Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنَادُونَكَ
mereka memanggil kamu
مِن
dari
وَرَآءِ
belakang
ٱلۡحُجُرَٰتِ
kamar-kamar
أَكۡثَرُهُمۡ
kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
mengerti
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنَادُونَكَ
mereka memanggil kamu
مِن
dari
وَرَآءِ
belakang
ٱلۡحُجُرَٰتِ
kamar-kamar
أَكۡثَرُهُمۡ
kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
mengerti
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau (Nabi Muhammad) dari luar kamar(-mu), kebanyakan mereka tidak mengerti.
Tafsir
("Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar) yakni dari luar kamar istri-istrinya. Lafal Hujuraat bentuk jamak dari lafal Hujratun, yang artinya; sepetak tanah yang dikelilingi oleh tembok atau lainnya, yang digunakan sebagai tempat tinggal. Masing-masing di antara mereka memanggil Nabi ﷺ dari belakang kamar-kamarnya, karena mereka tidak mengetahui di kamar manakah Nabi ﷺ berada. Mereka memanggilnya dengan suara yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab Badui, yaitu dengan suara yang keras dan kasar (kebanyakan mereka tidak mengerti) tentang apa yang harus mereka kerjakan di dalam menghadapi kedudukanmu yang tinggi, dan sikap penghormatan manakah yang pantas mereka lakukan untukmu.
Tafsir Surat Al-Hujurat: 4-5
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kemudian Allah ﷻ mencela orang-orang yang memanggil Nabi ﷺ dari luar kamarnya, yakni kamar istri-istrinya, seperti yang dilakukan oleh kebiasaan orang-orang Arab kampung yang keras lagi kasar wataknya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: kebanyakan mereka tidak mengerti. (Al-Hujurat: 4) Kemudian Allah ﷻ memberi petunjuk kepada etika sopan santun dalam hal tersebut. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka. (Al-Hujurat: 5) Yakni tentulah hal tersebut mengandung kebaikan dan maslahat bagi mereka di dunia dan akhiratnya. Kemudian Allah ﷻ menyeru mereka untuk bertobat dan kembali kepada-Nya: dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Hujurat: 5) Menurut riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Aqra' ibnu Habis At-Tamimi r.a. menurut yang diketengahkan bukan hanya oleh seorang. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Uqbah, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Al-Aqra' ibnu Habis r.a. bahwa ia memanggil Rasulullah ﷺ, "Hai Muhammad, hai Muhammad!" Menurut riwayat yang lain menyebutkan, "Hai Rasulullah," tetapi Rasulullah ﷺ tidak menyahutnya.
Maka berkatalah Al-Aqra' ibnu Habis, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pujianku benar-benar baik dan celaanku benar-benar buruk." Maka Rasulullah ﷺ menjawab, "Itu adalah Allah ﷻ" Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ammar Al-Husain ibnu Hurayyis Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu). (Al-Hujurat: 4) Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya pujianku baik dan celaanku buruk." Rasulullah ﷺ menjawab, "Itu adalah Allah ﷻ" Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah secara mursal.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Umrah yang mengatakan bahwa Bisyr ibnu Galib dan Labid ibnu Utarid atau Bisyr ibnu Utarid dan Labid ibnu Galib berada di sisi Al-Hajjaj duduk, maka Bisyr ibnu Galib berkata kepada Labid ibnu Utarid, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaummu Bani Tamim, yaitu firman Allah ﷻ: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu). (Al-Hujurat: 4) Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair.
Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab, bahwa seandainya dia mengetahui kelanjutan dari ayat tersebut, tentulah dia menjawabnya: Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. (Al-Hujurat: 17) Mereka mengatakan, "Kami masuk Islam dan Bani Asad tidak memerangimu." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali Al-Bahili, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Daud At-Ta'i menceritakan dari Abu Muslim Al-Bajali, dari Zaid ibnu Arqam r.a. yang mengatakan bahwa beberapa golongan dari orang Badui berkumpul, dan mereka mengatakan, "Marilah kita berangkat menemui lelaki ini.
Jika dia memang seorang nabi, maka kita adalah orang yang paling berbahagia karena ada dia; dan jika dia seorang malaikat, berarti kita dapat hidup dengan sayapnya." Zaid ibnu Arqam melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Badui itu. Selanjutnya orang-orang Badui itu datang ke rumah Nabi ﷺ, dan mereka memanggil Nabi ﷺ yang berada di dalam kamarnya, "Hai Muhammad, hai Muhammad!" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (Al-Hujurat: 4) Maka Rasulullah ﷺ memegang daun telingaku dan menjewernya seraya bersabda: Sesungguhnya Allah ﷻ telah membenarkan ucapanmu, hai Zaid. Sesungguhnya Allah ﷻ telah membenarkan ucapanmu, hai Zaid. Imam Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama."
4-5. Setelah ayat yang lalu memuji orang-orang yang berlaku sopan kepada Nabi dengan merendahkan suaranya ketika berbicara dengan beliau, ayat ini mengecam orang-orang yang berlaku tidak sopan. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau dengan cara yang tidak sopan dari luar kamar kediamanmu dan kediaman istri-istrimu kebanyakan mereka tidak mengerti tata krama penghormatan dan peng-agungan yang seharusnya dilakukan kepadamu. Dan sekiranya mereka bersabar, yakni tidak memanggil-manggil namamu sampai engkau keluar dari kamarmu untuk menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka di sisi Allah. Dan itu tidak dilakukan oleh mereka, namun Allah tidak menyiksa mereka. Allah Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang taat. Berkaitan dengan ayat ini terdapat riwayat bahwa sekelompok rombongan Bani Tamim datang untuk menemui Nabi dan mereka memanggil-manggil dari luar kamarnya, 'Hai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami'. Nabi dengan berat hati menemui mereka, padahal ketika itu beliau sedang beristirahat. Ayat ini mengecam sikap mereka yang berlaku tidak sopan kepada Rasulullah. 4-5. Setelah ayat yang lalu memuji orang-orang yang berlaku sopan kepada Nabi dengan merendahkan suaranya ketika berbicara dengan beliau, ayat ini mengecam orang-orang yang berlaku tidak sopan. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau dengan cara yang tidak sopan dari luar kamar kediamanmu dan kediaman istri-istrimu kebanyakan mereka tidak mengerti tata krama penghormatan dan peng-agungan yang seharusnya dilakukan kepadamu. Dan sekiranya mereka bersabar, yakni tidak memanggil-manggil namamu sampai engkau keluar dari kamarmu untuk menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka di sisi Allah. Dan itu tidak dilakukan oleh mereka, namun Allah tidak menyiksa mereka. Allah Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang taat. Berkaitan dengan ayat ini terdapat riwayat bahwa sekelompok rombongan Bani Tamim datang untuk menemui Nabi dan mereka memanggil-manggil dari luar kamarnya, 'Hai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami'. Nabi dengan berat hati menemui mereka, padahal ketika itu beliau sedang beristirahat. Ayat ini mengecam sikap mereka yang berlaku tidak sopan kepada Rasulullah.
Dalam ayat ini, Allah memberikan pelajaran kesopanan dan tata krama dalam menghadapi Rasulullah saw, terutama dalam mengadakan percakapan dengan beliau. Rasulullah ﷺ selama di Medinah tinggal di sebuah rumah di samping masjid Medinah. Di dalam rumah itu terdapat kamar-kamar yang berjumlah sembilan buah, dan masing-masing diisi oleh seorang istri nabi. Bangunan tersebut dibuat sangat sederhana, atapnya rendah sekali sehingga mudah disentuh oleh tangan dan pintu-pintunya terdiri dari gantungan kulit binatang yang berbulu.
Pada masa Khalifah al-Walid bin 'Abd al-Malik, kamar-kamar itu dibongkar dan dijadikan halaman masjid. Hal itu sangat menyedihkan kaum Mukminin di Medinah. Sa'id bin al-Musayyab merespon dan berkata, "Saya suka sekali jika kamar-kamar istri Nabi itu tetap berdiri dan tidak dirombak, agar generasi mendatang dari penduduk Medinah dan orang-orang yang datang dapat meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad dalam mengatur rumah tangganya.
Ibnu Ishaq menerangkan dalam kitab Sirah-nya bahwa tahun kesembilan Hijrah itu merupakan tahun mengalirnya para delegasi dari seluruh Jazirah Arab. Setelah Pembebasan Mekah, seusai Perang Tabuk, dan Kabilah saqif dari thaif masuk Islam dan ikut membaiat Rasulullah saw, maka datanglah dengan berduyun-duyun berbagai delegasi ke Medinah untuk menemui Rasulullah ﷺ
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Zaid bin Arqam bahwa sekumpulan orang-orang Badui berkata kepada kawan-kawannya, "Marilah kita menemui laki-laki (Muhammad) itu, apabila ia benar-benar seorang nabi, maka kitalah yang paling bahagia beserta dia, dan jika ia seorang raja maka kita pun akan beruntung dapat hidup di sampingnya." Maka datanglah Zaid bin Arqam kepada Rasulullah ﷺ menyampaikan berita itu lalu mere-ka datang beramai-ramai menemui beliau yang kebetulan sedang berada di kamar salah seorang istrinya. Mereka memanggil dengan suara yang lantang sekali, "Ya Muhammad, ya Muhammad, keluarlah dari kamarmu untuk berjumpa dengan kami karena tujuan kami sangat indah dan celaan kami sangat menusuk perasaan." Nabi Muhammad ﷺ keluar dari kamar istrinya untuk menemui mereka dan turunlah ayat ini.
Menurut Qatadah, rombongan sebanyak tujuh puluh orang itu adalah dari kabilah Bani Tamim. Mereka berkata, "Kami ini dari Bani Tamim, kami datang ke sini membawa pujangga-pujangga kami dalam bidang syair dan pidato untuk bertanding dengan penyair-penyair kamu." Nabi menjawab, "Kami tidak diutus untuk mengemukakan syair dan kami tidak diutus untuk mem-perlihatkan kesombongan, tetapi bila kamu mau mencoba, boleh kemukakan syairmu itu." Maka tampillah salah seorang pemuda di antara mereka membangga-banggakan kaumnya dengan berbagai keutamaan. Nabi Muhammad menampilkan hassan bin sabit untuk menjawab syair mereka dan ternyata hassan dapat menundukkan mereka semuanya. Setelah mereka mengakui keunggulan hassan, mereka lalu mendekati Rasulullah ﷺ dan mengucapkan dua kalimat syahadat dan sekaligus masuk Islam.
Kebijaksanaan Nabi Muhammad dalam menghadapi delegasi da-ri Bani Tamim yang tidak sopan itu akhirnya berkesudahan dengan baik. Sebelum pulang, mereka lebih dahulu telah men-dapat petunjuk tentang jalan yang benar dan kesopanan dalam pergaulan. Dengan tegas sekali Allah menerangkan bahwa orang-orang yang memanggil Nabi supaya keluar kamar istrinya yang ada di samping masjid Medinah, kebanyakan mereka itu bodoh, tidak mengetahui kesopanan dan tata krama dalam mengadakan kunjungan kehormatan kepada seorang kepala negara apalagi seorang nabi. Tata cara yang dikemukakan ayat ini, sekarang dikenal sebagai protokoler dan security (keamanan). Dari ayat ini dapat pula dipahami bahwa agama Islam sejak dahulu kala sudah mengatur kode etiknya dengan maksud memberikan penghormatan yang pantas kepada pembesar yang dikunjungi.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-HUJURAAT
(BILIK-BILIK)
SURAH KE-49,18 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
Ayat 1
“Wahai orang-orang yang berilman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya."
Artinya ialah bahwasanya orang yang telah mengaku bahwa dirinya beriman kepada Allah dan Rasul, tidaklah dia akan mendahului Allah dan Rasul. Menurut keterangan daripada ulama yangbesar-besar,sejakdaripada sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada ulama lain yang menjadi ikutan umat ialah dilarang janganlah seorang beriman itu mendahulukan pikiran dan pendapatnya sendiri di dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama sebelum dia terlebih dahulu menilik, memandang dan memerhatikan firman Allah dan sabda Rasul. Janganlah dia mendahulukan pendapatnya sendiri. Untuk ini Imam Ibnu Katsir telah mengemukakan dalam tafsirnya suatu percontohan, yaitu ketika Rasulullah ﷺ akan mengutus sahabat Mu'az bin Jabal menyebarkan agama Islam ke negeri Yaman. Ketika akan berangkat itu Rasulullah bertanya kepadanya,"Dengan apakah engkau akan menghukum?" Mu'az bin Jabal menjawab,"Dengan kitab Allah!" Lalu Rasulullah bertanya pula,"Kalau tidak engkau dapati di dalamnya dasar yang akan dijadikan hukum?" Mu'az menjawab,"Dengan sunnah Rasulullah ﷺ" Lalu Rasulullah bertanya pula,"Kalau tidak pula engkau dapat bagaimana?" Mu'az menjawab,"Saya akan ijtihad dengan pendapatku sendiri." Mendengar jawab demikian dengan gembira Rasulullah menepuk dada Mu'az, tepuk sayang, lalu beliau bersabda,"Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik bagi utusan Rasulullah mencari hukum yang diridhai oleh Rasulullah sendiri." (HR Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Maksud yang terkandung dalam hadits ini ialah bahwa Mu'az mendahulukan pendapat Allah, dan pendapat Rasul daripada pendapatnya sendiri. Didahulukannya menyelidiki firman Allah di dalam Al-Qur'an, kemudian itu sunnah Rasul dalam pelaksanaannya, menurut ketentuan"Al-Asybaah wan Nazhaair", perserpaan dan penelitian dan kalau tidak bertemu baru dipakainya ijtihadnya sendiri. Maka Rasulullah ﷺ gembira mendengar jawabnya itu sehingga beliau ﷺ menepuk dada Mu'az menyatakan kegembiraan dan kesukaan beliau atas jawabannya yang tepat itu.
Oleh sebab itu kuat lagilah penafsiran ini dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah, bahwasanya arti firman Allah jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya itu ialah jangan menyatakan pendapat yang berlawanan dengan kitab dan sunnah.
“Dan takwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Inilah ujung ayat, yaitu sesudah di pangkal ayat diberi peringatan kepada orang yang beriman maka di ujung ayat diberi peringatan kembali supaya takwa kepada Allah artinya supaya menjaga perhubungan yang baik dengan Allah, Karena orang yang beriman lagi bertakwa sangatlah berhati-hati di dalam segala gerak langkahnya. Tidaklah mereka itu terburu-buru atau kesusu memutuskan suatu hukum. Seumpama imam-imam yang besar, sebagai Imam Malik atau Syafi'i, Ahmad bin Hambal atau Imam Abu Harifah, tidaklah beliau-beliau segera saja mengambil keputusan sesuatu haram melainkan kalau dia merasa sesuatu perbuatan menurut pertimbangan ijtihadnya tidak baik, cukuplah beliau berkata saja,"Ukrihu hadzaa" artinya,"Saya berici atau saya kurang senang perbuatan demikian," Maka orang yang merenungkan fatwa beliau-beliau itu dapatlah mengambil kesimpulan bahwa bagi beliau hal itu berat kepada haram. Sebabnya ialah karena masalah ijtihadiyah yang menghendaki kepada renungan pikiran, kesimpulannya tidaklah qath'i atau pasti, melainkan lebih berat kepada zhanni, sehingga di lain waktu dapat ditinjau kembali. Dan apabila mereka telah bertemu dengan nash yang sharih atau alasan yang jelas nyata, ijtihad terhenti dengan sendirinya dan mereka berlomba menganjurkan berbuat menurut yang dianjurkan.
Sebab itu pulalah maka kita lihat misalnya di dalam Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali bahwa imam-imam yang besar-besar itu, seperti Imam Malik, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Abu Harifah, dan Ahmad bin Hambal dan imam-imam yang lain, selain dari beliau itu ahli-ahli fatwa kenamaan, pemuka dari Mujtahid yang mutlak, beliau-beliau adalah ahli-ahli ibadah yang tekun, sampai menamat khatamkan membaca Al-Qur'an setiap hari. Gunanya ialah untuk meneguhkan iman dan takwa sehingga fatwa yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah,
Ayat 2
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu mengatasi suara Nabi dan janganlah kamu berkeras kepadanya dengan kata-kata sebagaimana berkerasnya setengah kamu dengan yang setengah,"
Ini pun sopan santun yang kedua jika sedang berhadapan dengan Nabi, Baik ketika berbicara sesama sendiri, di dekat Rasulullah, apatah lagi berbicara dengan Rasulullah ﷺ sendiri janganlah bersuara yang keras, karena bersuara yang keras itu pun adalah sikap yang tidak hormat juga terhadap diri beliau sendiri.
Ada diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri demikian juga at-Tirmidzi, dari Ibnu Abu Mulaikah, yang diterima dari Abdullah bin Zubair bahwa seorang bernama al-Aqra' bin Haris datang dari tempat jauh hendak menghadap Rasulullah ﷺ. Maka Abu Bakar mengusulkan kepada Rasulullah ﷺ supaya al-Aqra' itu diberi jabatan dalam kalangan kaumnya. Tetapi Umar bin Khaththab berkata pula,"Jangan orang semacam itu diangkat memangku suatu jabatan, ya Rasulullah!" Maka berkatalah Abu Bakar,"Tidak lain maksudmu hanya sekadar hendak membantah saya saja!" Lalu Umar menjawab,"Tidak ada maksudku hendak membantah engkau." Suara kedua beliau ini sudah sama-sama keras di hadapan Rasulullah ﷺ. Maka pada waktu itulah turun ayat ini, jangan mengangkat suaramu mengatasi suara Nabi.
“Bahwa menjadi hapus amalan kamu sedang kamu tidaklah menyadari."
Mengingat itu maka Qais tidak berani keluar dari rumahnya. Pada satu waktu Rasulullah menanyakan kepada anak perempuan Qais mengapa ayahnya tidak kelihatan lalu anak perempuan itu menjawab bahwa ayahnya takut bertemu dengan Rasulullah, sebab suaranya lantang keras sehingga dapat melebihi suara Rasulullah, larttaran itu dia berdosa amalannya
menjadi hapus percuma dengan tidak disadari. Maka dengan senyum Rasulullah mengatakan bahwa ayahnya, Qais bin Syammas itu, akan masuk surga, dia tidak bersalah dalam suara yang keras itu. Mendengar jawab Rasulullah yang demikian, barulah Qais muncul ke hadapan umum, namun sejak itu dia berusaha sangat melembutkan suaranya jika berhadapan dengan Rasulullah sebagaimana juga Sayyidina Umar bin Khaththab sejak masa itu pula bercakap dengan lunak lembutnya jika berhadapan dengan Nabi.
Maka tersebut jugalah di dalam riwayat-riwayat, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, bahwasanya berkata yang lemah lembut itu pun dilakukan juga terhadap Nabi ﷺ bukan saja di waktu hidupnya bahkan juga di dekat kuburan beliau. Jika kita berziarah ke kuburan beliau hendaknya kita bersikap lemah lembut, sopan santun dan jangan bersuara keras. Maka pernahlah kejadian di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dua orang pemuda bertengkar dengan suara keras di hadapan kuburan Nabi ﷺ Maka sedang mereka bertengkar itu, khalifah pun lalu di situ dan mendengar pertengkaran itu. Lalu kedua pemuda itu dipanggil ke tempat yang agak jauh dari kuburan dan beliau tanyai, apakah mereka penduduk Madinah atau datang dari luar kota? Mereka menjawab bahwa mereka datang ziarah ke Madinah dari tempat jauh, yaitu dari Thaif. Lalu khalifah memberi ingat dengan keras bahwa kalau kiranya beliau penduduk asli Madinah beliau telah menghukum mereka keduanya, dengan memukul mereka dengan cemeti. Karena bersuara keras di hadapan kuburan beliau sama juga dengan bersuara keras di hadapan beliau ketika hidupnya. Karena itu adalah menunjukkan hidup yang tidak berkesopanan.
Ayat 3
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suananya di sisi Rasulullah, itulah orang-orang yang diuji Allah hati mereka untuk bertakwa."
Perkataan ini amat penting diperhatikan. Karena ada setengah manusia yang sangat bernafsu buat turut berbicara, baik di zaman Nabi ataupun sampai sekarang. Ada orang yang belum selesai Nabi ﷺ berbicara, dia sudah bernafsu untuk berbicara, untuk menyambut. Sampai kepada zaman kita sekarang ini pun demikian pula. Misalnya sehabis pembicara memberikan ceramah diberi kesempatan bertanya. Ada orang yang sangat mendesak supaya dia terlebih dahulu diberi kesempatan berbicara, lebih dipentingkan dari yang lain. Padahal yang akan ditanyakannya itu tidaklah begitu penting. Artinya kalau dipikirkannya dengan saksama, dia sendiri pun dapat menyimpulkan jawabnya. Maka ketika kita diberi kesempatan tadi, datanglah ujian kepada diri kita seadiri. Mungkin kita sendiri telah maklum apa jawaban yang akan kita terima. Maka kalau kita dapat menahan hati, sehingga kita tidak jadi turut bicara, turut bertanya, itu pun suatu ujian juga bagi ketakwaan hati kita. Sebab menjaga pertumbuhan rasa takwa dalam jiwa kita sendiri adalah lebih penting daripada mengemukakan pertanyaan. Oleh sebab itu di dalam pelajaran ilmu tasawuf, mengemukakan pertanyaan kalau tidak perlu sangat, kalau kita sendiri dapat menimbang dan menjawab dengan akal kita yang mumi, lebih baik dan lebih memelihara rasa takwa daripada tampil ke muka dengan pertanyaan itu. Di ujung ayat tersebutlah,
“Bagi mereka adalah ampunan dan pahala yang besar."
Yaitu bagi orang yang dapat membatasi diri sehingga sikapnya yang tadinya terburu atau terlanjur hendak bertanya, setelah dibawa berpikir tenang, tidak jadi dia bertanya. Bagi mereka disediakan Allah ampunan dan pahala yang besar. Sebaliknya, jadi juga dia bertanya karena sangat penting, tetapi hendaklah dengan suara yang teratur, yang bersopan santun dan sikap hormat. Dia pun mendapat jawab yang jelas; mereka pun mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Lantaran itu sikap mana pun yang akan kita ambil hendaklah ingat suatu tujuan yang suci, yaitu memelihara rasa takwa yang mulai tumbuh dalam diri.
Ayat 4
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggil engkau dari belakang kebanyakan mereka itu tidakla hmempengunakan akalnya."
Ini pun masih menjaga sopan santun terhadap kepada Rasulullah.
Sebagaimana dimaklumi ketika mulai perjuangan dan perkembangan Islam memang ada pengikut Rasululiah itu dari berbagai golongan; ada orang kota dan ada orang dusun atau orang Badwi. Ada yang tidak mengenal akan kesopanan yang halus. Maka adalah orang-orang Badwi yang datang dari dusun itu yang datang kepada Rasulullah di waktu beliau istirahat. Dilihatnya Rasulullah sedang tidak ada di luar rumah dan bukan pula di waktu shalat. Ada seorang bernama al-Aqra bin Haris at-Tamimi, datang dari dusun hendak bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Maka langsunglah dia ke rumah Nabi ﷺ lalu berteriak-teriak dari luar rumah,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" Maka oleh sahabat-sahabat yang lain kuranglah enak rasanya cara yang demikian itu. Sebab Nabi ﷺ itu sendiri juga menghendaki akan istirahat apabila beliau kembali daripada suatu peperangan. Malam hari beliau beribadah, bertahajud sampai larut malam dan bertaut dengan Shubuh. Sehabis shalat Zhuhur biasa juga beliau tidur mengumpulkan kekuatan agak sejenak, sebagaimana dijelaskan juga waktu istirahat itu di dalam surah an-Nuur ayat 58, yaitu sebelum shalat Shubuh, dan ketika pakaian-pakaian dibuka setelah selesai shalat Zhuhur dan sesudah shalat Isya. Maka tidaklah layak, tidaklah sopan kalau memanggil Nabi saja di waktu sebagai demikian,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" Dalam ayat dikatakan bahwa orang yang seperti itu tidak mempergunakan akalnya.
Ayat 5
“Dan kalaulah mereka itu bersabar, sehingga engkau keluar kepada mereka, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi mereka."
Di dalam surah an-Nuur yang diturunkan di Madinah juga sudah dinyatakan bahwasanya sebelum Shubuh, setelah menanggalkan kain di waktu Zhuhur dan sesudah shalat Isya, adalah waktu istirahat, waktu yang tidak boleh diganggu, sesudah itu barulah boleh berhubungan dengan beliau, atau lebih baik lagi sabar menunggu. Karena apabila waktu Shubuh akan masuk, beliau sudah pasti pergi ke masjid. Sebelum Maghrib masuk beliau pun sudah berada di masjid, bahkan biasanya sejak Ashar sampai Isya beliau telah di masjid terus. Tetapi sehabis Isya beliau istirahat lagi di rumah. Kalau beliau bangun tengah malam ialah buat mengerjakan shalat tahajjud (qiyamul lail). Maka kalau orang-orang itu mempergunakan akal yang sehat, tidaklah layak mereka memanggil-manggil dari luar,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" supaya beliau keluar. Tunggu sajalah baik-baik dengan sabar, niscaya di waktu tertentu itu beliau akan keluar kepada orang ramai, berjamaah ke masjid, beliau sendiri imamnya. Dan sesudah shalat beliau akan memberikan nasihat, fatwa, dan menjawab per-tanyaan-pertanyaan yang penting. Maka yang sebaik-baiknya, demi sopan santun dengan Rasulullah, lebih baik menunggu dengan sabar. Sebab beliau pun sendiri amat rindu hendak bertemu dengan sahabat-sahabatnya dan umat sekalian. Maka kesalahan terburu memanggil beliau dengan tidak beraturan, kalau di zaman yang sudah-sudah, tidaklah mengapa karena belum tahu. Itulah sebabnya maka di ujung ayat Allah berkata,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang"
Tetapi kalau buat selanjutnya tentu tidak boleh berbuat serampangan sebagai demikian tadi. Sebab Allah sendiri pun memperlakukan Rasul-Nya dengan penuh hormat, memanggil gelar dan jabatannya pada tiap waktu tertentu dengan tidak menyebut namanya, mengangkatkan martabatnya sampai tinggi, apatah lagi kita umatnya.
Allah telah menunjukkan teladan yang baik bagi kita untuk kita contoh di dalam sikap kita terhadap Rasulullah ﷺ.