) Demikian itu karena berbeda-bedanya tempat terbit mentari dan perpindahannya di setiap hari, di saat-saat kemunculannya kepada manusia.
Dan dalam ayat yang lain disebutkan: (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9) Inilah makna yang dimaksud, yaitu berbagai derajat arah masyriq dan berbagai derajat arah magrib. Dan mengingat adanya perbedaan yang terjadi pada masyriq dan magrib ini mengandung kemaslahatan bagi makhluk, baik jin maupun manusianya, maka dalam firman selanjutnya disebutkan: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 18) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian keduanya bertemu. (Ar-Rahman: 19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna waltaqiyani ialah membiarkan keduanya mengalir.
Menurut Ibnu Zaid, Allah subhanahu wa ta’ala telah mencegah keduanya membaur dengan menjadikan pemisah yang menghalangi kedua air (asin dan tawar) membaur menjadi satu. Dan yang dimaksud dengan dua lautan ialah air asin dan air tawar. Air tawar adalah air yang terdapat di sungai-sungai yang ada di antara manusia. Pembahasan mengenainya telah kami sebutkan di dalam tafsir surat Al-Furqan, yaitu pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar, dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. (Al-Furqan: 53) Ibnu Jarir dalam hal ini memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bahrain ialah lautan yang ada di langit dan lautan yang ada di bumi.
Pendapat ini diriwayatkan dari Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Atiyyah, dan Ibnu Abza. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa dikatakan demikian karena mutiara itu terjadi berkat pertemuan antara laut yang ada di langit dan laut yang ada di bumi. Jika memang demikian, sudah barang tentu pengertian ini tidak di dukung oleh teks ayat yang menyebutkan: antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. (Ar-Rahman: 20) Yakni Allah telah menjadikan di antara keduanya dinding pembatas yang menghalangi keduanya dapat membaur, agar yang ini tidak mencemari yang itu, dan sebaliknya yang itu tidak mencemari yang ini sehingga dapat melenyapkan spesifikasi masing-masing yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala justru untuk tujuan tersebut.
Dan jika dikatakan seperti itu, berarti tidak ada lagi dinding penghalang yang mencegah air langit dan air bumi untuk terpisah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. (Ar-Rahman: 22) Yaitu kelompok masing-masing dari keduanya. Maka apabila hal tersebut dapat dijumpai pada salah satunya, itu sudah cukup. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri. (Al-An'am: 130) Sedangkan rasul-rasul itu hanyalah pada kalangan manusia secara khusus, bukan dari kalangan jin; dan ungkapan seperti ini dianggap sah secara mutlak.
Lu-lu- sudah dikenal, yaitu mutiara. Sedangkan marjan, menurut suatu pendapat adalah mutiara yang kecil-kecil, menurut Mujahid, Qatadah, Abu Razin, dan Adh-Dhahhak. Dan menurut riwayat yang bersumber dari Ali, marjan adalah mutiara yang besar-besar lagi yang terbaik. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari sebagian ulama saleh oleh Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pendapat ini dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi telah meriwayatkannya dari seseorang yang menceritakan kepadanya dari Ibnu Abbas.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ali, Mujahid, dan Murrah Al-Hamdani. Menurut pendapat yang lain, marjan adalah sejenis permata yang berwarna merah. As-Suddi telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Masruq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa marjan adalah permata yang berwarna merah. As-Suddi mengatakan bahwa marjan itu adalah permata dengan bahasa Persia. Adapun mengenai firman-Nya: Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu dapat memakainya. (Fathir: 12) Yakni protein hewani dari kedua air tersebut, yaitu air asin dan air tawar.
Sedangkan perhiasan itu hanyalah didapat dari air asin saja, tidak didapat pada air tawar. Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak sekali-kali setetes air yang jatuh dari langit ke dalam laut, lalu mengenai kerang dan masuk ke dalamnya melainkan terjadilah mutiara karenanya. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, tetapi ditambahkan bahwa 'jika tidak terjatuh di dalam kerang, maka air dari langit itu akan menumbuhkan anbarah'.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila langit menurunkan hujannya dan kerang-kerang yang ada di laut membukakan katupnya, maka tidak sekali-kali ada setetes air hujan yang masuk ke dalamnya melainkan akan menjadi mutiara.
Sanad atsar ini shahih. Mengingat mutiara dan marjan dapat dijadikan sebagai perhiasan dan merupakan nikmat bagi penduduk bumi, dan itu merupakan karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka, maka disebutkanlah dalam firman berikutnya: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 23) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya. (Ar-Rahman: 24) Yakni kapal-kapal yang berlayar. di lautan lepas. (Ar-Rahman: 24) Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan munsya-at ialah kapal yang mempunyai layar yang tinggi (yakni berbadan besar dan lebar), sedangkan kapal yang tidak demikian keadaannya bukan dinamakan munsya-at.
Qatadah mengatakan bahwa munsya-at artinya yang diciptakan, sedangkan selainnya mengatakan perahu tradisional. laksana gunung-gunung. (Ar-Rahman: 24) Yaitu seperti gunung-gunung pemandangannya karena besar dan tingginya, dan karena apa yang dimuatnya berupa barang-barang dagangan dan barang-barang kebutuhan yang diekspor dan diimpor dari suatu kawasan ke kawasan yang lain untuk keperluan manusia. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Ar-Rahman: 25) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Al-Aizar ibnu Suwaid, dari Umrah ibnu Suwaid yang mengatakan bahwa ia pernah bersama Ali ibnu Abu Thalib di tepi Sungai Furat, tiba-tiba datanglah sebuah perahu yang tinggi layarnya, lalu Ali duduk di atas permadani yang dihamparkan untuknya.
Kemudian ia mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. (Ar-Rahman: 24) Tuhan Yang telah menciptakannyalah yang membuatnya dapat berlayar di lautan ciptaan-Nya. Aku tidak membunuh Usman dan tidak pula bersekongkol untuk membunuhnya.
14-16. Setelah menjelaskan penciptaan langit dan bumi seisinya, Allah menjelaskan penciptaan manusia dan jin. Dia menciptakan jenis manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jenis jin dari nyala api yang murni tanpa asap. Maka, wahai manusia dan jin, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan'14-16. Setelah menjelaskan penciptaan langit dan bumi seisinya, Allah menjelaskan penciptaan manusia dan jin. Dia menciptakan jenis manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jenis jin dari nyala api yang murni tanpa asap. Maka, wahai manusia dan jin, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan'.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia pertama Nabi Adam dari tanah kering seperti tembikar, dan keras seperti tanah yang telah dipanggang. Di dalam Al-Qur'an banyak ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan yang lain menyebutkan bahwa ia diciptakan dari tanah liat serta di sini disebutkan tanah kering seperti tembikar. Tanah liat yang dipanggang dengan bara yang panas untuk menjaga ia tetap bersatu, tidak bercerai berai. Demikian pula manusia mempunyai nafsu makan dan minum, mempunyai nafsu kawin agar badannya dapat terpelihara dan dapat melanjutkan hidupnya, serta mempunyai keturunan. Ia mempunyai nafsu marah yang menjadikannya berani dan kuat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan mempertahankan dirinya dari bahaya yang mengancamnya serta serbuan musuh-musuh yang berada di sekitarnya. Kekuatan manusia ini seolah-olah sama dengan tanah liat yang telah masak agar menjadi tanah kering yang bagian-bagiannya melekat dengan kuat. Apabila tidak ada hal-hal itu tentu dia tidak akan dapat mempertahankan dirinya dari bahaya dan musuhmusuhnya, dari manusia lain atau binatang-binatang buas, maka ia akan hancur berkeping-keping menjadi santapan burung-burung dan binatang-binatang, sebagaimana tanah yang belum dimasak bertaburan diterbangkan angin. Penciptaan manusia dari tanah telah banyak dibicarakan pada ayat-ayat sebelumnya, antara lain pada ayat-ayat: al-hijr/15: 26 (dari lumpur hitam), al- hijr/15: 28 (tanah liat kering), ar-Rum/30: 20 (dari tanah), Fathir/35: 11 (dari tanah), shad/38: 71 (tanah liat), Gafir/40 (dari tanah), sedangkan pada Surah al-Furqan/25: ayat 54 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari air. Dari berbagai pernyataan ayat-ayat di atas tentang bahan penciptaan manusia, maka terdapat dua bahan yaitu air dan tanah. Sedangkan macam tanah yang sering dijelaskan adalah tanah liat, suatu jenis tanah yang tersusun oleh partikel yang sangat halus, dengan ukuran diameter partikel kurang dari 2 mikron. Jenis tanah ini memiliki sifat-sifat fisik yang plastis bila mengandung air. Secara kimia, larutan tanah liat dalam air memiliki kapasitas tukar kation, yaitu dapat mengikat ion atau senyawa kimia lainnya yang bermuatan listrik, tetapi dengan ikatan yang tidak terlalu kuat sehingga ion yang terikat bisa berganti-ganti dengan mudah. Tanah jenis ini pulalah yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat tembikar. Sementara proses penciptaannya amat sedikit diketahui (lihat Tafsir al-hijr/15: 26 dan 28).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
CIPTAAN MANUSIA, CIPTAAN JIN
Ayat 14
“Dia telah menciptakan manusia dari tanah liat bagai tembikar."
Berbagai penciptaan manusia telah diterangkan dalam Al-Qur'an, di antara satu ayat dengan ayat yang lain cukup mencukupkan. Asal-usul kejadian manusia ialah dari tanah. Di dalam surah as-Sajdah ayat 7 ada disebutkan,
“Yang membaguskan tiap-tiap sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia mulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia jadikan keturunannya dari sariairyang hina." (as-Sajdah: 7-8)
Maka dapatlah dipikirkan bahwasanya asal semula manusia terjadi ialah daripada tanah, yaitu tanah liat, dan tanah itu disaring lagi sampai kering, laksana tembikar. Di sini pun dapat dipikirkan betapa rahman-Nya Allah terhadap kita. Sebab dalam ayat 7 surah as-Sajdah itu telah diterangkan bahwa cara penciptaan itu telah dilakukan Allah dengan baik sekali, dengan sangat bagus.
Dari tanah liat yang disaring halus sampai menyerupai tembikar, demikian halus perkembangannya sampai bisa menjadi manusia. Dalam ayat-ayat yang lain dijelaskan pula berkali-kali bahwa kejadian itu melalui mani, dari mani berpadu menjadi nuthfah, menjadi
‘alaqah, menjadi mudhghah; segumpal air, segumpal darah, segumpal daging, dan dari daging itu bertumbuh menjadi manusia.
Maka segala yang diciptakan oleh Allah itu, dalam peningkat proses kejadiannya, selalu dalam cara yang indah sekali, sampai pun kepada telur ayam yang terdiri dari zat putih telur dan zat kuning sebelah dalam. Kemudian “dengan indah sekali" dalam masa kurang lebih dua puluh hari menjadi berdaging, bertulang, dan berbulu, lalu dia sendiri mematuk telur yang membungkus badannya, sampai dia bisa keluar dan menciap-ciap tanda hidup.
Semuanya itu dengan rahman Allah.
Ayat 15
“Dan telah menciptakan jin dari api yang sangat menyata."
Al-Aufi menjelaskan, sebagai keterangan yang dia terima dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menjelaskan dari api yang sangat bernyala ialah api yang sudah sangat murni apinya. Seumpama yang selalu kita lihat apabila orang yang melakukan las pada besi, maka kelihatanlah api itu sudah tidak merah lagi, tetapi sudah mendekat kepada hijau, dan panasnya api yang sudah sangat hijau itu melebihi dari api yang masih berwarna merah. Api yang sudah menghijau itulah yang dapat menembus besi, dari sangat panasnya.
Dengan kedua ayat ini sudah dijelaskan sejak semula perbedaan kejadian manusia dengan permulaan kejadian jin. Yang asal dari tanah teranglah bahwa dia bersifat benda, dan yang asal dari api teranglah bahwa api itu setelah menyala dia gaib kembali, meskipun hakikatnya masih ada. Maka di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad dalam satu isnad dan dirawikan pula oleh Muslim dalam isnad yang lain, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Allah telah menciptakan malaikat dari nur (ca-fiaya), dan mencintakan jin dari api yang sangat menyala dan menciptakan Adam daripada apa yang celah diterangkan sifatnya kepada kamu." (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Kemudian datanglah pertanyaan,
Ayat 16
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?"
Pertanyaan ini pun tepat menyuruh manusia berpikir mengenang bagaimana besarnya sifat rahman Allah, sehingga api menyala menjelma menjadi jin dan tanah liat yang terbuang di mana-mana bisa menjadi manusia? Dan selalu dapat dilihat?
Ayat 17
‘Tuhan dari dua timur dan Tuhan dari dua barat."
Memang timur dan barat itu pada hakikatnya bukanlah satu, melainkan dua. Sebab timur tempat terbitnya matahari dan barat sebagai tempat terbenamnya. Jika diperhatikan dengan saksama, tidaklah dia tetap pada satu tempat.
Perjalanan matahari atau lebih tepatnya lagi peredaran bumi, bertali dan berkelindan dengan pergantian musim. Musim dingin dan musim panas. Edaran matahari pun menurut musim pula, di musim panas dia condong terbit dari utara dan terbenam arah ke selatan. Di musim dingin dia condong ke selatan dan terbenam ke utara. Perlainan waktunya dapat kita rasakan. Di musim dingin lebih pendek siang dan panjang malam, di musim panas lebih panjang siang dan pendek malam. Saya pernah ada di Eropa di musim dingin di bulan puasa; maka teruslah saya berpuasa di bulan Ramadhan, meskipun saya musafir. Sebab puasanya tidak lebih dari sepuluh jam (dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore). Dan saya pernah pula di Eropa di musim panas, sudah pukul 10 sepatutnya sudah malam, namun matahari masih kelihatan. Hanya di daerah khatulistiwa sebagai tanah airku Indonesia sendiri yang tidak berbeda bilangan jam siang dan bilangan jam malam.
Di waktu itu pun terasalah bagaimana rahman Allah terhadap hamba-Nya. Sebagai seorang yang memeluk agama Islam dapatlah kita rasakan rah man dan rah i m-Nya Allah tatkala dalam musafir itu. Saya wajib berpuasa dalam bulan Ramadhan, tetapi kalau dalam musafir boleh menggantinya di hari yang lain sesampai kita di tempat tinggal yang tetap. Sebab agama diturunkan Allah bukanlah buat memberati kita. Dan kita pun boleh mempergunakan pertimbangan akal kita secara ikhlas dan jujur. Lalu selama saya musafir di Eropa di musim dingin itu (Oktober 1968), saya tetap berpuasa. Sebab saya pikir, jika puasa ini saya lepaskan, meskipun dibolehkan oleh agama, saya mesti mengqadhanya juga sesampai di tanah air. Dan kalau saya mengqadha di Indonesia, mulai Imsak (menahan) paling lambat pada pukul 4 dan saya harus wajib berbuka puasa pukul 6 lewat. Artinya sampai 14 jam. Sedang kalau saya berpuasa dalam musafir itu, saya hanya berpuasa selama 10 jam. Kecuali kalau musim panas. Waktu itulah yang baik, menurut pertimbangan saya, semoga pertimbangan itu tidak salah, jika saya tidak puasa. Sebab kadang-kadang pukul empat pagi matahari telah terbit dan terbenam pukul 10. Jadi kalau saya berpuasa juga sedang musafir di musim panas itu, saya akan berpuasa selama 16 jam. Padahal agama membolehkan saya meninggalkan puasa sebab musafir di waktu demikian.
Ayat 18
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?"
Tidak ada lagi yang patut didustakan, bahkan tidak ada yang akan didustakan. Sebab di dalam segala perintah dan larangan Allah, selalu ada manfaatnya kepada manusia, dan berguna bagi kemaslahatan manusia sendiri. Allah kaya dari seluruh alam ini.
“Allah telah menciptakan malaikat dari nur (ca-fiaya), dan mencintakan jin dari api yang sangat menyala dan menciptakan Adam daripada apa yang celah diterangkan sifatnya kepada kamu." (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Kemudian datanglah pertanyaan,
Ayat 16
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?"
Pertanyaan ini pun tepat menyuruh manusia berpikir mengenang bagaimana besarnya sifat rahman Allah, sehingga api menyala menjelma menjadi jin dan tanah liat yang terbuang di mana-mana bisa menjadi manusia? Dan selalu dapat dilihat?
Ayat 17
‘Tuhan dari dua timur dan Tuhan dari dua barat."
Memang timur dan barat itu pada hakikatnya bukanlah satu, melainkan dua. Sebab timur tempat terbitnya matahari dan barat sebagai tempat terbenamnya. Jika diperhatikan dengan saksama, tidaklah dia tetap pada satu tempat.
Perjalanan matahari atau lebih tepatnya lagi peredaran bumi, bertali dan berkelindan dengan pergantian musim. Musim dingin dan musim panas. Edaran matahari pun menurut musim pula, di musim panas dia condong terbit dari utara dan terbenam arah ke selatan. Di musim dingin dia condong ke selatan dan terbenam ke utara. Perlainan waktunya dapat kita rasakan. Di musim dingin lebih pendek siang dan panjang malam, di musim panas lebih panjang siang dan pendek malam. Saya pernah ada di Eropa di musim dingin di bulan puasa; maka teruslah saya berpuasa di bulan Ramadhan, meskipun saya musafir. Sebab puasanya tidak lebih dari sepuluh jam (dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore). Dan saya pernah pula di Eropa di musim panas, sudah pukul 10 sepatutnya sudah malam, namun matahari masih kelihatan. Hanya di daerah khatulistiwa sebagai tanah airku Indonesia sendiri yang tidak berbeda bilangan jam siang dan bilangan jam malam.
Di waktu itu pun terasalah bagaimana rahman Allah terhadap hamba-Nya. Sebagai seorang yang memeluk agama Islam dapatlah kita rasakan rah man dan rah i m-Nya Allah tatkala dalam musafir itu. Saya wajib berpuasa dalam bulan Ramadhan, tetapi kalau dalam musafir boleh menggantinya di hari yang lain sesampai kita di tempat tinggal yang tetap. Sebab agama diturunkan Allah bukanlah buat memberati kita. Dan kita pun boleh mempergunakan pertimbangan akal kita secara ikhlas dan jujur. Lalu selama saya musafir di Eropa di musim dingin itu (Oktober 1968), saya tetap berpuasa. Sebab saya pikir, jika puasa ini saya lepaskan, meskipun dibolehkan oleh agama, saya mesti mengqadhanya juga sesampai di tanah air. Dan kalau saya mengqadha di Indonesia, mulai Imsak (menahan) paling lambat pada pukul 4 dan saya harus wajib berbuka puasa pukul 6 lewat. Artinya sampai 14 jam. Sedang kalau saya berpuasa dalam musafir itu, saya hanya berpuasa selama 10 jam. Kecuali kalau musim panas. Waktu itulah yang baik, menurut pertimbangan saya, semoga pertimbangan itu tidak salah, jika saya tidak puasa. Sebab kadang-kadang pukul empat pagi matahari telah terbit dan terbenam pukul 10. Jadi kalau saya berpuasa juga sedang musafir di musim panas itu, saya akan berpuasa selama 16 jam. Padahal agama membolehkan saya meninggalkan puasa sebab musafir di waktu demikian.
Ayat 18
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan?"
Tidak ada lagi yang patut didustakan, bahkan tidak ada yang akan didustakan. Sebab di dalam segala perintah dan larangan Allah, selalu ada manfaatnya kepada manusia, dan berguna bagi kemaslahatan manusia sendiri. Allah kaya dari seluruh alam ini.
Ayat 19
“Dibiarkan-Nya mengalir dua lautan, lalu keduanya bertemu."
Dapatlah kita perhatikan bagaimana air mengalir pada sungAl-sungai yang besar, mengalirlah air sungai itu dari sisi mana pun dia datang, kelak bertemu di lautan besar. Tidaklah berhenti aliran itu siang dan malam. Di bumi ini ada berbagai macam genangan air yang dinamai danau, namun tujuannya ialah lautan.
Ayat 20
“Di antana keduanya ada batas yang tidak dilampauinya."
Perhatikanlah air yang di lautan lepas itu adalah asin dan air yang mengalir dari sungai adalah tawar. Beribu-ribu tahun lamanya pertemuan di antara air sungai yang tawar dengan air lautyang asin, namun air sungai tetap dalam tawarnya dan air laut tetap dalam asinnya, kecuali kalau sudah agak lama kemarau panjang sehingga air sungai menjadi tohor dan air laut mengganah naik. Di waktu itulah baru terasa sedikit asin agak ke hulu, namun di sumur atau telaganya dia tetap tawar. Benar-benar di antara keduanya ada batas yang tidak dilampauinya. Di kampung halaman saya sendiri, Batang Arau yang terkenal. Dari sejak seberang Padang kelihatan Arau mengalir dengan tawarnya menuju laut di Muaro yang ombaknya besar dan airnya asin. Sesudah dekat benar ke laut, barulah terasa asin itu. Adapun batas di antara air tawar dengan air asin itu benar-benar menunjukkan rahman Allah yang menakjubkan.
Ayat 21
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kation bendua dustakan?"
Cobalah bayangkan, bagaimanakah halnya kalau sekiranya pertemuan di antara dua macam air itu berkacau, sehingga air laut tidak menentukan lagi asinnya karena selalu didatangi oleh air tawar, atau air tawar menjadi asin karena pasang naik. Niscaya susah manusia buat minum, karena air asin jika diminum tidaklah akan melepaskan haus. Di sini jelas sekali lagi bahwa di dalam bumi ini sudah disediakan fasilitas buat manusia hidup.
Ayat 22
“Ketuai daripada keduanya mutiara dan meijan."
Keluar daripada keduanya, yaitu lautan besar atau lautan kecil; danau. Dari keduanya itu dapat dikeluarkan mutiara dan merjan. Mutiara menyelinap tumbuh di dalam lokan. Dia adalah permata yang mahal. Mutiara itu tumbuh di dalam lokan, yaitu kulit yang indah dari semacam kerang, dalam kulitnya. Sehingga kalau mutiara itu hendak dikeluarkan, hendaklah kulit lokan itu dipecahkan terlebih dahulu baru dia dapat dikeluarkan. Di negeri Jepang, mutiara itu dapat dibuat, dengan jalan menyuntikkan sesuatu zat ke dalam kulit lokan itu dan membiarkan bertumbuh dalam beberapa tahun. Warna mutiara itu sangat indah, putih berkilau dan termasuk permata yang mahal harganya, apatah lagi yang asli. Di Indonesia mutiara itu banyak bertumbuh di sebelah lautan Ternate, atau dekat Pulau Banda Neira.
Marajaan atau merjan, disebut merajaan juga dalam bahasa Indonesia, warnanya merah dan tumbuh di laut juga. Banyak didapat orang di Laut Merah dan mungkin ada juga di lautan yang lain.
Dalam ayat ini ada dibayangkan bahwa mutiara dan merjan itu tumbuh di dua macam laut, yaitu laut asin dan laut tawar. Adapun adanya di lautan asin yang luas itu memang dapat dicari orang. Negeri Kuwait yang sekarang terkenal karena hasil minyaknya, sampai pada sekitar tahun 1930 masih sebuah negeri yang hasilnya dari mutiara saja, sehingga itulah yang menjadi mata pencarian orang di sana. Karena hasil itu amat sedikit, boleh dikatakan di masa itu bahwa Kuwait satu negeri kecil yang miskin saja. Tetapi sejak minyak tanah keluar, berubahlah keadaan itu, jadi kaya melimpah-limpah, termasuk sebuah negeri kaya dengan penduduk yang sedikit.
Ayat 23
“Maka dengan kaiunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian bendua dustakan."
Renungkanlah baik-baik; tangan siapa yang menyelinapkan permata mutiara yang indah itu ke dalam lokan? Tangan siapa yang menumbuhkan merjan merah itu di dalam dasar laut, yang dapat diambil dan dikutip lalu dijadikan perhiasan perempuan?
Ayat 24
“Dan kepunyaan-Nyalah kapal-kapal yang berlayan di lautan."
Betapapun besarnya kapal, bahtera dan segala angkatan laut yang belayar mengarung lautan besar itu, namun dia kelihatan kecil saja laksana sabut kelapa yang diapung-apungkan oleh air. Dia belayar memperhubungkan satu benua dengan benua yang lain. Sejak dari kapal yang dilayarkan oleh kekuatan angin belaka, sampai kepada kapal yang telah dilayarkan dengan atom, dengan uap dan dengan mesin, bahkan akhirnya di zaman sekarang ini telah dilayarkan dengan tenaga atom.
“Laksana gunung-gunung."
Ayat 25
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian bendua dustakan."
Bukankah pelayaran kapal yang laksana gunung-gunung di lautan yang mahaluas itu membuktikan bagi kamu, bahwasanya kamu di antara satu dengan yang lain adalah perlu memerlukan, karena tidak ada bagian dunia yang cukup. Manusia cari mencari, hubung menghubung bagi memenuhi kepentingan masing-masing.
Ayat 26
“Setiap apa pun yang benada di atasnya akan musnah."
Artinya ialah bahwa setiap apa pun yang ada di permukaan alam ini, baik dia di bumi ataupun dia di langit, tidak ada yang akan kekal. Semuanya akan fana, akan habis akan lenyap. Bukan saja manusia atau segala yang bernyawa. Bahkan matahari dan bulan, bintang dan angkasa. Semuanya itu mulanya tidak ada, kemudian itu diadakan, setelah itu kelak akan selesai tugasnya lalu habis. Yang baru akan menjadi usang, yang muda akan menjadi tua.
Ayat 27
“Dan yang kekal hanyalah wajah Tuhan engkau, Yang Mahaagung lagi Mahamulia."
Asy-Sya'bi berkata, “Kalau telah engkau baca ayat kullu man ‘alaiha faanin" hendaklah teruskan kepada “wayabqaa wajhu rabbika dzul jalali wal ikraami." Jangan hentikan setengah jalan, bahwa semuanya yang ada di dunia ini semua akan fana, akan habis, sedang yang kekal hanya Allah saja. Dialah Yang Mahaagung dan Mahamulia, yang mesti ditaati bukan didurhakai, yang wajib dituruti bukan diingkari. Yang hidup semuanya akan mati. Setelah mati akan berbangkit dan akan diperiksa dengan saksama segala amal yang telah dikerjakan.
Ayat 28
“Maka dengan karunia Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kalian berdua dustakan."
Kamu telah lahir ke dunia dan telah hidup. Kalau usiamu panjang, yang pasti tua, dan kalau engkau bersedia mati segera, tidaklah engkau akan merasakan apa artinya tua. Sepanjang-panjang umur, tidak mungkin hidup terus, mesti mati. Jalan untuk mengelak dari tua dan dari mati tidak ada, sebab telah melalui hidup. Sebab itu tidak ada lagi jalan buat mendustakan kehendak Allah itu, baik kita sebagai manusia atau jin.
***