Ayat
Terjemahan Per Kata
فَمَن
maka barang siapa
تَوَلَّىٰ
(ia) berpaling
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡفَٰسِقُونَ
orang-orang yang fasik
فَمَن
maka barang siapa
تَوَلَّىٰ
(ia) berpaling
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡفَٰسِقُونَ
orang-orang yang fasik
Terjemahan
Siapa yang berpaling setelah itu, mereka itulah orang-orang fasik.
Tafsir
(Barang siapa yang berpaling setelah demikian) setelah perjanjian tadi (maka merekalah orang-orang yang fasik).
Tafsir Surat Ali-'Imran: 81-82
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, "Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku ini atas yang demikian itu." Mereka menjawab, "Kami mengakui." Allah berfirman, "Kalau begitu, bersaksilah kalian (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian."
Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Ayat 81
Allah ﷻ memberitakan bahwa Dia telah mengambil janji dari setiap nabi yang diutus-Nya sejak dari Adam a.s. hingga Isa a.s., ketika Allah memberikan kepada seseorang di antara mereka kitab dan hikmah, lalu ia menyampaikannya kepada manusia di masanya. Kemudian datanglah seorang rasul lain sesudahnya, maka ia benar-benar akan beriman kepada rasul yang baru ini dan membantunya, dan ilmu serta kenabian yang telah disandangnya tidak boleh menjadi penghalang baginya untuk mengikuti rasul yang baru dan membantunya.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah’." (Ali Imran: 81)
Yakni betapapun juga Aku telah memberikan kepada kalian kitab dan hikmah.
"Kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, "Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku ini atas yang demikian itu?" (Ali Imran: 81)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Suddi, makna isri adalah perjanjian dengan-Ku.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa isri artinya beban yang kalian pikul akibat dari perjanjian dengan-Ku, yakni ikrar kalian kepada-Ku yang berat lagi dikukuhkan.
Ayat 82
"Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, bersaksilah kalian (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian’. Barang siapa yang berpaling sesudah itu’." (Ali Imran: 81-82) Yaitu berpaling dari ikrar dan janji ini.
“Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 82)
Ali ibnu Abu Thalib dan anak lelaki pamannya (yaitu Ibnu Abbas), keduanya mengatakan bahwa setiap kali Allah mengutus seorang nabi maka Allah mengambil sumpah terlebih dahulu terhadapnya, yang isinya mengatakan bahwa apabila Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan dia masih hidup, maka sungguh dia harus beriman kepadanya dan menolongnya. Allah memerintahkan kepadanya agar dia mengambil janji yang sama terhadap umatnya, yaitu "Sungguh, jika Nabi Muhammad diutus, sedangkan mereka masih hidup, maka mereka harus benar-benar beriman kepadanya dan benar-benar menolongnya."
Tawus, Al-Hasan Al-Basri, dan Qatadah mengatakan bahwa Allah mengambil perjanjian dari para nabi, hendaknya sebagian dari mereka membenarkan sebagian yang lainnya. Pendapat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah dikatakan oleh Ali dan Ibnu Abbas, bahkan memantapkan dan mengukuhkannya. Karena itulah maka Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar dan Ibnu Tawus, dari ayahnya hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan Ibnu Abbas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Sabit yang mengatakan bahwa Umar datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memerintahkan kepada seorang saudaraku yang Yahudi dari kalangan Bani Quraizah untuk menulis kumpulan kitab-kitab Taurat buatku. Bolehkah aku memaparkannya kepadamu?" Maka wajah Rasulullah ﷺ berubah, dan Abdullah ibnu Sabit berkata kepadanya (Umar), "Apakah engkau tidak melihat perubahan raut muka Rasulullah ﷺ?" Umar berkata, "Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai rasul." Maka Rasulullah ﷺ tenang kembali dan bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya pagi hari ini Musa berada di antara kalian, kemudian kalian mengikutinya seraya meninggalkan diriku, niscaya kalian sesat. Sesungguhnya kalian adalah bagianku dari kalangan umat-umat, dan aku adalah bagian kalian dari para nabi.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Ya'la.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Mujahid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Janganlah kamu bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kamu, mereka itu telah sesat. Maka kamu akan membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Demi Allah, kalau saja Musa masih hidup di antara kamu, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku." Nabi Muhammad, penutup para Nabi. Shalawat dan salam atasnya hingga hari kiamat.
Perjanjian di atas bukan saja dilakukan oleh para nabi tetapi juga mengikat para kaumnya. Maka barang siapa berpaling dari mengimani Nabi Muhammad, setelah itu, yaitu setelah diperkuat dengan sumpah, maka mereka itulah orang yang fasik, yaitu orang yang keluar dari syariat Allah. Jika memang agama itu hakikatnya satu dan inti semua risalah juga sama yaitu tauhid, maka mengapa mereka berpaling dari agama yang benar yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan mencari agama yang lain selain agama Allah, yaitu agama Islam' Padahal, apa, yakni semua makhluk, yang di langit dan di bumi berserah diri dengan senantiasa tunduk dan patuh kepada hukum dan kehendak-Nya, baik dengan suka yaitu secara tulus ikhlas karena melihat bukti-bukti kebenaran, maupun terpaksa setelah melihat azab. Dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan, lalu mereka akan mendapat balasan yang setimpal.
Barangsiapa yang berpaling dari perjanjian yang telah diikrarkan itu, mereka orang-orang yang fasik. Yang dimaksud dengan orang-orang yang berpaling ialah orang Yahudi yang berada di masa Rasulullah. Mereka ini tidak mempercayai kenabian Muhammad ﷺ yang berarti mereka tidak mempercayai perjanjian yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa. Mereka mengetahui perjanjian yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa, dan mengetahui isinya, akan tetapi mereka tidak melaksanakannya. Karena itulah mereka dinamakan orang-orang fasik.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
IKRAR NABI-NABI
Ayat 81
“Dan (ingatlah) tatkala Allah mengadakan perjanjian dengan nabi-nabi, ‘jika datang kepada kamu Kitab dan hikmah, kemudian datang pula kepada kamu seorang rasul, yang membenarkan apa yang ada pada kamu, bahwa kamu akan sungguh-sungguh percaya kepadanya dan sungguh-sungguh akan membelanya!"“
Pangkal ayat ini menjelaskan bahwa nabi-nabi yang dahulu itu senantiasa diberi tahu oleh Allah bahwa kemudian akan datang pula seorang rasul lagi. Rasul penutup. Menurut penafsiran dari Sa'ad bin Jubair, Qatadah, Thawus, Al-Hasan, dan as-Suddy, perjanjian di antara nabi-nabi dan Allah itu ialah supaya yang setengah membenarkan dan mengakui yang setengahnya lagi dengan iman.
Alhasil ialah bahwa Allah mengambil janji dengan nabi-nabi yang terlebih dahulu datang, supaya dia pun beriman kepada nabi yang akan datang kemudian dan membelanya.
Di dalam ayat ini disebutkan “datang kepada kamu", padahal Muhammad ﷺ belumlah datang pada masa nabi-nabi itu. Maka, yang menjadi maksud dari firman Allah ini ialah bahwa meskipun di waktu mereka hidup Muhammad belum lahir ke dunia, tetapi isi pokok dari ajaran yang akan dibawanya tidaklah berbeda dengan ajaran yang mereka bawa, bahkan membenarkan ajaran itu. Sama-sama memusatkan kepercayaan kepada Allah Yang Satu, sehingga jika dimisalkan beliau datang pada waktu itu maka pokok ajarananya jua. Akan tetapi, kelebihan dari ajaran Muhammad itu ialah bahwa yang dibawanya adalah penyempurnaan dan perlengkapan.
Kemudian lanjutan ayat, “Dia bertanya, ‘Sudahkah kamu berikrar dan kamu terima petjanjian-Ku itu!" Demikianlah pertanyaan Allah kepada nabi-nabi itu sebagai pengunci perjanjian yang telah mereka adakan dengan Allah."Mereka menjawab, ‘Kami telah berikrar!" Ikrar itu telah kita ambil menjadi bahasa kita sendiri, dan pengertian asli Arabnya tidaklah berubah setelah kita ambil. Ikrar ialah sikap hidup. Setelah sekalian nabi-nabi itu menyatakan ikrar masing-masing, pertama bantu-membantu di antara satu dan yang lain, Kedua sama-sama hidup akan percaya dan membantu, dan menyampaikan itu pula kepada umat masing-masing, maka,
“Berfirmanlah Dia, ‘Maka saksikan olehmu dan Aku pun bersama-sama dengan kamu dari golongan yang menyaksikan.'"
Apa kesan yang kita dapat dengan ujung ayat sebagai patri ikrar perjanjian ini? Kesan yang kita dapat ialah sekalian nabi dan rasul, meskipun masa hidup mereka berlain-lain dan umat yang mereka datangi pun berlain-lain pula, tetapi inti sari ajaran mereka hanya satu, yaitu penyerahan diri manusia kepada Allah, yang di dalam bahasa Arab disebut “Islam". Nabi dan rasul Allah semua bekerja di bawah naungan Allah. Di antara mereka dengan Allah telah berteguh-teguhan janji.
Ayat 82
“Maka barangsiapa yang berpaling sesudah yang demikian itu maka itulah mereka-mereka yang fasik."
Berpaling dari kesatuan itu adalah fasik, yaitu durhaka. Tidak lagi menuruti jalan yang lurus. Fasiklah orang kalau telah dibentuknya suatu macam agama, lalu didasarkannya kepada nama seorang nabi, lalu menyisihkan diri dari golongan yang lain, yang ajaran mereka pun berasal dari seorang nabi pula, tidak ada maksud hendak menggabungkan semuanya dalam satu ajaran. Nabi-nabi bersatu dan umat-umat di belakang mereka berpecah.
Ayat 83
"Apakah yang lain dari agama Allah yang mereka kehendaki?"
Tadi sudah nyata apa yang dikatakan agama Allah, yaitu menyerah dengan tulus ikhlas kepada Allah, menerima ajaran Allah yang dibawa sekalian nabi dan memandang sekalian nabi itu sama-sama nabi Allah. Kalau tidak begitu, bukan agama Allah lagi namanya. Kalau seorang nabi diterima dan yang lain ditolak, itu bukan lagi agama Allah. Apakah yang lain dari agama Allah itu yang mereka kehendaki? Yaitu tidak menyerah diri dengan sepenuhnya? “Padahal kepada-Nyalah menyerah apa-apa yang ada di semua langit dan bumi, dengan suka sendiri atau dengan terpaksa." Tengoklah alam sekeliling! Semuanya telah duduk menyerah kepada Allah, dengan suka ataupun dengan tidak suka, tetapi mau ataupun tidak mau, tidak ada jalan lain melainkan tunduk kepada Allah. Matahari, bumi, bulan, dan bintang-bintang, semuanya beredar dengan teratur, taat-setia kepada garis yang ditentukan Allah. Manusia pun mungkin ada yang tidak mau menyerah kepada Allah, tetapi dia tidak dapat memilih jalan lain daripada menyerah juga. Orang yang muda mau tidak mau mesti tua. Orang yang hidup mau tidak mau mesti mati. Alam semesta mau tidak mau mesti tunduk kepada peraturan perimbangan. Maka, bahagialah manusia yang insaf akan hai ini sehingga dia tidak merasa keberatan menerima ketentuan Allah. Lalu tunduk dengan patuhnya.
“Dan kepada-Nyalah mereka akan dikembalikan."
Mau tidak mau, tha'uan atau karhan, akhirnya mesti kembali kepada Allah juga. Apakah yang lebih baik daripada mematuhi Allah dari sekarang? Alangkah bahagianya kita pada waktu itu kelak, setelah kita kembali ke hadirat Allah bahwa kita telah membuktikan kepatuhan dan penyerahan diri?
Setelah menguraikan hal itu semuanya, sampai perjanjian nabi-nabi dengan Allah dan ucapan ikrar mereka maka kemudiannya Allah menyuruhkan kepada Nabi-Nya menjelaskan risalah yang dibawanya dengan tegas, menuruti ikrar nabi-nabi itu yang akan jadi pegangan bagi umat yang beriman,
Ayat 84
“Katakanlah, ‘Kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail, dan Ishaq dan Ya'kub dan anak –cucu."
Yang diturunkan kepada beliau-beliau itu ialah berupa wahyu dan hikmah, isi ajarannya tetap satu, yaitu menolak segala penyembahan kepada yang selain Allah, seumpama berhala."Dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan nabi-nabi dari Tuhan mereka." Musa diberi kitab Taurat dan Isa diberi kitab Injil, nabi-nabi yang lain pun ada pula yang diberikan kepada mereka wahyu dan Zabur, seumpama yang diterima Dawud. Semuanya itu kami terima, kami junjung tinggi, dan tidak kami berpilih kasih, sebab isi semua hanya bermaksud satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah, tidak kepada yang lain."Tidaklah Kami memperbeda-bedakan di antara seorang pun dari mereka itu." Sehingga bagi kami segala nabi itu adalah nabi kami, segala ajaran mereka yang asli adalah pegangan kami, tidak ada nabi atau rasul yang sangat lebih kami hormati dan kurang kami hormati, atau seorang rasul kami katakan palsu, atau seorang lain dikatakan anak Allah atau Allah yang menjelma. Tidak begitu! Nabi bagi kami adalah sama mulianya, sama tugas kewajibannya, dan sama jasanya dan sama pendapat kepercayaan dan dipilih oleh Allah, mujtaba dan mushthafa.
“Dan kami, kepada-Nyalah kami menyerah."
Menyerah diri kepada Allah, Islam, sebab itulah yang diajarkan oleh sekalian nabi yang tidak kami perbeda-bedakan itu.
Kemudian sebagai penegasan lagi dari penyerahan diri itu, berfirmanlah Allah,
Ayat 85
“Dan barangsiapa yang menginginkan selain dari islam menjadi agama maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan, dia pada hari akhirat adalah seorang dari orang-orang yang rugi."
Berulang-ulang telah diterangkan bahwasanya agama yang sebenar-benar agama ialah menyerah diri kepada Allah, tidak bercabang kepada yang lain. Maka, sekalian mereka yang telah sampai kepada taraf penyerahan diri kepada Allah, walaupun dia bangsa apa, dalam saat penyerahan dirinya itu dia telah mencapai Islam. Berjalan selangkah lagi, sebagai akibat dari penyerahan diri kepada Allah, percayatah kepada sekalian rasul-Nya, dan dengan sendirinya percaya kepada risalah wahyu yang mereka bawa. Sebab itu, dapatlah kita pahami kalau pujangga Jerman yang besar, yaitu Goethe, yang berkata, “Kalau ini yang Islam, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam golongannya?"
Oleh sebab itu, bolehlah dikatakan bahwasanya Islam itu adalah persatuan umat manusia dalam penyerahan diri kepada Allah. Islam dalam hakikat aslinya tidaklah mengenal perbedaan kulit atau perbedaan keturunan dan tidak mengenal “benar atau salah, dia adalah golonganku".
Kerap kali telah terdengar anjuran hendak mencari jalan persatuan seluruh agama.
H.G. Wells, pujangga Inggris, pernah mengajarkan ini, bahkan di India orang mendirikan gerakan Theosofie, dengan maksud hendak mempersatukan agama-agama juga. Bahkan yang paling lucu adalah pengikut kaum Bahai. Mereka tinggalkan Islam agama mereka yang asli, lalu mereka tambah satu lagi, mereka namai agama Bahai untuk mempersatukan segala agama. Setiap timbul gerakan persatuan agama yang baru, dia pun tumbuh sebagai agama yang berdiri sendiri. Padahal kalau diperhatikan Islam itu dengan saksama, inilah dia hakikat persatuan agama, hasil pekerjaan mereka tidaklah lebih dari apa yang telah diajarkan oleh Islam. Akan tetapi, kalau Islam telah dijadikan oleh umat yang menampung dan memakainya menjadi golongan sendiri pula, karena terlepas dari mengambil pimpinan Allah dan Rasul, tentulah mereka ini menjadi golongan sendiri pula, sebagaimana Yahudi dan Nasrani tadi. Islam yang begini pun sama-sama diajak kepada islam yang sebenarnya, penyerahan diri kepada Allah. Maka, segala orang yang tidak lagi langsung menyerahkan diri kepada Allah meskipun dia memakai nama Islam, padahal dia jauh dari penyerahan diri kepada Allah, mungkin akan lebih parah kerugiannya di akhirat. Sebab, dipakainya nama Islam, padahal dia musyrik