Ayat

Terjemahan Per Kata
إِن
jika
تُبۡدُواْ
kamu melahirkan
شَيۡـًٔا
sesuatu
أَوۡ
atau
تُخۡفُوهُ
kamu menyembunyikannya
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
بِكُلِّ
dengan segala/tiap-tiap
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
إِن
jika
تُبۡدُواْ
kamu melahirkan
شَيۡـًٔا
sesuatu
أَوۡ
atau
تُخۡفُوهُ
kamu menyembunyikannya
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
بِكُلِّ
dengan segala/tiap-tiap
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
Terjemahan

Jika kamu menyatakan sesuatu atau menyembunyikannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir

(Jika kalian melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya) keinginan untuk menikahi mereka sesudah Nabi ﷺ wafat (maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu) Dia kelak akan membalasnya kepada kalian.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 53-54
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Inilah ayat hijab yang di dalamnya terkandung hukum-hukum dan etika-etika syariyyah. Penurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar ibnul Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya.
Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125), Dan aku pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu banyak ditemui oleh orang-orang, di antaranya ada yang bertakwa dan ada yang durhaka (yakni ada yang baik dan ada yang buruk), maka sekiranya engkau buatkan hijab untuk mereka,' lalu turunlah ayat hijab ini.
Dan aku pernah berkata kepada istri-istri"Nabi ﷺ pada saat mereka bersekongkol memprotes Nabi ﷺ karena terdorong oleh rasa cemburu mereka, 'Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih"baik daripada kamu.' Maka turunlah ayat yang menyebutkan hal yang sama," yaitu firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu. ' (At-Tahrim: 5) Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan pula bahwa Umar mengeluarkan pendapatnya sehubungan dengan tawanan Perang Badar, dan masalah ini adalah hal yang keempatnya. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, dari Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, yang masuk menemuimu ada orang yang bertakwa dan ada pula yang durhaka, maka sebaiknya enkau perintahkan kepada Ummahatul Mu-minin (semua istrimu) memakai hijab." Maka Allah menurunkan ayat hijab ini.
Disebutkan bahwa penurunan ayat ini bertepatan dengan pagi hari perkawinan Rasulunah ﷺ dengan Zainab binti Jahsy yang perkawinannya dilakukan langsung oleh Allah ﷻ (melalui wahyu-Nya). Peristiwa ini terjadi pada bulan Zul Qa'dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah, Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, "Ketika Rasulullah ﷺ menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis itu.
Kemudian kelihatan beliau ﷺ hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi ﷺ datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada Nabi ﷺ bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi ﷺ bangkit hendak masuk, dan aku pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan aku, lalu turunlah firman Allah ﷻ: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu' (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat." Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal. [] ". Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi ﷺ ketika kawin dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan daging.
Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal." Maka beliau ﷺ bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah.
Maka Nabi ﷺ keluar dan menuju ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah menjawab, "Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu. Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah memberkatimu." Lalu beliau ﷺ mendatangi tiap-tiap kamar istrinya, semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi ﷺ kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik bercakap-cakap. Nabi ﷺ adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi, jelasnya beliau kembali; dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu, tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan beliau.
Dan saat itulah diturunkan ayat hijab ini. Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
"" ". [". -: ". ". ". "". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja'id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di sebuah baki, lalu berkata, "Bawalah makanan ini kepada Rasulullah ﷺ dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya." Anas mengatakan bahwa saat itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau." Rasulullah ﷺ melihat kiriman itu, lalu bersabda, "Letakkanlah." Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi ﷺ Kemudian beliau ﷺ bersabda, "Undanglah si Fulan dan si Anu," beliau menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau menambahkan, "Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai." Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai.
Ketika aku datang, rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya, "Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?" Abu Usman menjawab, "Kurang lebih ada tiga ratus orang." Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Kemarikanlah makanan itu!" Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, "Ini adalah kehendak Allah." Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya.
Lalu mereka membaca basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, "Angkatlah hidangan itu!" Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu, dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah Rasulullah ﷺ, sedangkan istri Rasulullah ﷺ yang baru dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah ﷺ keberatan, tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah ﷺ pergi dan menemui tiap-tiap istrinya di kamarnya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau mengucapkan salam.
Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah ﷺ tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rsulullah ﷺ Karena itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah ﷺ datang, lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas) berada di ruang tamunya. Rasulullah ﷺ tinggal di dalam kamarnya sesaat yang tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur'an kepadanya. Setelah itu beliau keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi ﷺ terlebih dahulu membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada orang-orang selama suatu masa. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Bukhari meriwayatkannya secara ta'liq di dalam Kitabun Nikah.
Ia mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Tuhman telah meriwayatkan hadis ini dari Al-Ja'd alias Abu Usman, dari Anas, lalu disebutkan hal yang semisal. Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Al-Jahd dengan sanad yang sama. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan hadis ini melalui Syarik, dari Bayan ibnu Bisyr, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Nadrah Al-Abdi, dari Anas ibnu Malik dengan lafaz yang semisal, tetapi mereka tidak ada yang mengetengahkannya melalui jalur ini. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Sa'id dan hadis Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz dan Hasyim ibnul Qasim.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabitt, dari Anas yang mengatakan bahwa setelah idah Zainab habis, Rasulullah ﷺ bersabda kepada Zaid (bekas suaminya): Pergilah kamu kepadanya, dan ceritakanlah kepadanya bahwa aku menyebut-nyebutnya. Zaid berangkat hingga sampai ke rumah Zainab, saat itu Zainab sedang membuat adonan roti. Ketika aku melihatnya, terasa dadaku keberatan memandangnya. Lalu disebutkan hadis selanjutnya seperti yang telah dikemukakan jauh sebelum ini, pada tafsir firman-Nya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). (Al-Ahzab: 37) Pada akhir riwayat ini ditambahkan pula bahwa lalu Nabi ﷺ menasihati orang-orang dengan nasihat yang biasa beliau utarakan kepada mereka.
Hasyim dalam hadisnya mengatakan (menyitir firman Allah ﷻ): Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat. Imam Muslim dan Imam Nasai telah mengetengahkannya melalui hadis Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman anak saudaranya Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku pamanku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa istri-istri Nabi ﷺ apabila membuang hajat besarnya di malam hari keluar menuju ke Manasi', yaitu tanah lapang yang luas.
Dan Umar r.a. selalu berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, pakailah hijab buat istri-istrimu," tetapi Rasulullah ﷺ tidak mengindahkannya. Lalu Saudah binti Zam'ah (istri Rasulullah ﷺ) keluar untuk membuang hajat besarnya. Dia adalah seorang wanita yang berperawakan tinggi, maka Umar menyerunya dengan suara yang keras, "Kami telah mengenalmu, hai Saudah." Umar melakukan demikian karena keinginannya yang sangat agar diturunkan wahyu mengenai hijab. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah ﷻ menurunkan ayat hijab. Demikianlah menurut riwayat ini secara apa adanya. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, peristiwa ini terjadi sesudah turunnya ayat hijab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam Muslim melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan: ". bahwa Saudah keluar untuk suatu keperluannya sesudah diturunkan ayat hijab.
Saudah adalah seorang wanita yang berperawakan besar lagi tinggi, tidak samar lagi bagi orang yang mengenalnya. Lalu Saudah kelihatan oleh Umar ibnul Khattab, maka Umar berkata, "Hai Saudah, ingatlah, demi Allah, engkau tidak samar lagi bagi kami. Karena itu, perhatikanlah dahulu di sekitarmu sebelum kamu keluar." Maka Saudah kembali lagi ke rumah, saat itu Rasulullah ﷺ sedang makan malam dan sedang memegang daging paha di tangannya. Saudh masuk, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar untuk suatu keperluan, lalu Umar mengatakan anu dan anu." Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah ﷻ menurunkan wahyu kepada Nabi ﷺ Setelah wahyu selesai dan tangan Nabi ﷺ masih keringatan karena beratnya wahyu, beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (kaum wanita) untuk keluar guna keperluan kalian. Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari. Firman Allah ﷻ: Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53) Melalui ayat ini Allah ﷻ melarang orang-orang mukmin masuk ke dalam rumah-rumah Nabi ﷺ tanpa izin, tidak sebagaimana biasanya yang mereka lakukan di masa Jahiliah dan masa permulaan Islam di mana mereka masuk ke rumah-rumah mereka tanpa izin.
Maka Allah merasa cemburu dengan umat ini, lalu Dia memerintahkan mereka agar meminta izin terlebih dahulu bila mau masuk ke rumah orang. Hal ini pun merupakan suatu penghormatan dari Allah ﷻ terhadap umat ini. Untuk itulah maka Rasulullah ﷺ bersabda: Jangan sekali-kali kalian masuk menemui wanita. hingga akhir hadis. Kemudian dikecualikan dari hal tersebut melalui firman-Nya: kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). (Al-Ahzab: 53) Mujahid dan Qatadah serta selain keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menunggu-nunggu masaknya makanan itu. Dengan kata lain, janganlah kalian mengintai-intai makanan bila sedang dimasak; sehingga manakala makanan itu hampir masak, lalu kalian masuk ke rumah (yang mempunyai hajat).
Hal ini termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah ﷻ dan dicela-Nya. Ayat ini mengandung dalil yang mengharamkan sikap slamit (jawa, mengharamkan sesuatu dari orang lain, pent.) yang menurut orang Arab disebut dengan istilah daifan. Sehubungan dengan topik ini Al-Khatib Al-Bagdadi telah menulis sebuah kitab tersendiri yang membahas tercelanya sifat ini, lalu dikemukakan pula sebagian dari kisah-kisah mereka yang berperangai demikian; hal itu tidak akan dibahas di sini. Kemudian Allah ﷻ berfirman: tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu. (Al-Ahzab: 53) Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian mengundang saudaranya untuk suatu jamuan, hendaklah orang yang diundang memenuhinya, baik undangan pernikahan ataupun undangan lainnya.
Asal hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain. Di dalam kitab sahih disebutkan pula sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Seandainya aku diundang untuk makan kaki kambing, pastilah aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku dikirimi masakan kikil kambing, tentulah aku terima. Maka apabila kalian telah selesai dari menyantap jamuan, janganlah kalian merepotkan pemilik rumah, dan segeralah kalian keluar (dari rumahnya). Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: tanpa asyik memperpanjang percakapan. (Al-Ahzab: 53) Sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga orang yang disebutkan oleh hadis di atas, mereka asyik dengan obrolannya sehingga memberatkan Rasulullah ﷺ yang saat itu menjadi pengantin.
Allah ﷻ telah berfirman menceritakannya: Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). (Al-Ahzab: 53) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya masuk kalian ke dalam rumah Nabi ﷺ tanpa izin adalah sikap yang memberatkannya dan membuatnya terganggu. Tetapi beliau ﷺ merasa berat untuk menyuruh mereka keluar, sebab Nabi ﷺ adalah seorang yang pemalu, hingga pada akhirnya Allah ﷻ menurunkan ayat yang melarang hal tersebut. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman selanjutnya: dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. (Al-Ahzab: 53) Karena itulah maka Allah ﷻ melarang kalian bersikap demikian dan memperingatkan kalian supaya jangan mengganggu Nabi lagi. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Al-Ahzab: 53) Yakni sebagaimana Allah melarang kalian masuk menemui istri-istri Nabi, maka dilarang pula kalian memandang mereka dalam keadaan bagaimanapun, sekalipun bagi seseorang di antara kalian ada keperluan yang hendak diambilnya dari mereka. Dia tidak boleh memandangnya, tidak boleh pula meminta suatu keperluan kepada mereka melainkan dari balik hijab. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mis'ar, dari Musa ibnu Abu Kasir, dari Mujahid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa pada suatu hari ia makan hais bersama Nabi ﷺ di dalam sebuah mangkuk besar, lalu lewatlah Umar.
Maka Nabi ﷺ mengundangnya untuk makan bersama, dan Umar pun makan bersama kami. Jari Umar bersentuhan dengan jariku (Aisyah), maka Umar berkata, "Alangkah baiknya, atau aduh, seandainya Nabi ﷺ ditaati oleh kalian, niscaya tiada suatu mata pun yang melihat kalian (istri-istri Nabi ﷺ)." Maka turunlah firman-Nya: Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. (Al-Ahzab: 53) Yakni apa yang telah Kuperintahkan kepada kalian dan apa yang telah Kusyariatkan kepada kalian tentang berhijab adalah lebih suci dan lebih baik bagi kalian. Firman Allah ﷻ: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab: 53) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah. (Al-Ahzab: 53) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berniat akan mengawini bekas istri Nabi ﷺ bila beliau ﷺ sudah tiada.
Seorang lelaki bertanya kepada Sufyan, "Apakah dia adalah Aisyah?" Sufyan menjawab, "Mereka telah menceritakan hal tersebut." Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Telah meriwayatkan pula berikut sanadnya dari As-Saddi, bahwa lelaki yang berniat demikian adalah Talhah ibnu Abdullah r.a. hingga turunlah wahyu yang mengingatkannya bahwa hal itu diharamkan. Karena itulah para ulama telah sepakat bahwa setelah Rasulullah ﷺ wafat, maka istri-istrinya haram dikawini oleh orang lain karena mereka bukan saja sebagai istri-istri beliau di dunia ini, tetapi juga di akhirat, mereka juga adalah Ummahatul Mu-minin alias ibu-ibu semua kaum mukmin, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang sempat kawin dan menggaulinya, lalu menceraikannya semasa Rasulullah ﷺ masih hidup. Maka apakah wanita itu halal bagi lelaki lain untuk dikawininya? Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Permasalahan keduanya timbul dari pertanyaan, bahwa apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian umum firman-Nya: sesudah ia wafat. (Al-Ahzab: 53) Ataukah tidak? Adapun mengenai masalah seseorang yang mengawininya (yakni bekas istri Nabi ﷺ), lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka kami tidak mengetahui apakah dia halal atau tidak bagi orang lain.
Bila keadaannya demikian, masalahnya masih diperselisihkan. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, bahwa Nabi ﷺ wafat, sedangkan Qailah bintil Asy'as (yakni Ibnu Qais) berada dalam kepemilikan Nabi ﷺ sebagai hamba sahayanya. Sesudah itu Qailah dikawini oleh Ikrimah ibnu Abu Jahal, maka peristiwa ini sangat memberatkan hati Abu Bakar. Lalu Umar mengemukakan pendapatnya kepada Abu Bakar, "Hai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya dia (Qailah) bukan termasuk salah seorang istri Nabi ﷺ Sesungguhnya Rasulullah ﷺ tidak pernah memilihnya, tidak pula menghijabnya (memakaikan hijab padanya). Allah telah melepaskan dia dari Nabi ﷺ karena dia pernah murtad mengikut kepada kaumnya." Amir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar saran dari sahabat Umar itu barulah hati Abu Bakar r.a. merasa tenang. Allah ﷻ menganggap hal itu termasuk dosa besar dan memperingatkan serta mengancam pelakunya melalui firman-Nya: Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab: 53) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab: 54) Maksudnya, betapapun hati sanubari kalian menyimpan sesuatu dan menyembunyikan rahasia, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu-min: 19)"
Jika kamu menyatakan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan, atau menyembunyikannya dalam hatimu yang paling dalam, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi. 55. Usai menjelaskan ketentuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan istri-istri Nabi pada ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menjelaskan orang-orang tertentu yang dikecualikan dari ketentuan itu. Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi untuk berjumpa tanpa tabir dengan bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan mereka, perempuan-perempuan mereka yang beriman, baik keluarga maupun bukan, dan hamba sahaya yang mereka miliki. Dan bertakwalah kamu, wahai istri-istri Nabi, kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Laki-laki yang disebutkan pada ayat ini diperbolehkan menjumpai istri-istri Nabi tanpa tabir karena ada hubungan kerabat dan karena hajat, sehingga mereka sering berkunjung.
Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Juwaibir dari Ibnu 'Abbas, bahwa ada seorang yang telah datang kepada sebagian istri-istri Nabi. ﷺ yang menjadi anak pamannya, lalu bercakap-cakap dengan istri Nabi. secara langsung. Nabi ﷺ menegur hal itu dengan sabdanya, "Janganlah engkau berbuat seperti ini pada kesempatan yang lain." Orang itu menjawab, "Wahai Rasulullah, ini adalah anak paman saya, dan saya tidak pernah mengatakan sesuatu yang mungkar, dan perempuan itu tidak boleh pula berkata yang tidak baik kepadaku." Nabi bersabda, "Kami telah mengetahui yang demikian itu. Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah, dan tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada aku." Lalu laki-laki itu pergi sambil berkata, "Siapa yang dapat mencegahku untuk bercakap-cakap dengan anak pamanku; aku pasti akan menikahinya setelah Muhammad wafat." Maka turunlah ayat hijab ini, dan laki-laki itu merasa menyesal atas ucapan yang telah dikeluarkannya. Untuk menutupi kesalahan dan menebus dosanya, ia mengeluarkan kifarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, memberi bekal untuk jihad dengan sepuluh ekor unta, dan naik haji dengan berjalan kaki.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ADAB SOPAN SANTUN DI RUMAH NABI ﷺ
Ayat 54
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke rumah Nabi kecuali kalau diizinkan bagi kamu untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu masaknya."
Untuk mengetahui sebab turunnya ayat lebih dahulu hendaklah kita ketahui bahwa di zaman jahiliyyah belumlah ada peraturan sopan santun, atau yang di zaman kita sekarang disebut etika yang mengatur hubungan di antara tetamu dengan tuan rumah. Terutama kalau tuan rumah itu ialah pemimpin sendiri. Lalu-lalang saja orang masuk ke dalam rumah seseorang dengan tidak mempertenggangkan perasaan orang itu. Sehingga rahasia keku-rangan orang yang ditamui dapat saja diketahui oleh si tetamu. Terutama terhadap rumah tangga Nabi ﷺ sendiri yang sepatutnya dihormati dan ditenggang perasaannya dalam rumah tangganya. Maka datanglah ayat ini menyatakan satu di antara peraturan sopan santun yang patut dihormati terhadap Nabi sendiri. Nabi ﷺ terang hidup dalam ke-sederhanaannya, sehingga pernah pada suatu hari Umar bin Khaththab ziarah kepada beliau yang sedang duduk dalam rumahnya. Dilihatnya dengan mata kepala sendiri bagaimana sangat sederhananya hidup beliau, padahal kedudukan beliau setelah zaman Madinah sudah sama, bahkan lebih dari kedudukan seorang Raja Besar yang disegani, ditakuti oleh musuh-musuhnya. Sampailah Umar bin Khaththab menangis melihat kehidupan yang amat sederhana itu.
Demikian juga—sebagaimana telah disebutkan di permulaan surah al-Ahzaab ini —istri-istri Rasulullah ﷺ itu hendaklah dianggap sebagai ibu-ibu orang-orang yang beriman. Maka kalau orang leluasa saja bertegur sapa dengan beliau-beliau, apa artinya lagi ke-dudukan beliau-beliau sebagaimana ibu-ibu? Ini pun mesti diatur.
Menurut keterangan dari Bukhari dalam hadits yang beliau rawikan, orang-orang yang tajam dan halus perasaannya dalam hal-hal yang seperti ini ialah Umar bin Khaththab. Beliau ini kerap kali mendapat ilham tersendiri tentang menciptakan suatu peraturan. Kemu-dian suatu hal yang patut diatur itu disampaikannya kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi biasanya usulan Umar bin Khaththab itu belum segera diperhatikan oleh Nabi ﷺ. Tiba-tiba kemudian datanglah wahyu yang isinya sesuai dengan usulan Umar bin Khaththab itu.
Maka tersebutlah di dalam sebuah hadits yang sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Umar sendiri pernah berkata, “Bersesuai pendapatku dengan kehendak Allah Yang Mahamulia dalam tiga hal. Pernah aku berkata, “Ya Rasulullah! Alangkah baiknya, Maqam Ibrahim itu dijadikan mushalla (tempat shalat), lalu turunlah ayat,
“Dan ambillah olehmu maqam Ibrahim jadi tempat shalat." (al-Baqarah: 125)
Dan pernah aku katakan, “Ya Rasulullah! Istri-istri tuan masuk saja, lalu lalang me-nemui mereka. Mereka ada orang yang baik-baik dan ada juga orang yang tidak baik. Alang-kah baiknya kalau mereka tuan beri hijab (dinding), lalu datanglah ayat hijab (dinding). Dan pernah aku katakan kepada istri-istri Nabi ﷺ yang mengganggu beliau karena mereka cemburu, “Mudah-mudahan saja, jika kalian ini beliau talak semua, Allah ﷻ akan mengganti untuknya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian." Maka turunlah ayat yang sama bunyinya dengan perkataanku itu."
Muslim menambahkan satu lagi, yaitu usul Umar kepada Nabi ﷺ tentang sikap yang semestinya diambil terhadap orang-orang tawanan di Perang Badar. Ternyata turun wahyu yang menyamai pendapat dan usul Umar itu. Sebab itu maka Muslim dalam hadits yang beliau rawikan menyebut empat bukan tiga.
Ibnu Katsir menamakan ayat ini dengan Ayatul Hijab yang di dalamnya terdapat beberapa peraturan hukum syara'. Dan dalam Tafsir al-Azhar ini akan kita simpulkan makna dari hadits-hadits yang dirawikan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Hatiin, Imam Ahmad, dan Ibnu Jarir. Menurut keterangan Bukhari bahwa Umar bin Khaththab pernah mengusulkan kepada Nabi ﷺ bahwa orang lalu lalang saja masuk menemui istri-istri Nabi, Sedang orang-orangyangdatangitu di samping ada yang orang baik-baik dan terhormat ada pula orang-orang yang tidak baik, yang ingin hendak bercakap tidak berketentuan saja. Sebab itu Umar mengusulkan kepada Nabi agar istri-istri beliau itu dihijab, yaitu didinding. Tegasnya dipisahkan tempat laki-laki dan tetamu-tetamu sebelah luar, dan istri-istri di sebelah dalam, dan kalau seseorang hendak berbicara dengan mereka itu berbicaralah dari balik dinding itu. Jangan terus bertemu muka saja.
Maka bertepatan dengan hari walimah (jamuan makan karena perkawinan) yang di-adakan Nabi ﷺ karena perkawinannya dengan Zainab binti Jahasy setelah lepas iddah-nya dengan Zaid bin Haritsahitu, (sebagaimana tersebut di ayat 37 yang telah lalu), turunlah ayat hijab ini. Hal ini berlaku pada bulan Dzulqa'dah tahun kelima hijrah.
Bukhari menceritakan dalam hadits yang beliau terima dengan sanadnya dari khadam Rasulullah ﷺ, yaitu Anas bin Malik, “Bahwa di hari perkawinan beliau dengan Zainab, te-gasnya Allah ﷻ sendiri yang menikahkan, dipanggillah orang-orang makan minum ja-muan yang beliau sediakan. Sesudah selesai makan minum, orang-orang itu masih saja duduk bercakap-cakap. Kemudian itu Nabi ﷺ sudah kelihatan bersiap hendak berdiri, namun mereka tidak juga berdiri. Melihat yang demikian, Nabi pun benar-benar terus berdiri. Melihat beliau telah berdiri ada yang berdiri pula, tetapi adayang masih duduksaja. Sesudah Nabi ﷺ masuk ke dalam barulah mereka tegak dan pergi. Lalu aku masuk menemui Nabi ﷺ mengatakan bahwa mereka itu telah pada pulang. Di saat saya melapor itulah Nabi ﷺ menurunkan hijab sehingga terbataslah di antara aku dengan beliau oleh hijab itu. Waktu itulah pula turunnya ayat hijab tersebut."
Hadits ini pun dirawikan juga oleh Muslim dan an-Nasa'i dari jalan yang lain, yang sumbernya dari Mu'tamar bin Sulaiman.
Kemudian ada lagi sebuah hadits yang dirawikan sendirian oleh Bukhari dengan sanadnya dari Anas bin Malik juga, “Nabi ketika nikah dengan Zainab binti Jahasy itu mengadakan jamuan walimah dengan roti dan daging. Lalu aku disuruh Nabi ﷺ menemui orang-orang yang diundang menghadiri jamuan itu. Maka datanglah kaum itu, lalu makan lalu keluar. Datang serombongan lagi, lalu makan lalu keluar. Saya masih tetap menemui yang diundang itu, sehingga tidak ada seorang pun lagi yang ketinggalan. Lalu aku berkata, “Ya Rasulullah! Semua yang tuan suruh undang telah saya undang, tidak ada yang ketinggalan lagi. Maka berkatalah beliau, “Kalau demikian selesailah ini dan angkatlah makanan ini ke belakang." Tetapi masih saja tinggal tiga orang masih bercakap-cakap di dalam rumah Rasulullah ﷺ. Lalu Nabi pun keluarlah pergi menemui istri-istri beliau yang lain satu demi satu. Lalu beliau pergi ke bilik Aisyah dan beliau berkata, Assalaamu'alaikum ahial baiti, warahmatullahi wabarakaatuh." (Selamatlah atas kamu semua, ahli rumah, dan rahmat Allah dan berkat-Nya). Aisyah menjawab, “Alaikassalaam warahmatullaah. Bagai-mana keadaan ahli engkau, ya Rasulullah" (Maksudnya ialah mengucapkan selamat terhadap ahli atau istri yang baru dikawini itu, Zainab binti Jahasy).
Beliau mampir ke semua kamar-kamar istrinya dan beliau ucapkan salam sebagaimana kepada Aisyah itu dan semuanya pun menjawab sebagaimana jawaban Aisyah itu pula. Sesudah itu kembalilah Rasulullah ﷺ ke bilik Zainab yang baru dikawini itu. Beliau dapati orang-orang yang bertiga itu masih saja duduk bercakap-cakap.
Nabi adalah sangat pemalu dalam hal seperti ini. Lalu beliau keluar kembali dan pergi ke bilik Aisyah. Maka tidaklah saya tahu lagi apakah saya katakan kepada beliau bahwa orang-orang itu telah pergi. Beliau pun pulang ke tempat Zainab. Setelah kaki beliau sebelah melangkah ke dalam dan sebelah masih di luar, beliau turunkan layar pendinding di antara aku dengan beliau. Waktu itulah rupanya turun ayat hijab."
Dalam sebuah hadits lain yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim tersebut pula bahwa Ummi Sulaim, yaitu ibu dari Anas bin Malik sendiri turun pula menyumbangkan makanan masakannya sendiri buat memeriahkan wa-limah itu. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada Anas mengundang orang, si fulan dan si fulan. Akhir beliau tutup perintahnya, “Pendeknya siapa saja kaum Muslimin yang bertemu olehmu undanglah! “
Maka semua yang diundang itu datang sehingga ramailah dan penuhlah rumah oleh tetamu.
Lalu ada orangyang bertanya kepada Anas, “Berapa orang yang hadir, hai Abu Utsman?" Anas menjawab; “Sekitar tiga ratus orang."
Padahal persediaan makanan itu sedikit, tidak akan mencukupi buat orang sebanyak itu. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Anas menyuruh bawa makanan itu di hadapan beliau, lalu beliau baca doa dan beliau tutup dengan ucapan “Ma syaa Allah". Lalu beliau perintah-kan kepada Anas, “Panggil tetamu-tetamu itu duduk, silakan mereka berkeliling sepuluh-sepuluh, baca bismillah ketika akan makan, dan setiap orang memakan apa yang ada di hadapannya."
Orang-orang itu pun makanlah semuanya dengan membaca bismillah pada permulaan makan sampai kenyang semuanya. Setelah itu Rasulullah ﷺ memanggil aku, kata Anas. Beliau perintahkan aku mengangkat dulang-dulang tempat makan. Lalu aku perhatikan isinya. Aku jadi heran tercengang memikirkannya setelah aku lihat tidak dapat aku per-bedakan mana yang lebih banyak ketika makanan akan aku letakkan tadi dengan lebih makanan setelah orang selesai makan.
Berkata Anas selanjutnya, “Setelah dulang makanan diangkat dan orang-orang sudah ada yang pergi tinggallah beberapa orang masih bercakap-cakap dalam rumah Rasulullah ﷺ sedang istri Rasulullah duduk membelakang kepada mereka di sudut rumah. Mereka masih saja berpanjang-panjang bercakap-cakap, sehingga mereka telah memberati Rasulullah ﷺ, padahal Rasulullah sangat malu akan menyuruh orang-orang itu pergi. Kalau hal itu diberitahu kepada mereka, niscaya mereka akan merasa tersinggung. Lalu Rasulullah ﷺ berdiri dan beliau ucapkan salam kepada seisi rumah dan kepada istri-istri beliau, setelah itu beliau pun kembali. Maka setelah orang-orang itu melihat Rasulullah ﷺ telah kembali, barulah mereka mulai merasa bahwa mereka telah memberati atas Rasulullah ﷺ. Lalu segeralah mereka itu keluar. Nabi pun masuk ke dalam rumahnya dan tirai layar atau hijab diturunkan, sehingga saya di luar, beliau ada dalam rumah. Tidak berapa lamanya beliau pun keluar kembali, membacakan ayat yang baru saja turun, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi “ sampai ke akhirnya.
Anas berkata, “Bahwa ayat-ayat ini beliau bacakan di hadapan saya sebelum beliau baca di hadapan orang lain."
Hadits ini dirawikan oleh Muslim dan an-Nasa'i dari hadits Qutaibah yang diterimanya dari Jalar bin Sulaiman. Bukhari pun memberi catatan hadits ini dalam Shahih Bukhari dalam Kitabun Nikah.
Itulah latar belakang dari syari'at dan peraturan yang diturunkan Allah ﷻ tentang adab dan sopan santun ketika masuk ke dalam rumah tangga Nabi ﷺ. Di permulaan ayat telah dilarang orang yang beriman masuk-masuk saja ke dalam rumah Nabi ﷺ kecuali kalau sudah mendapat izin dari beliau, misalnya karena dipanggil makan. Maka janganlah lekas-lekas datang sehingga lama duduk menunggu makanan akan masak."Tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu telah selesai makan bertebaranlah dengan tidak memperpanjang percakapan." Maksud sambungan ayat itu sudah terang. Yaitu masuk ke dalam rumah Rasul ialah sesudah mendapat izin, jangan masuk-masuk saja. Dipersilakan dahulu baru masuk. Setelah makanan terhidang, segeralah makan. Selesai makan segeralah bertebaran ke luar dari dalam rumah. Jangan duduk pula memperpanjang waktu untuk bercakap-cakap, “Karena yang demikian itu adalah mengganggu Nabi." Niscaya kalau tamu-tamu masih duduk “nongkrong “ tidak mau keluar dari rumah, padahal makan sudah selesai, niscaya terganggulah Nabi dalam rumahnya. Terganggu hubungan dengan istrinya. Apatah lagi jika diingat ketika ayat turun, yaitu panggilan makan itu adalah walimah karena perkawinan. Berilah kebebasan orang yang baru saja nikah/kawin bersuka cita dalam rumahnya dengan sebutan kita yang terkenal pengantin baru.
Maka kalau masih ada yang duduk-duduk, masih menyambung lagi dengan mengobrol ke hilir ke mudik padahal perut sudah kenyang, nyatalah orang itu kurang halus perasaannya. Akan terganggu Nabi oleh karena masih ada tetamu."Sehingga dia malu dari kamu." Tentu dia malu akan bercanda dengan istri barunya, padahal tamu-tamu masih ada. Niscaya malu dia akan berleluasa dalam rumah tangganya sendiri karena orang luar masih ada."Padahal Allah tidaklah malu dari (menjelaskan) kebenaran." Walaupun ganjil didengar, Allah ﷻ mesti menerangkan juga. Sebab orang yang masih duduk lama juga dalam rumah Nabi, padahal beliau sudah gelisah, sudah mesti diberi paham oleh Allah ﷻ sendiri. Sebab Nabi akan malu pula mengatakan terus terang meminta orang-orang itu segera keluar dari dalam rumah. Sebab hal ini mengenai dirinya sendiri.
“Dan jika kamu meminta sesuatu kepada mereka maka mintalah dari belakang dinding."
Di sambungan ayat ini mulailah dijelaskan bagaimana cara menghubungi istri-istri Rasulullah ﷺ dengan orang-orang laki-laki lain yang bukan mahram mereka. Yaitu kalau ada yang hendak diminta atau kalau ada yang hendak ditanyakan, tidaklah boleh lagi langsung berhadapan, melainkan dari balik hijab yang berarti dinding.
Kejelasannya lagi ialah jika masuk ke dalam rumah Nabi hendaklah sesudah men-dapat izin terlebih dahulu, maka kalau hendak berhubungan dengan istri-istri Nabi hendaklah dari balik dinding dan janganlah langsung melihat wajah beliau-beliau.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim, yang diterimanya de-ngan sanadnya dari Aisyah, bahwa Aisyah sendiri bercerita, bahwa sebelum ayat hijab ini turun, pada suatu hari Aisyah sedang makan bersama-sama Nabi ﷺ, di dalam satu dulang. Tiba-tiba datanglah Umar bin Khaththab menemui beliau. Lalu beliau ajaklah Umar supaya makan bersama-sama di satu hidangan yang telah terhidang itu. Umar pun memenuhi undangan Rasulullah ﷺ itu dan turut makan bersama-sama. Tiba-tiba dalam mengambil makanan, bertemulah telapak tangan Umar dengan telapak tangan Aisyah. Maka serta-merta berkatalah Umar, “Sebenarnya kalau orang hendak menghormati Nabi, sebaiknya tidak ada mata orang lain yang melihat kau." Tidak lama kemudian turunlah sambungan ayat ini. “Itulah yang lebih membersihkan hati kamu dan hati mereka." Artinya dengan adanya aturan hijab itu terhadap istri-istri Rasulullah ﷺ, maka baik hati sahabat-sahabat Rasulullah yang datang atau hati beliau-beliau sendiri sama-sama bersih, tidak ada gangguan dan rasa hormat kepada istri Nabi Utusan Allah ﷻ terpelihara pula.
“Dan tidaklah pantas bagi kamu bahwa menyakiti Rasulullah," artinya bahwa sebagai Rasulullah, pemimpin besar yang amat dihormati, menurut adab sopan santun yang tinggi, istri beliau pun haruslah dihormati pula sebagaimana layaknya. Tidaklah enak bagi perasaan beliau sendiri kalau beliau dihormati dan dijunjung tinggi, padahal istri-istri beliau dipandang enteng seperti orang kebanyakan saja. “Dan tidak pula bahwa kamu hendak menikahi istri-istrinya sesudahnya." Artinya ialah kalau Rasulullah meninggal dunia maka janda-janda beliau tidaklah boleh dirikahi lagi oleh siapa jua pun; “untuk selama-lamanya." Maka tetaplah beliau-beliau menjadi Ummahatul Mu'minin, ibu-ibu dari orang-orang yang beriman, sampai satu demi satu beliau-beliau menutup mata pula.
Maka samalah pendapat sekalian ulama Islam bahwa ayat ini telah menutup pintu bagi siapa pun hendak menikahi istri-istri beliau setelah beliau wafat. Padahal Aisyah sendiri seketika beliau meninggal baru berusia 19 tahun. Segala istri itu pun ridha menerima ketentuan itu, sebab ketika turun ayat takhyiir mereka pun telah memilih Allah dan Rasul dan Hari Akhirat dan tidak lagi menginginkan dunia dengan segala perhiasannya itu. Mereka percaya akan janji Allah ﷻ sebagai mana yang tersebut di dalam Al-Qur'an, surah ath-Thuur yang diturunkan di Mekah ayat 52, ayat 23 dari surah ar-Ra'd, atau yang tersebut di dalam surah Ghafir ayat 8; semuanya menunjukkan, bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan diikuti pula oleh keluarganya dengan iman, mereka itu akan bertemu kembali kelak di akhirat. Sedangkan orang-orang beriman biasa lagi akan diberi rahmat demikian, apatah lagi Rasulullah ﷺ. Maka itulah sebabnya Saudah sendiri, istri Rasulullah ﷺ yang tertua sesudah Khadijah, memohon kepada Rasulullah ﷺ agar dia jangan diceraikan, meskipun dia telah tua sehingga tidak sanggup lagi menyelenggarakan suami bagaimana pantasnya. Dia mohonkan agar dia tetap jadi istri beliau ﷺ dan dia bersedia memberikan giliran harinya kepada yang lebih muda, yaitu Aisyah. Sebab Saudah mengharap akan tetap menjadi istri Rasulullah ﷺ juga di akhirat kelak.
Hudzaifah bin al-Yaman berkata kepada istrinya, “Jika kau ingin jadi istriku juga di surga kelak, kalau kita bertemu kembali di sana, janganlah kawin dengan orang lain se-peninggalku. Karena di surga kelak orang perempuan akan dipertemukan kembali dengan suaminya yang terakhir."
Tetapi terjadi kemusykilan pada Abu Bakar ash-Shiddiq ketika beliau jadi Khalifah tentang seorang bekas istri beliau, yang telah beliau talak di kala beliau masih hidup, bolehkah orang lain menikahinya? Pernah terjadi seorang perempuan bernama Qiilah binti al-Asy'ats. Setelah IkrimahbinAbuJahal memeluk Islam setelah Mekah ditaklukkan, dan setelah Rasulullah ﷺ wafat, maka Ikrimah kawin dengan Qiilah binti al-Asy'ats itu. Tampaknya Abu Bakar keberatan atas perkawinan itu. Tetapi sebelum beliau mengambil keputusan beliau panggil Umar bin Khaththab meminta nasihatnya. Dengan tegas Umar mengatakan, “Wahai Khalifah Rasulullah! Perempuan itu bukan istri beliau ﷺ lagi. Ketika beliau menjalankan takhyiir menyuruh pilih Allah dan Rasul dan Hari Akhirat atau dunia dengan perhiasannya, perempuan itu tidak ada lagi dalam bilangan istri-istri Nabi dan seketika turun ayat hijab, dia pun tidak ada lagi. Dia sudah lama diceraikan oleh Nabi, karena dia pernah murtad turut kaumnya."
Mendengar keterangan Umar itu barulah tenteram hati Abu Bakar.
Di ujung ayat Allah ﷻ menjelaskan, “Sesungguhnya yang begitu di sisi Allah adalah suatu hal yang besar."
Artinya mengawini istri Rasulullah sesudah beliau wafat dipandang oleh Allah ﷻ suatu perbuatan yang besar sekali kesalahannya. Tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang beriman, yang sepatutnya selalu hormat kepada Nabi mereka, walaupun setelah beliau wafat.
Ayat 54
“Jika ada sesuatu yang kamu nyatakan atau kamu sembunyikan maka sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengetahui."
Sebab turun ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas adalah karena salah seorang dari sahabat Rasulullah yang sangat terkemuka, bahkan seorang di antara sepuluh sahabat pilihan, tergerak dalam hatinya, “Kalau meninggal Rasulullah ﷺ akan aku kawini Aisyah. Dia anak pamanku."
Setelah ayat ini turun, yang menyatakan, bahwa baik kata yang dinyatakan ataupun yang disembunyikan, selalu diketahui oleh Allah SWT, sahabat yang terkemuka itu menyesal. Untuk menebus kesalahan perasaan itu, atau untuk membersihkan kembali hatinya dia pun berjalan kaki dari Madinah ke Mekah sambil membawa sepuluh ekor kuda kendaraan untuk disediakan bagi mujahidin pergi ke medan perang dan dimerdekakan seorang budak."
Muqatil mengatakan, sahabat itu ialah Thalhah bin Ubaidillah.
Tetapi riwayat Muqatil ini dibantah oleh setengah ahli tafsir yang teliti. Di antaranya al-Qurthubi. Beliau ini mengatakan, bahwa suara-suara yang sumbang itu tidak mungkin timbul dari sahabat terkemuka. Yang menyakiti hati Nabi ﷺ itu hanya timbul dari kalangan orang-orang munafik
Imam asy-Syafi'i menegaskan, bahwa istri-istri Rasulullah yang beliau tinggalkan ketika beliau meninggal tidaklah halal dikawini oleh siapa jua pun. Barangkali yang mengatakan itu halal, kafirlah dia. Sebab dalam ayat itu jelas sekali bahwa sikap demikian adalah menyakiti atau mengganggu beliau.
Ayat 55
“Tidaklah ada dosa atas mereka pada ayah-ayah mereka."
Artinya tidaklah salah jika istri-istri Rasulullah itu berjumpa dengan ayah-ayah mereka dengan tidak memakai hijab, seumpama pertemuan Aisyah dengan ayahnya, Abu Bakar, dan pertemuan Hafshah dengan ayahnya, Umar. “Dan tidak anak-anak laki-laki mereka." Maka tidaklah salah kalau Salamah bin Abu Salamah, anak kandung Ummi Salamah (nama kecilnya Hindun binti Abu Umayah) jika datang ziarah kepada ibunya. Bahkan yang menjadi wali yang mengawinkan Ummi Salamah dengan Rasulullah ﷺ ialah Salamah bin Abu Salamah ini. “Dan tidak saudara-saudara laki-laki mereka." Maka pernahlah Rasulullah setelah selesai menaklukkan Mekah kembali dari satu perjalanan, didapatinya di rumahnya Ummi Habibah binti Abu Sufyan sedang meletakkan kepala adik laki-lakinya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, di atas haribaannya dengan penuh kasih sayang. Lalu Rasulullah bertanya, “Sayangkah engkau kepadanya, hai Ummi Habibah?"
Ummi Habibah menjawab, “Betapa hamba tidak akan sayang kepada saudara hamba, ya Rasulullah?"
Lalu Nabi saw, menjawab, “Allah ﷻ di langit pun sayang kepadanya, hai Ummi Habibah."
“Dan tidak anak-anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka." Maka halal-lah Aisyah misalnya tidak memakai hjjab bertemu dengan anak laki-laki dari saudaranya, Muhammad atau Abdurrahman. Dan halallah Hafshah tidak berdinding berbicara dengan anak laki-laki dari saudaranya, Abdullah bin Umar, “Dan tidak anak-anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka." Aisyah pun mendidik anak laki-laki dari saudara pe-rempuannya, Asma binti Abu Bakar, yaitu Urwah bin Zubair. Urwah ini adalah seorang tabi'in, yaitu murid pengikut dari sahabat. Dia berguru langsung kepada Aisyah dan dia dapat menemui beliau bila saja dengan tidak memakai hijab. Urwah kalau meriwayatkan suatu hadits yang diterimanya dari jalan Aisyah selalu menyebutkan beliau “Khaalati" yaitu panggilan bagi saudara perempuan ibu. “Dan tidak perempuan-perempuan mereka." Artinya, bahwa sesama perempuan tidaklah wajib bercakap atau untuk suatu keperluan memakai hijab berhadapan dengan istri-istri Nabi ﷺ. Dengan demikian lebih leluasa me-reka untuk menanyakan soal-soal yang penting berkenaan dengan ajaran Nabi kepada istri-istri beliau itu. “Dan tidak barang yang dipunyai oleh tangan kanan mereka." Yaitu budak-budak, hamba sahaya, baik yang perempuan ataupun yang laki-laki. Tetapi Said bin al-Musayyab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang dipunyai oleh tangan kanan ini hanyalah semata-mata hamba-hamba sahaya perempuan. Yang laki-laki tidak.
“Dan hendaklah mereka takwa kepada Allah." Yaitu meskipun bebas bertemu dengan ayah, atau saudara laki-laki atau keponakan, takwa kepada Allah ﷻ mesti dipelihara juga supaya gengsi dan harga diri tetap terpelihara, apatah lagi bagi orang-orang sebagaimana mereka, ibu-ibu dari orang-orang yang beriman.
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah menyaksikan."
Ujung ayat ini adalah untuk memperkuat pesan Allah ﷻ agar lebih hati-hati menjaga diri.