Ayat
Terjemahan Per Kata
ذُو
mempunyai
مِرَّةٖ
kekuatan/kecerdasan
فَٱسۡتَوَىٰ
lalu dia cukup sempurna
ذُو
mempunyai
مِرَّةٖ
kekuatan/kecerdasan
فَٱسۡتَوَىٰ
lalu dia cukup sempurna
Terjemahan
lagi mempunyai keteguhan. Lalu, ia (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli
Tafsir
(Yang mempunyai kecerdasan) yang mempunyai kekuatan dan keperkasaan, atau yang mempunyai pandangan yang baik, yang dimaksud adalah malaikat Jibril a.s. (maka menetaplah ia) maksudnya, menampakkan diri dengan rupa aslinya.
Tafsir Surat An-Najm: 5-18
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu' (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan tentang hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ Bahwa Jibril telah mengajarkan kepadanya apa yang harus ia sampaikan kepada manusia. yang sangat kuat. (An-Najm: 5) Yakni malaikat yang sangat kuat, yaitu Malaikat Jibril a.s. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. (At-Takwir: 19-21) Dan di dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: Yang mempunyai akal yang cerdas. (An-Najm: 6) Yaitu yang mempunyai kekuatan, menurut Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Zaid.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang mempunyai penampilan yang bagus. Qatadah mengatakan yang mempunyai bentuk yang tinggi lagi bagus. Pada hakikatnya tiada pertentangan di antara kedua pendapat di atas karena sesungguhnya Jibril a.s. itu mempunyai penampilan yang baik, mempunyai kekuatan yang hebat. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan melalui Ibnu Umar dan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sedekah (zakat) itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan dan tidak halal (pula) bagi orang yang mempunyai kekuatan yang sempurna. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (An-Najm: 6) Yang dimaksud ialah Jibril a.s. menurut Al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi. (An-Najm: 7) Yakni Jibril bertengger di ufuk yang tinggi, menurut Ikrimah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ikrimah mengatakan bahwa ufuk atau cakrawala yang tertinggi adalah tempat yang datang darinya cahaya subuh. Mujahid mengatakan tempat terbitnya matahari. Qatadah mengatakan tempat yang darinya siang datang. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Zaid dan lain-lainnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Masraf ibnu Amr Al-Yami Abul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Talhah ibnu Masraf, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Walid ibnu Qais, dari Ishaq ibnu Abul Kahtalah, yang tiada diragukan lagi ia menerimanya dari Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ tidak melihat rupa asli Malaikat Jibril kecuali sebanyak dua kali.
Dan pertama kalinya beliau ﷺ meminta Jibril untuk memperlihatkan rupa aslinya kepada beliau, maka ternyata rupa asli Jibril a.s. menutupi semua cakrawala. Dan yang kedua kalinya di saat beliau ﷺ naik bersamanya, hal inilah yang disebutkan oleh firman-Nya: sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi. (An-Najm: 7) Ibnu Jarir sehubungan dengan ayat ini mengemukakan suatu pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun selain dia, yang kesimpulannya menyebutkan bahwa malaikat yang sangat kuat lagi mempunyai akal yang cerdas ini, dia bersama-sama dengan Nabi Muhammad ﷺ bertengger di ufuk cakrawala bersama-sama, yaitu dalam malam Isra. Demikianlah bunyi teks pendapat Ibnu Jarir, tetapi tiada seorang ulama pun yang setuju dengan pendapatnya ini.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengemukakan alasan pendapatnya ditinjau dari segi bahasa Arab. Dia mengatakan bahwa ayat ini mempunyai makna yang sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita. (An-Naml: 67) Lafal al-aba di-ataf-kan kepada damir yang terkandung di dalam kunna tanpa menampakkan nahnu. Begitu pula halnya dengan ayat ini disebutkan oleh firman-Nya, "Fastawa, wahuwa," maka Jibril dan dia bertengger di cakrawala yang tertinggi.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Imam Al-Farra telah meriwayatkan dari sebagian orang Arab Badui yang telah mengatakan dalam suatu bait syairnya: Tidakkah kamu lihat bahwa kayu naba' (untuk busur) kuat lagi liat batangnya, tetapi tidak sama dengan kayu khuru' yang mudah patah. Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari segi bahasa cukup membantunya, tetapi tidak dapat membantunya bila ditinjau dari segi konteksnya.
Karena sesungguhnya penglihatan Nabi ﷺ terhadap bentuk asli Malaikat Jibril bukan terjadi di malam Isra, melainkan sebelumnya. Yaitu saat Rasulullah ﷺ sedang berada di bumi (bukan di langit), lalu Jibril turun menemuinya, lalu mendekatinya hingga berada dekat sekali dengannya, sedangkan ia dalam rupa aslinya seperti pada saat diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu mempunyai enam ratus sayap. Kemudian Nabi ﷺ melihatnya lagi di lain waktu di dekat Sidratil Muntaha, yaitu di malam Isra. Penglihatan pertama terjadi, pada masa permulaan beliau ﷺ diangkat menjadi utusan, yaitu pada saat pertama kalinya Malaikat Jibril datang menemuinya, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepadanya permulaan surat Al-'Alaq, setelah itu wahyu mengalami fatrah (kesenjangan), yang di masa-masa itu acapkali Nabi ﷺ pergi ke puncak bukit untuk menjatuhkan diri dari atas. Tetapi setiap kali beliau ﷺ hendak menjatuhkan dirinya, Jibril memanggilnya dari angkasa, "Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, dan aku Malaikat Jibril!" Maka tenanglah hati beliau ﷺ, tidak gelisah lagi. Tetapi ketika masa itu cukup lama, maka Nabi ﷺ kembali hendak melakukan tindakan tersebut, hingga pada akhirnya Jibril a.s. menampakkan dirinya kepada beliau, yang saat itu beliau sedang berada di Abtah. Jibril menampakkan rupa aslinya sejak ia diciptakan oleh Allah, yaitu mempunyai enam ratus buah sayap.
Rupa aslinya itu menutupi semua cakrawala langit karena besarnya yang tak terperikan. Lalu Jibril mendekatinya dan mewahyukan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Maka sejak saat itu Nabi ﷺ mengetahui besarnya malaikat yang membawakan wahyu kepadanya, juga mengetahui tentang keagungan dan ketinggian kedudukan malaikat itu di sisi Penciptanya yang telah mengangkat dia sebagai rasul. Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya yang menyebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Ubaid, dari Abu Imran Al-Juni, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Ketika aku sedang duduk, tiba-tiba Jibril a.s.
datang dan mencolek punggungku, maka aku berdiri dan menuju ke sebuah pohon yang padanya terdapat sesuatu seperti dua buah sarang burung. Maka Jibril duduk pada salah satunya dan aku duduk pada yang lainnya. Lalu pohon itu meninggi dan menjulang ke langit hingga menutupi kedua ufuk (timur dan barat), sedangkan aku membolak-balikkan pandanganku (ke atas dan ke bawah). Dan seandainya aku mau memegang langit, tentulah hal itu bisa kulakukan jika kuinginkan.
Dan aku menoleh ke arah Malaikat Jibril, ternyata dia menjadi seakan-akan seperti selembar kain yang terjuntai, maka aku mengetahui keutamaan pengetahuannya tentang Allah yang melebihiku. Lalu Jibril membukakan untukku salah satu dari pintu langit, dan aku melihat nur yang terbesar. Tiba-tiba di balik hijab terdapat atap mutiara dan yaqut. Dan Allah mewahyukan kepadaku apa yang dikehendaki-Nya untuk diwahyukan kepadaku.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada yang meriwayatkannya selain Al-Haris ibnu Ubaid, dia adalah seorang lelaki yang terkenal dari kalangan ulama Basrah. Menurut hemat kami, nama julukan Al-Haris ibnu Ubaid adalah Abu Qudamah Al-Iyadi. Imam Muslim telah mengetengahkan hadisnya di dalam kitab sahihnya, hanya saja Ibnu Mu'in menilainya lemah; ia mengatakan bahwa Al-Haris ibnu Ubaid bukanlah seorang perawi yang dapat dipakai (yakni lemah).
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, hadisnya berpredikat mudtarib. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, hadits ini boleh dicatat tetapi tidak boleh dijadikan hujan. Ibnu Hibban mengatakan bahwa wahm-nya (kelemahannya) terlalu banyak, karena itu hadisnya tidak boleh dipakai sebagai hujah bila sendirian. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits gharib yang diriwayatkannya; karena di dalamnya terdapat hal yang mungkar dan lafal yang gharib serta konteks yang aneh.
Barangkali hadits ini termasuk hadits yang menceritakan mimpi Nabi ﷺ, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari ‘Ashim, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melihat Malaikat Jibril dalam rupa aslinya, yang memiliki enam ratus sayap. Tiap-tiap sayap darinya memenuhi ufuk; dari sayapnya berjatuhan beraneka warna permata-permata dan yaqut yang hanya Allah sendirilah Yang Mengetahui keindahan dan banyaknya.
imam Ahmad meriwayatkan atsar ini secara tunggal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Iyasy, dari Idris ibnu Munabbih, dari Wahb ibnu Munabbih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah meminta kepada Jibril agar menampakkan rupa aslinya kepada beliau. Maka Jibril berkata, "Berdoalah kepada Allah." Maka Nabi ﷺ berdoa memohon hal tersebut kepada Allah, lalu kelihatan oleh Nabi ﷺ bayangan hitam dari arah timur, ternyata itu adalah ujud asli Malaikat Jibril yang kian lama kian menaik dan menyebar (menutupi ufuk langit). Ketika Nabi ﷺ melihat ujud aslinya secara penuh, maka beliau ﷺ pingsan, lalu Jibril mendatanginya dan menghapus busa (air ludah) yang ada pada mulut beliau ﷺ Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini secara munfarid. Ibnu Asakir di dalam biografi Atabah ibnu Abu Lahab telah menceritakan hadits ini melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Us'man ibnu Urwah ibriuz Zubair, dari ayahnya Hannad ibnul Aswad yang mengatakan bahwa Abu Lahab dan anaknya telah bersiap-siap untuk berangkat ke negeri Syam, aku pun (perawi) bersiap-siap pula untuk pergi bersama keduanya.
Anak Abu Lahab (yaitu Atabah) berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan pergi menemui Muhammad dan aku akan membuat dia merasa sakit hati karena aku akan menghina Tuhannya." Atabah pergi hingga sampai kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Muhammad, dia kafir terhadap malaikat yang mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)." Maka Nabi ﷺ berdoa: Ya Allah, serahkanlah dia kepada salah seekor dari anjing-anjing (singa-singa)-Mu. Kemudian Atabah pergi meninggalkan Nabi ﷺ dan menemui ayahnya (Abu Lahab). Abu Lahab bertanya, "Wahai anakku, apakah yang telah engkau katakan kepadanya?" Atabah menceritakan apa yang telah dia katakan kepada Nabi ﷺ Abu Lahab bertanya, "Lalu apakah yang dia katakan kepadamu (jawabannya kepadamu)?" Atabah menyitir doa Nabi ﷺ, "Ya Allah, serahkanlah dia kepada salah seekor dari singa-singaMu." Abu Lahab berkata, "Wahai anakku, demi Allah, aku tidak dapat menjamin keamanan bagi dirimu dari doanya." Maka kami berangkat.
Ketika sampai di Abrah, kami turun istirahat. Abrah terletak di sebuah bendungan, lalu kami turun (berkemah) di dekat kuil seorang pendeta. Dan pendeta yang ada di kuil itu bertanya, "Wahai orang-orang Arab, apakah yang mendorong kalian berkemah di negeri ini? Karena sesungguhnya di negeri ini banyak terdapat singa-singa yang hidup bebas bagaikan ternak kambing." Lalu Abu Lahab berkata kepada kami, "'Sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah seorang yang sudah lanjut usia, dan sesungguhnya lelaki ini (yakni Nabi Saw) telah mendoakan terhadap anakku suatu doa yang, demi Allah, aku tidak dapat menjamin keselamatannya dari doa yang ditujukan terhadapnya.
Maka kumpulkanlah barang-barang kalian di kuil ini, lalu gelarkanlah hamparan di atasnya buat anakku, kemudian berkemahlah kalian di sekitar kuil ini." Maka kami melakukan apa yang diperintahkan Abu Lahab, lalu datanglah seekor singa yang langsung mengendus wajah kami. Ketika singa itu tidak menemukan apa yang dikehendakinya, maka ia mundur mengambil ancang-ancang untuk melompat, kemudian singa itu melompat ke atas barang-barang.
Sesampainya di atas, singa mencium wajah anak Abu Lahab, lalu menyerangnya dan mencabik-cabik mukanya. Setelah peristiwa itu Abu Lahab berkata, "Sesungguhnya aku mengetahui bahwa dia tidak dapat selamat dari doa Muhammad." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9) Yakni maka Jibril mendekat kepada Muhammad ketika turun menemuinya di bumi, hingga jarak antara dia dan Muhammad ﷺ sama dengan dua ujung busur panah bila dibentangkan. Demikianlah menurut Mujahid dan Qatadah. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah jarak antara tali busur panah dengan busurnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9) Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa ungkapan ini menurut istilah bahasa digunakan untuk menguatkan subjek berita, tetapi bukan menunjukkan hal yang lebih daripadanya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (Al-Baqarah: 74) Yakni hatinya itu menjadi sekeras batu (tidak lunak), atau bahkan lebih keras lagi daripadanya. Hal yang senada disebutkan dalam ayat lainnya lagi melalui firman-Nya: mereka takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat daripada itu takutnya. (An-Nisa: 77) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. (Ash-Shaffat: 147) Yakni jumlah mereka tidak kurang dari seratus ribu orang, bahkan sesungguhnya jumlah mereka adalah seratus ribu orang atau lebih.
Ini merupakan pengukuhan dari jumlah subjek berita, bukan menunjukkan pengertian ragu atau bimbang, karena hal tersebut mustahil dalam masalah ini. Demikian pula pengertian surat ini, yaitu: maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9) Apa yang telah kami katakan bahwa orang yang mendekat kepada Nabi ﷺ ini sedekat itu adalah Jibril a.s. berdasarkan pendapat Aisyah, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar, dan Abu Hurairah, seperti yang akan kami kemukakan hadits-hadits mereka sesudah ini. Imam Muslim telah meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dari Ibnu Abbas.
Dia telah mengatakan bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhannya dengan pandangan hatinya sebanyak dua kali, dan ia menganggap bahwa apa yang disebutkan dalam ayat ini merupakan salah satunya. Di dalam hadits Syarik ibnu Abu Namir, dari Anas sehubungan dengan kisah Isra, disebutkan bahwa kemudian mendekatlah Tuhan Yang Mahaperkasa, Tuhan Yang Mahaagung, dan bertambah dekat lagi. Karena itu, banyak ulama yang membicarakan makna hadits ini, dan mereka menyebutkan banyak hal yang gharib mengenainya. Tetapi jika memang benar, maka takwil kejadiannya adalah di lain waktu dan merupakan kisah yang lain, bukan tafsir dari ayat ini.
Karena sesungguhnya kejadian yang disebutkan dalam ayat ini adalah ketika Rasulullah ﷺ berada di bumi di malam Isra. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (An-Najm: 13-14) Kisah dalam ayat ini di malam Isra, sedangkan yang pertama terjadi di bumi. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Asy-Syaibani, telah menceritakan kepada kami Zurr ibnu Hubaisy yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud telah meriwayatkan sehubungan dengan firman-Nya: maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9) bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Aku telah melihat Malaikat Jibril yang memiliki enam ratus sayap.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa awal kejadian yang dialami oleh Rasulullah ﷺ ialah beliau melihat Jibril dalam mimpinya di Ajyad. Kemudian beliau ﷺ keluar untuk suatu keperluan, maka Jibril menyerunya, "Wahai Muhammad, wahai Muhammad!" Nabi ﷺ menoleh ke arah kanan dan kiri sebanyak tiga kali, ternyata ia tidak menjumpai seorang manusia pun. Lalu beliau menengadahkan pandangannya ke langit, tiba-tiba ia melihat Jibril a.s. yang melipat salah satu kakinya ke yang lainnya berada di ufuk langit. Jibril berseru, "Wahai Muhammad!" Nabi ﷺ berkata, "Jibril," sedangkan Jibril berusaha menenangkannya, tetapi Nabi ﷺ lari ketakutan dan bergabung dengan banyak orang, setelah itu ia melihat ke atas lagi dan ternyata tidak melihatnya lagi. Lalu keluar dari kumpulan orang-orang, dan kembali memandang ke langit. Ternyata ia melihatnya kembali, maka Nabi ﷺ bergabung lagi dengan orang banyak dan tidak lagi ia melihat sesuatu pun. Tetapi bila ia keluar dari kumpulan orang-orang, maka ia melihatnya kembali.
Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demi bintang ketika terbenam. (An-Najm: 1) sampai dengan firman-Nya: Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. (An-Najm: 8) Yakni Jibril a.s. mendekat kepada Nabi Muhammad ﷺ maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. (An-Najm: 9) Mereka mengatakan bahwa al-qab adalah separuh jari, sebagian dari mereka mengatakan bahwa al-qab adalah dua hasta alias sama dengan dua ujung busur panah. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui hadits Ibnu Wahb.
Dalam hadits Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Jabir disebutkan hal yang menguatkannya. Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada Zurr tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 9-10) Lalu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah, bahwa Muhammad ﷺ melihat Jibril dalam rupa aslinya memiliki enam ratus buah sayap. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Bazr Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (An-Najm: 11) Bahwa Rasulullah ﷺ telah melihat rupa asli Malaikat Jibril yang menyandang dua lapis pakaian rafraf, tubuhnya memenuhi cakrawala yang ada antara langit dan bumi.
Berdasarkan pengertian di atas, berarti firman Allah subhanahu wa ta’ala: Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 10) artinya 'lalu Jibril menyampaikan wahyu kepada hamba Allah Muhammad ﷺ apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya'. Atau 'lalu Allah mewahyukan kepada hamba-Nya Muhammad apa yang Dia wahyukan kepadanya melalui Malaikat Jibril'. Kedua makna ini dibenarkan. Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 10) bahwa Allah menurunkan wahyu kepadanya firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim. (Adh-Dhuha: 6) sampai dengan firman-Nya: Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)ww. (Alam Nasyrah: 4) Sedangkan menurut lainnya, yang diwahyukan Allah kepadanya adalah bahwa surga itu diharamkan atas para nabi sebelum kamu memasukinya, juga diharamkan atas semua umat sebelum umatmu memasukinya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? (An-Najm: 11-12) Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ziad ibnu Husain, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (An-Najm: 11) dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (An-Najm: 13) Bahwa Muhammad ﷺ telah melihat Jibril dalam rupa aslinya sebanyak dua kali.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Sammak dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Saleh dan As-Suddi serta selain keduanya, bahwa Nabi ﷺ melihat Jibril dengan pandangan hatinya sebanyak dua kali. Tetapi Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya berpendapat berbeda menurut riwayat yang bersumber darinya, bahwa dia memutlakkan penglihatan tersebut (yakni tidak mengikatnya dengan pandangan mata hati). Tetapi pendapatnya ini masih dapat ditakwilkan (diikat) dengan pengertian yang membatasinya. Dan mengenai riwayat yang menyebutkan dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ melihatnya dengan indra matanya, maka sesungguhnya predikat riwayat ini gharib, karena tiada suatu riwayat shahih pun mengenainya bersumber dari para sahabat. Dan mengenai pendapat Al-Baghawi di dalam kitab tafsirnya yang mengatakan bahwa segolongan ulama berpendapat bahwa Nabi ﷺ melihat Jibril dengan pandangan matanya, maka ini adalah perkataan Anas dan Al-Hasan serta Ikrimah; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr ibnul Minhal ibnuSafwan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Kasir Al-Anbari, dari Salamah ibnu Ja'far, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, bahwa Muhammad ﷺ telah melihat Tuhannya. Aku (Ikrimah) bertanya, "Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu' (Al-An'am: 103)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Celaka kamu, hal itu manakala Allah menampilkan Zat-Nya berikut nur-Nya yang menghijabi-Nya. Dan sesungguhnya dia telah melihat-Nya sebanyak dua kali." Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa riwayat ini hasan gharib.
Imam At-Tirmidzi mengatakan pula. telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas menjumpai Ka'b di Arafah, lalu menanyakan kepadanya sesuatu masalah. Maka Ka'b bertakbir sehingga suaranya menggema, dan Ibnu Abbas berkata, "Kami adalah Bani Hasyim." Ka'b menjawab, "Sesungguhnya Allah telah membagi penglihatan dan Kalam-Nya di antara Muhammad dan Musa.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala berbicara kepada Musa sebanyak dua kali dan Muhammad telah melihat-Nya sebanyak dua kali." Masruq mengatakan bahwa ia menjumpai Aisyah , lalu bertanya kepadanya, "Apakah Muhammad telah melihat Tuhannya?" Aisyah menjawab, "Sesungguhnya engkau telah mengucapkan sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri karenanya. Aku mengatakan kepadanya, "Bagaimana dengan ayat ini,' lalu aku membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar ' (An-Najm: 18)." Siti Aisyah menjawab, "Di manakah pengertianmu? Sesungguhnya dia itu adalah Jibril, lalu siapakah yang memberitakan kepadamu bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, atau dia telah menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan agar disampaikan atau mengetahui lima perkara yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat' (Luqman: 34).
Maka sesungguhnya dia telah berdusta besar terhadap Allah, tetapi sebenarnya Muhammad hanya melihat Jibril. Dan beliau tidak melihatnya dalam rupa aslinya, melainkan hanya dua kali. Sekali di Sidratil Muntaha dan yang lainnya di Ajyad. Saat itu Jibril menampilkan rupa aslinya dengan enam ratus buah sayapnya hingga memenuhi cakrawala langit." Imam An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apakah kalian heran bila predikat khullah (kekasih Allah) bagi Ibrahim, dan kalam (diajak bicara) bagi Musa, dan ru-yah (melihat Allah) bagi Muhammad ﷺ" Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui Abu Dzar yang telah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
"Apakah engkau melihat Tuhanmu?" Maka beliau ﷺ menjawab: Hanya nur (cahaya) yang kulihat, lalu mana mungkin aku dapat melihat-Nya. Menurut riwayat lain, jawaban Rasulullah ﷺ adalah: Aku (hanya) melihat cahaya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa para sahabat pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Engkau pernah melihat Tuhanmu?" Maka beliau ﷺ menjawab: Aku melihat-Nya dengan pandangan hatiku sebanyak dua kali. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (An-Najm: 11) Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Humaid, dari Mahran, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b, dari sebagian sahabat Nabi ﷺ yang menceritakan bahwa kami bertanya, "Wahai Rasulullah ﷺ, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Aku tidak melihat-Nya dengan mataku, tetapi aku melihat-Nya dengan mata hatiku sebanyak dua kali. Kemudian beliau ﷺ membaca firman-Nya: Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat (lagi). (An-Najm: 8) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Abbad ibnu Mansur yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ikrimah tentang makna firman-Nya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (An-Najm: 11) Maka Ikrimah menjawab, "Apakah engkau ingin agar aku menceritakan kepadamu bahwa beliau ﷺ pernah melihat-Nya?" Aku menjawab, "Ya." Ikrimah berkata, "Benar, beliau telah melihat-Nya, kemudian melihat-Nya lagi." Abbad ibnu Mansur mengatakan bahwa lalu ia bertanya kepada Al-Hasan tentang masalah ini.
Maka Al-Hasan menjawab, bahwa Nabi ﷺ pernah melihat Keagungan, Kebesaran, dan Kemuliaan-Nya. Telah menceritakan pula kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mujahid, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Aqdi, telah menceritakan kepada kami Abu Khaldah, dari Abul Aliyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya, "Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Nabi ﷺ menjawab: Aku melihat sungai, dan aku melihat di balik sungai ada hijab, dan aku melihat di balik hijab ada nur (cahaya); aku tidak melihat selain itu. Hadits ini gharib sekali. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku telah melihat Tuhanku. Maka sesungguhnya hadits ini sanadnya dengan syarat shahih, tetapi hadits ini merupakan ringkasan dari hadits Manam (mimpi Nabi ﷺ), seperti yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad; disebutkan bahwa: .
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Ayyub dari Abu Qilabah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: bahwa Tuhannya datang kepadanya dalam penampilan yang terbaik yakni dalam mimpinya. Lalu Tuhan berfirman, "Wahai Muhammad, tahukah kamu mengapa mala'ul ala (para malaikat penghuni langit) berselisih?" Aku (Nabi ﷺ) menjawab, "Tidak." Lalu Allah meletakkan tangan -Nya di antara kedua tulang belikatku, hingga aku merasakan kesejukannya menembus sampai kepada kedua susuku, atau leherku, maka sejak itu aku mengetahui semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Wahai Muhammad, tahukah kamu, apakah yang diperselisihkan oleh al-mala'ul a'la? Aku menjawab, "Ya, mereka berselisih tentang kifarat-kifarat dan derajat-derajat." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Wahai Muhammad, apakah kifarat itu?" Aku menjawab, "Diam di masjid seusai menunaikan tiap-tiap shalat (fardu), berjalan melangkahkan kaki menuju ke tempat-tempat shalat berjamaah, dan menyempurnakan wudu di saat-saat yang tidak disukai. Barang siapa yang mengerjakan hal tersebut, niscaya hidup dengan baik dan mati dengan baik, sedangkan mengenai dosa-dosanya (diampuni hingga) seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Wahai Muhammad, apabila engkau shalat, ucapkanlah doa ini, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau kekuatan untuk mengerjakan amal-amal kebaikan dan menghindari kemungkaran-kemungkaran dan menyukai orang-orang miskin.
Dan apabila Engkau hendak menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Mu, cabutlah aku kembali ke sisi-Mu dalam keadaan tidak terkena cobaan'." Nabi ﷺ bersabda, "Dan derajat-derajat itu ialah memberi makan (kaum fakir miskin), menyebarkan salam, dan mengerjakan shalat di malam hari di saat manusia tenggelam dalam tidurnya." Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mu'az dalam tafsir surat Sad. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui jalur lain dari Ibnu Abbas dengan teks yang berbeda dan disertai tambahan yang gharib.
Untuk itu Ibnu Jarir mengatakan: telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Isa At-Tamimi, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar Ibnu Sayyar, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Sa'id ibnu Zurabi, dari Umar ibnu Sulaiman, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, "Aku pernah melihat Tuhanku dalam penampilan yang terbaik, lalu Dia berfirman kepadaku, 'Wahai Muhammad, tahukah kamu apakah yang diperselisihkan oleh al-mala'ul a'la? Aku menjawab, 'Tidak, wahai Tuhanku,' lalu Dia meletakkan tangan -Nya di antara kedua tulang belikatku, maka aku merasakan kesejukannya menembus sampai ke susuku (dadaku), dan aku mengetahui semua yang terjadi di langit dan yang di bumi.
Lalu aku berkata, 'Ya Tuhanku, mereka berselisih tentang derajat-derajat dan kifarat-kifarat; melangkahkan kaki menuju ke shalat Jumat, dan menunggu datangnya waktu shalat lain sesudah menunaikan shalat.' Aku berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil (kekasih)-Mu, dan Engkau telah berbicara langsung kepada Musa, dan Engkau telah melakukan anu dan anu.' Maka Allah subhanahu wa ta’ala menjawab, 'Bukankah Aku telah melapangkan dadamu, bukankah Aku telah menghapus semua dosamu, dan bukankah Aku telah melakukan anu untukmu dan bukankah Aku telah melakukan anu untukmu?' Lalu Allah subhanahu wa ta’ala membukakan bagiku banyak hal yang Dia tidak memberi izin kepadaku menceritakannya kepada kalian." Ibnu Abbas mengatakan bahwa itulah yang dimaksud oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya yang mengatakan: Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (An-Najm: 8-11) Maka Dia menjadikan cahaya penglihatanku ke dalam hatiku, dan aku melihat-Nya dengan hatiku. Tetapi hadits ini dha’if. Al-Hafidzh ibnu Asakir telah meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Hubar ibnul Aswad , bahwa Atabah ibnu Abu Lahab ketika berangkat menuju negeri Syam dalam misi dagangnya, sebelumnya ia mengatakan kepada penduduk Mekah, "Ketahuilah, bahwa aku tidak percaya dengan malaikat yang mendekat, lalu bertambah dekat lagi." Kemudian perkataannya itu sampai terdengar oleh Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda, "Allah akan melepaskan salah seekor dari singa-singaNya untuk menyerangnya." Hubar mengatakan bahwa ia ada bersama kafilah yang menuju ke negeri Syam itu, lalu kami beristirahat di suatu tempat yang terkenal banyak singanya.
Hubar menceritakan bahwa ia benar-benar melihat ada seekor singa yang datang, kemudian singa itu mengendus kepala tiap-tiap orang dari kaum seorang demi seorang, hingga sampailah pada Atabah, lalu ia langsung menyambar kepalanya di antara mereka. Ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan di dalam kitab Sirah, bahwa peristiwa itu terjadi di Az-Zarqa, dan menurut pendapat yang lain di As-Surrah.
Disebutkan bahwa malam itu Atabah dicekam oleh rasa takut, lalu mereka menempatkan Atabah di tengah-tengah di antara mereka; mereka tidur di sekelilingnya. Lalu datanglah seekor singa dan mengaum, kemudian melangkahi mereka semua menuju ke tempat Atabah dan langsung menyambar kepalanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (An-Najm: 13-15) Ini terjadi yang kedua kalinya bagi Rasulullah ﷺ saat melihat Jibril a.s. dalam rupa aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan hal itu terjadi di malam Isra.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadits-hadits mengenai perjalanan isra Nabi ﷺ lengkap dengan semua jalur periwayatannya dan semua lafaznya, yaitu dalam surat Al-Isra hingga tidak perlu diulang lagi. Telah disebutkan pula bahwa Ibnu Abbas mengukuhkan penglihatan ini terjadi di malam Isra dan memperkuat pendapatnya itu dengan dalil ayat ini, lalu pendapatnya diikuti oleh sejumlah ulama Salaf dan Khalaf. Tetapi ada sebagian sahabat dan tabi'in yang tidak sependapat dengannya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari ‘Ashim ibnu Bandalah, dari Zurr ibnu Jaisy, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna ayat ini: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (An-Najm: 13-14) Bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku melihat Jibril (dalam rupa aslinya), ia memiliki enam ratus sayap, dari bulu-bulu sayapnya bertebaran beraneka warna mutiara dan yaqut.
Sanad hadits ini jayyid (baik) lagi kuat. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Jami' ibnu Abu Rasyid, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah melihat rupa asli Malaikat Jibril dengan enam ratus sayapnya, masing-masing sayap besarnya menutupi cakrawala langit, dan berjatuhan dari sayapnya beraneka ragam mutiara dan yaqut yang hanya Allah sendirilah yang mengetahui keindahan dan banyaknya. Sanad hadits ini hasan.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Husain, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim ibnu Bahdalah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syaqiq ibnu Salamah menceritakan hadits berikut dari Ibnu Mas'ud yang telah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: pernah melihat Jibril dalam rupa aslinya di Sidratil Muntaha dan dia mempunyai enam ratus buah sayap. Dan aku menanyakan kepada ‘Ashim tentang sayap-sayap itu, tetapi ‘Ashim tidak mau menceritakannya kepadaku. Tetapi salah seorang dari muridnya mengatakan kepadaku bahwa sebuah sayapnya sama besarnya dengan jarak antara timur dan barat.
Sanad riwayat ini pun kuat pula. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim ibnu Bahdalah, telah menceritakan kepadaku Syaqiq ibnu Salamah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Jibril a.s. datang kepadaku dengan mengenakan pakaian yang bertaburan penuh dengan mutiara. Sanad hadits ini jayyid pula. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ismail, telah menceritakan kepada kami Amir yang mengatakan bahwa Masruq datang kepada Aisyah , lalu bertanya, "Wahai Ummul Muminin, apakah Muhammad ﷺ telah melihat Tuhannya?" Aisyah menjawab, "Subhanallah, sesungguhnya bulu kudukku berdiri mendengar pertanyaanmu itu, lalu di manakah akalmu dari tiga perkara yang barang siapa mengatakannya, maka sesungguhnya dia telah berdusta.
Yaitu orang yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, maka sesungguhnya dia telah berdusta." Kemudian Aisyah membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu. (Al-An'am: 103) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan tiada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir. (Asy-Syura: 51) Dan barang siapa yang mengatakan kepadamu bahwa dirinya mengetahui apa yang akan terjadi besok, maka sesungguhnya dia telah berdusta.
Kemudian Aisyah membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. (Luqman: 34), hingga akhir ayat. Dan barang siapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad telah menyembunyikan sesuatu, maka sesungguhnya dia telah berdusta. Kemudian Aisyah membaca firman-Nya: Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Al-Maidah: 67) Akan tetapi, dia hanya melihat Jibril dalam rupanya yang asli sebanyak dua kali. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang mengatakan bahwa ketika ia ada di hadapan Aisyah, ia bertanya bahwa bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. (At-Takwir: 23) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (An-Najm: 13) Maka Siti Aisyah menjawab bahwa dialah orang pertama dari umat ini yang menanyakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ Lalu beliau ﷺ menjawab: Sesungguhnya dia itu hanyalah Jibril.
Nabi ﷺ tidak melihat Jibril dalam rupanya yang asli kecuali hanya sebanyak dua kali. Nabi ﷺ melihat Jibril a.s. turun dari langit ke bumi, sedangkan cakrawala yang ada antara langit dan bumi tertutup oleh kebesaran tubuhnya. Begitu pula menurut apa yang telah diketengahkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih masing-masing melalui hadits Asy-Sya'bi dengan sanad yang sama. Riwayat Abu Dzar, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Abdullah ibnu Syaqiq yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Abu Dzar, bahwa seandainya dirinya menjumpai Rasulullah ﷺ, tentulah dia akan bertanya.
Abu Dzar bertanya, "Pertanyaan apakah yang akan engkau ajukan kepada beliau?" Aku menjawab, "Apakah dia pernah melihat Tuhannya?" Abu Dzar berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau ﷺ menjawab: 'Sesungguhnya aku telah melihat-Nya berupa nur (cahaya), lalu mana mungkin aku dapat melihat-Nya'? Demikianlah menurut bunyi teks yang ada pada Imam Ahmad. Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini melalui dua jalur dengan dua lafal. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Yazid ibnu Ibrahim, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Nabi ﷺ menjawab: Yang kulihat hanya nur, mana mungkin aku dapat melihat-Nya.
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Dzar bahwa seandainya ia mengalami masa Rasulullah ﷺ, tentulah dia akan menanyakan sesuatu kepada beliau. Maka Abu Dzar bertanya, "Apakah yang hendak kamu tanyakan kepada beliau?" Ia menjawab, "Aku akan menanyakan kepada beliau, apakah beliau pernah melihat Tuhannya?" Abu Dzar berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: 'Aku hanya melihat nur (cahaya)'." Al-Khalal telah meriwayatkan suatu pendapat yang menilai hadits ini mengandung kelemahan, bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits ini, maka ia menjawab, "Aku masih tetap menganggapnya berpredikat munkar," tetapi aku tidak mengetahui apa alasannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Aun Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mansur, dari Al-Hakam, dari Ibrahim, dari ayahnya, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ telah melihat Tuhannya dengan pandangan hatinya dan tidak melihat-Nya dengan pandangan matanya. Ibnu Khuzaimah berupaya membuktikan bahwa hadits ini munqati' (ada mata rantai perawi yang terputus) antara Abdullah ibnu Syaqiq dan Abu Dzar. Sedangkan Ibnul Juzi' menakwilkan hadits ini dengan pengertian bahwa barangkali Abu Dzar menanyakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ sebelum beliau menjalani Isra. Karena itulah maka Abu Dzar menjawab Abdullah ibnu Syaqiq dengan jawaban tersebut. Tetapi seandainya Abu Dzar menanyakan hal itu kepada Nabi ﷺ setelah peristiwa" Isra, niscaya Nabi ﷺ akan menjawabnya dengan jawaban positif (ya). Akan tetapi, takwil Ibnul Juzi dinilai lemah karena sesungguhnya Aisyah telah menanyakan hal itu sesudah peristiwa Isra. Ternyata jawaban beliau ﷺ tidak menguatkan bahwa beliau telah melihat-Nya dengan terang-terangan. Dan mengenai orang yang berpendapat bahwa Nabi ﷺ berbicara kepada Aisyah disesuaikan dengan kemampuan daya tangkapnya, atau berupaya untuk menyalahkan pendapat Aisyah. Seperti Ibnu Khuzaimah di dalam kitab Tauhid-nya, maka sesungguhnya dia sendirilah yang keliru, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Imam An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, dari Mansur, dari Al-Hakam, dari Yazid ibnu Syarik, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah melihat Tuhannya dengan hatinya, bukan dengan pandangan matanya.
Telah disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Ali ibnu Misar, dari Abdul Malik ibnu Sulaiman, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupa aslinya) pada waktu yang lain. (An-Najm: 13) Bahwa Nabi ﷺ telah melihat Jibril a.s. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupa aslinya) pada waktu yang lain. (An-Najm: 13) Bahwa Rasulullah ﷺ telah melihat Jibril a.s. dalam bentuknya yang asli sebanyak dua kali. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (An-Najm: 16) Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan hadits-hadits yang menceritakan perjalanan Isra, yang antara lain menyebutkan bahwa Sidratul Muntaha itu diliputi oleh para malaikat seperti halnya burung-burung gagak (yang menghinggapi sebuah pohon), dan Sidratul Muntaha diliputi oleh nur Tuhan Yang Maha Agung, diliputi pula oleh beraneka warna yang hakikatnya tidak aku ketahui.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Addi, dari Talhah ibnu Murrah, dari Abdullah (yakni Ibnu Mas'ud) yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ menjalani Isra, sampailah beliau di Sidratul Muntaha yang ada di langit yang ketujuh. Dari situlah berhenti semua yang naik dari bumi, lalu diambil darinya; dan darinya pula berhenti segala sesuatu yang turun dari atasnya, lalu diambil darinya. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (An-Najm: 16) Bahwa yang meliputinya itu adalah kupu-kupu emas.
Dan Rasulullah ﷺ diberi tiga perkara, yaitu shalat lima waktu, ayat-ayat yang terakhir dari surat Al-Baqarah, dan diberi ampunan bagi orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dari kalangan umatnya, yang semuanya itu merupakan hal-hal yang pasti. Imam Muslim meriwayatkan hadits ini secara munfarid (tunggal). Abu Jafar Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi", dari Abul Aliyah, dari Abu Hurairah atau lainnya Abu Ja'far raguyang telah menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ menjalani Isra, sampailah beliau di Sidratul Muntaha, lalu dikatakan kepadanya, ''Inilah Sidrah," dan tiba-tiba Sidrah diliputi oleh cahaya Tuhan Yang Maha Pencipta, lalu diliputi pula oleh para malaikat yang pemandangannya seperti burung-burung gagak yang menghinggapi sebuah pohon.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala berbicara kepadanya di tempat itu. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Mintalah!" Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (An-Najm: 16) Bahwa dahan-dahan Sidrah terdiri dari mutiara, yaqut, dan zabarjad. Maka Muhammad ﷺ melihatnya dan melihat Tuhannya dengan mata hatinya. Ibnu Zaid mengatakan bahwa pernah ditanyakan, "Wahai Rasulullah, sesuatu apakah yang engkau lihat menutupi Sidrah itu?" Nabi ﷺ menjawab: Aku melihat kupu-kupu emas menutupi Sidratil Muntaha, dan aku melihat pada tiap-tiap daunnya terdapat malaikat yang berdiri seraya bertasbih menyucikan Allah subhanahu wa ta’ala Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (An-Najm: 17) Ibnu Abbas mengatakan bahwa pandangan mata Nabi ﷺ tidak ditolehkan ke arah kanan dan tidak pula ke arah kiri. dan tidak (pula) melampauinya. (An-Najm: 17) Yakni melampaui dari apa yang diperintahkan kepadanya; ini merupakan sifat yang agung yang menggambarkan keteguhan hati dan ketaatan, karena sesungguhnya Nabi ﷺ tidak berbuat melainkan berdasarkan apa yang diperintahkan kepadanya, tidak pula pernah meminta lebih dari apa yang diberikan kepadanya. Alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh seorang penyair dalam bait syair berikut: Dia telah melihat surga tempat tinggal dan alam yang ada di atasnya; seandainya dia melihat hal yang lain dari apa yang telah dilihatnya, tentulah pandangannya akan tersesat.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 18) Semakna dengan firman-Nya: agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Al-Isra: 1) yang menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Kami. Berdasarkan kedua ayat ini sebagian ulama ahli sunnah wal jama'ah mengatakan bahwa penglihatan di malam itu tidak terjadi, karena Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 18) Seandainya dia melihat Tuhannya, niscaya hal tersebut diberitakan dan orang-orang pun mengatakan hal yang sama. Pembahasan mengenai masalah ini telah dikemukakan di dalam surat Al-Isra.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Talhah, dari Al-Walid ibnu Qais, dari Ishaq ibnu Abul Kahtalah, bahwa Muhammad telah mengatakan, yang menurutnya dia menerimanya dari Ibnu Mas'ud yang telah mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad tidak melihat Jibril a.s. dalam rupanya yang asli kecuali hanya dua kali. Yang pertama kali Nabi ﷺ meminta kepada Jibril agar menampilkan rupa aslinya kepadanya, lalu beliau menyaksikan rupa aslinya yang memenuhi cakrawala langit. Adapun yang kedua kalinya ialah di saat beliau ﷺ naik bersamanya (di malam Isra). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi, kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, makajadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 7-10) Setelah Jibril a.s. melapor kepada Tuhannya, maka kembalilah ia kepada ujudnya semula, lalu bersujud. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 13-18) Yakni bentuk Malaikat Jibril a.s. yang aslinya. Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad, tetapi predikatnya gharib."
5-6. Wahyu yang diterimanya diajarkan kepadanya oleh Jibril, malaikat yang sangat kuat, yang mempunyai keteguhan sangat hebat; maka ia menampakkan diri kepada Nabi Muhammad dengan rupa yang asli, yakni bagus dan perkasa. 7-8. Sedang dia, yaitu Jibril, pada saat itu berada di ufuk langit yang tinggi. Kemudian dia mendekat ke arah Nabi Muhammad, lalu turun sehingga bertambah dekat lagi.
Allah ﷻ menerangkan dalam ayat ini, bahwa Jibril itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Seperti dalam riwayat bahwa ia telah pernah membalikkan perkampungan Nabi Lut kemudian mereka diangkat ke langit lalu dijatuhkan ke bumi. Ia telah pernah menghembus kaum Samud hingga berterbangan. Dan apabila ia turun ke bumi hanya dibutuhkan waktu sekejap mata. Lagi pula ia dapat berubah bentuk menjadi seperti manusia. (.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AN-NAJM
(BINTANG)
SURAH KE-53, 62 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
Ayat 1
“Demi bintang apabila dia telah terbenam."
Di permulaan surah ini Allah mengambil sumpah di atas bintang. Bahasa Arabnya ialah an-Najm, yang kita artikan bintang. Tetapi Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa arti an-Najm itu bukanlah semata-mata satu saja bintang. Beliau berkata dia berarti juga tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi. Arti yang ketiga ialah bahwa bintang yang dimaksud di sini ialah Al-Qur'an sendiri, sebab dia memberi petunjuk.
Maka seorang Badwi penunjuk jalan yang tengah di perjalanan tidaklah mereka merasa bingung dan ragu jika musafir di waktu malam gelap gulita. Karena suatu jurusan yang akan ditempuh baik timur atau utara baik barat atau selatan, sudah ada bintangnya sendiri berpengalaman mengambil petunjuk pada edaran bintang-bintang itu. Maka dapatlah kita memberi tafsir dari ayat surah an-Najm.
“Demi bintang apabila dia telah terbenam." Bagaimanalah jadinya manusia yang sedang musafir dalam alam ini, kalau kiranya dia berjalan di dalam gelapgulita malam, sedang satu bintang pun tidak kelihatan cahayanya, sehingga gelap arah yang akan dituju dalam hidup.
Maka persumpahan dengan bintang pada ayat ini, sama juga artinya dengan sumpah-sumpah Allah yang lain-lain di dalam Al-Qur'an. Bila bintang-bintang tidak dapat dipedomani lagi, artinya seluruh langit telah gelap, manusia pun kehilangan pedoman, kehilangan arah pastilah kekacauan yang datang.
Ilmu manusia yang masih terbatas sekali tentang bintang di langit telah memberikan keterangan yang amat dahsyat. Ada disebutkan tentang bintang asy-Syi'raa, yang kelak akan bertemu dalam surah an-Najm ini juga pada ayat 49. Dinyatakan oleh ahli-ahli penyelidik bintang-bintang bahwa jauhnya dari bumi sampai 300.000 tahun perjalanan cahaya. Dalam bahasa Indonesia disebut Bintang Lembu. Diterangkan juga tentang peraturan keseimbangan daya tarik yang ada pada seluruh alam. Daya tarik itulah yang menyebabkan sudah berjuta-juta tahun bintang-bintang itu tetap pada tempatnya masing-masing. Maka kalau tergeser satu dari tempatnya, porak-porandalah susunan pertalian di antara yang satu dengan yang lain. Artinya, hancurlah seluruh alam ini karena keseimbangan tidak ada lagi. Pikirkanlah dan bandingkan! Bumi kita ini adalah salah satu daripada bintang-bintang yang berjuta-juta kelihatan di halaman langit. Kelihatan kecil, berkelap-kelip di halaman langit. Bumi ini terasa besar karena kita berdiam di sini. Dan dia pun akan kelihatan kecil, sekecil bintang-bintang itu pula kalau kita misalnya berada di salah satu bintang-bintang itu dan melihat ke bumi. Maka dapatlah dikira-kirakan betapa dahsyat jika salah satu bintang terganjak atau terjatuh dari tempatnya, Kiamatlah dunia, bahkan alam seluruhnya.
Yang disumpahkan Allah dengan bintang bila dia jatuh dari tempatnya itu ialah ayat yang selanjutnya,
Ayat 2
‘Tidaklah tersesat teman kamu itu."
Ayat ini dihadapkan manusia di zaman Nabi, yang telah menyatakan beliau sebagai temannya, atau sahabatnya. Segala orang yang telah bertemu dengan beliau dan percaya akan risalah beliau, disebut sahabat beliau dan beliau adalah sahabat mereka, teman setia. Maka di dalam ayat di per ingatkanlah bahwa teman mereka itu, yaitu Nabi Muhammad ﷺ tidaklah tersesat, tidaklah bertindak sekehendak hati, semau-inaunya.
“Dan tidaklah dia keliru."
Perbedaan sesat dan keliru ialah bahwa sesat (dhalla) ialah salah mengambil jalan karena tidak tahu sama sekali. Sedang keliru (ghawaa) ialah menyangka bahwa jalan yang ditempuh itulah yang benar, meskipun telah ditegur, lalu ditempuh juga, akhirnya bertemu jalan yang buntu. Dalam ayat diberi jaminan oleh Allah, bahwasanya Nabi ﷺ yang dalam ayat derajat orang yang beriman kepadanya diangkat naik karena Nabi ﷺ disebut shci-hibukum, yaitu teman kamu, sahabat kamu. Kalau kamu beriman kepadanya, kamu adalah temannya. Oleh sebab yang disebut sahabatnya adalah yang bertemu dengan dia, tentulah kita yang datang jauh di belakang beliau ini, menurut kaidah ini tidak termasuk sahabatnya lagi. Namun beliau membukakan pintu juga bagi umat beliau yang datang di belakang, sebagai tersebut di dalam hadits yang telah kita salinkan juga pada jilid pertama tafsir ini,
“Bahagialah orang yang melihat akan daku lalu percaya kepadaku. Kemudian berbahagialah (beliau ulangi tujuh kali) orang yang percaya kepadaku padahal dia tidak pernah melihat aku.''
Oleh sebab itu maka kalimat shahibukum adalah kata penghormatan yang tinggi untuk orang yang beriman pada segala zaman.
TUTUR NABI IALAH WAHYU
Ayat 3
“Dan, tidaklah dia … dari kemauan sendiri."
Ayat ini menjelaskan bahwasanya apabila Rasulullah bertutur atau bercakap mengeluarkan perkataan, tidaklah itu timbul dari kehendaknya sendiri saja. Bahkan bila ada orang berbuat suatu perbuatan di hadapan beliau, sedang perbuatan itu tidak beliau larang, melainkan beliau diam, maka diamnya itu pun jadi hujjah (alasan dan dalil) bahwa diamnya adalah tanda perbuatan itu boleh dikerjakan.
Itulah sebabnya maka dibagi Sunnah Rasul itu kepada tiga: pertama aqwaal (ucapan) beliau. Kedua, af'aal (perbuatan) beliau. Ketiga, taqrir (perbuatan orang lain) yang tidak beliau tegur.
Oleh sebab itu maka segala ucapan yang beliau ucapkan, tidaklah lepas dari batas-batas wahyu. Dan tidaklah mungkin perkataan beliau berlawanan dengan wahyu yang beliau terima dari Allah dengan perantaraan Jibril. Sebab itu maka ayat selanjutnya menyebutkan dengan terang,
Ayat 4
“Tidaklah dia itu melainkan wahyu yang telah diwahyukan."
Ayat ini adalah sambungan dari ayat 3 sebelumnya. Bahwa beliau bercakap tidaklah dari hawa, yaitu perasaannya sendiri. Apa yang beliau ucapkan ialah menurut wahyu Allah semata-mata. Ini dijelaskan di ayat yang lain,
“Dan kalau dia mengatakan di atas nama Kami sebagian dari kata-kata, sungguh akan Kami tarik daripadanya dengan tangan kanan; kemudian itu sungguh Kami potong daripadanya tali jantungnya." (al-Haaqqah: 44-46)
Maksudnya ialah Nabi Muhammad ﷺ sekali-kali tidak boleh bercakap dengan sebagian perkataan semau-maunya saja, tidak berdasar kepada wahyu yang dia terima dari Allah maka dia akan ditarik dengan tangan kanan Allah. Sudah terang bahwa menyebut tangan kanan adalah semata-mata menjelaskan bagaimana kerasnya hukum Allah yang akan berlaku atas diri beliau, sebab tangan kanan adalah untuk menunjukkan bahwa tarikannya
lebih kuat dari tangan kiri. Tetapi setengah ahli tafsir memberi arti bahwa tangan kanan Nabi Muhammad ﷺ-lah yang akan ditarik dan tali jantungnya yang akan diputuskan kalau dia berani bercakap semau-maunya, keluar dari garis wahyu.
Maka kita pun maklum bahwa Rasulullah ﷺ banyak bercakap, yang kita namai al-Hadits atau as-Sunnah. Percakapan Rasulullah ﷺ itu dicatat oleh ahli-ahli pencatat. Sebagai Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, an-Nasa'i, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, dan lain-lain.
Dan hadits-hadits itu teranglah bukan wahyu. Tetapi peringatan dari ayat 44, 45, dan 46 surah al-Haaqqah itu ialah bahwa Nabi ﷺ tidak boleh bercakap dalam keadaan berbeda perkataannya dengan barang mana pun isi wahyu Ilahi. Maka kalau wahyu datang memberikan ijmaal, datanglah uraian dari Nabi ﷺ secara tafshil Misalnya datang perintah Ilahi shalat lima waktu maka datanglah perbuatan Nabi menjelaskan bagaimana melakukan shalat itu, dengan sabda beliau,
“Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku shalat."
Datanglah perintah, wahyu di dalam Al-Qur'an supaya kita mengerjakan haji, lalu Rasulullah ﷺ memperlihatkan contoh bagaimana kaifiyat, cara-cara mengerjakan haji itu, dan beliau pun bersabda,
“Ambillah daripadaku cara-cara mengerjakan manasik (kewajiban-kewajiban dan rukun haji) kamu."
Teranglah hadits-hadits itu bukan wahyu, tetapi tidak menyalahi, tidak mengubah atau menambah atau mengurangi apa yang terkandung dalam wahyu. Dikuatkan lagi oleh ayat-ayat Allah sendiri dalam Al-Qur'an,
“Dan apa pan yang didatangkan kepada kamu oleh Rasul, hendaklah kamu ambil akan dia, dan apa yang dia larang kamu, hendaklah kamu hentikan." (al-Hasyr: 7)
Dan firman Allah lagi,
“Sesungguhnya adalah bagi kamu pada utusan Allah itu teladan yang (yaitu) bagi barangsiapa yang mengharapkan (dari Allah) dan hari yang akhir dan yang ingat kepada Allah sebanyak-banyaknya." (al-Ahzaab: 21)
Pada ayat-ayat ini teranglah bahwa Allah memberikan jaminan bahwa Rasulullah ﷺ jika bercakap, tidaklah beliau bercakap dengan sekehendak hatinya saja, melainkan percakapan beliau tidak akan keluar dari garisan wahyu. Dan ditegaskan lagi oleh Allah, bahwa dia tidak berani bercakap sekehendak hati, menyimpang dari wahyu, dia akan dihukum, tangannya akan ditarik dan dipotong tali jantungnya. Setelah itu diwajibkan taat kepadanya, kerjakan perintahnya, hentikan larangannya. Di dalam surah an-Nisaa' ayat 80 tersebut dengan jelas,
“Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sesungguhnya dia itu telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang berpaling maka tidaklah Kami mengutus engkau kepada mereka buat jadi penjaga." (an-Nisaa': 80)
Maksudnya ialah kalau Rasul tidak mereka taati, teranglah mereka akan dihukum oleh Allah dan Rasul tidak ada upaya buat menghalangi jika hukum itu datang. Semua orang sama di hadapan keadilan Allah.
Di zaman modern sekarang ini ada orang Islam tersesat berpikir. Mereka mengatakan bahwa kita cukup berpegang kepada Al-Qur'an saja. Tidak usah pakai hadits lagi. Sebab hadits itu kata mereka, banyak yang tidak shahih. Sebab itu tinggalkan saja!
Pendapat begini adalah racun perusak sendi-sendi Islam yang disiarkan oleh Orientalis Barat, yang sama sekali bukan ilmiah sifatnya. Dengan katanya cukup Al-Qur'an saja itu, anjuran ini telah melanggar akan aturan Al-Qur'an sendiri, yang menyatakan bahwa taat kepada Rasul itu. sudah sama dengan taat kepada Allah. Maka dengan meninggalkan hadits Rasul itu, telah jelas bahwa kita telah tidak berpegang lagi kepada perintah Allah. Bukan satu, bukan dua ayat-ayat yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul. Sehingga dengan pasti dapat kita terangkan, bahwa anjuran orang dengan taat kepada Allah saja, dengan meninggalkan Rasul, sama artinya dengan kafir,
“Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka bagi mereka adalah api neraka Jahannam, kekal mereka di dalamnya selama-lamanya." (al-Jinn: 23)
Orang yang kekal di neraka itu ialah orang yang kafir.
Kalau mereka mengatakan bahwa al-hadits itu banyak yang palsu, yang dhaif, yang munkar.
Kita bertanya, “Adakah di antara mereka yang berani mengatakan, ‘Semua hadits Nabi ﷺ adalah palsu, semua dhaip'"
Menurut pengetahuan kita, sudah empat belas abad agama Islam sampai sekarang, tidak ada orang yang mengatakan semua hadits palsu, semua hadits dhaif. Tidak ada! Orang hanya mengatakan banyak.
Maka menurut undang-undang ilmiah, selama ilmiah itu masih memakai sendi-sendi penyelidikan yang wajar, kalau banyak yang palsu atau dhaif, bukanlah orang membuangkan semua, melainkan menyelidiki, menapis, menyaring, menyisihkan mana yang beras dan mana yang antah. Bukan membuangkan semua karena di sana terdapat antah!
Dalam perkembangan agama Islam, dari abad Islam yang kedua, di zaman tabi'in, yaitu angkatan sesudah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, telah diadakan orang penyelidikan, penelitian dan penyisihan tentang hadits-hadits ini, sehingga telah diketahui bahwa di samping yang dhaif atau palsu terdapat yang shahih, atau yang sah, yang kuat (gavri), yang hasan (bagus); bahkan ada yang mutawatir, yaitu yang mustahil akan bersekongkol orang membuat berita bohong. Seumpama cara shalat, menghadap kiblat, Zhuhur empat rakaat, Shubuh dua, Maghrib tiga, dan sebagainya. Ini adalah contoh-contoh dari hadits yang mutawatir, demikian juga wu-quf di Arafah. Sebab itu kalau ada orang yang mengatakan bahwa semua hadits tidak usah dipakai lagi, sebab ada hadits itu yang palsu atau dhaif, bukanlah orang itu berkata dengan ilmu, melainkan sengaja hendak menghancurkan sendi-sendi Islam dengan menghalangi hubungan orang dengan sunnah Rasul.
Ayat 5
“Yang memberinya ajaran ialah yang sangat kuat."
Inilah jaminan selanjutnya tentang wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad ﷺ itu. Bahwasanya yang mengajarkan wahyu itu kepada beliau ialah makhluk yang sangat kuat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan yang sangat kuat itu ialah Malaikat Jibril.
Ayat 6
“Yang mempunyai keteguhan."
Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Zaid memberi arti, “Yang mempunyai keteguhan." Ibnu Abbas memberi arti, “Yang mempunyai rupa yang elok." Qatadah memberi arti, “Yang mempunyai bentuk badan yang tinggi bagus." Ibnu Katsir ketika memberi arti berkata, “Tidak ada perbedaan dalam arti yang dikemukakan itu. Karena Malaikat Jibril itu memang bagus dipandang mata dan mempunyai kekuatan luar biasa. Lanjutan ayat ialah fastawaa, artinya,
“Yang menampakkan diri yang asli."
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diterimanya dari Abdullah bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah ﷺ melihat rupanya yang asli itu dua kali. Kali yang pertama ialah ketika Rasul ﷺ meminta kepada Jibril supaya sudi memperlihatkan diri menurut rupanya yang asli. Permintaan itu dia kabulkan lalu kelihatanlah dia dalam keasliannya itu memenuhi ufuk! Kali yang kedua ialah ketika dia memperlihatkan diri dalam keadaannya yang asli itu, ketika Jibril akan menemani beliau pergi Isra' dan Mi'raj. Dalam pernyataan diri dari keasliannya itu, Nabi melihatnya dengan sayap yang sangat banyak, enam ratus sayap.
Ayat 7
“Sedang dia berada di ufuk yang tinggi."
Kelihatan oleh Rasulullah ﷺ Jibril dalam keasliannya itu, dengan enam ratus sayap, dan tiap sayap memenuhi ufuk.
Anas bin Malik, al-Hasan, dan Ikrimah mengatakan bahwa Nabi ﷺ melihat Jibril dalam keadaan demikian dengan matanya sendiri. Ada juga orang yang memberi tafsir bahwa yang kelihatan oleh Muhammad ﷺ itu ialah Allah sendiri. Namun Aisyah istri Nabi ﷺ membantah tafsir itu sekeras-kerasnya. Kata beliau,
“Engkau telah mempercakapkan sesuatu yang menyebabkan bulu ramaku berdiri."
Masruq (seorang tabi'in) berkata, “Harap tenang!" Lalu Masruq membaca ayat,
“,Sesungguhnya dia telah melihat ayat-ayat dari Tuhannya yang besar/' (an-Najm: 18)
Lalu Aisyah menjelaskan, “Ke mana engkau terbawa hai Masruq. Yang dimaksud ayat ini bukan Allah tetapi Jibril! Siapa yang memberitakan kepadamu bahwa Muhammad ﷺ pernah melihat Tuhannya? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa dia Nabi ﷺ menyembunyikan, tidak menyampaikan apa yang disuruh Allah menyampaikan? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad mengetahui lima perkara (seperti tersebut di akhir surah Luqmaan). Siapa yang mengatakan semuanya itu, dia telah membuat dusta. Beliau ﷺ hanya melihat Jibril dan dia melihat Jibril dalam keasliannya hanya dua kali."
Ayat 8
“Kemudian dia pun dekat, bertambah Dekat."
Itu pun masih menceritakan bahwa pada waktu itu Nabi Muhammad ﷺ melihat Jibril dalam keadaan yang dekat sekali.
Ayat 9
“Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat."
Di dalam Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin ar-Razi, beliau ini menerangkan satu kali Malaikat Jibril itu memperlihatkan dirinya dalam keadaannya dengan enam ratus sayap dan sebelah kakinya saja memenuhi ufuk. Tetapi sekali lagi dia memperlihatkan dirinya menyerupai manusia, sebagai tersebut di dalam hadits shahih bahwa datang seorang laki-laki menanyakan beberapa soal kepada Nabi ﷺ apa arti Islam, apa arti iman, apa arti ihsan, dan bila Kiamat (Saat) akan terjadi dan apa tanda-tandanya. Dia bertanya itu di hadapan banyak sahabat-sahabat Nabi ﷺ. Setelah selesai bertanya dia pun berjalan
meninggalkan tempat itu. Setelah dia pergi Nabi ﷺ memberitahu kepada para sahabat, bahwa orang tadi adalah malaikat, “Datang mengajarkan kepada kamu dari hal agama kamu."
Maka ketika Nabi ﷺ melihat Jibril dalam keadaannya yang asli itu, dengan enam ratus sayap dan kaki yang memenuhi ufuk itu, sedang Jibril jauh dari Nabi. Tetapi dia menjelma sebagai ketika datang bertanya di hadapan orang banyak itu beliau sangat dekat, “Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat."
Untuk jelasnya dapat di sini kita salinkan hadits yang terkenal,
“Daripada Umar bin al-Khathab r.a., berkata dia, ‘Sedang kami duduk di dekat Rasulullah ﷺ pada suatu hari, tiba-tiba datanglah kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih kainnya dan sangat hitam rambutnya, tidak dilihat pada dirinya bekas-bekas tanda orang musafir, dan tidak ada yang kenal kepadanya di antara kami seorang jua pun, sehingga dia duduk di sisi Nabi lalu disandarkannya lututnya kepada lutut Nabi dan diletakkannya kedua belah telapak t angannya ke atas paha Nabi dan dia pun berkata, ‘Hai Muhammad! Ceritakanlah kepadaku dari hal /siam itu (sampai kepada akhir hadits).
“Maka dia pun pergi maka tinggallah seketika lamanya."
Ucapan ini dari Sayyidina Umar sendiri.
“Kemudian heliau (ﷺ) berkata, ‘Hai Umar tahukah engkau siapa orang yang datang bertanya itu?'"
“Aku menjawab, ‘Allah dan RasulNyalah yang lebih tahu."
Beliau berkata,
“Orang itu ialah Jibril. Dia datang untuk mengajarkan kepada kamu agama kamu."(HR Muslim)
Maka hadits ini dapatlah memberikan paham kepada kita tentang maksud dari ayat, “Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat"lagi daripada Nabi ﷺ, sehingga sampai disandarkannya lututnya kepada lutut Nabi ﷺ dan diletakkannya kedua belah telapak tangannya ke atas kedua belah paha Nabi, demikian rapat dan dekat sehingga tidak berjarak lagi.
Ayat 10
“Maka Dia pun mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang hendak Dia wahyukan."
Pada ayat inilah baru dijelaskan bahwa wahyu itu datang dari Allah Ta'aala sendiri dan Jibril hanyalah sebagai pembawa wahyu belaka.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Asakir dengan sanadnya dari Habbar bin al-Aswad dan beberapa ahli hadits yang lain, Utbah anak Abu Lahab ketika akan pergi ke negeri Syam menyuruh orang menyampaikan pesannya kepada Rasulullah ﷺ bahwa dia tidak percaya sama sekali berita tentang Malaikat Jibril membawa wahyu kepada Rasulullah ﷺ Utbah mengatakan kepada
orang banyak, “Ketahuilah olehmu sekalian bahwa aku tidak percaya dan kafir terhadap riwayat yang dikatakan Muhammad itu bahwa Jibril telah mendekat kepadanya untuk menyampaikan wahyu itu." Berita ini pun disampaikan orang kepada Rasulullah ﷺ Mendengar sanggahannya itu bersabdalah Nabi, “Allah akan mengirim salah satu dari anjing-anjing-Nya."