Ayat
Terjemahan Per Kata
رَبِّ
Tuhanku
هَبۡ
berilah
لِي
kepadaku
مِنَ
dari/termasuk
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
رَبِّ
Tuhanku
هَبۡ
berilah
لِي
kepadaku
مِنَ
dari/termasuk
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
Terjemahan
(Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.”
Tafsir
('Ya Rabbku! Anugerahkanlah kepadaku) seorang anak (yang termasuk orang-orang yang saleh.').
Tafsir Surat As-Saffat: 99-113
Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, "sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu).Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. Allah ﷻ menceritakan tentang kekasih-Nya Nabi Ibrahim a.s. bahwa sesungguhnya setelah Allah menolongnya dari kejahatan kaumnya dan ia merasa putus asa dari keimanan kaumnya, padahal mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang besar.
Maka Ibrahim a.s. hijrah dari kalangan mereka seraya berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 99-100) Yakni anak-anak yang taat sebagai ganti dari kaumnya dan kaum kerabatnya yang telah ditinggalkannya. Allah ﷻ berfirman: Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (Ash-Shaffat: 101) Anak ini adalah Nabi Ismail a.s., karena sesungguhnya dia adalah anak pertamanya yang sebelum kelahirannya, dia telah mendapat berita gembira mengenainya.
Dia lebih tua daripada Nabi Ishaq, menurut kesepakatan kaum muslim dan kaum Ahli Kitab, bahkan di dalam nas kitab-kitab mereka disebutkan bahwa ketika Ibrahim a.s. mempunyai anak Ismail, ia berusia delapan puluh enam tahun. Dan ketika beliau mempunyai anak Ishaq, usia beliau sembilan puluh sembilan tahun. Menurut mereka (Ahli Kitab), Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menyembelih anak tunggalnya itu, dan dalam salinan kitab yang lain disebutkan anak pertamanya. Akan tetapi, mereka mengubahnya dan membuat-buat kedustaan dalam keterangan ini, lalu mengganti dengan Ishaq.
Padahal hal tersebut bertentangan dengan nas kitab asli mereka. Sesungguhnya mereka menyusupkan penggantian dengan memasukkan Ishaq sebagai ganti Ismail karena bapak moyang mereka adalah Ishaq, sedangkan Ismail adalah bapak moyang bangsa Arab. Orang-orang Ahli Kitab dengki dan iri hati kepada bangsa Arab, karena itu mereka menambah-nambahinya dan menyelewengkan arti anak tunggal dengan pengertian 'anak yang ada di sisimu,' karena Ismail telah dibawa pergi oleh Ibrahim bersama ibunya ke Mekah.
Takwil seperti ini merupakan takwil yang menyimpang dan batil, karena sesungguhnya pengertian anak tunggal itu adalah anak yang semata wayang bagi Ibrahim (saat itu). Lagi pula anak pertama merupakan anak yang paling disayang lebih dari anak yang lahir sesudahnya, maka perintah untuk menyembelihnya merupakan ujian dan cobaan yang sangat berat. Sejumlah ahlul 'ilmi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq, menurut apa yang telah diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf; sehingga ada yang menukilnya dari sebagian sahabat.
Tetapi hal tersebut bukan bersumber dari Kitabullah, bukan pula dari sunnah. Dan saya dapat memastikan bahwa hal tersebut tidaklah diterima, melainkan dari ulama Ahli Kitab, lalu diterima oleh orang muslim tanpa alasan yang kuat. Yang jelas Kitabullah ini merupakan saksi yang menunjukkan kepada kita bahwa putra yang disembelih itu adalah Isma'il. Karena sesungguhnya Al-Qur'an telah menyebutkan berita gembira bagi Ibrahim akan kelahiran seorangputra yang penyabar dan menyebutkan pula bahwa putranya itulah Az-Zabih (yang disembelih).
Setelah itu disebutkan oleh firman-Nya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 112) Malaikat ketika menyampaikan berita gembira akan kelahiran Ishaq kepada Ibrahim mengatakan: Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (Al-Hijr:53) Dan firman Allah ﷻ: maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71) Yakni dilahirkan bagi Ishaq di masa keduanya (Ibrahim dan istrinya) seorang putra yang diberi nama Ya'qub. Dengan demikian, Nabi Ibrahim beroleh keturunan dan cucu. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa tidaklah mungkin Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ishaq semasa kecilnya, karena Allah ﷻ telah menjanjikan kepada keduanya bahwa kelak Ishaq akan melahirkan keturunannya.
Maka mana mungkin sesudah semuanya itu Ishaq diperintahkan agar di sembelih saat ia masih kecil. Dan lagi Ismail di sini mendapat julukan sebagai orang yang amat sabar, maka predikat inilah yang lebih pantas untuk kedudukan ini (sebagai anak yang rela disembelih). Firman Allah ﷻ: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. (Ash-Shaffat: 102) Yakni telah tumbuh menjadi dewasa dan dapat pergi dan berjalan bersama ayahnya. Disebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s.
setiap waktu pergi menengok anaknya dan ibunya di negeri Faran, lalu melihat keadaan keduanya. Disebutkan pula bahwa untuk sampai ke sana Nabi Ibrahim mengendarai buraq yang cepat larinya; hanya Allah-lah Yang Maha mengetahui. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata Al-Khurrasani, dan Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, (Ash-Shaffat: 102) Maksudnya, telah tumbuh dewasa dan dapat bepergian serta mampu bekerja dan berusaha sebagaimana yang dilakukan ayahnya.
Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! " (Ash-Shaffat: 102) Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa mimpi para nabi itu adalah wahyu, kemudian ia membaca firman-Nya: Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" (Ash-Shaffat: 102) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Abu Abdul Malik Al-Karnadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Israil ibnu Yunus, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Mimpi para nabi itu merupakan wahyu.
Hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab Sittah dengan jalur ini. Dan sesungguhnya Ibrahim memberitahukan mimpinya itu kepada putranya agar putranya tidak terkejut dengan perintah itu, sekaligus untuk menguji kesabaran dan keteguhan serta keyakinannya sejak usia dini terhadap ketaatan kepada Allah ﷻ dan baktinya kepada orang tuanya. Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. (Ash-Shaffat: 102) Maksudnya, langsungkanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu untuk menyembelih diriku. insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Ash-Shaffat: 102) Yakni aku akan bersabar dan rela menerimanya demi pahala Allah ﷻ Dan memang benarlah, Ismail a.s.
selalu menepati apa yang dijanjikannya. Karena itu, dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya. (Maryam: 54-55) Adapun firman Allah ﷻ: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (Ash-Shaffat: 103) Setelah keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan penyembelihan itu, yakni persaksian (tasyahhud) untuk mati.
Menurut pendapat yang lain, aslama artinya berserah diri dan patuh. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mengerjakan perintah Allah ﷻ sebagai rasa taat keduanya kepada Allah, dan bagi Ismail sekaligus berbakti kepada ayahnya. Demikianlah menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Ishaq, dan lain-lainnya. Makna tallahu lil jabin ialah merebahkannya dengan wajah yang tengkurap dengan tujuan penyembelihan akan dilakukan dari tengkuknya dan agar Ibrahim tidak melihat wajahnya saat menyembelihnya, karena cara ini lebih meringankan bebannya.
Ibnu Abbas r.a., Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya). (Ash-Shaffat: 103) Yakni menengkurapkan wajahnya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih dan Yunus. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Asim Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika Ibrahim a.s. diperintahkan untuk mengerjakan manasik, setan menghadangnya di tempat sa'i, lalu setan menyusulnya, maka Ibrahim menyusulnya. Kemudian Jibril a.s.
membawa Ibrahim ke jumrah 'aqabah, dan setan kembali menghadangnya; maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan itu pergi. Kemudian setan menghadangnya lagi di jumrah wusta, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Kemudian Ibrahim merebahkan Ismail pada keningnya, saat itu Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu Ismail berkata kepada ayahnya, "Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya." Maka Ibrahim bermaksud menanggalkan baju gamis putranya itu.
Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya dari arah belakang: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 104-105); Maka Ibrahim menoleh ke belakang, tiba-tiba ia melihat seekor kambing gibasy putih yang bertanduk lagi gemuk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarang kami masih terus mencari kambing gibasy jenis itu. Hisyam menyebutkan hadis ini dengan panjang lebar di dalam Kitabul Manasik.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dengan panjang lebar dari Yunus, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Hanya dalam riwayat ini disebutkan Ishaq. Menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. tentang nama anak yang disembelih, ada dua riwayat. Tetapi riwayat yang terkuat adalah yang menyebutnya Ismail, karena alasan yang akan kami sebutkan, insya Allah. Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Qatadah, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Bahwa dikeluarkan untuknya seekor kambing gibasy dari surga yang telah digembalakan sebelum itu selama empat puluh musim gugur (tahun).
Maka Ibrahim melepaskan putranya dan mengejar kambing gibasy itu. Kambing gibasy itu membawa Ibrahim ke jumrah ula, lalu Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Dan kambing itu luput darinya, lalu lari ke jumrah wusta dan Ibrahim mengeluarkannya dari jumrah itu dengan melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Kambing itu lari dan ditemuinya ada di jumrah kubra, maka ia melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil.
Pada saat itulah kambing itu keluar dari jumrah, dan Ibrahim menangkapnya, lalu membawanya ke tempat penyembelihan di Mina dan menyembelihnya. Ibnu Abbas melanjutkan, "Demi Tuhan yang jiwa Ibnu Abbas berada di tangan kekuasaan-Nya, sesungguhnya sembelihan itu merupakan kurban yang pertama dalam Islam, dan sesungguhnya kepala kambing itu benar-benar digantungkan dengan kedua tanduknya di talang Ka'bah hingga kering." Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim yang mengatakan bahwa Abu Hurairah r.a. berkumpul bersama Ka'b, lalu Abu Hurairah menceritakan hadis dari Nabi ﷺ, sedangkan Ka'b menceritakan tentang kisah-kisah dari kitab-kitab terdahulu.
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya masing-masing Nabi mempunyai doa yang mustajab, dan sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat buat umatku kelak di hari kiamat. Maka Ka'b bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah ﷺ?" Abu Hurairah menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, atau semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya, maukah kuceritakan kepadamu tentang perihal Ibrahim a.s.?" Ka'b melanjutkan perkataannya, bahwa sesungguhnya ketika Ibrahim bermimpi menyembelih putranya Ishaq, setan berkata.Sesungguhnya jika tidak kugoda mereka saat ini, berarti aku tidak dapat menggoda mereka selamanya." Ibrahim a.s.
berangkat bersama anaknya dengan tujuan akan menyembelihnya, maka setan pergi dan masuk menemui Sarah, lalu berkata, "Ke manakah Ibrahim pergi bersama anakmu?" Sarah menjawab, "Ia pergi membawanya untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya Ibrahim pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan ia pergi untuk menyembelih anaknya." Sarah bertanya, "Mengapa dia menyembelih anaknya?" Setan berkata, "Ibrahim mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan kepadanya hal tersebut." Sarah menjawab, "Sesungguhnya lebih baik baginya bila menaati Tuhannya." Lalu setan pergi menyusul keduanya.
Setan berkata kepada anak Ibrahim, "Ke manakah ayahmu membawamu pergi?" Ia menjawab," Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya dia pergi bukan untuk suatu keperluan, tetapi ia pergi untuk tujuan akan menyembelihmu." Ia bertanya, "Mengapa ayahku akan menyembelihku?" Setan menjawab, "Sesungguhnya dia mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan hal itu kepadanya." Ia berkata, "Demi Allah, sekiranya Allah yang memerintahkannya, benar-benar dia akan mengerjakannya." Setan putus asa untuk dapat menggodanya, maka ia meninggalkannya dan pergi kepada Ibrahim a.s., lalu bertanya, "Ke manakah kamu akan pergi dengan anakmu ini ?" Ibrahim menjawab, "Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya engkau membawanya pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan engkau membawanya pergi dengan tujuan akan menyembelihnya." Ibrahim bertanya, "Mengapa aku harus menyembelihnya ?" Setan berkata, "Engkau mengira bahwa Tuhanmu lah yang memerintahkan hal itu kepadamu." Ibrahim berkata, "Demi Allah, jika Allah ﷻ memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku benar-benar akan melakukannya." Setan putus asa untuk menghalang-halanginya, lalu ia pergi meninggalkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amr ibnu Abu Sufyan ibnu Usaid ibnu Jariyah As- Saqafi pernah menceritakan kepadanya bahwa Ka'b pernah berkata kepada Abu Hurairah; lalu disebutkan hal yang semisal dengan panjang lebar. Dan di penghujung kisahnya disebutkan bahwa lalu Allah menurunkan wahyu kepada Ishaq, bahwa sesungguhnya Aku memberimu suatu doa yang Kuperkenankan bagimu.
Maka Ishaq berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berdoa kepada-Mu, semoga Engkau memperkenankannya. Semoga siapa pun di antara hamba-Mu yang bersua dengan-Mu, baik dari kalangan orang terdahulu maupun dari kalangan orang yang terkemudian, dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, semoga Engkau memasukkannya ke dalam surga." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah ﷻ telah menyuruhku untuk memilih, apakah separo dari umatku mendapat ampunan ataukah doa permohonan syafaatku diterima.
Maka aku memilih syafaatku diterima dengan harapan semoga sejumlah besar dari umatku diampuni dosa-dosanya. Seandainya tidak ada hamba saleh yang mendahuluiku, tentulah aku menyegerakan doaku itu. Sesungguhnya ketika Allah ﷻ membebaskan Ishaq dari musibah penyembelihan, dikatakan kepadanya, "Hai Ishaq, mintalah, niscaya kamu diberi." Ishaq berkata, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh aku akan menyegerakan doaku ini sebelum setan menggodaku. Ya Allah, barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, berilah dia ampunan dan masukkanlah ke dalam surga." Hadis ini garib lagi munkar; Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam daif hadisnya, dan saya merasa khawatir bila di dalam hadis ini terdapat tambahan yang disisipkan, yaitu ucapan, "Sesungguhnya setelah Allah ﷻ membebaskan Ishaq dari musibah penyembelihan," hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jika hal ini terpelihara, maka yang lebih mirip kepada kebenaran dia tiada lain adalah Ismail. Dan sesungguhnya mereka (Ahli Kitab) telah mengubahnya dengan Ishaq karena dengki dan iri terhadap bangsa Arab, seperti alasan yang telah dikemukakan di atas. Lagi pula mengingat manasik dan penyembelihan kurban itu tempatnya tiada lain di Mina, yaitu bagian dari kawasan tanah Mekah, adalah tempat Ismail berada, bukan Ishaq.
Karena sesungguhnya Ishaq berada di tanah Kan'an, bagian dari negeri Syam. Firman Allah ﷻ: Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu!" (Ash-Shaffat: 104-105) Yakni sesungguhnya engkau telah mengerjakan apa yang telah dilihat dalam mimpimu itu hanya dengan membaringkan putramu untuk disembelih. As-Saddi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. sempat menggorokkan pisaunya, tetapi tidak dapat memotong sesuatu pun, bahkan dihalang-halangi antara pisau dan leher Nabi Ismail oleh lempengan tembaga.
Lalu saat itu juga Ibrahim a.s. diseru: sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 105) Firman Allah ﷻ: sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Ash-Shaffat: 105) Yakni demikianlah Kami palingkan hal-hal yang tidak disukai dan hal-hal yang menyengsarakan dari orang-orang yang taat kepada Kami, dan Kami jadikan bagi mereka dalam urusannya jalan keluar dan kemudahan. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu: .
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Talaq: 2-3) Ayat yang menceritakan kisah penyembelihan ini dijadikan dalil oleh sejumlah ulama Usul untuk menyatakan keabsahan nasakh sebelum melakukan pekerjaan yang diperintahkan, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dari kalangan Mu'tazilah.
Tetapi penunjukkan makna dalam ayat ini sudah jelas, karena pada mulanya Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar menyembelih anaknya, kemudian Allah menasakh (merevisi)nya dan mengalihkannya menjadi tebusan (yakni kurban). Dan sesungguhnya tujuan utama dari perintah ini pada mulanya hanyalah untuk menguji keteguhan dan kesabaran Nabi Ibrahim a.s. dalam melaksanakan perintah Allah ﷻ Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat: 106) Maksudnya, ujian yang jelas dan gamblang, yaitu perintah untuk menyembelih anaknya. Lalu Ibrahim a.s. bergegas mengerjakannya dengan penuh rasa berserah diri kepada Allah dan tunduk patuh kepada perintah-Nya.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. (An-Najm: 37) Adapun firman Allah ﷻ: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Sufyan As- Sauri telah meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Abut Tufail dari Ali r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Yakni dengan kambing gibasy yang berbulu putih, gemuk, lagi bertanduk yang telah diikat di pohon samurah. Abut Tufail mengatakan bahwa mereka (berdua) menemukannya dalam keadaan telah terikat di pohon samurah yang ada di Bukit Sabir.
As-Sauri telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu telah digembalakan di surga selama empat puluh tahun. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ya'qub As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Daud Al-Attar, dari Ibnu Khasyam' dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa batu besar yang ada di Mina di lereng Bukit Sabir adalah batu tempat Nabi Ibrahim menyembelih tebusan anaknya Ishaq.
Kambing gibasy yang gemuk lagi bertanduk turun dari Bukit Sabir menuju ke tempat Nabi Ibrahim seraya mengembik, lalu Nabi Ibrahim menyembelihnya. Kambing itu juga yang dipakai kurban oleh anak Adam, lalu diterima, dan kambing itu disimpan hingga dijadikan tebusan untuk Ishaq. Telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu hidup bebas di dalam surga hingga dikeluarkan dari Bukit Sabir, dan pada leher kambing itu terdapat bulu yang berwarna merah.
Disebutkan dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa nama kambing gibasy yang dijadikan kurban oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Jarir. Ibnu Juraij mengatakan bahwa menurut Ubaid ibnu Umair, Nabi Ibrahim menyembelihnya di maqam Ibrahim. Menurut Mujahid, Nabi Ibrahim menyembelihnya di Mina di tempat penyembelihan kurban sekarang. Hasyim telah meriwayatkan dari Sayyar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Ibnu Abbas pernah memberikan fatwa kepada orang yang bernazar akan menyembelih dirinya, lalu Ibnu Abbas memerintahkan kepadanya agar menggantinya dengan menyembelih seratus ekor unta.
Sesudah itu ia berkata bahwa seandainya dia memberikan fatwa kepadanya agar menyembelih seekor kambing gibasy, tentulah hal itu sudah mencukupi baginya. Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Menurut pendapat yang sahih, tebusan tersebut berupa seekor kambing gibasy. As-Sauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sembelihan itu adalah seekor kambing gunung.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa tidaklah Ismail a.s. ditebus melainkan dengan seekor kambing gunung dari Aura yang diturunkan untuk Ibrahim dari Bukit Sabir. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Mansur, dari pamannya (yaitu Musafi' dan Safiyyah binti Syaibah) yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seorang wanita dari Bani Salim yang telah melahirkan sebagian besar penduduk perkampungan kami, bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan utusan kepada Usman ibnu Abu Talhah r.a. (pemegang kunci Ka'bah). Wanita itu pernah bertanya kepada Usman, "Mengapa Nabi ﷺ memanggilmu ?" Maka Usman menjawab, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: Sesungguhnya aku melihat sepasang tanduk saat memasuki Ka'bah, dan aku lupa untuk memerintahkan kepadamu agar menutupinya dengan kain.
Karena itu, tutupilah sepasang tanduk itu dengan kain, sebab tidak patut bila di dalam Ka'bah terdapat sesuatu yang mengganggu kekhusyukan orang yang salat (di dalamnya). Sufyan mengatakan bahwa kedua tanduk itu masih tetap tergantung di dalam Ka'bah hingga Ka'bah mengalami kebakaran dan keduanya ikut terbakar. Hal ini merupakan bukti tersendiri yang menunjukkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail a.s.
Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menerimanya secara turun-temurun dari para pendahulu mereka generasi demi generasi, sampai Allah mengutus RasulNya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Berikut ini sebuah pasal yang mengemukakan asar-asar yang ditemukan dari ulama Salaf tentang siapakah sebenarnya anak yang disembelih itu. Berikut ini dikemukakan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq a.s.
Hamzah Az-Zayyat telah meriwayatkan dari Abu Maisarah rahimahullah yang mengatakan, bahwa Nabi Yusuf a.s. pernah mengatakan kepada raja dalam alasannya, "Apakah engkau menginginkan makan bersama denganku, sedangkan aku adalah Yusuf ibnu Ya'qub nabiyyullah ibnu Ishaq sembelihan Allah ibnu Ibrahim kekasih Allah." As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sinan, dari Ibnu Abul Huzail bahwa Yusuf mengatakan hal yang sama kepada raja.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Musa a.s. pernah mengatakan dalam doanya, "Ya Tuhanku, mereka selalu mengatakan demi Tuhannya Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub. Mengapa mereka selalu mengatakan hal tersebut?" Allah ﷻ menjawab "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang tidak membandingkan sesuatu dengan-Ku, melainkan dia pasti memilih-Ku. Dan sesungguhnya Ishaq telah rela demi Aku untuk disembelih, selain itu dia adalah seorang yang lebih dermawan.
Dan sesungguhnya Ya'qub itu manakala Kutambahkan kepadanya cobaan, maka makin bertambah pulalah baik prasangkanya kepada-Ku." Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas yang telah menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki membanggakan dirinya dihadapan Ibnu Mas'ud r.a. Lelaki itu berkata, "Aku adalah Fulan bin Fulan bin para tetua yang terhormat." Maka Abdullah ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa orang yang patut mengatakan demikian adalah Yusuf ibnu Ya'qub ibnu Ishaq Zabihullah (sembelihan Allah) ibnu Ibrahim kekasih Allah. Riwayat ini sahih bersumber dari Ibnu Ma'sud r.a. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia adalah Ishaq. Juga telah diriwayatkan dari Al-Abbas dan Ali ibnu Abu Talib hal yang semisal.
Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Ishaq dan Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Az-Zuhri, dari Abu Sufyan, dan Al-Ala ibnu Jariyah dari Abu Hurairah r.a. dan Ka'bul Ahbar yang telah mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq. Pendapat-pendapat yang telah disebutkan di atas hanya Allah Yang Maha Mengetahui semuanya bersumber dari Ka'bul Ahbar. Ketika masuk Islam di masa pemerintahan Khalifah Umar, ia bercerita kepada Umar r.a. tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab terdahulunya. Dan barangkali Umar r.a. sendiri mau mendengarkannya sehingga orang-orang pun mau mendengarkan apa yang ada pada Ka'bul Ahbar, bahkan menukil darinya segala sesuatu yang ada padanya, baik yang telah dipalsukan maupun yang masih asli.
Akan tetapi, bagi umat ini hanya Allah Yang Maha Mengetahui tidak memerlukan suatu huruf pun dari apa yang ada pada Ka'bul Ahbar itu. Al-Bagawi telah meriwayatkan suatu pendapat yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq, yang menurutnya bersumber dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan Al-Abbas r.a., sedangkan dari kalangan tabi'in bersumber dari Ka'bul Ahbar, Sa'id ibnu Jubair.
Qatadah, Masruq, Ikrimah, Ata. Muqatil. Az-Zuhri, dan As-Saddi. Al-Bagawi mengatakan bahwa hal ini dikatakan oleh salah satu di antara dua riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. Dan telah disebutkan mengenai masalah ini dalam sebuah hadis yang seandainya hadis tersebut terbukti kesahihannya, tentulah kita mau mengatakannya dengan penuh kepercayaan, tetapi sayangnya sanad hadis tersebut tidak sahih. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf ibnu Qais, dari Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib r.a., dari Nabi ﷺ dalam suatu hadis yang di dalamnya disebutkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq.
Akan tetapi, di dalam sanad hadis di atas terdapat dua perawi yang daif, yaitu Al-Hasan ibnu Dinar Al-Basri berpredikat matruk, dan Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an hadisnya munkar (tidak dapat diterima). Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dari ayahnya, dari Muslim ibnu Ibrahim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an dengan sanad yang sama secara marfu'. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkannya dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf, dari Al-Abbas r.a. Dan sanad riwayat ini lebih sahih ketimbang yang sebelumnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Mengenai asar-asar yang menyebutkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail a.s., predikatnya sahih dan dapat dijadikan sebagai pegangan. Di atas telah disebutkan suatu riwayat dari Ibnu Abbas a.s. yang mengatakan bahwa dia adalah Ishaq a.s. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, Sa'id ibnu Jubair, Amir Asy-Sya'bi, Yusuf ibnu Mahran, Mujahid, dan Ata serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail a.s.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, .telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Qais, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, bahwa anak yang dikurbankan itu adalah Ismail a.s. Dan orang-orang Yahudi mengira bahwa dia adalah Ishaq, orang-orang Yahudi itu telah dusta. Israil telah meriwayatkan dari Saur, dari Mujahid, dari Ibnu Umar r.a.yang telah mengatakan bahwa anak yang disembelih adalah Ismail a.s.
Ibnu AbuNajih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa dia adalah Ismail a.s. Hal yang sama telah dikatakan oleh Yusuf ibnu Mahran. Asy-Sya'bi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail a.s. Dan ia pernah melihat sepasang tanduk gibasy itu di dalam Ka'bah. Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar dan Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan Al-Basri; ia tidak pernah meragukan masalah ini bahwa anak yang diperintahkan oleh Allah agar Ibrahim menyembelihnya di antara salah seorang dari kedua anaknya adalah Ismail a.s.
Ibnu Ishaq mengatakan, ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa anak yang Ibrahim diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menyembelihnya di antara kedua putranya adalah Ismail. Dan sesungguhnya kami benar-benar menjumpai keterangan hal ini di dalam Kitabullah. Demikian itu ialah bahwa setelah Allah ﷻ selesai mengutarakan kisah anak yang disembelih di antara kedua anak Ibrahim, lalu ia berfirman: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 112) Dan firman Allah ﷻ: maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71) Yakni dia akan mempunyai anak, dan anaknya itu akan mempunyai anak. Jadi tidak mungkin Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar menyembelih Ishaq, sedangkan Ishaq telah dijanjikan akan mempunyai keturunan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, Dengan demikian, tiada lain putra yang Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya hanyalah Ismail.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ia mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi sering mengatakan hal ini. Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Buraidah ibnu Sufyan Al-Aslami, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa ia pernah menceritakan hal ini kepada Umar ibnu Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai khalifah karena saat itu Muhammad ibnu Ka'b ada bersamanya di negeri Syam Lalu Umar ibnu Abdul Aziz berkata, "Sesungguhnya berita ini merupakan suatu berita yang belum pernah saya perhatikan, dan sesungguhnya aku hanya berpendapat seperti apa yang engkau katakan.
Selanjutnya Umar ibnu Abdul Aziz memanggil seorang lelaki Yahudi yang ada di negeri Syam yang telah masuk Islam dan berbuat baik dalam Islamnya. Dahulu lelaki itu termasuk salah seorang dari ulama mereka (Yahudi); Lalu Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz bertanya kepadanya, "Manakah di antara kedua putra Ibrahim yang diperintahkan agar disembelih?" Saat itu Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi berada di samping Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz.
Lelaki itu menjawab, "Demi Allah, hai Amirul Mu-minin, sesungguhnya orang-orang Yahudi benar-benar mengetahui hal tersebut, tetapi mereka dengki terhadap kalian bangsa Arab bila bapak moyang kalian yang disebutkan dalam perintah Allah dan keutamaan yang dimilikinya saat menghadapi perintah Allah berkat kesabarannya. Mereka berbalik mengingkari hal tersebut dan menduganya bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, karena Ishaq adalah bapak moyang mereka.
Hanya Allah Yang lebih mengetahui mana yang sebenarnya, yang jelas Ishaq adalah seorang yang taat kepada Allah ﷻ" Abdullah putra Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang anak yang disembelih itu, Ismail ataukah Ishaq. Maka Imam Ahmad menjawab bahwa putra yang disembelih itu adalah Ismail. Ia menyebutkan hal ini di dalam Kitabuz Zuhud-nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa anak yang disembelih itu yang benar adalah Ismail a.s. Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abut Tufail, Sa'id ibnul Musayyab, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Asy-Sya'bi, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dan Abu Ja'far alias Muhammad ibnu Ali serta Abu Saleh, bahwa mereka telah mengatakan anak yang disembelih itu adalah Ismail.
Al-Bagawi di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pendapat yang sama dikatakan oleh Abdullah ibnu Umar, Sa'id ibnul Musayyab, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dan Al-Kalbi, juga menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama diriwayatkan pula dari Abu Amr ibnul Ala. Sehubungan dengan hal ini Ibnu Jarir telah meriwayatkan sebuah hadis yang garib.
Dia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ammar Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur Rahim Al-Khaltabi, dari Abdullah ibnu Muhammad Al-Atabi (salah seorang putra Atabah ibnu Abu Sufyan), dari ayahnya, bahwa telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Sa'id, dari As-Sanabiji yang mengatakan, bahwa ketika kami berada di tempat Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan, orang-orang yang hadir membicarakan tentang anak yang disembelih, apakah dia Ismail ataukah Ishaq.
Lalu Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan berkata, "Kalian bertanya kepada orang yang tepat." Mu'awiyah melanjutkan bahwa pada suatu hari ketika kami para sahabat berada di tempat Rasulullah ﷺ, maka beliau kedatangan seorang lelaki yang berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sebagian dari apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu sebagai harta fai', wahai putra kedua orang yang disembelih." Rasulullah ﷺ tersenyum mendengar hal itu. Lalu ada yang bertanya (kepada Mu'awiyah), "Wahai Amirul Mu-minin, siapakah kedua orang yang disembelih itu?" Maka Mu'awiyah menjawab, bahwa ketika Abdul Muttalib diperintahkan untuk menggali (ulang) sumur zam-zam, ia bernazar kepada Allah, bahwa jika segala sesuatunya dilancarkan oleh Allah dalam urusannya itu, dia akan menyembelih salah seorang putranya.
Mu'awiyah melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata setelah dilakukan undian (di antara anak-anaknya) pilihan jatuh kepada Abdullah (ayahanda Nabi ﷺ). Tetapi paman-pamannya yang dari pihak ibu melarangnya, dan mereka mengatakan, "Tebuslah anakmu ini dengan seratus ekor unta." Akhirnya Abdul Muttalib menebusnya dengan seratus ekor unta. Dan orang kedua yang disembelih adalah Ismail a.s. Hadis ini garib sekali, dan Al-Umawi telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Magazi-nya, telah menceritakan kepada kami sebagian dari teman-teman kami, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdur Rahman Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad Al-Atabi (salah seorang anak Atabah ibnu Abu Sufyan), telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami As-Sanabiji, bahwa ia pernah menghadiri Majelis Mu'awiyah r.a. Lalu kaum yang hadir membicarakan tentang Ismail ataukah Ishaq anak yang disembelih itu, kemudian disebutkan hal yang semisal.
Demikianlah yang saya tulis dari kitab salinan yang kacau. Dan sesungguhnya Ibnu Jarir melakukan suatu kekeliruan dengan memilih pendapat yang mengatakan Zabih adalah Ishaq terhadap firman Allah ﷻ: Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (Ash-Shaffat: 101). Ia menakwilkan bahwa kabar gembira ini adalah yang menyangkut kelahiran Ishaq, padahal yang sebenarnya adalah firman Allah ﷻ: dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (Az-Zariyat: 28) Dan ia menjawab tentang berita gembira akan kelahiran Ya'qub dari Ishaq, bahwa hal itu terjadi setelah dia sampai pada usia sanggup berusaha (bekerja).
Dan merupakan suatu hal yang tidak mustahil bila Ishaq mempunyai anak lain selain Ya'qub. Ibnu Jarir mengatakan, 'Adapun mengenai sepasang tanduk yang digantungkan di Ka'bah, bisa saja keduanya (Ibrahim dan Ishaq) memindahkannya dari negeri Kan'an (ke Mekah).'" Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa di antara ulama ada yang berpendapat bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq, dan penyembelihannya dilakukan di Kan'an. Apa yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya ini bukan merupakan suatu pendapat yang benar, bukan pula merupakan hal yang pasti.
Bahkan jauh sekali dari kebenaran, mengingat apa yang telah disimpulkan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail, merupakan pendapat yang lebih kuat dan lebih sahih serta lebih terbukti kebenarannya; hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah ﷻ: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh. (Ash-Shaffat: 112) Setelah menyebutkan berita gembira tentang kelahiran anak yang disembelih (yaitu Ishaq), lalu disebutkan mengiringinya berita gembira akan kelahiran saudaranya, yaitu Ishaq.
Hal yang sama telah disebutkan di dalam surat Hud dan surat Al-Hijr. Firman Allah ﷻ, "Nabiyyan. berkedudukan menjadi kata keterangan keadaan yang penjelasannya tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah, kelak dia akan menjadi seorang nabi yang saleh. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah. dari Daud. dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq.
Ibnu jarir mengatakan bahwa firman-Nya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 112) Ini merupakan berita gembira tentang kenabiannya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya: Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya Harun menjadi seorang nabi. (Maryam: 53) Harun lebih tua daripada Musa, tetapi Musa menginginkan agar Harun pun diangkat pula menjadi nabi, maka kenabian diberikan kepadanya.
Telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Daud menceritakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh (Ash-Shaffat: 112) Sesungguhnya ia mendapat berita gembira menjadi nabi hanya pada saat ia merelakan dirinya untuk dijadikan kurban demi karena Allah ﷻ Dan berita gembira kenabiannya tidak diberikan saat ia dilahirkan. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh (Ash-Shaffat: 112) Bahwa ia mendapat berita gembira ini sejak saat ia dilahirkan dan setelah menjadi nabi.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh (Ash-Shaffat: 112) Hal ini disampaikan kepadanya setelah ia dengan rela dan tulus ikhlas menyerahkan dirinya untuk dijadikan sembelihan. Firman Allah ﷻ: Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (Ash-Shaffat: 113) Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya: Difirmankan, "Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu.
Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami. (Hud: 48)"
100. Setelah menjelaskan dialog Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang ingkar, pada ayat berikut Allah beralih mengisahkan dialog Nabi Ibrahim dengan putranya, Isma'il, tentang perintah Allah. Dia berdoa kepada Allah, 'Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk golongan orang yang saleh dan taat menjalankan perintah-Mu dan membela agama-Mu. '101. Kami kabulkan doa Nabi Ibrahim tersebut, maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang sangat sabar, cerdas, dan santun. Dialah Ismail.
Ayat ini mengisahkan bahwa Nabi Ibrahim dalam perantauan memohon kepada Tuhan agar dianugerahi seorang anak yang saleh dan taat serta dapat menolongnya dalam menyampaikan dakwah dan mendampinginya dalam perjalanan dan menjadi kawan dalam kesepian.
Kehadiran anak itu sebagai pengganti dari keluarga dan kaumnya yang ditinggalkannya. Permohonan Nabi Ibrahim ini diperkenankan oleh Allah. Kepadanya disampaikan berita gembira bahwa Allah akan menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki yang punya sifat sangat sabar.
Sifat sabar itu muncul pada waktu balig. Karena pada masa kanak-kanak sedikit sekali didapati sifat-sifat seperti sabar, tabah, dan lapang dada. Anak remaja itu ialah Ismail, anak laki-laki pertama dari Ibrahim, ibunya bernama Hajar istri kedua dari Ibrahim. Putra kedua ialah Ishak, lahir kemudian sesudah Ismail dari istri pertama Ibrahim yaitu Sarah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 99
“Dan berkatalah dia, “Sesungguhnya aku akan pergi kepada Tuhanku."
Sudah terang di sini, bahwa Ibrahim hendak pergi kepada Allah, artinya hendak hijrah. Pahit getir telah dirasakannya selama bergaul dengan kaumnya, bahkan dengan ayahnya sendiri. Syukurlah dia dipelihara Allah SWT, sehingga tidak hangus karena dibakar. Tetapi oleh karena sekali dia telah menyatakan hendak menghadap kepada Allah ﷻ dengan hati yang suci bersih (ayat 84), tekad ini tidak dapat diundurkan lagi. Hijrah atau pindah, yang terutama sekali pindah hati, yang kedua pindah tempat kediaman. Lebih aman bagi aqidah sendiri jika negeri itu ditinggalkan dan cari udara baru. Tinggalkan kampung, tinggalkan halaman, tinggalkan kaum dan keluarga. Serahkan diri bulat kepada Allah ﷻ Putuskan hubungan sarut-menyarut selama ini, bulatkan kepada Yang Satu. Tajarrud, bebas, lepas, tak ada ikatan dengan yang lain, langsung hubungan kepada Allah ﷻ Dengan demikian tercapai ketenteraman jiwa dan bertambah pula teguh keyakinan. Ujung ayat me-negaskan keyakinan itu.
“Dia akan memimpinku."
Itulah pasrah yang sejati.
Di waktu itu dia masih muda belia.
Dalam cita-cita menyediakan hidup untuk menyerahkan diri kepada Allah ﷻ itu ada satu hal yang sangat mendukakan hatinya. Yaitu sudah lama kawin, belum juga dikaruniai anak. Sebab itulah dia menyampaikan permohonan kepada Allah ﷻ
Ayat 100
“Ya Tuhanku, Kanuniailah aku dari keimanan yang baik-baik."
Dia mengharapkan agar Allah memberinya keturunan. Karena sudah lama dia kawin, namun anak belum juga ada. Bertahun-tahun lamanya dia menunggu putra, tidak juga dapat. Ternyata kemudian bahwa istrinya yang bernama Sarah itu mandul.
Dengan persetujuan anjuran istrinya Sarah itu, dia kawin lagi dengan Hajar, dayang dari Sarah, karena mengharapkan dapat anak. Dalam usia 86 tahun barulah permohonannya terkabul. Hajar melahirkan anak laki-laki yang beliau beri nama Isma'il. Inilah yang dilukis-kan dalam ayat selanjutnya.
Ayat 101
“Maka Kami gembirakanlah dia dengan seorang anak yang sangat penyabar."
Dapatlah kita bayangkan betapa hebatnya Ibrahim menghadapi hidup. Setelah me-ngembara berpuluh tahun meninggalkan kampung halaman, hijrah, barulah setelah itu menjadi tua diberi kegembiraan oleh Allah ﷻ beroleh putra laki-laki. Disebut di ujung ayat sifat anak itu, yaitu Haliim, yang dapat diartikan sangat penyabar. Perbedaan di antara sifat Shabir (penyabar) dengan Haliim ialah, bahwa hilm menjadi tabiat atau bawaan hidup. Sedang sabar ialah sebagai perisai menangkis, gelisah jika percobaan datang dengan tiba-tiba. Sedang Haliim ialah apabila kesabaran itu sudah menjadi sikap hidup, atau sikap jiwa.
Ayat 102
“Maka setelah sampai anak itu dapat berjalan bersamanya."
Anak yang sudah dapat berjalan bersama ayahnya ialah di antara usia 10 dengan 15 tahun. Keadaan itu ditonjolkan dalam ayat ini, untuk menunjukkan betapa tertumpahnya kasih Ibrahim kepada anak itu. Di kala anak berusia sekitar 10 dengan 15 tahun memanglah seorang ayah bangga sekali jika dapat berjalan bersama anaknya itu.
Suatu waktu dibawalah Isma'il oleh Ibrahim berjalan bersama-sama. Di tengah jalan, “Berkatalah dia, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelih engkau. Maka pikirkanlah, apa pendapat-mu?"
Dengan kata-kata yang halus mendalam, si ayah berkata kepada si anak, yaitu ayah yang telah tua, berusia lebih dari 90 tahun, dan anak yang dihadapi adalah anak yang berpuluh tahun lamanya ditunggu-tunggu dan sangat diharapkan. Dalam pertanyaan ini Allah ﷻ telah membayangkan kepada kita bagaimana seorang manusia yang terjadi dari darah dan daging, sebab itu merasa juga sedih dan rawan, tetapi tidak sedikit juga ragu atau bimbang bahwa dia adalah nabi.
Disuruhnya anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudian diharapnya anaknya menyatakan pendapat.
Tentu Isma'il sejak dari mulai tumbuh akal telah mendengar, baik dari ibunya sendiri, Hajar, atau dari orang lain di sekelilingnya, khadam-khadam dan orang-orang yang me-ngelilingi ayahnya, sebab ayahnya pun seorang yang mampu, telah didengarnya jua siapa ayahnya. Tentu sudah didengarnya bagaimana ayah itu bersedia dibakar, malahan dengan tidak merasa ragu sedikit jua pun dimasukinya api yang sedang nyala itu, karena dia yakin bahwa pendirian yang dia pertahankan adalah benar. Demikian pula mata-mata rantai dari percobaan hidup yang dihadapi oleh ayahnya, semuanya tentu sudah diketahuinya. Dan tentu sudah didengarnya juga bahwasanya mimpi ayahnya bukanlah semata-mata apa yang disebut rasian, yaitu khayalan kacau tak tentu ujung pangkal yang dialami orang sedang tidur. Oleh sebab itu tidaklah lama fsma'il merenungkan dan tidaklah lama dia tertegun buat mengeluarkan pendapat.
"Berkata dia,—yaitu Isma'il— “Ya ayahku! Perbuatlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Akan engkau dapati aku—in syaa Allah—termasuk orang yang sabar “
Alangkah mengharukan jawaban si anak. Benar-benar terkabul doa ayahnya memohon diberi keturunan yang terhitung orang yang saleh. Benar-benar tepat apa yang dikatakan Allah ﷻ tentang dirinya, yaitu seorang anak yang sangat penyabar. Dia percaya bahwa mimpi ayahnya adalah wahyu dari Allah, bukan mimpi sebarang mimpi. Sebab itu dianjurkannya ayahnya melaksanakan apa yang diperintahkan. Bukanlah dia berkata agar ayahnya memperbuat apa yang bertemu dalam mimpi.
Ayat 103
“Setelah keduanya berserah diri."
Benar-benar iman, benar-benar yakin lalu benar-benar menyerahkan diri dengan penuh ridha kepada Allah SWT, yang sama di antara anak dengan bapak.
“Dan dibaringkannya atas pipinya."
Artinya berbaringlah si anak, pipinya yang terlekap ke bumi supaya mudah melalukan pisau ke atas lehernya dan mulai Ibrahim mengacukan pisau itu.
Ayat 104
“Dan Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim! “
Ayat 105
“Sesungguhnya telah engkau benarkan mimpi itu."
Artinya bahwa sepanjang yang Kami perintahkan kepadamu dalam mimpi telah engkau benarkan, engkau tidak ragu-ragu bahwa itu memang perintah dari Allah ﷻ"Sesungguhnya demikianlah." Artinya bahwa itu adalah wahyu sebenarnya dari Allah.
“Kami memberi ganjaran kepada orang yang berbuat kebajikan."
Ganjaran itu ialah kemuliaan yang tertinggi di sisi Allah, sampai Nabi Ibrahimlah yang mendapat pujian disebut “Khalil Allah “ orang yang sangat dekat kepada Allah, laksana sahabatnya.
Ayat 106
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu percobaan yang nyata."
Memanglah suatu percobaan yang nyata, kalau seseorang yang sangat mengharapkan mendapat keturunan yang saleh, setelah dalam usia 86 tahun baru keinginan itu disampaikan Allah SWT, lalu sedang anak yang ketika itu masih satu-satunya itu disuruh kurbankan pula dalam mimpi. Namun perintah itu dilaksanakan juga dengan tidak ada keraguan sedikit jua pun, baik pada si ayah, ataupun pada si anak. Lantaran Ibrahim dan putranya sama-sama menyerah (aslamaa), tidak takut menghadapi maut, karena maut untuk melaksanakan perintah Ilahi adalah maut yang paling mulia, maka sudah pula sepantasnya jika Allah ﷻ menjelaskan bahwa kedua orang itu, ayah dan anak “minal muhsiniin “, termasuk orang-orang yang hidupnya adalah berbuat kebajikan, maka pantaslah mendapat penghargaan di sisi Allah.
Ayat 107
“Dan telah Kami tebus dia (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar."
Artinya, bahwa setelah Allah ﷻ memanggil Ibrahim memberitahukan bahwa bunyi perintah Allah dalam mimpi telah dilaksanakannya, dan tangannya telah ditahan oleh Jibril sehingga pisau yang tajam itu tidak sampai tercecah ke atas leher Isma'il, maka didatangkanlah seekor domba besar, sebagai ganti dari anak yang nyaris disembelih itu.
Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang dia kuatkan dengan sumpah “Demi Allah ﷻ yang menguasai aku dalam genggaman tangan-Nya “, bahwa sampai kepada permulaan timbulnya agama Islam masih didapati tanduk domba tebusan Isma'il itu digantungkan oleh orang Quraisy di dinding Ka'bah, sebagai suatu barang yang bernilai sejarah. Setelah pada satu waktu terjadi kebakaran pada Ka'bah, barulah tanduk yang telah digantungkan beratus-ratus tahun itu turut hangus karena kebakaran itu.
Ayat 108
“Dan Kami tinggalkan sebutannya pada orang-orang yang datang kemudian."
Artinya dijadikan Allah-lah penyerahan diri (Asfamao) kedua anak beranak itu per-ingatan umat manusia yang beriman sampai ke akhir zaman. Jadilah pengorbanan yang mengharukan itu menjadi salah satu syari'at agama sampai turun-temurun. Bahkan sampai kepada gangguan setan di tengah jalan terhadap Ibrahim ketika dia membimbing anaknya pergi ke tempat penyembelihan dijadikan sebagian dari Manasik Haji, yaitu melontar ketiga jumrah di Mina.
Ayat 109
“Salam sejahteralah atas Ibrahim."
Suatu pujian tertinggi dari Allah ﷻ atas penyerahan diri (Islam) yang sejati itu.
Ayat 110
“Demikianlah Kami memberikan ganjaran atas orang-oiang yang berbuat kebajikan."
Diiringi lagi dengan pujian atas imannya.
Ayat 111
“Sesungguhnya dia itu adalah termasuk dalam hamba-hamba Kami yang beriman."
Penghargaan yang demikian tinggi diberikan kepada Ibrahim dapatlah kita pahamkan jika direnungkan kembali cerita ini. Perhatikan cara dia menyambut mimpi. Perhatikan ketika bertempur di antara dua cinta, yaitu cinta kepada Allah dengan cinta kepada anak. Perhatikan pula cara dia menyampaikan berita mimpi itu kepada anaknya. Pendiriannya tetap tetapi sikapnya tenang. Dia tidak memaksa, tetapi menginsafkan kepada anaknya. Dia menyuruh anaknya merenungkan soal itu, lalu menyatakan pendapat.
Perhatikan pula bekas didikannya kepada anaknya. Anaknya mengambil kesimpulan, bahwa ini bukan mimpi. Tetapi perintah Allah ﷻ Dia menggesa ayahnya agar segera me-laksanakan perintah Allah ﷻ itu. Dan sikapnya menyambut perkataan ayahnya tidak ragu-ragu, tidak bimbang tetapi tidak pula menunjukkan bahwa dia berani menghadapi segala kemungkinan. Secara sederhana dia menyatakan bahwa in syaa Allah dia akan sabar. Semua dipulangkannya kepada Allah. Semua yang telah berlaku, sedang berlaku dan akan berlaku adalah kehendak Allah.
Kunci kejadian terdapat pada ayat 103. Yaitu bahwa keduanya—ayah dan anak— aslamaa berserah diri. Aslamaa, yuslimaani, keduanya berserah diri, sebulatnya, sepenuh-nya. Itulah Islam. Semuanya terpulang kepada Allah. Sesuai dengan yang selalu kita baca sebagai pembukaan (iftitaah) shalat.
Oleh karena penyerahan dirinya kepada Allah ﷻ yang begitu bulat, datanglah pujian yang tinggi itu, bahkan datanglah berita gembira yang kedua kemudiannya, sebagai-mana dijelaskan pada ayat selanjutnya.
Ayat 112
“Dan Kami gembirakan pula dia dengan Ishaq."
Beberapa malaikat yang diutus Allah ﷻ menyampaikan berita gembira itu di kala Ibrahim telah berusia 99 tahun, sehingga tertawa terbahak istrinya yang tua, Sarah, seketika berita itu disampaikan, sebagaimana tersebut dalam surah Huud, 71. (lihat Tafsir al-Azbar Juz 12). Padahal Sarah sebagai istri yang tua, jauh lebih tua dari Hajar sebagai istri yang muda dan lebih dahulu melahirkan Isma'il. Dan Ishaq itu pun,
“Seorang nabi, tewtasuk orang-orang yang saleh."
Ishaq inilah kelak yang menurunkan Ya'qub, dan Ya'qub inilah yang menurunkan anak-anak dua belas orang banyaknya, yang
keseluruhannya disebut Bani Israil. Karena Ya'qub itu di waktu kecilnya bernama Israil.
Ayat 113
“Dan Kami anugenahkan berkah atasnya dan atas Ishaq."
Yang dimaksud dengan kalimat atasnya ialah anak Ibrahim yang tertua, yaitu Isma'il. Dia dianugerahi berkah oleh Allah SWT, dan Ishaq, adiknya dari lain ibu dianugerahi berkah pula. Kedua keturunannya berkembang biak di muka bumi. Ishaq menurunkan Ya'qub, dan Ya'qub beranakkan Yusuf, sesudah itu berkembang biaklah dan banyaklah nabi-nabi dan rasul-rasul dari Bani Israil itu, termasuk Musa dan Harun, Dawud dan Sulaiman, Zakaria dan Yahya, Isa al-Masih. Dan dari Isma'il, meskipun jaraknya jauh, namun yang turun dari dia adalah Khatimul-Anbiya' wal Mursaliin, penutup sekalian nabi dan rasul, Muhammad ﷺ.
“Dan dari ketununan keduanya ada yang berbuat kebajikan dan ada yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata."
Ujung ayat ini adalah peringatan dari Allah ﷻ untuk menjelaskan keadilan-Nya. Yaitu, meskipun Isma'il dan Ishaq anak kandung dari Ibrahim, dan keduanya diberi berkah oleh Allah SWT, dan keturunan keduanya berkembang biak di muka bumi, sampai sekarang, maka Allah ﷻ menunjukkan juga akan kenyataan, bahwa di antara keturunan orang-orang suci itu ada juga yang tidak menuruti jalan nenek moyangnya, yang suka menumpang di mana saja, mentang-mentang keturunan nabi. Orang-orang semacam itu janganlah mengharap bahwa mereka akan bebas dari pertanggungjawaban.
Hal ini tentu dapat juga dipikirkan oleh orang-orang yang disebut keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Janganlah menyangka bahwa jika diri keturunan nabi, bebas berbuat dosa. Ingatlah bahwa Qarun yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an dan Abu Lahab adalah juga keturunan Ibrahim.
Kalau di ujung ayat dikatakan “zalim terhadap dirinya dengan nyata “, teranglah bahwa kejahatan dan kezaliman itu tidak dapat disembunyikan di hadapan Allah dan tidak pula dapat membela diri di hadapan manusia, misalnya mengatakan bahwa keturunan nabi-nabi tidaklah boleh dinamai zalim kalau dia jahat. Katakan saja dia tetap baik, bagaimanapun jahatnya, sebab dia keturunan nabi.
SIAPAKAH YANG HENDAK DIKORBANKAN ITU? ISMA' ILKAH ATAU ISHAQ?
Banyaklah dibicarakan tentang siapa yang hendak dikorbankan oleh ayahnya ini, Isma'ilkah atau Ishaq? Ahli-ahli tafsir yang besar-besar, sejak dari Thabari, Razi, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan lain-lain telah turut membicarakan dengan hangat. Sebab perlainan pendapat tentang ini telah terjadi sejak zaman sahabat sendiri.
Ada yang mengatakan yang hendak disembelih itu Ishaq dan ada yang mengatakan Isma'il.
Menurut yang dinukilkan oleh al-Qurthubi Abbas bin Abdul Muthalib dan putra beliau Ibnu Abbas berpendapat, Ishaq. Tersebut pula bahwa ketika orang bertanya kepada Abdullah bin Mas'ud, siapakah orangnya, orang mulia anak dari orang mulia, anak dari orang mulia? Abdullah bin Mas'ud menjawab, “Yaitu Yusuf, anak Ishaq Dzabiihullah (sembelihan Allah) anak Ibrahim." )abir bin Abdillah pun berpendapat memang Ishaq. Dirawikan orang pula, bahwa Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar berpendapat memang Ishaq juga. Dan tersebut pula bahwa Umar bin Khaththab pun berpendapat demikian. Dengan demikian terdapat tujuh sahabat utama berpendapat bahwa yang hendak disembelih itu Ishaq.
Al-Qurthubi menyalinkan pula nama-nama tabi'in yang menganut pendapat itu, “Yaitu Ishaq “. Mereka ialah Alqamah, asy-Sya'bi, Mujahid, Said bin Jubair, Ka'ab al-Ahbaar, Qatadah, Masruq, Ikrimah, al-Qasim bin Abi Bazzah, Atha, Muqatil, Abdurrahman bin Abdillah bin Sabith, az-Zuhri, as-Suddi, Abdullah bin Abil Hudzail, dan Imam Malik bin Anas.
Salah satu dari beliau-beliau tabi'in itu, yaitu Said bin Jubair memberi tafsir tentang pendapatnya itu demikian, “Diberi mimpi Ibrahim bahwa dia menyembelih Ishaq. Maka dibawanyalah anaknya itu perjalanan satu bulan dalam satu pagi saja, sehingga sampai di tempat penyembelihan kurban (al-Manhar) di Mina. Setelah anak itu hendak disembelihnya, dipalingkan Allah-lah tangannya lalu segera diganti waktu itu juga dengan seekor domba, dan itulah yang disembelihnya. Selesai penyembelihan itu di waktu petang, kembalilah dia ke negeri tempat tinggalnya (Syam) pada waktu sore itu juga, dengan melangkahi lembah-lembah dan gunung-gunung."
Yang berpendapat bahwa yang hendak disembelih itu ialah Isma'il di antaranya ialah Abu Hurairah dan Abuth Thufail Amir bin Waailah, dan diriwayatkan juga bahwa Ibnu Abbas pun pernah menyatakan bahwa memang Isma'il. Demikian juga Abdullah bin Umar. Dan tabi'in yang memegang pendapat ini ialah Said bin Musayyab, asy-Sya'bi, Yusuf bin Mihraan, Mujahid, Rabi bin Anas, Muhammad bin Ka'ab al-Quradzi, al-Kalbi dan Alqamah. Abu Said adh-Dharir pun berpendapat, Isma'il.
Ketika al-Ashma'i bertanya kepada Abu Amr bin al-Alaa tentang siapa yang hendak disembelih itu, beliau menjawab, “Di mana engkau letakkan akalmu, hai Ashma'i! Di mana pula pernah Ishaq di Mekah. Yang ada di Mekah adalah Isma'il, bukan Ishaq. Dialah yang bersama ayahnya diperintah Allah ﷻ membina Ka'bah dan Manhar, tempat penyembelihan, hanya ada di Mina, bukan di Syam."
Thabari sebagai ahli tafsir yang tertua, menguatkan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq. Ibnu Katsir sebagai penafsir yang terbilang juga membatalkan alasan-alasan dari pendapat tentang Ishaq itu dan menguatkan bahwa Isma'il.
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, di antara lain,
“Dan telah terdahulu riwayatnya dari Ka'ab al-Ahbaar, bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq. Dan begitulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar dan az-Zuhri dari Abu Sufyan dari al-Alaa bin jariyah dari Abu Hurairah, yang diterimanya dari Ka'ab al-Ahbaar juga.
Maka diambillah kesimpulan bahwa segala riwayat itu bersumber dari Ka'ab al-Ahbaar. Maka dia itu setelah memeluk Islam di zaman pemerintahan Sayyidina Umar banyaklah bercerita riwayat-riwayat dengan membuka kitab-kitab lamanya. Oleh Umar kadang-kadang didengarnya berita-berita itu dan dibiarkannya orang mendengarkan cerita-cerita itu, lalu ada yang menyalin dan menceritakan pula, ada berita sampah dan ada berita gemuk, macam-macam, padahal tidaklah ada perlunya bagi umat ini menerimanya, walaupun satu huruf pun.
Dan ada juga tabi'in yang menerima langsung pula berita itu dari Ka'ab al-Ahbaar, seumpama Sa'id bin Jubair, Qatadah, Masruq, Ikrimah, Muqatil, az-Zuhri, as-Suddi dan ada pula salah satu dari dua riwayat dari Ibnu Abbas.
Memang ada tersebut berita itu pada satu hadits, yang katanya dirawikan dari Ibnu Abbas. Sedianya akan kita junjung ke kepala, kita pikul ke bahu hadits itu kalau benar, tetapi sayang sanadnya tidak beres. Perawinya Hasan bin Dinar al-Bishri matruk (ditinggalkan orang) dan Ali bin Zaid bin Jad'an, haditsnya mungkar (ditolak).
Al-Qurthubi menyalin juga pendapat orang yang sama tengah, atau netral, yaitu az-Zajjaj, “Manakah di antaranya yang nyaris disembelih itu, Allah-lah yang lebih tahu."
Penafsir-penafsir zaman sekarang, sebagaimana al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasin at-Ta'wil dan Sayyid Quthub dalam tafsir Fi Zhilalil Al-Qur'an, dan Syekh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya al-Jawaahir dan tafsir dari ulama Syi'ah yang terbesar di zaman kita, yaitu Sayyid Mohammad Husain ath-Thabathabaaiy yang bernama al-Miizaan, semuanya menguatkan pendapat bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il.
Pengarang Tafsir al-Azhar ini setelah membandingkan pula kisah Nabi Ibrahim yang diterima dari pihak riwayat kaum Muslimin dengan yang tersebut di dalam kitab Perjanjian Lama yang menurut kepercayaan orang Yahudi dan Nasrani di dalam kitab itulah terdapat kitab Taurat, terutama kitabnya yang pertama Kejadian, dapatlah mengambil kesimpulan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il.
Sebab pada Pasal 16 dari kitab Kejadian itu, terutama jelas tertulis pada ayat 15 dan 16, bahwa Hajar melahirkan Isma'il, dan usia Ibrahim (Abram) waktu itu adalah 86 tahun. Jelas dituturkan bahwa sudah bertahun-tahun Ibrahim mengawini istrinya yang tua, Sarah, namun tidak juga dapatanak. Lalu Sarah sendiri yang menyerahkan sahayanya perempuan, orang Mesir bernama Hajar supaya dijadikan gundik oleh Ibrahim. Dikatakan dalam Pasal 16 ayat 4 bahwa baru saja dicampuri oleh Ibrahim, Hajar itu sudah mengandung.
Jadi nyatalah dalam kitab itu sendiri bahwa Isma'il itulah anak yang pertama dari Ibrahim.
Kemudian dari itu dalam Kitab Kejadian itu juga. Pasal 21 sejak ayat 1 sampai ayat 5 diterangkan pula bahwa kemudiannya Sarah pun dianugerahi Allah pula anak laki-laki. Itulah yang diberi nama Ishaq. Dijelaskan bahwa umur Ibrahim ketika itu telah 100 tahun dan umur Sarah 90 tahun. Sebab maka Isma'illah anak yang tertua, lebih tua dari Ishaq 14 tahun.
Di dalam Pasal 17 ayat 20 disebutkan pula firman Tuhan demikian bunyinya.
“Maka akan hal Isma'il pun telah aku luluskan permintaanmu; bahwa sesungguhnya Aku akan memberkati akan dia dan membiakkan dia dan memperbanyakkan dia amat sangat dan dua belas orang raja-raja akan berpencar darinya dan Aku akan menjadikan dia satu bangsa yang besar."
Kemudian dari itu maka Pasal 22 dari kitab Kejadian itu juga sejak ayat 2 diterangkanlah bahwa Tuhan berfirman kepada Ibrahim,
“Lalu firman Tuhan ambillah olehmu akan anakmu yang tunggal itu, yaitu Ishaq yang kukasihi, bawalah akan dia ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana akan kurban bakaran di atas sebuah bukit yang akan kutunjukkan kepadamu kelak."
Di dalam Pasal 22 ini tiga kali disebut bahwa Ishaq adalah anak yang tunggal dari Ibrahim.
Kalau sudah jelas di dalam kitab pegangan mereka sendiri bahwa yang hendak disembelih itu Anak Tunggal, mengapa mesti Ishaq? Padahal sebelum Ishaq lahir yang anak tunggal itu ialah Isma'il?
Besar sekali kemungkinan bahwa inilah salah satu tahriif, yaitu mengubah-ubah naskah kitab suci mereka sendiri, agar sesuai dengan apa yang mereka ingini. Ditukar nama Isma'il dengan Ishaq, tetapi kelupaan menghapuskan nama Anak Tunggal, sehingga keadaan yang timpang ini terdapat sampai kepada zaman kita sekarang ini.
Maka tersebutlah dalam suatu riwayat bahwa Mohammad bin Ka'ab al-Qurazhi adalah salah seorang ulama yang berkeyakinan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il. Hal ini pernah diperbincangkan atau didiskusikan di hadapan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau bertanya kepada Muhammad bin Ka'ab itu yang manakah menurut pendapatnya di antara kedua anak itu yang nyaris disembelih. Muhammad bin Ka'ab dengan tegas menjawab, “Isma'il! Ya Amirul Mu'minin."
Lalu Khalifah menyatakan bahwa beliau pun ingin menyelidiki masalah itu lebih mendalam karena selama ini bagi beliau soal itu masih samar.
Kemudian beliau suruh jemputlah seorang Yahudi yang telah masuk Islam, dan jadi orang Islam yang baik, padahal sebelum masuk Islam, dia adalah salah seorang dari ulama Yahudi terkemuka. Maka bertanyalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepadanya—kebetulan Muhammad bin Ka'ab ada dalam majelis itu— “Siapakah di antara kedua anaknya itu yang nyaris disembelihnya?" Bekas Yahudi itu menjawab, “Isma'il! Demi Allah, ya Amirul MuTninin. Orang Yahudi tahu akan hal itu, tetapi mereka dengki kepada kelebihan bangsa Arab, karena nenek kalian yang mendapat keutamaan itu karena kesabarannya. Mereka memungkiri itu lalu mereka putarkan kepada Ishaq, karena Ishaq nenek mereka."
Dan lagi di dalam Pasal 21 dalam Kitab Kejadian itu juga diterangkan bagaimana Sarah menjadi sangat benci dan cemburu kepada bekas budaknya yang telah menjadi madunya itu karena dia telah beroleh anak, lalu disuruhnya suaminya mengusir Hajar dan anaknya Isma'il itu. Maka supaya pertingkahan di dalam rumah tangga menjadi reda, lebih baik keduanya dipisahkan. Lalu Ibrahim membawa Hajar dan putranya, Isma'il, itu jauh-jauh, ke lembah Faran, yaitu negeri yang kemudian bernama Mekah.
Menjadi kacaulah jalan cerita setelah Hajar dan putranya. Hajar yang budak, disisihkan jauh-jauh ke Mekah, lalu Ishaq pula yang hendak dijadikan kurban. Sehingga meskipun ada pula dikarang suatu riwayat yang dirawikan oleh Ka'ab al-Ahbaar juga, bahwa Sarah menyerahkan putranya dengan segala senang hati buat disembelih. Dia merelakan anaknya disembelih, seketika Iblis datang mengadukan kepada Sarah tentang maksud Ibrahim menyembelih anak itu. Lalu Sarah bertanya, “Mengapa anaknya hendak disembelihnya?" Iblis menjawab, “Menurut katanya dia dapat perintah dari Allah." Lalu Sarah menjawab, “Kalau memang perintah dari Allah, tidaklah Ibrahim akan ragu-ragu buat melaksanakan perintah itu. Biarlah disembelihnya." Dan seterusnya. Abu Hurairah mengatakan bahwa cerita ini diterimanya dari Ka'ab al-Ahbaar juga.
Menurut jalan pikiran sehat pun, mesti condong pendapat kepada Isma'il. Banyak hikmah kebijaksanaan Allah yang terkandung dengan perintah menyembelih Isma'il, setelah dia dan ibunya diasingkan jauh ke Mekah itu. Sebab dalam Kitab Kejadian itu sendiri, apabila dibaca dengan saksama jelas sekali bahwa Sarah itu seorang perempuan yang telah tua dan sangat memperturutkan perasaan (emosional). Karena iba kasihan kepada suaminya sebab tidak juga dapat anak, dia sendiri yang mencarikan seorang budak perempuan untuk suaminya, moga-moga beliau dapat anak dengan dia, karena dia sendiri (Sarah) ternyata mandul. Tetapi setelah jelas bahwa Hajar memang mengandung sesudah digauli oleh Ibrahim mulailah bangkit iri hatinya, apatah lagi setelah anak itu lahir ternyata anak laki-laki.
Maka perintah Allah menyuruh menyembelih anak itu di tanah pengasingannya, pastilah akan menimbulkan kembali belas kasihan Sarah kepada anak itu dan ibunya. Memang banyak manusia selalu berselisih saja kalau bergaul dan bercinta-cintaan kalau sudah berjauhan, apatah lagi jika mendengar berita anak itu hampir saja disembelih.
Tambahan lagi beratus-ratus tahun lamanya, sejak Ibrahim masih hidup, Allah tetap memerintahkan mengerjakan haji ke tempat yang bersejarah itu, dengan menjadikan segenap kejadian di antara Ibrahim dengan putranya Isma'il itu menjadi bagian-bagian dari ibadah (manasik) haji. Sampai kejadian termasuk manasik, mengerjakan sa'i di antara Shafa dan Marwah tujuh kali pergi dan balik, dimulai di Shafa disudahi di Marwah, mengingatkan bagaimana kesukaran Hajar mencari air untuk minum putranya yang masih menyusu itu, lalu timbul sumur Zamzam, sebagaimana tersebut dalam hadits. Dan dijadikanlah udh-hiyah, yaitu berkurban pada tiap-tiap tahun, sejak hari kesepuluh sampai ketiga belas Dzulhijjah menjadi hari berkurban, mengingatkan Sunnah Ibrahim itu; dan di Mina itu pula setumpuk tanah yang diberi nama Manhar, yaitu tempat menyembelih. Dan tidak ada Manhar seperti di Mina itu di Baitul Maqdis atau di Gunung Moria.
Sa'id bin Jubair, tabi'in yang terkenal, murid dari Ibnu Abbas, termasuk yang berpendapat bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq. Lalu beliau riwayatkan suatu cerita, bahwa setelah Ibrahim bermimpi pada malamnya maka pagi besoknya itu juga pada 10 Dzulhijjah dia bimbing Ishaq pergi ke Mekah, terus ke Mina. Dan sampai di Mina pada hari itu juga. Maka dilaksanakannyalah penyembelihan, lalu diganti oleh fibril dengan domba besar. Setelah selesai menyembelih domba besar itu, dibawanya Ishaq kembali sore itu juga ke Palestina dan sampai sore itu juga, melalui lurah-lurah dan gunung-gunung.
Riwayat ganjil yang menyerupai Qishshah Mi'raj ini hanya diriwayatkan oleh Sa'id bin Jubair saja, untuk menyesuaikan adanya Mina tempat penyembelihan dengan Ishaq yang nyaris disembelih.
Banyak juga hadits lemah diriwayatkan orang berkenaan dengan riwayat penyem-belihan ujian ini. Tetapi ada satu yang agak dapat diterima, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal dari hadits Ibnu Abbas, bahwa sampai tiga kali setan mencegah dan memperdayakan Ibrahim di tengah jalan ke tempat penyembelihan. Namun ketiga kalinya dapat diatasi oleh Ibrahim, setan itu diusirnya dengan melempari dengan batu. Selanjutnya melontarkan batu pada Jumrah yang tiga, al-Ula (Yang Pertama) al-Wushthaa
(Yang Tengah) dan al-Aqabah (Yang Terakhir), dijadikan pelengkap manasik haji.
Dan ada pula sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad ﷺ menyebut dirinya “Anak dari dua orang yang nyaris disembelih “ (ibnudz dzabihaini). Karena ayahnya, Abdullah seketika telah lahir sebagai anak bungsu, hendak dikorbankan pula oleh ayahnya Abdul Muthalib, karena ada mimpi. Tetapi kemudian ditebusnya dengan seratus ekor unta.