Ayat
Terjemahan Per Kata
فَإِن
maka jika
تَوَلَّوۡاْ
mereka berpaling
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِٱلۡمُفۡسِدِينَ
terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan
فَإِن
maka jika
تَوَلَّوۡاْ
mereka berpaling
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِٱلۡمُفۡسِدِينَ
terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan
Terjemahan
Jika mereka berpaling, (ketahuilah) bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.
Tafsir
(Jika mereka berpaling) tidak mau beriman (maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang berbuat kerusakan) mereka akan diberi-Nya balasan. Di sini kata-kata lahir ditempatkan pada kata-kata mudhmar.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 59-63
Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami kisahkan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu termasuk orang yang ragu.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kemudian jika mereka berpaling (dari menerima kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.
Ayat 59
Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah.” (Ali Imran: 59)
Maksudnya dalam kekuasaan Allah, mengingat Allah menciptakannya tanpa melalui seorang ayah.
“Adalah seperti (penciptaan) Adam.” (Ali Imran: 59) mengingat Allah menciptakannya tanpa melalui seorang ayah dan tanpa ibu, melainkan:
“Allah menciptakannya dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah dia.” (Ali Imran: 59)
Tuhan yang menciptakan Adam tanpa melalui ayah dan ibu, jelas lebih mampu menciptakan Isa. Jika ada jalan untuk mengklaim Isa sebagai anak Tuhan, mengingat ia diciptakan tanpa melalui seorang ayah, maka terlebih lagi terhadap Adam.
Akan tetapi, telah dimaklumi secara aklamasi bahwa anggapan seperti itu salah; terlebih lagi jika ditujukan kepada Isa a.s., maka lebih salah lagi dan lebih jelas rusaknya. Allah ﷻ sengaja melakukan demikian dengan maksud untuk menampakkan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya dengan menciptakan Adam tanpa kedua orang tua, dan menciptakan Hawa dari laki-laki tanpa wanita, serta menciptakan Isa dari wanita tanpa laki-laki, sebagaimana dia menciptakan makhluk lainnya dari jenis jantan dan jenis betina (melalui perkawinan keduanya). Karena itulah dalam surat Maryam Allah ﷻ berfirman: “Dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia.” (Maryam: 21)
Ayat 60
Sedangkan dalam surat ini Allah ﷻ berfirman: “Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu. Karena itu, janganlah kamu termasuk orang yang ragu.” (Ali Imran: 60)
Yakni inilah pendapat (kisah) yang benar mengenai Isa yang tidak diragukan lagi, sedangkan yang lainnya tidak benar, dan tiada sesudah kebenaran melainkan hanya kesesatan belaka.
Ayat 61
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman seraya memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk melakukan mubahalah terhadap orang yang ingkar kepada kebenaran tentang Isa sesudah adanya keterangan yang jelas, yaitu:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian’.” (Ali Imran: 61)
Maksudnya, kita hadirkan mereka semua untuk bermubahalah.
“Kemudian marilah kita bermubahalah.” (Ali Imran: 61)
Yakni saling berbalas laknat.
“Supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali Imran: 61)
Yaitu antara kami dan kalian, siapakah yang berhak dilaknat.
Disebutkan bahwa asbabun nuzul (latar belakang sejarah) turunnya ayat mubahalah ini dan ayat-ayat yang sebelumnya yang dimulai dari permulaan surat Ali Imran hingga ayat ini berkenaan dengan delegasi dari Najran. Bahwa orang-orang Nasrani itu ketika tiba, mereka mengemukakan hujahnya tentang Isa, dan mereka menduga bahwa Isa adalah anak dan Tuhan. Maka Allah menurunkan awal dari surat Ali Imran ini untuk membantah mereka, seperti yang disebut oleh Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar dan lain-lain.
Ibnu Ishaq mengatakan di dalam kitab Sirah-nya yang terkenal dan yang lain mengatakan pula bahwa delegasi orang-orang Nasrani Najran datang kepada Rasulullah ﷺ terdiri atas enam puluh orang, mereka datang berkendaraan. Di antara mereka ada empat belas orang laki-laki dari kalangan orang-orang yang terhormat di kalangan mereka yang merupakan dewan penasihat mereka dalam segala urusan. Mereka adalah Al-Aqib yang nama julukannya adalah Abdul Masih, As-Sayyid (yakni Al-Aiham), Abu Harisah ibnu Alqamah (saudara Bakr ibnu Wail), Uwais ibnul Haris, Zaid, Qais, Yazid dan kedua anaknya, Khuwalid, Amr, Khalid dan Abdullah, serta Muhsin.
Dewan tertinggi di antara mereka ada tiga orang, yaitu Al-Aqib yang menjabat sebagai amir mereka dan pemutus perkara serta ahli musyawarah; tiada suatu pendapat pun yang muncul melainkan dari dia. Orang yang kedua adalah Sayyid. Dia orang yang paling alim di antara mereka, pemilik kendaraan mereka, dan yang mempersatukan mereka. Sedangkan orang yang ketiga ialah Abu Harisah ibnu Alqamah; dia adalah uskup mereka dan pemimpin yang mengajari mereka kitab Injil. Pada asalnya dia adalah orang Arab, yaitu dari kalangan Bani Bakr ibnu Wail. Tetapi ia masuk agama Nasrani, lalu orang-orang Romawi dan raja-rajanya menghormatinya serta memuliakannya. Bahkan mereka membangun banyak gereja, lalu mengangkatnya sebagai pengurus gereja tersebut karena mereka mengetahui keteguhan agamanya di kalangan mereka. Padahal dia telah mengetahui perihal Rasulullah ﷺ dan sifat-sifatnya serta keadaannya melalui apa yang dia ketahui dari kitab-kitab terdahulu. Akan tetapi, dia tetap berpegang kepada agama Nasrani karena cinta kepada kedudukan dan penghormatan yang diperolehnya selama itu dari kalangan pemeluk Nasrani.
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, bahwa mereka tiba di Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Mereka masuk menemuinya di masjidnya ketika beliau sedang shalat Ashar. Mereka datang memakai pakaian ciri khas mereka sebagai pemeluk Nasrani dengan penampilan paling baik dari kalangan kaum lelaki Banil Haris ibnu Ka'b. Orang yang melihat mereka dari kalangan sahabat Nabi ﷺ pasti mengatakan, "Kami belum pernah melihat delegasi seperti mereka sesudah mereka." Waktu shalat mereka telah tiba, lalu mereka berdiri di dalam masjid Rasulullah ﷺ. Tetapi Rasulullah ﷺ bersabda, "Biarkanlah mereka." Lalu mereka shalat dengan menghadap ke arah timur. Berbicaralah dengan Rasulullah ﷺ wakil dari mereka yang terdiri atas Abu Harisah ibnu Alqamah, Al-Aqib Abdul Masih, dan As-Sayyid Al-Aiham. Mereka bertiga pemeluk Nasrani yang sealiran dengan raja mereka.
Orang-orang Nasrani berselisih pendapat di antara sesama mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa Isa adalah Tuhan, sebagian yang lain mengatakan anak Tuhan, dan sebagian yang lainnya lagi mengatakan Tuhan yang ketiga. Maha Tinggi Allah dari ucapan mereka dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Begitu pula orang-orang Nasrani. Mereka mengatakan bahwa dia adalah Tuhan dengan alasan karena dia dapat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta, penyakit belang dan berbagai penyakit lainnya, memberitakan masalah-masalah gaib, membuat patung berbentuk seperti seekor burung dari tanah liat, lalu ia meniupnya sehingga menjadi burung sungguhan; padahal semuanya itu dengan seizin Allah, dan Allah menjadikannya demikian sebagai bukti untuk manusia.
Orang-orang Nasrani berhujah (beralasan) sehubungan dengan ucapan mereka yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Tuhan, mereka mengatakan bahwa dia tidak punya ayah yang diketahui dan dapat berbicara dalam buaian dengan pembicaraan yang belum pernah dilakukan oleh seorang manusia pun sebelumnya. Sedangkan mereka yang berhujah bahwa Isa adalah Tuhan yang ketiga (dari Trinitas) mengatakan bahwa perkataan Isa sama dengan firman Tuhan, yaitu “Kami lakukan, Kami perintahkan, Kami ciptakan, dan Kami putuskan.” Mereka berkata, "Seandainya Tuhan hanya satu, niscaya Dia akan berfirman ‘Aku lakukan, Aku perintahkan, dan Aku putuskan serta Aku ciptakan.’ Maka hal ini menunjukkan bahwa kata Kami itu merujuk ke Tuhan, Isa dan Maryam (Trinitas)." Maha Tinggi dan Maha Suci Allah ﷻ dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim dan ingkar itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Untuk menjawab masing-masing pendapat tersebut maka diturunkanlah Al-Qur'an.
Ketika dua pendeta berbicara kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda kepada keduanya, "Masuk Islamlah kamu." Keduanya menjawab, "Kami telah Islam." Nabi ﷺ bersabda, "Kamu belum masuk Islam, maka masuk Islamlah." Keduanya menjawab, "Tidak, kami telah Islam." Nabi ﷺ bersabda, "Kamu berdua dusta, kamu bukan orang Islam karena pengakuanmu bahwa Allah beranak, menyembah salib, dan makan daging babi." Keduanya bertanya, "Siapakah bapaknya (Isa), wahai Muhammad?" Rasulullah ﷺ diam, tidak bisa menjawab keduanya.
Maka Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa tersebut penjelasan mengenai perkataan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, yaitu pada permulaan surat Ali Imran sampai dengan delapan puluh ayat lebih darinya. Selanjutnya Ibnu Ishaq mengemukakan tafsir ayat-ayat tersebut, lalu melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan berita dari Allah kepada Rasulullah ﷺ dan cara untuk memutuskan perkara yang terjadi antara dia dan mereka, yaitu Allah menganjurkan kepadanya untuk menantang mereka bermubahalah jika mereka mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya.
Maka Nabi ﷺ mengajak mereka ber-mubahalah. Tetapi mereka takut dan berkata, "Wahai Abul Qasim (nama julukan Nabi ﷺ di kalangan mereka), berilah waktu bagi kami untuk mempertimbangkan perkara kami ini, setelah itu kami akan datang kembali kepadamu memutuskan apa yang telah kami rembukkan bersama orang-orang kami tentang ajakanmu itu." Mereka pergi meninggalkan Nabi ﷺ, lalu berembuk dengan Al-Aqib yang merupakan orang yang paling berpengaruh di antara mereka. Mereka berkata kepadanya, "Wahai Abdul Masih, bagaimanakah menurut pendapatmu?" Al-Aqib menjawab, "Demi Allah, wahai orang-orang Nasrani, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang diutus. Sesungguhnya dia telah datang kepada kalian dengan membawa berita perihal teman kalian (Isa) secara rinci dan benar. Sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa jika suatu kaum berani ber-mubahalah (saling berbalas laknat) dengan seorang nabi, maka orang-orang dewasa dan anak-anak mereka pasti mati habis semua kena laknat. Sesungguhnya tawaran ini untuk menghabisi kalian, jika kalian melakukannya. Sesungguhnya jika kalian masih ingin tetap berpegang kepada agama kalian dan pendapat kalian sehubungan dengan teman kalian (Isa), maka pamitlah kepada lelaki ini (Nabi ﷺ), lalu kembalilah ke negeri kalian."
Lalu mereka datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Abul Qasim, kami telah sepakat untuk tidak bermubahalah denganmu dan meninggalkan (membiarkan)mu tetap pada agamamu dan kami tetap pada agama kami. Namun kirimkanlah bersama kami seorang lelaki dari kalangan sahabatmu yang kamu sukai buat kami, kelak dia akan memutuskan banyak hal di antara kami yang kami berselisih pendapat mengenainya dalam masalah harta benda, karena sesungguhnya kalian mendapat kehormatan di kalangan kami." Muhammad ibnu Ja'far mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda, "Datanglah kalian kepadaku sore hari, maka aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang kuat lagi dipercaya."
Tersebutlah bahwa Umar ibnul Khattab sehubungan dengan peristiwa tersebut mengatakan, "Aku belum pernah menginginkan imarah (jabatan) sama sekali seperti pada hari itu. Pada hari itu aku berharap semoga dirikulah yang terpilih untuk menjabatnya. Maka aku berangkat untuk melakukan shalat zuhur ketika waktu hajir (panas matahari mulai terik). Setelah Rasulullah ﷺ shalat zuhur dan bersalam, lalu beliau melihat ke arah kanan dan kirinya, sedangkan aku menonjolkan kepalaku dengan harapan beliau melihatku. Akan tetapi, pandangan mata beliau masih terus mencari-cari, dan akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Maka beliau memanggilnya, lalu bersabda, 'Berangkatlah bersama mereka dan jalankanlah peradilan di antara mereka dengan benar dalam hal yang mereka perselisihkan'." Umar melanjutkan kisahnya, bahwa pada akhirnya Abu Ubaidah-lah yang terpilih untuk melakukan tugas itu.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari ‘Ashim ibnu Umar ibnu Qatadah, dari Mahmud ibnu Labid, dari Rafi' ibnu Khadij yang menceritakan bahwa delegasi Najran datang menghadap Rasulullah ﷺ hingga akhir hadits yang isinya serupa dengan hadits di atas. Hanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada orang-orang yang terhormat (dari kalangan mereka) yang jumlahnya ada dua belas orang. Sedangkan kisah hadits lainnya lebih panjang daripada hadits di atas dengan tambahan-tambahan lain.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbas ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah yang menceritakan hadits berikut, bahwa Al-Aqib dan As-Sayyid pemimpin orang-orang Najran datang menghadap Rasulullah ﷺ dengan maksud untuk melakukan mubahalah dengan Rasulullah ﷺ. Salah seorang berkata kepada temannya, "Jangan kamu lakukan. Demi Allah, seandainya dia adalah seorang nabi, lalu kita melakukan mula'anah (saling berbalas laknat) terhadapnya, niscaya kita ini tidak akan beruntung, tidak pula anak cucu kita sesudah kita." Akhirnya keduanya mengatakan, "Sesungguhnya kami setuju memberimu apa yang kamu minta dari kami (yakni jizyah). Tetapi kirimkanlah bersama kami seorang lelaki yang amin (dapat dipercaya), dan janganlah engkau kirimkan bersama dengan kami melainkan seorang yang dapat dipercaya." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Aku sungguh-sungguh akan mengirimkan bersama kalian seorang lelaki yang benar-benar dapat dipercaya.” Maka sahabat-sahabat Nabi ﷺ mengharapkan untuk diangkat menjadi orang yang mengemban tugas ini. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Berdirilah engkau, wahai Abu Ubaidah ibnul Jarrah." Ketika Abu Ubaidah berdiri, maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Inilah orang yang dipercaya dari kalangan umat ini."
Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Ibnu Majah melalui jalur Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah, dari Huzaifah dengan lafal yang serupa.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu pula Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah, melalui hadits Israil, dari Abu Ishaq, dari Silah, dari Ibnu Mas'ud dengan lafal yang serupa.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari Anas, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Setiap umat memiliki aminnya sendiri, dan amin (orang yang dipercaya) dari umat ini adalah Abu Ubaidah ibnul Jarrah.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Yazid Ar-Ruqqi Abu Yazid, telah menceritakan kepada kami Qurrah, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Abu Jahal pernah mengatakan, "Seandainya aku melihat Muhammad sedang shalat di dekat Ka'bah, aku benar-benar akan mendatanginya, lalu aku akan menginjak lehernya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seandainya dia (Abu Jahal) melakukannya, niscaya malaikat akan membinasakannya secara terang-terangan, dan seandainya orang-orang Yahudi itu mengharapkan kematian dirinya, niscaya mereka benar-benar akan mati, dan niscaya mereka akan melihat tempat mereka di neraka.” Dan seandainya orang-orang yang berangkat untuk melakukan mubahalah terhadap Rasulullah ﷺ (dan sungguh terjadi), niscaya sepulangnya mereka ke tempat kediamannya mereka benar-benar tidak akan menjumpai lagi harta dan keluarganya.
Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai meriwayatkan hadits ini melalui Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Abdul Karim dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi shahih. Imam Al-Baihaqi di dalam kitab Dalaitun Nubuwwah meriwayatkan kisah delegasi Najran ini dengan kisah yang panjang sekali. Kami akan mengetengahkannya, mengingat di dalamnya terkandung banyak faedah; sekalipun di dalamnya terkandung hal yang aneh, tetapi ada kaitannya dengan pembahasan kita sekarang ini.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh Abu Sa'id dan Muhammad ibnu Musa ibnul Fadl; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Jabbar, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Salamah ibnu Abdu Yusu', dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Yunus yang tadinya beragama Nasrani, kemudian masuk Islam menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ mengirim surat kepada penduduk Najran sebelum diturunkan kepada beliau surat Ta Sin Sulaiman, yang bunyinya seperti berikut:
“Dengan menyebut nama Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya'qub, dari Muhammad, nabi utusan Allah, ditujukan kepada Uskup Najran dan penduduk Najran. Masuk Islamlah kalian. Sesungguhnya aku menganjurkan kepada kalian untuk memuji Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya'qub. Amma Ba'du: Sesungguhnya aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan sesama makhluk; aku mengajak kalian untuk membantu (agama) Allah dan tidak membantu (agama buatan) makhluk. Jika kalian menolak, maka kalian harus membayar jizyah; dan jika kalian menolak (membayar jizyah), maka aku mengumumkan perang terhadap kalian. Wassalam.”
Ketika surat itu sampai ke tangan uskup yang dimaksud, lalu ia membacanya, maka ia sangat terkejut dan hatinya sangat takut. Lalu ia mengundang seorang lelaki dari kalangan penduduk Najran yang dikenal dengan nama Syurahbil ibnu Wida'ah dari Hamdan. Sebelum peristiwa ini tidak pernah ada seseorang dipanggil untuk memecahkan perkara yang sulit, baik Aiham, Sayyid, ataupun Al-Aqib. Ketika Syurahbil datang, uskup menyerahkan surat Rasulullah ﷺ itu kepadanya. Ia membacanya, dan uskup berkata, "Wahai Abu Maryam (nama julukan Syurahbil), bagaimanakah pendapatmu?" Syurahbil menjawab, "Sesungguhnya engkau mengetahui apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Ibrahim, yaitu kenabian yang akan dianugerahkan-Nya kepada keturunan Ismail. Maka sudah dapat dipastikan bahwa anugerah itu diberikan kepada lelaki ini (Nabi ﷺ), sedangkan aku sehubungan dengan perkara kenabian itu tidak mempunyai pendapat apa-apa. Tetapi seandainya perkara yang dimaksud menyangkut urusan duniawi, niscaya aku benar-benar dapat mengemukakan pendapatku dan aku berupaya semampuku untuk menyelesaikannya buatmu." Uskup berkata kepadanya, "Minggirlah kamu dan duduklah," lalu Syurahbil duduk di salah satu tempat.
Kemudian uskup menyuruh seseorang untuk memanggil seorang lelaki penduduk Najran yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Syurahbil, keturunan Zu Asbah, dari Himyar. Lalu uskup membacakan surat itu kepadanya dan menanyakan kepadanya bagaimana cara memutuskan permasalahan itu. Maka Abdullah menjawabnya dengan jawaban yang sama dengan yang telah dikatakan oleh Syurahbil. Uskup berkata kepadanya, "Minggirlah kamu dan duduklah," lalu Abdullah minggir dan duduk di suatu tempat.
Kemudian uskup mengirimkan seseorang untuk mengundang seorang lelaki dari penduduk Najran yang dikenal dengan nama Jabbar ibnu Faid dari kalangan Banil Haris ibnu Ka'b, salah seorang Banil Hammas. Lalu uskup membacakan kepadanya surat itu. Setelah selesai dibaca, ia menanyakan pendapatnya sehubungan dengan permasalahan itu. Tetapi ternyata lelaki ini pun mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Syurahbil dan Abdullah. Maka uskup memerintahkan kepadanya untuk minggir, lalu ia duduk di suatu tempat.
Setelah semua pendapat dari kalangan mereka sepakat menunjukkan pendapat yang telah disebutkan di atas, maka uskup memerintahkan agar lonceng dibunyikan, api dinyalakan, dan semua pelita di dalam gereja dinyalakan. Demikianlah yang mereka lakukan di siang hari bilamana mereka tertimpa prahara. Apabila prahara menimpa mereka di malam hari, maka semua lonceng gereja dibunyikan dan api di dalam semua gereja dinyalakan. Ketika semua lonceng dibunyikan dan semua pelita dinyalakan, maka berkumpullah semua penduduk lembah bagian atas dan bagian bawahnya, sedangkan panjang lembah itu adalah perjalanan satu hari ditempuh oleh orang yang berkendaraan cepat. Di dalamnya terdapat tujuh puluh tiga kampung, dan semua pasukannya terdiri atas seratus dua puluh ribu personel.
Lalu uskup membacakan kepada mereka surat Rasulullah ﷺ dan menanyakan tentang pendapat mereka tentang surat itu. Para dewan penasihat dari kalangan mereka akhirnya sepakat untuk mengirimkan Syurahbil ibnu Wida'ah Al-Hamdani, Abdullah ibnu Syurahbil Al-Asbahi, dan Jabbar ibnu Faid Ai-Harisi untuk menghadap Rasulullah ﷺ dan mendatangkan kepada mereka berita yang dihasilkan oleh misi mereka bertiga nanti. Maka delegasi itu berangkat.
Ketika sampai di Madinah, mereka meletakkan pakaian perjalanannya, lalu menggantinya dengan pakaian yang panjang hingga menjurai ke tanah terbuat dari kain sutera dan juga memakai cincin dari emas, kemudian berangkat menemui Rasulullah ﷺ. Ketika sampai pada Rasulullah ﷺ, mereka mengacungkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salam mereka.
Lalu mereka berupaya sepanjang siang hari untuk dapat berbicara dengannya, tetapi beliau tidak mau berbicara dengan mereka yang memakai pakaian sutera dan cincin emas itu. Kemudian mereka pergi mencari Usman ibnu Affan dan Abdur Rahman ibnu Auf yang telah mereka kenal sebelumnya, dan mereka menjumpai keduanya berada di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di suatu majelis.
Mereka berkata, "Wahai Usman dan Abdur Rahman, sesungguhnya Nabi kalian telah menulis sepucuk surat kepada kami, lalu kami datang memenuhinya. Tetapi ketika kami datang dan mengucapkan salam penghormatan kepadanya, ia tidak menjawab salam kami; dan kami berupaya sepanjang siang hari untuk berbicara dengannya hingga kami merasa letih, tetapi beliau tidak mau berbicara dengan kami. Bagaimanakah pendapat kalian berdua, apakah kami harus pulang kembali tanpa hasil?"
Keduanya berkata kepada Ali ibnu Abu Thalib yang juga berada di antara mereka, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, wahai Abul Hasan, tentang mereka ini?" Ali berkata kepada Usman dan Abdur Rahman, "Aku berpendapat, hendaknya mereka terlebih dahulu melepaskan pakaian sutera dan cincin emasnya, lalu mereka memakai pakaian perjalanannya, setelah itu mereka boleh kembali menemui Nabi ﷺ". Mereka melaksanakan saran tersebut, lalu mereka mengucapkan salam penghormatan kepada Nabi ﷺ.
Maka kali ini Nabi ﷺ baru menjawab salam mereka. Setelah itu beliau ﷺ bersabda: “Demi Tuhan yang telah mengutusku dengan kebenaran, sesungguhnya mereka datang kepadaku pada permulaannya, sedangkan iblis berada bersama mereka.” Kemudian Nabi ﷺ menanyai mereka, dan mereka menanyai Nabi ﷺ secara timbal balik, hingga mereka bertanya kepadanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang Isa? Agar bila kami kembali kepada kaum kami yang Nasrani, kami gembira membawa berita dari pendapatmu tentang dia, jika engkau memang seorang nabi." Nabi ﷺ bersabda: “Hari ini aku tidak mempunyai pendapat apa pun tentang dia. Maka tinggallah kalian, nanti aku akan ceritakan kepada kalian apa yang diberitakan oleh Tuhanku tentang Isa.”
Maka pada keesokan harinya diturunkan firman-Nya: “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam.” (Ali Imran: 59) sampai dengan firman-Nya: “Ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali Imran: 61); Tetapi mereka menolak mengakui hal tersebut.
Kemudian pada pagi harinya lagi setelah kemarinnya Rasulullah ﷺ menyampaikan berita tersebut, beliau datang seraya menggendong Hasan dan Husain dengan kain selimutnya, sedangkan Fatimah berjalan di belakangnya untuk melakukan mula'anah. Saat itu Nabi ﷺ mempunyai beberapa orang istri.
Maka Syurahbil berkata kepada kedua temannya, "Kalian telah mengetahui bahwa seluruh penduduk lembah kita bagian atas dan bagian bawahnya tidak mau kembali dan tidak mau berangkat kecuali karena pendapatku. Sesungguhnya sekarang aku benar-benar menghadapi suatu urusan yang amat berat. Demi Allah, seandainya lelaki ini (maksudnya Nabi ﷺ) benar-benar seorang utusan, maka kita adalah orang Arab yang mula-mula berani menentangnya di hadapannya dan menolak perintahnya. Maka tidak sekali-kali kita berangkat dari hadapannya dan dari hadapan sahabat-sahabatnya, melainkan kita pasti akan tertimpa malapetaka. Sesungguhnya kita adalah orang Arab dari kalangan pemeluk Nasrani yang paling dekat bertetangga dengannya. Sesungguhnya jika lelaki ini adalah seorang nabi yang dijadikan rasul, lalu kita ber-mula'anah dengannya, niscaya tidak akan tertinggal sehelai rambut dan sepotong kuku pun dari kita yang ada di muka bumi ini melainkan pasti binasa semuanya."
Kedua teman Syurahbil bertanya, "Lalu bagaimana selanjutnya menurut pendapatmu, wahai Abu Maryarn?" Syurahbil menjawab, "Aku berpendapat, sebaiknya dia aku angkat sebagai hakim dalam masalah ini, karena sesungguhnya aku melihat lelaki ini tidak akan berbuat zalim dalam keputusannya untuk selama-lamanya." Keduanya berkata, "Terserah kepadamu."
Syurahbil menghadap Rasulullah ﷺ, lalu berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku berpendapat bahwa ada hal yang lebih baik daripada ber-mula'anah denganmu." Nabi ﷺ bertanya, "Apakah itu?" Syurahbil menjawab, "Kami serahkan keputusannya kepadamu sebagai hakim sejak hari ini sampai malam nanti dan malam harimu sampai keesokan paginya. Maka keputusan apa saja yang engkau tetapkan kepada kami, hal itu akan kami terima." Rasulullah ﷺ bertanya, "Barangkali di belakangmu ada seseorang yang nanti akan mencelamu?" Syurahbil berkata, "Tanyakanlah kepada kedua temanku ini." Lalu keduanya menjawab, "Seluruh penduduk lembah kami tidak kembali dan tidak berangkat, melainkan atas dasar pendapat Syurahbil." Maka Rasulullah ﷺ kembali tidak ber-mula'anah dengan mereka.
Kemudian pada keesokan harinya mereka datang kepadanya, lalu Nabi ﷺ menulis sepucuk surat buat mereka yang isinya sebagai berikut: “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Ini adalah keputusan dari Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah untuk penduduk Najran; jika mereka ingin berada di bawah kekuasaannya maka semua hasil buah-buahan, dan semua yang kuning, yang putih, yang hitam, dan budak yang berlebihan di kalangan mereka, semuanya itu adalah milik mereka, tetapi diwajibkan bagi mereka membayar dua ribu stel pakaian (setiap tahunnya); pada tiap bulan Rajab seribu stel pakaian, dan yang seribunya lagi dibayar pada tiap bulan Safar. Dan persyaratan lainnya serta kelanjutannya.”
Kedatangan delegasi mereka terjadi pada tahun sembilan Hijriah, karena Az-Zuhri pernah mengatakan bahwa penduduk Najran adalah orang yang mula-mula membayar jizyah kepada Rasulullah ﷺ. Sedangkan ayat mengenai jizyah baru diturunkan hanya sesudah kemenangan atas Mekah, yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian.” (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Makki, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mihran, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang menceritakan bahwa telah datang kepada Nabi ﷺ Al-Aqib dan At-Tayyib. Maka Nabi ﷺ mengundang keduanya untuk melakukan mula'anah, lalu Nabi ﷺ berjanji kepada keduanya untuk melakukannya pada keesokan harinya. Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa pada keesokan harinya Nabi ﷺ datang membawa Ali, Fatimah, Al-Hasan, dan Al-Husain; lalu beliau mengundang keduanya. Tetapi keduanya menolak dan tidak mau ber-mula'anah dengannya, melainkan hanya bersedia membayar kharraj (jizyah). Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi ﷺ bersabda: “Demi Tuhan yang mengutusku dengan kebenaran, seandainya keduanya mengatakan, "Tidak" (yakni tidak mau membayar jizyah), niscaya api akan menghujani lembah tempat tinggal mereka.” Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan mereka diturunkan firman-Nya: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian.” (Ali Imran: 61); Menurut sahabat Jabir, yang dimaksud dengan diri kami ialah Rasulullah ﷺ sendiri dan Ali ibnu Abu Thalib. Yang dimaksud dengan anak-anak kami ialah Al-Hasan dan Al-Husain. Yang dimaksud dengan wanita-wanita kami ialah Siti Fatimah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim dan di dalam kitab Mustadrak-nya dari Ali ibnu Isa, dari Ahmad ibnu Muhammad Al-Azhari, dari Ali ibnu Hujr, dari Ali ibnu Mishar, dari Daud ibnu Abu Hindun dengan lafal yang semakna. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya seperti ini. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Syu'bah, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi secara mursal, sanad ini lebih shahih. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas serta Al-Barra hal yang serupa.
Ayat 62
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (Ali Imran: 62)
Yakni apa yang telah Kami kisahkan kepadamu, Muhammad, tentang Isa adalah kisah yang benar, yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan sesuai dengan kejadiannya.
Ayat 63
“Dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian jika mereka berpaling.” (Ali Imran: 62-63)
Yaitu berpaling dari menerima kebenaran kisah ini dan tetap berpegang kepada selainnya.
“Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Ali Imran: 63)
Maksudnya, barang siapa yang berpaling dari kebenaran menuju kepada kesesatan, maka dialah orang yang berbuat kerusakan, dan Allah Maha Mengetahui tentang dia; sesungguhnya kelak Allah akan membalas perbuatannya itu dengan balasan yang seburuk-buruknya. Dia Maha Kuasa, tiada sesuatu pun yang luput dari-Nya, Maha Suci Allah dengan segala pujian-Nya dan kami berlindung kepada-Nya dari kejatuhan murka dan pembalasan-Nya.
Kemudian jika mereka tetap berpaling meski sudah diberikan buktibukti kemahakuasaan, kemahaperkasaan, dan kemahaesaan Allah, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan, baik melalui perkataan, perbuatan maupun keyakinannya.
Tatkala mereka tidak berani ber-muba'halah, sehingga tampaklah kebohongan dan kelemahan mereka, maka ayat ini mengajak mereka kepada tauhid dengan cara yang lebih lunak dan santun. Katakanlah, hai Nabi Muhammad, Wahai Ahli Kitab! Jika kalian tetap menolak kebenaran hujjah tentang Isa bin Maryam padahal kalian mengetahuinya, maka marilah kita menuju kepada satu kalimat, pegangan yang sama yang memberi keputusan secara adil antara kami dan kamu, yaitu kitab Taurat dan kitab-kitab lainnya, termasuk Injil dan Al-Qur'an, bahwa di dalam kitab-kitab tersebut kita tidak diperbolehkan menyembah selain Allah dan kita tidak diperbolehkan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan jika cara ini juga tidak membawa hasil untuk mengajak mereka, maka yang terpenting bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah untuk diikuti dan dituruti perintahnya padahal perintah itu keliru. Jika mereka tetap berpaling dari kebenaran setelah terpenuhi bukti-bukti, maka katakanlah kepada mereka, Saksikanlah, bahwa kami adalah orang muslim, yaitu orang-orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah dan semata-mata beribadah kepada-Nya.
.
Apabila mereka menolak agama tauhid berarti mereka termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Mereka dianggap berpaling karena menolak untuk mengikuti dan membenarkan kerasulan Muhammad, dan tidak mau menerima keyakinan tentang keesaan Tuhan yang dibawa oleh beliau dan tidak berani mengabulkan ajakan mubahalah.
Allah Maha Mengetahui mental orang-orang yang membuat kerusakan dan mempunyai niat jahat yang mereka simpan dalam hati mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MUBAHALAH
Ayat 61
“Maka barangsiapa yang membantah engkau dari hal itu."
Yaitu bahwa mereka tidak mau percaya apa yang engkau katakan itu, padahal sudah nyata pendirian yang mereka pertahankan itu ialah salah."Sesudah datang kepada engkau pengetahuan," yaitu keterangan yang demikian jelas yang diberikan Allah kepada engkau yang disampaikan dengan wahyu.
“Maka katakanlah, ‘Marilah kemari. Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, dan istri-istri kami dan istri-istri kamu, dan diri-diri kami dan diri-diri kamu, kemudian itu kita adakan mubahalah dan kita jadikan kiranya laknat Allah atas orang-orang yang berdusta."
Mubahalah ialah bersumpah yang berat, yang di dalam bersumpah itu dihadirkan anak dan istri dari kedua pihak yang bersangkutan, lalu diadakan persumpahan di dalam mempertahankan keyakinan masing-masing. Menilai kebenaran pendirian kedua belah pihak. Kalau ternyata kedua belah pihak berkeras kepala, tidak ada yang mau bertolak-angsur, biarlah Allah Ta'aala menurunkan kutuk laknat-Nya kepada barangsiapa yang masih saja bertahan pada pendirian yang salah.
Inilah ajakan Rasulullah ﷺ sendiri kepada utusan-utusan Najran yang mempertahankan bahwa Isa al-Masih adalah putra Allah. Kalau pihak kamu masih bertahan pada kepercayaan yang kamu sangka benar itu dan kami pun bertahan pula, padahal alasan sudah sama-sama di-kemukakan, mari kita bennubahalah, bersumpah berat. Panggil ahli keluarga kita kedua belah pihak, sama-sama menghadiri sumpah itu. Kalau kami di pihak yang salah, kami bersedia menerima kutuk Allah. Dan, kamu pun hendaklah bersedia pula kalau kamu berpendirian bahwa pihak kamulah yang benar.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, dua orang Kristen, yang satu bernama Sayyid dan yang seorang lagi bernama Aqib, menghujjah Nabi ﷺ dalam kepercayaan itu. Setelah diusulkan mubahalah, mereka pun mundur, tidak berani. Sebab, di dalam hati mereka memang sudah ada perasaan bahwa jika benar orang ini rasul Allah, kitalah yang akan ditimpa balabencana karena kekerasan kepala kita.
Menurut riwayat dari al-Hakim, Ibnu Mardawaihi, dan Abu Na'im yang diterima dari sahabat Jabir bin Abdullah. Jabir ini menceritakan, “Aqib dan Sayyid datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ mengajak keduanya masuk Islam. Keduanya menjawab, ‘Kami telah Islam, ya Muhammad!' Lalu Rasulullah ﷺ menjawab pula, ‘Kamu keduanya berdusta! Kalau kamu tidak keberatan, aku dapat menerka mengapa kalian tidak suka memeluk Islam1.' Lalu, keduanya menjawab, ‘Cobalah terangkan apa sebabnya!' Lalu Nabi ﷺ menjawab, ‘Kalian masih cinta kepada kayu palang (salib) dan minuman keras dan makan daging babi! Lalu mereka diajak oleh Rasulullah mengadakan mubahalah, mereka pun menerima ajakan itu dan berjanji besok paginya. Keesokan harinya, Nabi Muhammad ﷺ sudah bersedia dan diutuslah orang menjemput mereka, tetapi mereka tidak mau."
Orang Madzhab Syi'ah mengatakan bahwasanya keluarga beliau yang beliau bawa menghadapi mubahalah itu ialah Hasan dan Husain sebagai anak, Fatimah sebagai istri-istri dan Ali sebagai diri beliau. Akan tetapi, penafsiran dan kaum Syi'ah ini dipandang lemah sebab dari semenjak zaman dahulu suatu cela yang besar membahasakan anak perempuan sebagai istri-istri yang disebutkan di dalam ayat nisaa-ana. Dan, lagi mengapa hanya Fathimah saja, padahal anak perempuan beliau yang lain pun ada?
Di dalam riwayat yang lain lagi dari Ibnu ‘Asakir, yang dia terima dari Ja'far bin Muhammad, dan dia menerima pula dari ayahnya bahwasanya setelah ayat mubahalah ini turun, Rasulullah ﷺ memanggil Abu Bakar bersama anak-anaknya. Akan tetapi, pihak lawan tidak bersedia menghadapi mubahalah yang ngeri itu. Riwayat yang kedua ini lebih masuk ke akal kita, jika kita pikirkan bahwa Islam bukanlah kepunyaan keluarga Rasulullah, dan di dalam perjuangan Islam, sejarah sudah mengatakan bahwa Ali adalah orang yang keempat, sedangkan Abu Bakar orang yang pertama sesudah Rasulullah ﷺ.
Akan tetapi, setengah ahli tafsir lagi mengambil kesimpulan bahwa persediaan mubahalah itu tidak terjadi, baik menurut riwayat kaum Syi'ah yang pertama tadi maupun menurut pegangan Ahli Sunnah yang kedua, karena pihak Nasrani dan bermula sudah tidak mau.
Kata penafsiran itu, ayat mubahalah adalah pembuktian antara yakin dan teguhnya orang Islam pada iman dan kepercayaannya. Keyakinan tauhid adalah pegangan seluruh keluarga, baik diri sendiri maupun anak-anak dan istri, bersedia menghadapi apa saja pun, suka atau duka, hidup ataupun mati di dalam mempertahankan keyakinan. Sebab, keyakinan itu bukanlah semata-mata ajaran pusaka, tetapi dianut dengan disadari. Sehingga, .apabila sudah timbal keyakinan atas benarnya apa yang diperjuangkan, orang tidak gamang dan gentar menghadapi segala ancaman. Mati pun mau. Dan, kalau diminta mubahalah yang bersedia menerima kutuk laknat Allah kalau pendirian salah, mereka pun bersedia menghadapi karena yakin bahwa mereka tidak akan kena kutuk. Sebab, pen-dirian mereka benar.
Dan keyakinan ini sekali-kali bukan membabi buta, sebab di pangkal ayat sudah dijelaskan, yaitu “sesudah datang kepada engkau pengetahuan". Keyakinan timbul karena sudah dituntun oleh wahyu Ilahi. Keyakinan itu menjadi pegangan umat Muhammad seluruhnya, laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan kanak-kanak. Bukankah kalau keyakinan sudah ada, ketakutan kepada maut tidak ada lagi?
Dari kalimat istri-istri kami, Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar mengambil suatu inti tentang betapa pentingnya kedudukan perempuan di dalam Islam.
Cobalah pikirkan dan bayangkan betapa kalau mubahalah itu terjadi menurut asli ayat Rasulullah ﷺ membawa seluruh istri-istri beliau dan anak-anaknya, yaitu cucu beliau Hasan dan Husain (karena di dalam adat Arab, cucu pun disebut anak, juga karena beliau tidak ada mempunyai anak laki-laki). Termasuk Abu Bakar dengan anak istrinya, Ali dengan anak istrinya pula. Alangkah ramainya. Sudah nyata bahwa orang perempuan akan lebih banyak dari laki-laki, yang turut mempertaruhkan jiwa raga mereka di dalam mempertahankan keimanan. Kata Sayyid Rasyid Ridha selanjutnya, alangkah berbedanya maksud yang terkandung dalam ayat ini dengan masyarakat kaum Muslimin sekarang, yang kaum perempuan tidak dibawa ikut serta di dalam pekerjaan penting dan mereka hanya menjadi tukang menyusukan anak, tukang memasak di dapur dan bersolek dan berhias, dihambat dengan bermacam-macam hambatan dan dihalangi dengan berbagai macam halangan. Padahal di zaman Rasulullah ﷺ Mereka pun ikut berperang, mengerjakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.
Syukurlah buat pikiran Sayyid Rasyid Ridha ini telah dijalankan oleh ulama-ulama Indonesia daripada di Tanah Arab yang dikeluhkan oleh Sayyid Rasyid Ridha itu. Kiai H.A. Dahlan sebagai pembaca tafsir Sayyid Rasyid Ridha, di dalam tahun 1912, telah mengajak kaum perempuan turut bergerak dalam lapangan agama, dipelopori oleh istri beliau dan anak perempuan beliau sendiri, sehingga di Indonesia telah lebih lima puluh tahun telah ada perempuan yang turut aktif melakukan kewajiban menggerakkan agama, di samping menerima haknya yang wajar. Dan, di tahun 1957 al-Azhar telah mengundang Guru Besar Hajjah Rahmah El-Yunusiah datang ke Mesir buat memberikan pengetahuan dan pengalamannya bagaimana memberikan didikan agama kepada perempuan. Rahmah El-Yunusiah telah bergerak sejak masih gadis remaja, di tahun 1918, di bawah pimpinan abangnya Zainuddin Labay El-Yunusiah dan Gurunya Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah.
Adapun di tempat lain, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang telah dimasuki pengaruh Barat, kaum perempuan karena memberontak pada kungkungan adat kolot, bukan dilahirkan dalam paham pandangan agama, tetapi menuntut kebebasan secara Barat.
Lantaran itu, patutlah diingat bahwasanya kita kaum Muslimin menerima ajaran Allah bahwasanya kaum perempuan mempunyai tanggung jawab, mempunyai hak di samping memikul kewajiban, sama ke tengah dan ke tepi, turut berperang dan mengerjakan tugasnya yang layak, sehingga di dalam peperangan yang besar-besar di zaman Rasul ﷺ, perempuan ikut serta. Bahkan beberapa perempuan di dalam Peperangan Khaibar mendapat saham pembagian sama dengan yang didapat oleh pejuang laki-laki ketika membagi-bagi harta rampasan perang (ghanimah).
Sesudah itu, berfirmanlah Allah,
Ayat 62
“Sesungguhnya, ini adalah suatu kisah yang benar."
Yaitu, bahwa sebenarnya al-Masih lahir ke dunia atas kehendak Allah dengan tidak melalui jalan yang biasa, tidak dengan perantaraan bapak, karena Allah Mahakuasa menakdirkan demikian. Sekali-kali bukanlah al-Masih anak di luar nikah. Amat hinalah budinya orang yang menuduh demikian."Dan tidaklah ada dari satu Tuhan pun selain Allah!1 Tidaklah ada campur tangan kekuasaan lain buat menakdirkan demikian, sebab Allah yang lain itu memang tidak ada. Dan, al-Masih itu sendiri pun bukanlah Ilahi (Tuhan) di samping Allah. Dia hanya terjadi karena kehendak Allah demikian!
“Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Gagah, lagi Bijaksana."
Tanda dari kegagahperkasaan Allah, Dia Mahakuasa menentukan kejadian Isa di luar dari kebiasaan yang berlaku, tetapi dengan bijaksana pula, sehingga kejadian Isa yang demikian itu masuk di akal yang waras dan dapat diterima.
Ayat 63
“Maka, jika mereka berpaling, sesungguhnya Allah Mahatahu siapa orang-orang yang merusak."
Yaitu, jika mereka berpaling, artinya diajak buat mengadakan mubahalah mereka tidak mau dan menerima aqidah tauhid pun enggan pula maka nyatalah bahwa ini adalah bersikap kepala batu, tidak lagi hendak menempuh jalan yang benar. Maka, Islam telah mengerjakan bahwa soal-soal agama dan kepercayaan tidaklah boleh ada paksaan. Salah satu kerusakan ialah memperbodoh pengikut, menyuruh pengikut hanya membebek terus menyuruh taklid dan mendinding mereka dari penyelidikan kebenaran.
Ketika utusan-utusan Najran datang ke Madinah, mereka telah disambut dengan baik. Ketika mereka hendak sembahyang menurut keyakinan agama mereka, karena di Madinah sendiri tidak ada gereja Kristen, mereka dipersilakan sembahyang di dalam masjid Madinah, sehingga sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ menerima teladan yang baik dari beliau.
Tasamuh (toleransi) beragama ini adalah dasar dari dakwah Islam. Yang menentukan petunjuk bagi manusia bukanlah manusia, melainkan Allah.
Akan tetapi, orang tidaklah boleh berhenti mengadakan dakwah. Suatu toleransi tidak disertai perluasan dakwah adalah kehancuran. Kita harus berani mengikut Rasulullah, berani berhadapan dengan pemeluk agama lain, dengan mengadakan mubahalah. Akan tetapi, keberanian ini tidak akan ada kalau kita tidak mengerti agama kita sendiri.